Jumat, 30 November 2012

Kisah Daksha: Keangkuhan Seorang Prajapati


Daksha adalah salah satu putra Brahma diantara 9 putra Brahma yang diangkat sebagai “prajapati”, yang mencipta dan menjaga kelestarian makhluk. Brahma kawin dengan Prasuti putri dari Swayambhu Manu dan mereka dikaruniai 15 putri. Sati adalah salah satu putrinya yang dikawinkan dengan Mahadewa. Pada suatu saat diadakan upacara Yajna Agung yang diketuai oleh Marici, kakak Daksha. Semua penduduk kahyangan hadir. Dan, pada saat Daksha masuk dia nampak begitu berwibawa seperti matahari yang menyinari ruangan upacara. Semua resi berdiri dan menghormat Daksha kecuali Brahma dan Mahadewa. Daksha kemudian bersujud mengambil debu di kaki Brahma, sang ayahanda dan meletakkannya di kepala. Akan tetapi Daksha tersinggung dan marah kepada Mahadewa yang tidak berdiri menyambutnya seperti resi-resi yang lain, padahal Mahadewa adalah menantunya.

Daksha kemudian mengambil air di dengan telapak tangannya dan mengutuk, “Mahadewa ini adalah yang terburuk di antara semua dewa, dia tidak akan menerima bagian yajna seperti dewa yang lain.” Dan Daksha langsung pulang ke rumahnya. Para pengikut Mahadewa tersinggung dan Nandikeswara berkata, “Daksha ini orang bodoh, ia sangat angkuh dan melupakan Mahadewa. Sesungguhnya ia bernasib sial, ia jauh dari rahmat Tuhan. Ia tidak lebih baik dari binatang yang hidup hanya untuk kepuasan laparnya. Para resi yang setuju dengan kutukan Daksha akan menderita. Mereka akan mengalami siklus kelahiran dan kematian. Mereka akan disibukkan dengan urusan duniawi dan meninggalkan Tuhan. Mereka akan terlibat dalam banyak upacara agama, mereka akan kehilangan cinta mereka terhadap disiplin, tapa. Mereka akan menjadi peka terhadap bujukan pikiran dan juga terhadap ketidaktahuan sehingga mereka terlibat dalam hal-hal duniawi.”

Bhrigu saudara Daksha marah karena ada orang yang mengganggu upacara dan mengutuk, “Aku mengutuk para pengikut Mahadewa, mereka yang memuja dia sebagai yang terbesar disebut Prasandi, orang yang munafik. Mereka akan menentang Weda dan tidak aktif dalam upacara yang ditentukan oleh Weda. Mereka menjadi kotor. Mereka berpakaian seperti Mahadewa, memakai perhiasan yang dibuat dari tulang.” Mahadewa merasa sedih dan segera meninggalkan tempat upacara tersebut.

Kisah Dhruwa: Kegigihan Tekad Seorang Anak Menemukan Tuhan


Uttanapada putra Manu mempunyai dua istri: Suniti dan Suruchi. Suniti mempunyai putra bernama Dhruwa dan Suruchi mempunyai putra bernama Uttama. Pada suatu saat Raja bermain dengan Uttama dan sang putra duduk dalam pangkuannya. Dhruwa datang dan ingin duduk di pangkuan ayahnya juga. Suruchi, ibu tiri Dhruwa mendatangi Dhruwa, menyeretnya menjauhi suaminya dan berkata, “Dhruwa, kamu adalah putra raja juga, akan tetapi kamu bukan putraku, kau tidak akan memperoleh perlakuan yang sama dengan Uttama. Kau adalah anak sial. Kesialanmu adalah karena kamu putra perempuan yang bukan diriku. Jika ingin mendapat perlakuan yang sama dengan Uttama, maka kau harus bertapa agar dikehidupan berikutnya kau lahir dari Suruchi bukan lahir lewat ibumu!”

Raja mendengarkan, akan tetapi dia diam saja, karena dia memang lebih sayang kepada Suruchi daripada Suniti. Dhruwa kecil sakit hati atas kata-kata kejam ibu tirinya dan menoleh kepada ayahnya yang hanya diam saja. Dhruwa kemudian lari menuju ibunya dan menangis terisak-isak. Suniti langsung memangkunya dan ikut menangis. Suniti berkata, “Dhruwa, ada dua jalan untuk menyelesaikan kekecewaan, jalan pertama berupaya memenuhi keinginanmu, akan tetapi raja memang lebih suka pada Suruchi daripada aku. Ada benarnya juga kata Suruchi, bahwa ini terkait dengan masalah sebab-akibat di masa lalu, sehingga kau dapat memperbaiki nasib dengan jalan berbuat kebaikan. Jalan kedua adalah jalannya orang yang gigih, jalannya orang bijak yaitu tidak berkeinginan lagi terhadap sesuatu. Bila seseorang sudah menyaksikan Narayana, maka dia sudah tidak menginginkan apa-apa lagi. Putraku, berdoalah kepada Narayana Yang Agung, tempat perlindungan bagi semua yang menderita. Setelah bertemu dengannya, maka kau tidak menginginkan yang lainnya lagi.” Suniti tidak pernah mengira bahwa perkataannya untuk menenangkan Dhruwa, menjadi pemicu baginya untuk menemukan Narayana.

Kisah Wena: Kelahiran Putra Yang Dipaksakan Karena Hasrat Orang Tua


Setelah 30 ribu tahun memerintah, maka Dhruwa telah mempersiapkan sistem pemerintahan yang baik, serta sebuah institusi dari kumpulan para resi sebagai Dewan Pertimbangan Agung Kerajaan. Segala sesuatu telah dipersiapkan dengan baik dan mestinya pemerintahan selanjutnya akan berjalan dengan lancar. Akan tetapi sebuah sistem yang baik tetap memerlukan manusia yang handal untuk menjalankan sistemnya. Ternyata tidak mudah mendapatkan seorang raja yang baik yang melindungi negara dan rakyatnya serta sekaligus menjadi bhakta yang saleh. Utkala adalah putra Dhruwa yang menggantikannya sebagai raja. Utkala adalah seorang ahli filsafat dan di usia muda sudah mendapat gelar Brahmi. Namun ia tidak begitu memperhatikan kepemerintahan. Dia tidak menjaga kemuliaan dan kewibawaan sebagai seorang raja.

Para resi akhirnya memilih Watsara, adik Utkala sebagai penggantinya. Selanjutmya setelah Utkala sudah merasa tua maka dia menunjuk putranya, Anga sebagai raja penggantinya. Pada suatu hari, Anga yang belum dikaruniai seorang putra mengadakan upacara Aswamedha, persembahan kepada Narayana, akan tetapi sampai akhir upacara tidak ada dewa yang hadir. Sang Raja merasa sangat sedih dan bertanya kepada para bijak, apakah kesalahannya sehingga para dewa tidak berkenan hadir. Para resi menjawab, bahwa tidak ada sesuatu yang salah dalam upacara tersebut. Bisa jadi dikarenakan kesalahan sang raja dalam kelahiran sebelumnya. Kemudian para resi menyarankan sebaiknya raja mengadakan upacara yang lain untuk meminta putra terlebih dahulu.

Sebagai seorang raja tentu saja dia berhasrat mempunyai seorang putra yang dapat meneruskan tahtanya setelah dia memasuki usia tua. Sang raja tidak sadar bahwa waktunya belum tepat. Sang raja masih diliputi suasana kekecewaan dan kemarahan kepada para dewa yang tidak berkenan menerima persembahannya. Sang raja dan para resi mempersiapkan Upacara Yajna untuk memohon putra. Manakala upacara berakhir, keluar sebuah bentuk api yang memakai perhiasan serba keemasan dan membawa periuk emas menuju sang raja. Raja menerima “payasa”, sejenis makanan dari beras bercampur susu. Payasa tersebut kemudian diberikan kepada Sunita sang permaisuri untuk dimakannya. Setelah beberapa waktu seorang putra lahir dan dinamakan Wena. Sejak kecil Wena ternyata mempunyai sifat adharma. Ia suka sekali membunuh binatang, walaupun binatang yang tidak berbahaya dan tidak mengganggu manusia. Ia ringan tangan dan sangat kejam sehingga semua orang menghindarinya. Bila ada orang yang tidak disenanginya, maka dia tak segan untuk membunuhnya. Sang raja telah berupaya mendidiknya dan mendatangkan para resi untuk menunjukkan jalan yang benar. Akan tetapi semuanya kewalahan, karena Wena mempunyai sifat kepala batu dan selalu merasa paling benar sendiri.

Kamis, 29 November 2012

Kisah Prithu: Kemurahan Hati Prthwi Sang Ibu Bumi


Kala Prithu dilahirkan musik surgawi terdengar dan semua dewa menyambut kelahiran Prithu. Brahma berkata bahwa Prithu membawa tanda lahir cakra pada telapak tangannya dan tanda bunga teratai pada kakinya. Prithu adalah penjelmaan Narayana untuk melindungi dunia. Setelah Prithu dewasa dia dinobatkan sebagai raja dan seluruh alam semesta membawa hadiah untuk sang raja. Akan tetapi Prithu tak mau dipuji karena dia belum punya pengalaman untuk memerintah kerajaan. Prithu berkata bahwa dia mau dipuji saat dia nanti berhasil sebagai raja dunia. Prithu mengakui bahwa dia menjadi raja dalam kondisi yang sangat sulit. Ia mengetahui bahwa rakyatnya sangat lemah dan dalam kondisi kelaparan yang parah. Rakyatnya berkata, “Wahai raja pelindung dunia kami menderita kelaparan, berilah kami makanan. Kami dimakan oleh rasa lapar seperti pohon yang dimakan oleh api yang tersembunyi dalam batangnya. Kami telah diberitahu oleh para resi bahwa kau dilahirkan untuk melindungi kami. Lindungilah kami wahai raja!”

Prithu berpikir keras dan akhirnya menemukan penyebab dari kelaparan rakyatnya. Ibu Bumi telah menelan semua tanaman yang mengandung makanan, dan semua benihnya dan tidak dibiarkan tumbuh. Prithu sampai pada keputusan untuk menghukum Ibu Bumi. Ia memungut busur dewatanya dan mengarahkan anak panahnya ke arah Ibu Bumi. Ibu Bumi mewujud sebagai sapi yang melarikan diri menjauhi Prithu. Ibu Bumi tahu bahwa anak panah tersebut dapat menghabisi nyawanya. Ibu Bumi begitu panik sehingga permukaan bumi terasa menggigil, terjadi gempa di mana-mana. Prithu mengejarnya kemana saja Ibu Bumi melarikan diri. Ibu Bumi tak dapat menemukan tempat berlindung, sehingga akhirnya dia memutuskan untuk menemui Prithu dan bersujud di hadapannya. “Wahai raja dunia, aku berlindung padamu. Engkau adalah raja yang adil dan mestinya Engkau tidak mengganggu seorang perempuan sepertiku. Sekalipun bersalah seorang perempuan tidak harus dibunuh. Mengapa Engkau berusaha membunuhku, padahal aku tidak berbuat kejahatan terhadapmu? Dan jika Engkau membunuhku dimana Engkau akan meletakkan kerajaan-Mu?

Prithu berkata, “Engkau telah melakukan kesalahan, itulah sebabnya aku harus menghukummu. Di dalam upacara persembahan yang dilakukan manusia, engku mendapatkan bagianmu. Akan tetapi engkau tidak memberi manusia makanan. Dalam wujud sapi engkau makan rumput akan tetapi engkau tidak memberikan susu kepada manusia. Engkau sudah mengabaikan peraturan yang dibuat olehku. Maka aku perlu menghukummu. Hukum harus ditegakkan di atas dunia. Engkau juga telah menyembunyikan tanaman obat pemberian Brahma. Rakyatku menjadi menderita karenanya. Seseorang yang tidak berpikir tentang kebaikan terhadap orang lain harus dibunuh oleh seorang raja. Perbuatan tersebut bukan perbuatan adharma. Dagingmu akan kubagikan kepada manusia dan aku tidak cemas tentang tempat kerajaanku yang musnah, dengan yogaku aku mampu mendirikan kerajaanku.”

Kisah Puranjana: 7 Jalan Pemujaan


Prithu adalah salah seorang raja dunia yang berhasil mengadakan upacara seratus aswamedha menyamai upacara yang dilakukan oleh Dewa Indra. Dalam upacara seratus aswamedha Prithu tersebut Indra mencoba menggagalkan upacara dengan mencuri sebuah kuda dengan berpura-pura menjadi sebagai seorang sadhu. Peristiwa ini dianggap sebagai mulainya tindakan munafik di dunia, yaitu seseorang yang berniat jahat yang berpura-pura berpenampilan sebagai orang baik. Tindakan Indra ini digagalkan oleh Resi Atri yang menyuruh putra Prithu untuk mengejar pencuri kuda dan diminta tidak perlu ragu melihat wujud pencuri sebagai seorang sadhu. Putra Prithu berhasil mengembalikan kuda ke seratus dari aswamedha ini sehingga dikenal sebagai Wijitashwa.

Setelah ribuan tahun memerintah sebagai raja, Prithu merasa usianya sudah tua dan sudah merasa waktunya untuk meninggalkan tubuh fisiknya. Prithu mengangkat Wijitashwa sebagai pengganti, kemudian dia melakukan yoga pelepasan dirinya yang diikuti oleh Archis, istri setianya. Putra Wijitashwa bernama Hawirdhana tidak ingin menjadi raja, maka sebagai raja pengganti Wijitashwa ditunjuk Barhishat, putra sulung dari Hawirdhana. Raja Barhishat terkenal dengan sebutan Prachinabarhis, prachina berarti arah ke timur dan barhis berarti rumput Kusa untuk persembahan. Raja Prachinabarhis terobsesi oleh upacara ritual yajna. Begitu selesai suatu upacara dia melanjutkan lagi dengan upacara ritual berikutnya. Demikian ritual demi ritual dilakukannya sepanjang waktu. Resi Narada paham bahwa niat dari raja Prachinabarhis adalah baik, maka sang dewaresi mendatangi sang raja dan bertanya mengapa dia mempunyai obsesi untuk melakukan ritual tanpa henti. Sang raja menjawab bahwa kebanyakan manusia terperangkap dalam jaring perasaan sehingga terikat dengan istri, anak-anak, rumah, kekayaan dan kerajaan. Kebanyakan manusia tidak mengetahui bagaimana mencapai dunia yang lain, oleh karena itu sang raja melakukan ritual terus-menerus agar tidak sempat berpikir terhadap jaring perasaan tersebut.

Kedatangan Narada membuat sang raja sadar bahwa mungkin sekali tindakannya tersebut tidak tepat maka segera dia memohon sang dewaresi untuk memberi petunjuk. Resi Narada berkata, “Wahai raja, engkau mempunyai niat untuk melepaskan diri dari keterikatan, dan niat itu benar. Engkau berupaya melepaskan diri dari keterikatan terhadap istri, anak, kekayaan dan kekuasaan. Akan tetapi engkau justru terikat dengan upacara ritual, sebuah keterikatan yang lain.” Dengan kekuatan yoganya, kemudian Resi Narada menunjukkan ribuan sapi yang telah dibunuh untuk keperluan ritual. “Wahai raja, ribuan sapi sedang menantikan kematianmu untuk membalas dendam kepadamu.” Sang raja kaget dan menjadi sadar bahwa dia telah berbuat kesalahan. Kemudian Resi Narada menyampaikan kisah Raja Puranjana kepada sang raja.

Kisah Bharata: Keterikatan Menjelang Kematian


Bharata adalah putra Rsaba. Ia memerintah kerajaan dengan benar dan baik dan dicintai oleh rakyatnya. Bahkan kerajaannya dikenal sebagai Bharatawarsa. Bharatawarsa mengalami zaman keemasan dibawah kepemimpinan Raja Bharata. Bharata adalah seorang bhakta Narayana. Di dalam hatinya hanya ada Narayana dan tak ada yang lain selain Narayana. Setelah beberapa lama memerintah, dia menobatkan putranya sebagai raja penggantinya dan dia pergi ke Haridwara ke pertapaan Pulaha. Bharata hidup sendiri di sana dalam kedamaian dan tidak punya rasa keterikatan terhadap duniawi. Hari-hari dilewati hanya berpikir tentang Narayana.

Pada suatu hari, manakala Bharata sedang duduk akan melakukan meditasi pagi di tepi sungai Mahanadi, dia melihat seekor rusa betina yang tengah hamil sedang membungkukkan kepalanya untuk minum air sungai. Tiba-tiba terdengar raungan seekor singa yang sangat keras yang mengagetkannya. Karena ketakutan yang amat sangat sang rusa melompat dengan sekuat tenaga menuju seberang. Akhirnya sampai juga sang rusa betina di seberang. Dalam keadaan lunglai bercampur cemas, anaknya lahir prematur dan kemudian sang rusa betina meninggal. Bharata segera menghampiri anak rusa yang kemudian digendongnya ke pertapaan dan diberinya susu dengan penuh kasih seperti halnya seorang ibu yang mengasihi putranya. Hari-hari lewat dan Bharata menjadi semakin tua, akan tetapi rasa kasihnya terhadap anak rusa semakin bertambah. Ia menjadi sangat terikat dengan sang anak rusa. Ia berpikir, “Anakku tanpa ayah dan tanpa ibu, kecuali diriku. Aku adalah satu-satunya tempat perlindungannya.” Kasih sayang terhadap rusa tersebut membuat Bharata lupa terhadap terhadap kegiatan rutinnya untuk selalu berdoa, meditasi dan melakukan persembahan kepada Narayana.  Hari demi hari berlalu dan akhirnya Bharata mengalami kematian. Sebelum meninggal pikirannya terpusat kepada sang rusa. Akhirnya Bharata dilahirkan sebagai rusa.

Kisah Ajamila: Berkah pengucapan nama suci Tuhan


Setelah mendengar kisah Raja Bharata dan sebelumnya kisah Puranjana, Parikesit bertanya kepada Resi Shuka putra Abhiyasa, mengapa fokus dan obsesi seseorang sesaat sebelum meninggal mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan berikutnya. Resi Shuka menjawab bahwa selama masih ada pikiran yang terkondisi, maka pikiran tersebut tersebut masih ingin menyelesaikan obsesi-obsesi yang belum diraihnya. Biasanya sebelum meninggal, seseorang terobsesi ataupun memikirkan  penyesalan terhadap tindakan dalam kehidupannya, dalam keluarganya, atau dalam pekerjaannya dan lain sebagainya yang belum diselesaikan atau dikerjakannya dengan benar. Oleh karena itu orang tersebut dilahirkan lagi untuk menyelesaikan obsesi dan hutang piutangnya. Para suci mengajari manusia dalam keadaan kritis untuk berpikir tentang Gusti, tentang Tuhan, tentang Narayana agar dia mencapai Tuhan. Kemudian Resi Shuka putra Abhiyasa menyampaikan kisah tentang cara termudah untuk melepaskan diri dari jerat duniawi yang membuat manusia terikat dalam maya yang menyebabkan penderitaan dan kesenangan tak ada habisnya. Resi Shuka berkata, “Mengucap nama Tuhan dengan tulus akan menyelamatkan manusia dari semua marabahaya.”

Resi Shuka melanjutkan dengan menceritakan kisah tentang kematian Ajamila. Adalah seorang Brahmana bernama Ajamila di negeri Kanyakubja. Dilahirkan di keluarga brahmana dan menjalankan hidup sebagai brahmana yang taat di waktu muda, pada suatu saat Ajamila telah kehilangan semua kebaikannya. Dia hidup bersama dengan seorang wanita nakal. Karena menuruti pasangannya, Ajamila menjadi tamak, kejam, suka menipu sehingga dibenci oleh semua orang. Waktu berlalu dan Ajamila menjadi tua, dia telah mempunyai sepuluh putra dari wanita pasangannya tersebut dan yang termuda diberi nama Narayana. Narayana adalah anak yang dikasihi oleh ayah dan ibunya. Narayana selalu berada dalam pikiran Ajamila. Selagi makan ia akan memanggil Narayana terlebih dahulu, apakah sang putra sudah makan atau belum. Manakala Ajamila minum, ia akan menawari sang putra terlebih dahulu. Dengan kecintaannya terhadap putra bungsunya, Ajamila tidak menyadari bahwa kematian sangat dekat dengannya. Kala kematian sudah di depan mata, dia teringat putranya dan dipanggilnyalah sang putra dengan penuh kasih, “Narayana kemarilah! Narayana!” dan kemudian Ajamila tak ingat apa-apa lagi.

Rabu, 28 November 2012

Kisah Dadhichi: Sebuah Pengorbanan dan Keangkuhan Dewa Indra


Dikisahkan, beberapa waktu setelah menjadi raja para dewa, Indra berubah menjadi angkuh. Saat itu Indra duduk dengan Saci, sang istri di sampingnya dan sedang mendengarkan nyanyian para gandharwa dan menikmati tarian para apsara. Seluruh dewa dari empat penjuru menghormatinya. Brihaspati Agung, guru para dewata datang ke istana dan Indra tidak bangun untuk menghormati gurunya. Brihaspati kemudian merasa tidak berhasil mendidik muridnya dan segera meninggalkan  istana. Sesaat kemudian Indra sadar dan segera mencari gurunya, akan tetapi tidak berhasil menemukannya. Brihaspati bahkan tidak berada di pertapaannya.

Kabar menyebar begitu cepat, dan mengambil keuntungan dari keadaan Indra yang ditinggalkan gurunya, para Asura murid dari Sukracharya segera menyerang istana para dewa. Dan, Indra beserta para dewa dikalahkan. Para dewa kemudian berlindung kepada Brahma yang menyarankan agar Indra minta Asura Wiswarupa, putra Twasta untuk membantu mereka. Indra dan para dewa kemudian mendatangi Wiswarupa yang lebih muda dibanding dengan Indra untuk membantu mereka. Wiswarupa mengatakan bahwa peran guru tidak baik bagi Asura seperti dirinya, karena akan meningkatkan egonya. Akan tetapi memenuhi permintaan orang yang membutuhkan pertolongan adalah sebuah dharma, maka akhirnya dia menyanggupi Indra untuk membantu para dewa. Wiswarupa memberikan Indra  baju pelindung besi yang kuat bernama “Narayana Kawacha”. Para dewa juga diajari membaca mantram suci kawacha, “Om Namo Narayanaya”. Setiap bagian tubuh, diliputi pikiran dan perasaan yang terfokus terhadap Narayana, sehingga jiwanya dilindungi oleh Narayana. Dengan baju pelindung besi tersebut, maka Indra dapat mengusir para Asura dari istana para dewa.

Kisah Pertarungan Dewa Indra dengan Asura Writra


Pertempuran antara Indra dengan para dewa melawan Writra dengan para asura berlangsung sangat seru. Para dewa tidak mempan dilukai oleh senjata asura, mereka seperti manusia baik yang tahan dan tidak terluka oleh kata-kata para manusia picik. Para dewa unggul dalam pertempuran dan para asura melarikan diri dari pertempuran. Melihat penurunan moril anak buahnya Writra berteriak dengan keras, “Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sekali kamu dilahirkan, maka kamu pasti mati. Kematian datang dengan berbagai bentuk, dan tidak dapat dihindari. Manakala masalahnya seperti itu, kematian karena membawa kebenaran dan nama baik membawa akibat yang baik di kehidupan kemudian. Keinginan banyak orang adalah mati dalam keadaan yoga, akan tetapi pada waktu kalian melarikan diri dari perang, kematian bisa mendatangi kalian selagi berada dalam keadaan memalukan dan fokus terakhir sebelam kematian adalah melarikan diri, sehingga kalian akan lahir lagi sebagai seorang pengecut. Pilihan mati dalam yoga atau mati dalam keadaan berperang tidak mungkin didapat oleh semua orang. Kalian tidak perlu takut terhadap kematian!”  Writra tidak takut mati.

Melihat para asura yang tidak memperhatikan kata-katanya, Writra kemudian maju menyerang dan berkata, “Para dewa jangan melawan para asura yang ketakutan, lawanlah aku!” dan Writra mengeluarkan raungan perkasa yang menggetarkan nyali para dewa. Indra melemparkan tongkat kebesarannya yang dapat ditangkap Writra yang kemudian digunakan untuk melukai gajah Airawata yang digunakan Indra, sehingga gajah tersebut terluka dan mundur. Melihat Indra tidak memakai senjata, maka tongkatnya pun dilepaskan. Writra berkata, “Kamu telah membunuh saudaraku, Brahmana Wiswarupa dan aku ingin membalaskan kematiannya. Wahai Indra, mengapa kamu tidak memakai senjata wajra mu. Wajra dibuat dari tulang Resi Dadhichi dan menurut instruksi dari Narayana sendiri. Aku tahu dimana saja Tuhan ada akan ada kemenangan. Apakah kau ragu dengan wajramu? Wajramu telah diberkati Tuhan, maka kau pasti akan berhasil membunuhku. Selama ini aku berpikir tentang Tuhan dan tidak ada yang lain. Jika aku dibunuh aku hanya menyerahkan tubuh penuh dosa ini. Aku tidak berduka!”

Kisah Chitraketu: Karma baik kehidupan sebelumnya Asura Writra


Parikesit bertanya kepada Resi Shuka mengapa Writra, seorang asura bisa mencapai kaki Narayana dengan jalan bhakti. Padahal dewa yang mempunyai genetika satwik dan para resi yang mempunyai pikiran jernih, bhaktinya tidak sebesar Writra. Di dunia ini banyak makhluk dan sedikit di antaranya adalah manusia. Dan di antara seluruh manusia hanya sedikit yang berada di jalan dharma. Dan di antara mereka yang berada di jalan dharma sangat sedikit yang berpikir moksha sebagai tujuan hidupnya. Dan di antara 1.000 orang yang mengharapkan moksha hanya 1 orang yang akan mencapai kaki Tuhan. Oleh karena itu Parikesit bertanya kepada Resi Shuka mengapa Writra yang asura dan memerangi dewa dapat mencapai Narayana. Resi Shuka tersenyum dan kemudian mencaritakan latar belakang kehidupan Writra.

Adalah seorang raja dari negeri Surasena bernama Chitraketu. Chitraketu mempunyai segalanya, istri-istri cantik, istana megah dan negeri sejahtera, hanya satu yang tidak dipunyainya, yaitu seorang putra. Pada suatu hari Resi Angirasa putra Brahma datang berkunjung mengajarkan brahmawidya kepadanya. Dan, setelah mendengar masalah sang raja, dia membantu sang raja dengan memberikan ramuan ilahi buatan Twasta, ayah dari Wiswarupa. Ramuan tersebut diberikan kepada istri tertuanya dan dalam beberapa bulan kemudian, sang istri hamil. Sang Raja dan istrinya sangat berbahagia dengan kelahiran putranya. Istri-istri raja yang lain menjadi iri dan pada saat ibunya lengah mereka meracuni sang putra sehingga sang putra meninggal dunia. Raja Chitrakethu dan istrinya menjadi sedih sekali sehingga hidup mereka berantakan karena kesedihan akibat matinya sang putra. Negeri tersebut menjadi suram, karena rakyatnya bingung dengan raja yang sedang menderita kesedihan yang sangat dalam.

Kamis, 22 November 2012

Kisah Gajendra: Kesadaran dan Doa


Bukit Trikuta terkenal karena keindahannya. Dari segala jenis tanaman, binatang-binatang kecil sampai binatang besar, para Siddha-orang suci setengah dewa, para Carana-penyanyi surgawi, para Gandharwa-pemusik surgawi sering ke sana. Di tengah-tengah bukit terdapat sebuah danau yang luas dengan tanaman berbagai jenis teratai yang mengapung di atas permukaan airnya. Di dalam bukit tersebut tinggallah sekelompok gajah yang sangat berbahagia dengan keindahan dan kesuburan bukit tersebut. Pada suatu hari setelah melakukan perjalanan jauh di musim panas, mereka bermain air di danau  tersebut. Sang pemimpin gajah menyedot air dari danau dan memandikan gajah-gajah kecil. Mereka sangat bergembira, layaknya manusia di tengah kesenangan samsara, melupakan fakta bahwa setiap hari batas usianya semakin bertambah pendek. Mereka juga melupakan akan adanya hal yang tak terduga yang bisa langsung mengancam kehidupan mereka. Semuanya telah mengabaikan bahaya yang tersembunyi dari dalam air.

Tiba-tiba seekor buaya besar menarik kaki pemimpin gajah dengan kuatnya. Kejadian tak terduga tersebut membuat sang gajah terkejut dan mencoba untuk melepaskan diri dari sang buaya. Para teman-temannya berusaha membantunya tetapi gigitan sang buaya begitu kuatnya sehingga mereka tidak berhasil melepaskan kaki sang pemimpin. Pergumulan berlangsung sengit sampai beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan dan bahkan beberapa tahun. Bahkan para dewa hadir untuk melihat pertarungan antara sang raja gajah dan sang raja buaya. Pelan-pelan tetapi pasti kekuatan sang gajah mulai surut dan kekuatan sang buaya semakin perkasa. Sang gajah akhirnya menyadari bahwa pada suatu saat dia akan kalah dan hidupnya akan tamat, persoalannya hanya masalah waktu saja. “Aku berada dalam ancaman yang yang nyata, dan kemampuan diriku tak akan dapat melepaskan diri dari ancaman yang telah mencengkeram diriku. Aku menyadari tak ada seorang pun yang dapat menolongku. Tetapi aku mempunyai suatu harapan. Aku dapat menyerahkan diri pada Tuhan yang adalah tempat perlindungan semua makhluk, termasuk bagi Dewa Brahma, sang pencipta. Ia pasti melindungi aku dari Yama yang berusaha untuk menakutiku. Jika Tuhan bersamaku, kematian sendiri akan melarikan diri. Aku akan berdoa kepada Tuhan.” “Engkau adalah Purusa, jiwa alam semesta. Dan Prakrti, alam semesta ini berasal dari Purusa.  Engkau adalah cahaya yang menerangi kecerdasan manusia. Seluruh alam semesta ini diciptakan oleh-Mu, dipelihara oleh-Mu dan tidak pernah terlepas oleh-Mu. Engkau adalah penyebab di balik alam semesta. Engkau ada ada di luar jangkauan indra, pikiran, emosi dan intelegensia. Meski engkau ada ada di luar pemahaman, ada beberapa orang yang sudah menyatu dengan-Mu.”

Samudramanthana: Kisah Pamuteran Mandaragiri


Bhagawan Abhyasa mengatakan bahwa peperangan antara dewa dan asura, antara kebaikan dan kejahatan selalu terjadi sejak awal kehidupan. Demikian pula yang terjadi dengan peperangan antara kebaikan dan kejahatan di dalam diri. Menjaga kesadaran dan membuang pola lama harus terus dilakukan agar kesadaran tetap terjaga. Bahwa ada asura yang baik dan berkesadaran tinggi seperti Prahlada, membuktikan bahwa benih potensi kebaikan pun ada dalam diri tiap asura. Bali putra Wirochana, cucu Prahlada, memiliki potensi kebaikan, akan tetapi pada saat itu potensi kebaikan tersebut masih tertutup belenggu pola lama dari genetik asura. Dan terjadilah beberapa kali pertempuran antara para dewa dipimpin Indra dan para asura dipimpin Bali.

Dalam beberapa peperangan terakhir para dewa di bawah pimpinan Indra terdesak oleh para asura di bawah pimpinan Bali, sehingga para dewa menghadap Wisnu yang berkuasa sebagai pemelihara alam. Mereka mohon petunjuk bagaimana caranya agar mereka dapat terus hidup dalam melawan ketidakbenaran. Wisnu memberi petunjuk kepada para dewa, agar mereka mengadakan  gencatan senjata dahulu dengan para asura.  Mereka perlu mendapatkan Amerta, obat yang melindungi diri dari kematian. Untuk itu samudera  harus diaduk. Gunung Mandaragiri dapat di jadikan alat pengaduk dan ular raksasa Wasuki dijadikan sebagai tali pengikat gunung. Para dewa harus bekerja sama dengan para asura, tidak dapat bekerja sendiri. Para Dewa harus mendapatkan Amerta yang akan keluar dari samudera. Pertama kali akan keluar racun Kalakuta, setelah itu keluar beberapa hal lainnya. Diharapkan para dewa tidak ngotot, dan apabila ada benda yang diminta para asura agar diberikan saja. Para dewa diminta fokus pada Amerta.

Para asura setuju untuk mengadakan gencatan senjata dan bekerjasama demi mendapatkan Amerta. Hanya sebetulnya yang berada di benak para Dewa dan para Asura lain. Para Dewa ingin mendapatkan Amerta bagi keabadian dalam menegakkan dharma, sedangkan para Asura ingin mendapatkan keabadian dalam kenikmatan indera dan pikiran. Sebagaimana yang terjadi dalam persaingan antara dua kelompok, mereka telah menyiapkan rencana alternatif  untuk merebut Amerta dari tangan saingannya.

Rabu, 21 November 2012

Kisah Sukanya: Kesetiaan seorang wanita


Pada akhir Pralaya yang ada hanya Narayana, tidak ada yang lain. Dari pusar Narayana nampak bunga teratai dan dari bunga teratai muncul Brahma. Marici keluar dari pikiran Brahma dan akhirnya kawin dengan Kala dan mempunyai putra Resi Kasyapa. Kasyapa kawin dengan Aditi menurunkan para dewa diantaranya adalah Dewa Surya. Putra Surya adalah Shraddadewa yang merupakan kelahiran kembali dari Satyawrata yang selamat dari kalpa sebelumnya dan menjadi Manu dalam Waiwaswata Manwantara. Ikswaku adalah keturunan Shraddhadewa yang terkenal sebagai raja agung dari Dinasti Surya. Salah satu putra Manu adalah Saryati yang terkenal sangat adil yang mempunyai putri bernama Sukanya. Suatu ketika Raja bepergian ke hutan beserta rombongan pasukan dan Sukanya, sang putri turut serta.  Bagi sang raja putrinya yang telah menjadi gadis tersebut dianggapnya masih sebagai anak-anak layaknya. Semua keluarga dan seluruh masyarakat mencintai sang putri yang sederhana dan selalu bertindak ramah terhadap siapa saja.

Adalah seorang Resi bernama Cyawana yang bertapa dengan keras dan seluruh tubuhnya sudah tertutup lumpur dan dedaunan selama bertahun-tahun. Dari jauh hanya nampak seperti gumpalan tanah dengan dua lubang di matanya. Matanya memancarkan api yang membuat gumpalan tanah tersebut mempunyai dua buah lubang. Sang putri bermain-main di sekeliling rombongan raja dan tertarik dengan gumpalan tanah dengan dua buah lubang tersebut. Diambilnya ranting dan ditusukkanlah ke dalam dua lubang tersebut. Sang resi yang tengah bermeditasi merasa terganggu dan segera seluruh rombongan sang raja menjadi lumpuh. Sang resi kemudian bertanya siapa yang telah mengganggu samadinya. Sukanya lari kepada sang raja dan menceritakan kejadiannya.

Sang raja mohon maaf atas kesalahan sang putri dan paham bahwa meditasi yang telah dilakukan sang resi selama bertahun-tahun menjadi terganggu. Dan itu adalah sebuah pengorbanan yang sangat besar. Untuk itu sang raja menawarkan sang putri untuk dinikahkan dengan sang resi. Akhirnya Sukanya dinikahkan dengan Resi Cyawana dan tinggal di hutan. Sukanya yang merasa bersalah patuh terhadap keputusan ayahandanya. Sukanya menjadi istri yang baik yang setia terhadap suaminya dan melayaninya dengan sebaik-baiknya. Baginya suaminya adalah wujud Narayana untuk membimbing dirinya, dan dalam waktu yang singkat kesadaran Sukanya meningkat. Sukanya melayani suaminya seperti Dewahuti melayani Kardama.

Kisah Nabhaka: Kepolosan seorang putra


Salah seorang keturunan Manu adalah Nabhaka. Nabhaka sangat tekun mengikuti gurunya, sehingga bertahun-tahun tidak pernah nampak di istana. Pada saat sang ayah berhenti sebagai raja dan meninggalkan istana menjalankan wanaprastha, maka seluruh harta kekayaan ayahnya dibagi oleh saudara-saudaranya. Pada saat pembagian kekayaaan tersebut, Nabhaka ditinggal oleh para saudara-saudaranya sehingga dia tidak mendapat bagian kekayaan. Pada saat Nabhaka kembali dari berguru dan pulang ke istana, para saudaranya berkata bahwa seluruh harta kekayaan sang ayah telah dibagi oleh mereka. Para saudaranya berkilah bahwa menurut kesepakatan bersama, maka seorang anak yang sudah lama tidak muncul dianggap sudah meninggal dunia. Mereka menetapkan hak warisan berdasarkan peraturan tersebut dan sudah terlambat untuk membaginya lagi. Semua kekayaan sudah habis terbagi. Yang belum dibagi adalah ayahnya, maka Nabhaka diminta mengambil ayahnya sebagai hasil pembagian kekayaannya.

Nabhaka dengan polos datang kepada ayahnya dan menceritakan pernyataan para saudaranya tentang pembagian harta sang ayah dan bahwa dia mendapat bagian berupa sang ayah sendiri. Sang ayah berkata bahwa saudara-saudaranya telah terlalu tamak terhadap harta. Sang ayah berkata bahwa dirinya tidak seperti harta kekayaan yang dapat membantunya memperoleh kenyamanan. Akan tetapi karena hal demikian telah terjadi, maka sang ayah hanya akan membantu pemikiran. Sang ayah berkata, “Anakku di dekat sini Resi Angirasa sedang mengadakan upacara persembahan yajna Abhiplawa dan Prasthya selama enam hari. Di akhir hari keenam, Resi Angirasa tidak akan mampu menghapal sebuah mantra yang sangat panjang, padahal tanpa mantra tersebut, upacara yajna tidak dapat diselesaikan. Kamu agar tetap berada dalam upacara yajna tersebut dan hapalkan dua mantra yang akan kuberikan kepadamu. Bila mereka sukses dengan upacara tersebut, mereka akan mencapai surga, sehingga mereka akan sangat berterima kasih kepadamu yang telah memberikan kedua mantra tersebut. Selanjutnya mereka akan memberikan kepadamu seluruh barang berharga yang ditinggalkan dalam upacara Yajna tersebut. Dengan cara seperti itu maka kamu akan mendapat kekayaan.”

Kisah Resi Durwasa dan Raja Ambarisha


Resi Shuka melanjutkan cerita tentang Bhagawata Purana kepada Parikesit, “Bhagawata adalah pohon besar. Sesungguhnya Tuhan, Narayana adalah benih dari pohon ini. Brahma adalah tanaman yang muncul dari benih sebagai tunas, pohon muda dan kemudian tumbuh menjadi pohon. Narada adalah batang pohon tersebut. Bhagawan Abhyasa adalah cabangnya. Bhagawata Purana, Kisah Ilahi yang suci adalah buah yang manis yang terletak pada cabang pohon tersebut.”

Ambarisha adalah putra Nabhaka yang menjadi raja bumi dengan kekayaan yang tak terukur. Walaupun demikian, Ambarisha mempunyai keyakinan bahwa hal-hal duniawi bersifat sementara dan hal-hal duniawi selalu mencoba memperdaya kebijaksanaan manusia. Oleh karena itu ia menganggap kenyamanan dunia sebagai mimpi. Ia menikmati semua kekayaannya dan kemuliaannya tetapi tidak terikat dengan dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Ambarisha adalah seorang bhakta Narayana seperti halnya Nabhaka, ayahnya. Hidupnya selalu berada dalam ketenangan. Kata-kata yang diucapkannya hanya merupakan pujian terhadap Tuhan yang selalu penuh kelembutan. Seluruh perbuatannya hanya merupakan pelayanan  terhadap semua wujud Tuhan. Pada suatu ketika, Resi Wasistha, Asitha dan Gautama membantu sang raja dalam upacara Aswamedha di tepi sungai Saraswati dan Narayana muncul memberi karunia kepada sang raja dengan senjata pribadinya, “Sudarsana Chakra”. Bagi Ambarisha, Sudarsana Chakra adalah simbol dari Narayana. Sejak masih muda, saat Ambarisha melihat simbol Sudarsana Chakra, dia langsung merasa terhubungkan dengan Narayana.

Senin, 19 November 2012

Siwa Purana 5


Larangan Menolak Permintaan

Om Namah Shiva Ya

Adakalanya kita melihat seseorang menolak permintaan orang lain, terutama persoalan sedekah (danam). Terlebih lagi yang meminta adalah pengemis jalanan, tidak tanggung-tanggung pengemis itu hingga di usir dan dimarah-marahi.

Yang menjadi permasalahan, seringkali sang pengemis/peminta-minta itu ternyata anak buah orang yang sudah “mapan” atau mungkin anak buah orang kaya. Kita akan dihadapkan dengan sebuah dilema, sedangkan agama mengajarkan bahwa dilarang menolak permintaan, terlebih lagi permintaan dari fakir miskin, karena hal itu justru menjadi berhutang dalam hidup ini dan di kehidupan selanjutnya. Seperti sloka berikut:
Rsi Suta berkata:
“Seseorang harus memberikan apa yang diminta oleh orang lain sesuai dengan kemampuannya. Jika sesuatu diminta, dan tidak diberikan maka ia akan berhutang dalam jumlah yang sama pada kelahiran berikutnya” (Vidyeswara Samitha XIII.78).
Bersedekah sudah merupakan kewajiban manusia, dan merupakan kewajiban utama di jaman Kali (Kali Yuga). Bersedekah tidaklah akan menjadikan seseorang menjadi miskin. Sedekah juga dikatakan sebagai penebusan dosa (menebus dosa yang dilakukan dengan tidak sengaja ketika bekerja). Di dalam kitab Siwa Purana dinyatakan bahwa seorang pedagang harus menyedekahkan hasil usahanya 6% sebelum ia menikmati hasilnya, seorang petani 10% dari hasil pertaniannya.

Karakter 4 Punakawan Wayang Bali


Karakter Wayang Bali


Dalam pewayangan Bali, ada 4 karakter punakawan yg bisa menjadi renungan: 1) Tualen. 2) Merdah. 3) Sangut. 4) Delem. Mereka “mewakili” sikap miliaran manusia yang dirangkum ke dalam 4 gambaran umum.

1. Tualen, dia “tidak tahu dirinya tahu”. Dia kontemplatif, murni bersandar pada batin, sederhana dan penuh kearifan.

2. Merdah, dia “tahu dirinya tahu”. Dia paham, berani dan penuh percaya diri.

3. Sangut, dia “tahu dirinya tidak tahu”. Dia tidak paham, namun bersikap menerima ketidakpahamannya, mengakui kelebihan orang lain, penuh pertimbangan.

4. Delem, dia “tidak tahu dirinya tidak tahu”. Dia tidak tahu tapi merasa tahu, dia tidak tahu tapi tidak menerima pengetahuan orang lain, angkuh dan congkak di depan orang-orang, dan dia tidak bisa mengukur diri. Percaya diri di tengah ketakpahaman. Angkuh dan pongah, merasa paling benar.

Dari para punakawan ini, sadar atau tak sadar, masyarakat Bali memetik sikap: Kita memilih berperan seperti siapa?

Sabtu, 17 November 2012

Keutamaan Seorang Anak

Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka
By: Mertamupu


Anak atau disebut putra merupakan asset bagi orang tua dan leluhur. Anak bukan hanya bertanggungjawab atas perihal urusan kehidupan di dunia nyata bagi orang tua, tetapi ia juga memiliki tanggung jawab terhadap orang tua maupun leluhurnya. Anak memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan roh orang tua dari api neraka. Oleh karena itu anak disebut putra.

Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka” (Bhagawan Dwija, 2010).

Seorang anak/putra yang suputra (anak yang baik/mulia) merupakan cahaya keluarga, seperti dinyatakan di dalam Canakya Nitisastra “Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani, insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu member kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat” (Canakya Nitisastra III.16). Sebuah keluarga tanpa anak bagaikan sayur tanpa garam, kehidupan pasangan suami istri menjadi hambar tanpa kehadiran seorang anak.

Siwa Purana 4

Memberi Tuhan Makan


Om Namah Shiwa Ya

Adakalanya orang non-Hindu beranggapan bahwa orang Hindu, Khususnya masyarakat Hindu di Bali itu orang-orang yang sangat boros. Seperti membuat ritual-ritual/upakara-upakara yang besar hingga ratusan  juta bahkan miliaran sehingga hal ini dianggap mubasir.

Contoh misalnya yang kecil saja; sehabis masak biasanya orang Hindu membuat persembahan, yang biasa disebut banten saiban yang kadang disebut ngejot, dengan mempersembakan beberapa jumput nasi. Menurut keyakinan orang Hindu persembahan itu dipersembahkan untuk Tuhan, Dewa-dewi dan Jiwa-jiwa agung lainnya atau dengan bahasa yang lebih sederhana sebut saja memberi Tuhan makan. Lalu pertanyaannya apakah Tuhan Makan? Yang ada malahan hanya semut yang ramai makan nasi tersebut dan juga beberapa binatang kecil lainnya, bahkan juga kucing dan anjing.

Menanggapi pernyataan yang demikian sebenarnya hanya dibutuhkan sedikit uraian. Dengan cara pandang yang sederhana. Dalam beragama, masyarakat hindu memang boros. Boros itu tidak dibenarkan oleh agama. Masyarakat Hindu memang banyak yang membuat upacara/ritual yang mewah-mewah tetapi seringkali tidak diketahui filosofi yang terkandung, tujuannya apa? Dasar hukumnya apa?.

Jumat, 16 November 2012

Siwa Purana 3

Bersahabat Dengan Tuhan Om Namah Shiva Ya Jika bersahabat dengan manusia saja sudah begitu terasa bedanya, bagaimana jika kita bisa bersahabat dengan Tuhan? Tentu luar biasa bukan? Ketika manusia yang memiliki kelemahan saja bisa membuat sebuah perbedaan, apalagi Tuhan yang sungguh besar kasih setiaNya. Apakah kita bisa menjadi sahabat Tuhan? Jawabannya adalah bisa.

Dalam ajaran Bhagavad Gita dikatakan ada 4 jalan menuju Tuhan yang disebut dengan Catur Marga/Catur Yoga. Dari keempat jalan itu, Bhakti Yoga dikatakan yang terbaik. Seperti yang disebutkan didalam Siwa Purana, Vidyesvara Samitha III.12 “…Beliau hanya bisa dicapai dengan Bhakti yang penuh, dan tidak akan bisa dicapai dengan cara lain”.

Bhakti yoga ini didalam Bhagavata Purana dibagi menjadi Sembilan atau biasa disebut dengan Nava Bhakti atau sembilan jalan Bhakti; Sravanam (Mendengar nama suci Tuhan), Kirtanam (Memuja Tuhan), Smaranam (mengingat), Pada sevanam (melayani kaki padma-Nya), Arcanam (memuja Tuhan melalui archa/patung) dan Vandanam (memuja Tuhan melalui doa mantram dan stotra), Dasyam (menyembah Tuhan dengan kesadaran sebagai abdi), Sakhyam (bersahabat dengan Tuhan), Atma-nivedanam (penyerahan diri). Didalam Siwa Purana Rudra Samitha II.XXII.22 juga dikatakan ada sembilan jalan Bhakti. Sejak pertama saya mengenal konsep Nava Bhakti, tampaknya konsep yang paling membingungkan adalah “bersahabat dengan Tuhan” . bagaimana kita bisa bersahabat dengan Tuhan, sedangkan kita tak pernah melihat beliau?. Didalam kitab Siwa Purana diuraikan yang dimaksud bersahabat dengan Tuhan adalah bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh-Nya, seperti disebutkan dalam sloka berikut: Keyakinan bahwa “apapun yang diberikan oleh Tuhan kepadaku, baik atau buruk, adalah demi kebaikan hamba” adalah karakteristik dari perasaan bersahabat (friendliness) pada-Nya { Siwa Purana, Rudra Samitha II.XXII.32 }.

Seperti lantunan lagu D.Masiv yang digandrungi oleh berbagai kalangan “Tak ada manusia yang terlahir sempurna,jangan kau sesali segala yang telah terjadi, kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat, seakan hidup ini tak ada artinya lagi. Syukuri apa yang ada hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik. Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasa-Nya, bagi hambanya yang sabar dan tak kenal putus asa”.

Sloka dan lagu diatas sudah seyogianya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Iklas adalah hal yang utama dan membawa kebahagian "Sa to ād anuttama sukhalābha " (YS 2:42) Ikhlas membawa kebahagiaan tertinggi. "Asteyaprati hāyā sarvaratnopasthānam" (Yoga-Sūtra II.37) Semuanya akan datang ketika (kita) tidak mengingini yang bukan milik diri. Om Tat Sat 

By: Mertamupu (Hukum Hindu)

Kamis, 15 November 2012

Siwa Purana 2

Om Namah Shiwa Ya Rsi suta berkata: “Dan jika tidak ada motivasi atau keinginan tertentu dibalik bhakti, dan pelayanannya maka ia akan segera mencapai kesadaran Siva. Dalam tiga periode waktu dalam setiap harinya maka pagi hari adalah waktu yang disarankan untuk melakukan puja wajib, siang hari untuk puja pemenuhan keinginan, sedangkan pada sore harinya adalah puja untuk mengusir segala bentuk kekuatan, dan sifat jahat. Ini juga berlangsung hingga malam harinya” (Siwa Purana, Vidyesvara Samitha, XI.63-64) . 

Sloka diatas merupakan dasar hukum pelaksanaan Tri Sandya yang kita kenal di Indonesia. Masing-masing waktu Tri Sandya/sandya vandana dikenal dengan nama yang berbeda di setiap waktu/periodenya. Di pagi hari disebut prāta sa dhyā, pada siang hari disebut mādhyānika, dan di malam hari disebut sāya sa dhyā. Petunjuk diatas tidak mewajibkan untuk melakukan puja tiga kali, hanya pada pagi hari yang di haruskan. Pembagian waktu memuja Tuhan digolongkan ke dalam tiga sifat yaitu Waktu Satvika (pada pagi hari), Rajasika (pada siang hari) dan Tamasika (pada malam hari). Pada pagi hari dianggap sebagai waktu terbaik memuja Tuhan. Waktu ini berkisar antara jam 03:00-06:00 yang disebut Brahma Muhurta (Brahma/Brahman: Tuhan). 

Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kita mendengar keluhan “Mengapa kita mengenal konsep Tri Sandya/sembahyang tiga kali tetapi dalam masyarakat Hindu jarang sekali ada yang mempraktikannya, bahkan oleh rohaniawan sekalipun? Tanyalah pada rumput bergoyang. Jangan gusar, semua dapat dijelaskan dengan logis dengan dasar hukum yang jelas. Di dalam kitab Manawa Darmasastra diwajibkan sebuah keluarga melakukan pemujaan hanya dengan dua kali yaitu pada pagi hari dan malam hari/sore hari. Pemujaan di pagi hari dikatakan sebagai penubusan dosa perbuatan di malam hari, pemujaan pada malam hari sebagai penubusan dosa perbuatan pada siang hari. Pemujaan dua kali ini yang lebih cocok dengan masyarakat kebanyakan. Ketentuan ini lebih banyak di praktikan di masyarakat. 

Bagaimana pula dengan mereka yang bahkan tak pernah sembahyang? Ini pun sebenarnya masih memiliki dasar hukumnya yaitu ada di dalam Bhagavad Gita. Ada empat jalan untuk mencari Tuhan yang disebut Catur Marga Yoga/Catur Yoga. Karma Yoga; berbhakti kepada tuhan dengan berbuat kebajikan di dunia, dengan berbuat sebagai tidak berbuat (bekerja dengan iklas). Janana Yoga; berbhakti kepada Tuhan dengan berkecimpung dibidang pengetahuan, khususnya pengetahuan rohani. Raja Yoga; berbhakti kepada tuhan dengan jalan Yoga/meditasi, Tapa brata dll. Bhakti Yoga; berbhakti kepada Tuhan dengan jalan Bhakti yaitu melayani kaki padma Tuhan dan melantunkan nama-nama suci Tuhan pada setiap saat dengan Ikhlas.

By: Mertamupu (Hukum Hindu)

Siwa Purana 1

Brahma berkata: “Ia yang dari-Nya kata-kata berasal, yang tidak bisa didekati bahkan oleh pikiran, Ia yang dari-Nya seluruh alam semesta termasuk Brahma, Wisnu, dan Rudra, para dewa lainnya, semua elemen, dan organ indera bersatu pada saat pertama kalinya. Ia adalah Mahadewa, yang maha tahu, penguasa alam semesta. Beliau hanya bisa dicapai dengan Bhakti yang penuh, dan tidak akan bisa dicapai dengan cara lain. (Siwa Purana, Vidyesvara Samitha III.12) 

Sloka ini di uraikan ketika para dewa bingung, siapa sebenarnya penguasa yang sebenarnya di alam semesta ini, baik dalam dunia rohani (alam niskala “sorga/ kahyangan, brahma loka”) maupun dunia material (alam sekala “planet-planet dan tata surya lainnya”). Oleh karena para Dewa dan para Rsi di kahyangan bingung maka para dewa dan para Rsi menanyakannya kepada Dewa Brahma, kemudian Brahma menjelaskan, seperti pada sloka diatas. Untuk mencapai beliau yang Maha tinggi hanya satu jalan untuk mencapai beliau yaitu Bhakti. 

Hal ini juga sejalan dengan sloka Bhagavad Gita. Dimana disebutkan ada empat jalan untuk mencari Tuhan (Catur Yoga), tetapi beliau hanya bisa dicapai dengan Bhakti Yoga. Bhakti yoga adalah istilah dalam agama Hindu yang merujuk kepada praktik pemujaan dengan tulus ikhlas kepada Tuhan maupun kepribadiannya (cermati konsep Nirguna Brahman dan Saguna Brahman). Memuja Tuhan tanpa motif, tanpa terikat oleh pahala, tanpa tujuan, tanpa permohonan. Hal inilah disebut sebagai Bhakti yoga marga. Memuja Tuhan hanya dimaksudkan sebagai rasa Bhakti dan kewajiban serta pelayanan kepada beliau dengan mencintai/mengasihi semua ciptaan-Nya.

By: Mertamupu (Hukum Hindu)

Rabu, 14 November 2012

Pengertian "Artha"


ARTHA, SIDDHARTHA & PARAMARTHA
Oleh: Sugi Lanus


Kata artha diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi harta atau arta yang berarti kekayaan (uang di dalamnya). Dikenal luas istilah arta benda yang bermakna berbagai benda kepemilikan. Berkembang pula ungkapan gila harta: mabuk kepayang lupa laut-daratan diperbudak nafsu menimbun kekayaan (duit); dan istilah gila harta sepadang dengan mata duitan, atau dalam ungkapan zaman sekarang kerap disebut matre! Apa sesungguhnya makna kata artha?

ARTHA dalam literatur SANSEKERTA

Dalam literatur Sansekerta, kata artha mengandung makna yang netral. Artha berarti tujuan. Simak saja gelar beliau yang tercerahi meraih kesempurnaan pikiran dalam samadi, beliau yang telah mencapai ke-buddha-an bergelar SIDDHARTHA (siddha+artha). Beliau yang terjapai dan terpenuhi (siddha) tujuannya (artha). Artha dalam konteks siddhartha adalah tujuan mulia kehidupan yaitu pencerahan bathiniah. Tujuan perjalanan sang roh, yaitu tercerahi atau moksa.

Demikian juga artha dalam Catur Purusartha (catur=empat; purusa=manusia, tertinggi; artha=tujuan). Penyusun Catur Purusartha adalah dharma, artha, kama, moksa. Jika digambarkan seekor burung; dharma dan artha berada di satu sayap, dan kama dan moksa adalah sayap lainnya. Ada kewajiban (dharma) dan tujuan (artha), ada getar energi (kama) dan keheningan tertinggi (moksa). Empat variable kehidupan itulah yang menjadi pilar-pilar penyusun dan sekaligus saran pembebasan manusia.

Śrīmad Bhāgavatam, 5.6.17, menyebutkan: parama-puruṣa-artham — bermakna the best of all human achievements. Parama=tertinggi, purusa=manusia, artham=pencapaian. Sebait kutipan itu berbunyi seperti ini: yasyām eva kavaya ātmānam avirataḿ vividha-vṛjina-saḿsāra-paritāpopatapyamānam anusavanaḿ snāpayantas tayaivaparayā nirvṛtyā hy apavargam ātyantikaḿ parama-puruṣārtham api svayam āsāditaḿ no evādriyante bhagavadīyatvenaivaparisamāpta-sarvārthāḥ

[Pelayan Tuhan selalu menyucikan diri dalam pelayanan kebaktian agar terbebas dari berbagai kesengsaraan eksistensi material. Dengan jalan ini, pelayan Tuhan menikmati kebahagiaan tertinggi (parama-puruṣārtham), dan pembebasan dipersonifikasikan(bahkan) datang untuk melayani mereka. Meskipun demikian, mereka tidak menerima layanan tersebut, sekalipun jika ditawarkan oleh Yang Maha Tinggi. Untuk pelayan Tuhan, pembebasan (mukti) menjadi tidak penting karena mereka telah mencapai mencapaian transendental melalui pelayanan kasih, mereka telah mencapai semua yang diinginkan dan telah melampaui semua keinginan material].

Bali dan Agama Tirta


Air, Agama Tirta dan Pariwisata Bali
Oleh Sugi Lanus*


Ada yang dilupakan oleh sebagian besar masyarakat Bali dalam menata pembangunan Bali, yaitu air. Air dalam sejarah peradaban Bali memiliki peran paling vital, baik secara spiritual maupun material. Teknologi irigasi tradisional, pola pengorganisasian pembagian air, ritual dan demokrasi dalam penjatahan air di daerah-daerah pertanian, telah mengkristal menjadi ”institut” subak. Ini menjadi kebanggaan kita semua orang Bali, sebagai sebuah hasil kearifan masyarakat Bali. Walaupun kalau kita jujur, sebagian dari kita tak banyak mengerti kearifan leluhur yang diwariskannya dalam tradisi subak, karena kaki dan tangan generasi kita kebanyakan tak pernah menyentuh lumpur sawah dan tegalan. Kita lebih akrab dengan jalan raya, pertokoan, pelataran hotel, sekolah pariwisata dan institusi-institusi modern.

Agama masyarakat Bali, sebelum kemerdekaan dan era keindonesiaan, oleh generasi 1920-an lebih condong disebut sebagai Agama Tirta. Bacalah kembali dialog-dialog dalam bentuk tulisan di majalah atau terbitan era itu, yaitu Surya Kanta, Jatayu, dan Bali Adnyana.

Dalam nama Agama Tirta ini, secara verbal sudah menyatakan bahwa air/tirta menduduki posisi paling hakiki, dan paling sakral. Hingga kini, kalau kita amati secara mendalam, adakah sebuah upakara/ritual di Bali yang bisa di-puput tanpa tirta? Tidak ada. Upacara selalu terkait dengan mata air, beji dan patirtan. Tak ada pewalian atau odalan tanpa rangkaian mendak tirta (menjemput tirta). Ini sebuah bentuk sublim penghargaan terhadap ibu. Ini bisa kita lihat dari roh suci yang menjaga sumber air dan sungai selalu feminin, bergelar Dewi, Ratu Ayu, atau Batari. Bukankah ini sebuah warisan “pelajaran gender” dan feminisme yang diturunkan dalam ritual?

Selasa, 13 November 2012

Pemaknaan Sembah Puyung


Sembah Puyung dan Puyung Maisi
BY SUGI LANÚS
Mataram, 7 Oktober 2010


Sembah Puyung adalah doa yang pertama (pembuka) dalam rangkaian Panca Sembah (5 puja-doa) yang bersifat “standar” dalam persembahyangan masyarakat Hindu-Bali.

Dalam Sembah Puyung kedua telapak tangan dan jari-jari dicakup di atas kepala. Tangan kosong. Orang Bali selama ini banyak yang keliru dan menyederhanakan: Disebut Sembah Puyung karena tangan kosong tanpa sarana bunga. Puyung memang mengandung makna kosong tapi sekaligus mencakup embang (sepi dan hening). Akibat ketakpahaman akan makna istilah Sembah Puyung, mereka kadang mengganti istilah Sembah Puyung menjadi: Sembah tanpa serana (sembah tanpa sarana). Maksudnya tanpa memakai sarana bunga. Keluh mereka yang tak paham, “Masak kita sembah kosong! Menyembah kosong?”

Orang lupa bahwa mantra Sembah Puyung: “Om àtmà tattwàtmà sùddhamàm swàha”.

Atma adalah esensi puyung (kekosongan/keheningan). Puji pada esensi keheningan diri (atma) yang menjadi pembuka doa Panca Sembah, lalu penutup Panca Sembah adalah Ngaturang Parama Shanti, berkulminasi pada shanti (kedamaian). Puyung dalam kontek sebuah ungkapan terdalam dalam masyarakat Bali: “Puyung Maisi” (Kosong berisi), atau dalam bentuk kalimat lain: Ngalih isin puyung (Menelisik isi sepi); membuat jelas bahwa Puyung bukan bermakna kosong melompong. Puyung adalah titik dimana berhentinya materi dan penampakan. Titik dimana kita diajak menjadi lebih mendalam. Menghayati yang tak tampak. Baik di dalam dan di luar diri.

Pemaknaan "Majejahitan" Pada Manusia Bali


Majejahitan: Pewarisan Kesadaran Estetika Manusia Bali
oleh Sugi Lanus
Karang Jasi, Cakranegara, 14  Nopember 2005


Setiap orang Bali, walaupun ia terlahir sebagai laki-laki, pasti pernah matanding atau majejahitan. Metanding adalah kegiatan untuk menyanding-nyandingkan atau menata berbagai bahan sesaji sehingga menjadi sebuah keutuhan sebuah banten (sesaji). Sementara majejahitan merupakan bagian dari matanding, yaitu menjahit janur dirangkai dengan berbagai bunga dan daun-daunan tertentu. Mejejahitan menghasilkan canang (merangkai janur dan warna-warni bunga dan daun). Canang dan berbagai hasil majejahitan dipersatukan dalam matanding menjadi banten. Walaupun jarang yang aktif, biasanya anak laki-laki dilibatkan juga dalam memetik bunga, memanjat kelapa, mencari janur, atau berbagai perlengkapan dalam tahap persiapan.

Bagi para ibu dan anak perempuan Bali, membuat untaian keindahan (majejahitan dan metanding) adalah “mata pelajaran pokok” dalam kehidupannya. Laki-laki mendampingi untuk mempersiapkan bahan-bahannya. Setiap hari diwajibkan untuk membuat canang atau tangkih untuk persembahan pagi atau sore. Canang adalah peraduan berbagai unsur-unsur keindahan. Berbagai jenis dan warna bunga, janur, dupa, beras, dstnya. Mereka dirangkai, dijahit, ditata atau ditanding menjadi sebuah kesatuan yang kita sebut canang. Kata canang mengandung arti persembahan. Persembahan atau canang kita adalah keindahan. Keindahan bentuknya dan tentunya juga keindahan hati pembuatnya.

Biasanya canang atau metanding (menata sesaji) dilakukan di atas meja. Atau tikar. Yang beruntung punya bale (bangunan khusus untuk matanding) mereka membuatnya disana. Janur dituas. Lalu dijahit dengan ketelitian yang tinggi. Berbagai bentuk kurva dan persegi. Di sini orang Bali diperkenalkan pada dimensi dan bentuk. Janur yang dijahit ini menjadi semacam penyangga bagi bunga-bunga yang dirangkai di atasnya. Dilengkapi berbagai kelengkapan tambahan sesuai kebiasaan atau tata cara keluarga atau desa bersangkutan.

Pengorbanan Sunahsepa, Putra Resi Ajigarta


Trisanku adalah salah seorang raja dari dinasti Surya. Putra Trisanku adalah Harischandra. Raja Harischandra mempunyai suatu masalah dan masalah tersebut hanya dapat terselesaikan apabila istrinya melahirkan seorang putra. Sang raja membuat perjanjian dengan Waruna, bahwa Waruna akan membantu sang raja mendapatkan seorang putra, tetapi setelah sang putra lahir, putra tersebut akan dipersembahkan kepada Waruna. Demikian kesepakatannya.

Ketika Rohita, sang putra lahir, sang raja mohon tenggat waktu kepada Waruna agar acara ritual pengorbanan “Narameda”, pengorbanan menggunakan manusia sebagai persembahan ditunda, menunggu sang bayi keluar giginya, agar persembahan bisa menjadi lebih sempurna. Saat gigi sang bayi sudah tumbuh, dan Waruna datang menagih janji, kembali sang raja mohon penundaan karena salah satu giginya sedang tanggal dan menunggu tumbuh. Demikian berkali-kali, sampai suatu saat sang raja mohon pengorbanan ditunda sampai sang putra dapat memakai senjata, agar pengorbanan menjadi lebih sempurna saat putranya menjadi seorang ksatria remaja.

Penundaan tersebut dilakukan penuh perhitungan agar Rohita cepat menjadi dewasa dan memahami keadaannya. Ada rasa penyesalan yang dalam di hati sang raja, mengapa harus mengorbankan putranya yang tidak tahu apa-apa. Masalahnya adalah perjanjian Waruna dengan dirinya, bukan dengan sang putra. Seandainya Rohita cepat memahami persoalan dan melarikan diri, maka dirinya siap menghadapi apa pun yang akan terjadi dengan sepenuh hati.

Raja Bhagiratha: Kisah Turunnya Sungai Gangga


Raja Bahuka dari dinasti Surya meninggal dan salah seorang istrinya akan masuk tempat pembakaran mayat. Sang istri dihentikan para resi karena mereka mengetahui bahwa ia sedang hamil. Isteri yang lain kemudian menjadi iri karena hanya dia yang hamil. Berarti hanya istri tersebut yang akan menurunkan seorang putra mahkota. Para istri Bahuka lainnya mencampur racun dalam makanan istri Bahuka yang sedang hamil tersebut. Harapan mereka gagal, sang anak tetap lahir dan menjadi putra mahkota. Dia dinamakan Sagara, dia yang beracun.

Sagara akhirnya menjadi maharaja dan melakukan ritual Aswamedha, ritual menggunakan kuda diikuti pasukan lengkap. Para raja yang tidak berani mengganggu kuda tersebut berarti menyatakan tunduk kepada maharaja. Mereka yang berani mengganggu akan langsung diperangi pasukan raja tersebut. Alkisah kuda yang dipakai sebagai ritual tersebut dicuri Dewa Indra dan diletakkan dalam gua tempat Resi Kapila bertapa. Para putra Sagara yang berjumlah 60.000 orang mencari jejak kuda dan akhirnya sampai ke gua Resi Kapila. Para putra raja merasa sangat marah karena ada orang yang berani mencuri kuda ritual Aswamedha. Mereka tersinggung, karena orang yang mencuri kuda tersebut berarti menantang maharaja. Mereka menemukan kuda yang dicari berada di belakang Resi Kapila yang sedang bertapa. Mereka berkata, “Lihat pencuri kuda ini, berpura-pura bertapa setelah mencuri kuda, mari kita bunuh dia beramai-ramai!” Dalam keadaan marah karena ada yang mengganggu acara Aswamedha, mereka tidak dapat melihat seorang Resi Suci yang mungkin tidak tahu permasalahannya. Resi Kapila yang terganggu tapanya, membuka mata dan sorotan mata sang resi membuat 60.000 putra Sagara menjadi debu. Bhagawan Abyasa, sang penulis menyampaikan bahwa kemarahan yang tak dapat dikendalikan akan membunuh diri sendiri.

Kisah Kasih Rantidewa


Dalam Dinasti Bharata ada seorang pangeran bernama Rantidewa. Ia mempunyai kekayaan yang tak terkira, tetapi ia selalu membaginya kepada orang yang membutuhkannya. Di balik materi yang dimiliki Pangeran Rantidewa, terdapat rasa kasih yang begitu besar. Semua harta benda yang diberikan kepadanya, dibagikan kepada mereka yang membutuhkannnya. Pangeran Rantidewa sudah tidak mempunyai rasa ‘aku’ dan ‘milikku’. Pangeran Rantidewa sudah mengalahkan egonya, jiwanya sudah tidak sakit. Gusti Hyang Maha Kuasa juga menganugerahkan kepadanya istri dan anak-anak yang memahami jiwa sang pangeran.

Dikisahkan ada suatu saat Pangeran Rantidewa pernah sudah tidak mempunyai apa pun juga. Pada saat itu tubuh pangeran Rantidewa sangat lemah. Sudah empat puluh delapan hari sang pangeran tanpa memiliki suatu apa pun. Bahkan tidak ada makanan yang tersedia di depan Pangeran Rantidewa beserta isteri dan anak-anaknya. Yang tersisa pada sang pangeran hanya rasa kepuasan diri setelah membantu mereka yang membutuhkan bantuan.

Pada hari keempat puluh sembilan, dikisahkan sang pangeran memperoleh makanan. Setelah selesai berdoa dan bersiap untuk  makan, seorang brahmana datang meminta makanan. Rantidewa berkata kepada dirinya sendiri, “Hyang Widhi ada di mana-mana dan sekarang Ia telah datang kepadaku meminta makanan. Merupakan kebahagiaan bagi diriku untuk dapat melayani Hyang Widhi di balik wujud sang brahmana.” Dan, sebagian makanan diserahkan kepada tamunya. Kemudian,  isteri dan anaknya mendapatkan sebagian.

Raja Saudasa: Perjuangan mencari kesadaran


Raja Saudasa putra Raja Bhagirata adalah raja yang adil dan bijaksana. Pada suatu hari dia pergi berburu di hutan, bertemu dengan seorang raksasa dan membunuhnya. Pada saat dia kembali ke istana dia tidak sadar bahwa ada saudara raksasa tersebut ingin membalas dendam kepadanya dan kemudian masuk ke istana menyamar sebagai seorang juru masak istana.

Pada suatu ketika Wasistha. Guru Saudasa datang berkunjung dan sang raja menawari gurunya untuk makan bersama. Sang raksasa yang menjadi juru masak istana, memasak daging manusia untuk makanan yang disajikan kepada Resi Wasistha. Resi Wasistha murka kala tahu bahwa dia disuguhi makanan dari daging manusia dan kemudian mengutuk sang raja bahwa tidak sepantasnya seorang raja menyuguh gurunya daging manusia, hanya seorang raksasa yang berbuat demikian. Kemudian Resi Wasistha sadar bahwa mungkin saja sang raja tidak tahu bahwa yang disuguhkan adalah daging manusia, mungkin saja hal tersebut adalah kesalahan juru masaknya. Oleh karenanya Resi Wasistha mengubah kutukan sehingga sang raja akan menjadi raksasa selama 12 tahun.

Raja Saudasa merasa tersinggung karena tidak merasa bersalah, dan mengambil air dan siap untuk ganti mengutuk Resi Wasistha. Adalah permaisuri raja, Madayanti yang mengingatkan bahwa tak baik mengutuk seorang guru. Mungkin saja di kehidupan dahulu sang raja pernah berbuat salah sehingga dalam kehidupan ini harus menyelesaikan hutang karma. Dengan mengutuk maka sang raja akan membuat karma baru lagi sehingga hutang karmanya tak pernah terselesaikan dan bahkan akan mendapatkan anak keturunan yang kurang baik. Sang raja sadar bahwa peringatan istrinya ada benarnya sehingga dia mengurungkan mengutuk gurunya dan airnya dijatuhkan ke kakinya. Kakinya menjadi hitam, gelap sehingga sang raja mendapat nama “Kalmasapada”, kaki malam.

Senin, 12 November 2012

Kisah Raja Pururawa: sebuah kehendak yang kuat


Pururawa adalah putra Buddha dari dinasti Chandra denga Ila dari dinasti Surya. Pururawa terkenal mempunyai ketampanan seperti Soma, sang kakek akan tetapi mempunyai kebijaksanaan seperti Buddha, sang ayah. Dikisahkan Dewaresi Narada sedang bercerita tentang kebaikan dan ketampanan Raja Pururawa, ketika seorang bidadari cantik Urwasi menjadi jatuh cinta kepada sang raja.

Pada saat Pururawa ketemu bidadari Urwasi mereka saling jatuh cinta. Akan tetapi Urwasi mengajukan dua syarat kepada Pururawa yang berniat mempersuntingnya. Pertama, Urwasi mempunyai kambing kesayangan yang harus dilindungi. Kedua Urwasi tidak boleh melihat sang raja telanjang, kecuali saat mereka sedang bercinta saja. Pururawa menyanggupi dan jadilah mereka suami istri yang bahagia.

Adalah Dewa Indra yang selalu mengganggu ketenangan hidup manusia. Mungkin bukan mengganggu tetapi menguji apakah manusia selalu berada dalam kesadaran, atau sekali waktu masih menuruti pancaindra, pikiran dan perasaannya. Dikisahkan bahwa setelah beberapa bulan, Indra merasa surga menjadi muram dengan kehilangan Urwasi dan Indra berusaha mengembalikan Urwasi ke surga. Pada suatu ketika, sewaktu Pururawa dan Urwasi tidur nyenyak, datang para gandharwa utusan Indra untuk mengambil kambing Urwasi. Sang kambing mengembik karena ditarik dengan paksa. Urwasi berteriak bahwa ada pencuri yang mengambil kambing kesayangannya. Dalam keadaan buru-buru Pururawa mengambil senjatanya dan meloncat keluar dalam keadaan telanjang. Urwasi melihat suaminya dalam keadaan telanjang dan sebagaimana janjinya dahulu, maka dia menghilang. Para gandharwa segera melepaskan melepaskan sang kambing, tetapi Urwasi telah lenyap.

Kisah Raja Gadhi dan Resi Ruchika


Raja Gadhi adalah generasi ke 14 dari keturunan Raja Pururawa. Sang raja sudah lama belum mempunyai putra, walau sudah mempunyai putri seorang gadis bernama Satyawati. Adalah seorang resi bernama Ruchika yang merupakan resi besar anak keturunan Resi Brighu putra Brahma, melamar sang putri. Sang raja menyetujui asalkan sang resi dapat memberikan 1.000 ekor kuda putih yang telinganya berwarna hitam sebagai mas kawin. Resi Ruchika bertapa dan meminta kepada Waruna, raja samudra untuk membantunya. Dengan bantuan Waruna, sang resi berhasil membawa persyaratan tersebut dan dia menjadi suami dari Satyawati.

Pada masa itu, para resi dipandang sebagai manusia terhormat yang tidak begitu terikat dengan keduniawian dan tugasnya mengajar manusia ke arah kebaikan. Sedangkan para ksatria dan para raja yang berkuasa pada masa itu sering menyalahgunakan kekuasaannya. Raja Gadhi sendiri adalah seorang raja yang bijaksana yang dihormati para resi dan seluruh rakyatnya.

Kedua ibu dan anak, Permaisuri Raja Gadhi dan Satyawati, minta tolong Resi Ruchika, suami Satyawati agar dapat membantu mereka memperoleh putra. Resi Ruchika kemudian mempersiapkan dua mangkuk berisi air untuk diminum istrinya dan ibu mertuanya. Kemudian sang resi pergi ke sungai melaksanakan ritual doa saat matahari mulai tenggelam.

Kendali Kemarahan


Kemarahan tanpa kendali akan menghancurkan diri sendiri. Saat seseorang marah, ia mengaktifkan beberapa kelenjar dalam tubuhnya. Hal ini menyebabkan terjadinya kelimpahan adrenalin dan beberapa hormon stres yang lain, dengan efek-efek yang nyata pada fisik Anda. Wajah menjadi merah, tekanan darah semakin tinggi, nada suara kita menjadi tinggi, pernafasan kita menjadi cepat, detak jantung tidak teratur dan otot-otot kaki maupun tengan mulai tegang. Seluruh tubuh kita merasakan perubahan semacam ini. Apabila seseorang sering marah, keadaan itu akan berulang terus dan pada akhirnya dapat menimbulkan masalah-masalah kesehatan yang serius. Situasi seperti ini dapat menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit seperti tekanan darah tinggi, stroke, penyakit jantung, maag, dan lain sebagainya. Karena itu, demi kebaikan Anda sendiri, hendaknya Anda mengendalikan emosi kemarahan ini.

Ada tiga cara untuk menangani kemarahan. Yang pertama adalah dengan cara mengekspresikannya. Para ahli ilmu berpendapat bahwa ini adalah cara yang terbaik. Dengan menyatakan atau mengekspresikan kemarahan, kita membagi beban pikiran kita dengan orang lain dan karena beban atau sebagian beban itu terangkat dari kita, kita lalu merasakan ketenteraman. Pendapat itu memang benar, namun keadaan semacam ini tidak langgeng. Kita tidak pernah bebas dari kegelisahan. Pada akhirnya, kemarahan menjadi kebiasaan dan Anda menjadi budak amarah. Anda menjadi budaknya dan amarah adalah atasan yang kejam. Saya pernah mendengar tentang seorang ibu yang membakar anaknya hanya karena marah.

Cara kedua adalah dengan menahan atau menekan kemarahan. Ini pun tidak bagus, karena menekan kemarahan hanya memaksanya untuk menjadi bagian dari alam bawah sadar kita, dan dapat membahayakan kita. Cara ketiga dan cara yang benar adalah dengan memaafkan. Maafkan dan bebaskan diri Anda dari kegelisahan! Setiap malam sebelum tidur, renungkan kembali sejenak kejadian-kejadian sepanjang hari yang telah Anda lalui. Apakah ada seseorang yang menipu Anda? Apakah ada yang menyinggung perasaan atau menghina Anda? Kalau ada, ucapkan namanya dan katakan, “Sdr. X, saya maafkan Anda.”

Jumat, 09 November 2012

Kisah Parashurama


Renuka adalah istri dari Resi Jamadagni, Resi Besar dari Dinasti Bhrigu. Renuka mempunyai putra empat orang akan tetapi kesemuanya tidak mempunyai karakter kesatria. Padahal Satyawati, ibu mertuanya menceritakan bahwa salah seorang putranya akan mempunyai karakter seorang ksatria sejati. Pada saat itu Renuka mengandung calon putra yang kelima, para resi datang menyampaikan berita bahwa putranya akan menjadi brahmana yang bersifat kesatria dan akan membersihkan dunia dari para kesatria yang telah berkubang dalam tindakan adharma. Pada saat itu para kesatria yang menjadi penguasa yang seharusnya melindungi rakyat, malah menindas rakyatnya. Akhirnya putra kelima lahir diberi nama Rama, yang bermakna Dia Yang Berada di Mana-Mana. Setelah besar dia dikenal sebagai Parashurama, karena dia bersenjatakan “parashu”, kapak. Dia juga dikenal sebagai Rama Barghawa karena merupakan keturunan dari Dinasti Bhrigu. Sejak kecil sudah diramalkan para resi bahwa dia adalah awatara, Sang Pemelihara Alam yang mewujud untuk menegakkan dharma.

Dunia selalu berubah dan Sang Pemelihara Alam juga mengubah wujudnya dalam menegakkan dharma. Dia mewujud sebagai ikan, binatang air – Matsya Awatara, sebagai kura-kura, binatang amphibi – Kurma Awatara, dan mewujud sebagai babi raksasa, binatang berkaki empat – Waraha Awatara. Kemudian mewujud sebagai setengah binatang dan setengah manusia – Narasimha Awatara. Selanjutnya Sang Pemelihara Alam mewujud sebagai Brahmana pada waktu menjadi Wamana Awatara. Kemudian kala mewujud sebagai Parashurama adalah sebagai Brahmana dengan karakter ksatria. Nantinya Sang Pemelihara Alam akan mewujud sebagai ksatria untuk menegakkan dharma sebagai Rama dan Krishna. Dan kemudian sebagai Buddha yang lahir sebagai ksatria tetapi kemudian menjadi brahmana.

Kisah Pertobatan Nahusa


Pururawa mempunyai Putra bernama Ayu. Dan Nahusa adalah putra Ayu yang menggantikan tahta sebagai raja. Nahusa adalah seorang raja yang baik dan bijaksana. Kekayaannya tak terukur dan wilayah kekuasaanya sangat luas. Nahusa melakukan beberapa yajna dan sudah dianggap setara dengan Indra.

Pada saat Indra membunuh Brahmana Asura Wiswarupa yang pernah membantu para dewa, hanya karena sebagai asura dalam pemujaannya mendahulukan asura daripada dewa, maka Indra telah melakukan Brahmahatya, pembunuhan brahmana. Dikisahkan Indra berbagi akibat kesalahan membunuh seorang brahmana kepada tanah, air, pohon dan wanita. Karena itu sebagian tanah menjadi gurun, sebagian pohon mengeluarkan getah yang dilarang diminum, sebagian air saat menjadi gelembung tidak dapat dimanfaatkan, dan wanita tak tersentuh saat periode datang bulannya. Selanjutnya pada saat Indra membunuh Writra seorang brahmana asura titisan dari Raja Chitraketu yang berjiwa besar, maka kesalahan Indra sangat besar. Bumi tidak lagi sanggup menanggung kesalahan Indra seperti kala membunuh Wiswarupa. Para resi menyampaikan kepada Indra, bila dia melakukan ritual Aswamedha maka kekhawatiran akan hilang. Apalagi Indra membunuh demi kebaikan.

Kisah Raja Yayati


Resi Sukra adalah Guru dari Raja Asura Warsaparwa. Dewayani putri Resi Sukra berteman dengan Sarmishta putri Raja Warsaparwa. Pada suatu hari mereka dengan beberapa temannya mandi di sungai. Mendadak angin besar bertiup yang membuat pakaian mereka mulai terbang. Para gadis segera naik ke pinggir sungai mengejar pakaiannya dan segera pulang sambil berlari. Tanpa sadar Dewayani bertukar baju dengan Sarmistha. Kemudian terjadilah keributan, Dewayani menganggap Sarmishta tidak sopan karena seorang asura mengapa berani memakai pakaian putri seorang brahmana. Padahal sang brahmana, Resi Sukra adalah Guru dari raja asura. Karena dibimbing Resi Sukralah  maka kaum asura menjadi jaya. Sarmishta tidak menerima Dewayani menghina ayahandanya dengan mengatakan, bahwa bagaimanapun ayahnyalah yang memberi makan sang resi, sehingga sang resi dapat diibaratkan sebagai seorang pengemis. Mereka adu mulut, dan karena angin bertambah besar Sarmistha berlari duluan pulang. Sedangkan Dewayani yang berlari dalam keadaan angin yang bertiup semakin kencang, kemudian  terperosok masuk ke dalam sumur.

Pada hari itu Raja Yayati putra Raja Nahusa sedang berburu. Dan, tanpa sadar sang raja  mengendalikan kudanya menjauh dari rombongannya. Ketika sampai pada sebuah sumur, dia mendengar suara perempuan terisak-isak. Ditolongnya perempuan cantik tersebut yang mengenalkan diri sebagai Dewayani, putri Resi Sukra. Ketika sang raja mau pergi, Dewayani menangis. Dewayani mengatakan bahwa dia adalah seorang perawan dan sang raja telah menolongnya keluar sumur dengan memegang tangan kanannya. Sudah seharusnya sang raja menjadi suaminya. Raja Yayati bingung, Resi Sukra adalah seorang mahaguru yang dihormati tiga dunia. Raja Asura Warsaparwa, dirinya sebagai raja manusia dan Indra sebagai  raja dewa pun menghormati Resi Sukra. Sang raja berkata bahwa dia tidak berani menjadi suami Dewayani sebelum Resi Sukra mengizinkannya. Sang Raja takut apabila Resi Sukra tidak berkenan dia akan terkena kutukannya.

Kisah Puru: Putra Yayati


Raja Yayati mengalami ketuaan karena kutukan Resi Sukra yang tersinggung karena sang raja yang sudah menjadi menantunya mengabaikan nasihat sang resi untuk tidak menikahi Sarmishta. Resi Shukra menyatakan bahwa penyakitnya bisa sembuh bila ada salah seorang putranya yang sanggup menukar kemudaannya dengan ketuaan sang raja. Raja Yayati kemudian mendatangi para putranya. Pertama Yayati mendatangi Yadu putra sulung hasil perkawinannya dengan Dewayani. Yadu berkata, “Ayahanda, aku ingin melaksanakan tugas sehari-hari dengan baik. Apa yang akan terjadi saat rambutku memutih dan tenagaku lemah? Umur tua tidak menyenangkan Ayahanda dan aku tidak mau bertukar usia dengan Ayahanda!” Kemudian Yayati mendatangi Turwasu, putra keduanya. Turwasu berkata, “Tidak Ayahanda, aku tidak ingin umur tua menghilangkan kekuatanku dan ketampananku!” Yayati kemudian mendatangi Druhyu dan Anu, putra sulung dan putra kedua dari perkawinannya dengan Sarmistha. Akan tetapi keduanya juga menolak menukar usia mudanya dengan usia tua ayahandanya. Ketika Yayati mendatangi putra bungsu dari perkawinannya dengan Sarmistha, dia sudah siap menerima penolakannya dan berupaya akan menerima usia tuanya dengan sebaik-baiknya.

Raja Yayati menemui Puru, putra bungsunya. Sang raja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sejak pertemuannya dengan Dewayani dan Sarmishta, sampai dirinya dikutuk oleh Resi Sukra menderita penyakit tua dan hanya akan kembali muda bila ada seorang putranya yang sanggup menukar usia mudanya dengan ketuaan dirinya. “Putraku aku telah menjelaskan semuanya kepadamu, agar kamu dapat menarik hikmah dari kejadian yang telah kualami.” Tidak ada yang perlu disesali, semuanya sudah terjadi, yang penting tidak diulangi. Keinginan-keinginan duniawiku membuat siklus hidupku semakin panjang. Aku tidak begitu berhasrat lagi untuk memintamu menggantikan diriku menerima kutukan Resi Sukra. Aku akan menerimanya dan sisa waktuku yang lebih sedikit akan kugunakan untuk bertapa.”

Kisah Dusyanta: Leluhur Pandawa


Raja Dusyanta adalah salah seorang raja bijaksana dari dinasti Puru. Dia dihormati seluruh rakyatnya. Pada suatu kali dalam perjalanan inspeksi di wilayah kerajaannya, sang raja mampir ke pertapaan Resi Kanwa. Raja Dusyanta bertemu dengan seorang putri cantik yang memperkenalkan diri sebagai putri angkat Resi Kanwa. Shakuntala adalah putri dari Rajarishi Kausika dengan Bidadari Menaka. Rajarishi Kausika melanjutkan pertapaannya untuk mencapai derajat Brahmarishi. Dan, nantinya Sang Rajarishi akan mencapai Brahmarishi bergelar Resi Wiswamitra. Pada suatu hari Menaka harus kembali ke kahyangan dan meninggalkan bayi perempuan kecil di dekat pasraman Resi Kanwa, sahabat dari Rajarishi Kausika. Resi Kanwa menemukan bayi perempuan kecil ditemani burung-burung shakunta, maka anak tersebut diberi nama Shakuntala dan diangkat sebagai putri angkatnya.

Raja Dusyanta berbahagia kala mendengar bahwa Shakuntala adalah putri Rajarishi Kausika. Dusyanta melamar sang putri menjadi istrinya dan berjanji putra mereka akan menjadi putra mahkota. Shakuntala meminta agar mereka menunggu kepulangan Resi Kanwa, tetapi sang raja terus mendesaknya. Karena kedua hati telah bertaut, maka mereka mengadakan perkawinan secara gandharwa. Pada masa itu seorang kesatria diperbolehkan kawin secara gandharwa. Setelah beberapa lama, Raja Dusyanta kembali ke istana dengan rasa penuh ketakutan terhadap Resi Kanwa. Ada beberapa senjata yang paling ditakuti orang di masa itu, senjata raja adalah pasukannya, sedangkan senjata resi adalah kutukannya. Resi Kanwa datang setelah Raja Dusyanta pergi. Shakuntala masuk kamar, malu menemui ayah angkatnya. Dengan mata batinnya, sang resi paham apa yang telah terjadi. Sang resi berkata, “Shakuntala, aku tidak marah, aku merestui perkawinanmu. Dusyanta adalah raja besar yang adil bijaksana. Ia raja terbaik. Kamu akan menjadi ibu dari putra yang akan menjadi maharaja agung.”

Tahun demi tahun berlalu, Sarwadamana, sang putra menjadi besar dan nampak aura kewibawaan yang memancar darinya.  Tetapi Dusyanta belum datang juga. Shakuntala merasa waktu berjalan sangat lambat.

Kamis, 08 November 2012

Kisah 8 Wasu dan Kelahiran Dewabrata


Ada seorang raja agung di bumi bernama Mahabhishak. Sang raja pernah ke istana Dewa Indra untuk mendapat penghargaan. Kala itu Dewi Gangga, seorang bidadari datang ke istana dan terpesona oleh ketampanan sang raja. Indra berkata, “ Sesungguhnya kamu seorang penghuni kahyangan, akan tetapi kamu menyenangi wajah manusia. Oleh karena itu kamu harus lahir ke dunia dan menjadi pasangan raja ini dalam kelahiran berikutnya”. Dalam kegalauan hatinya, Dewi Gangga berjumpa dengan delapan Wasu, delapan dewa yang mewakili unsur-unsur alam. Mereka adalah Agni-api, Prithwi-bumi, Wayu-angin, Antariksha-atmosfir, Aditya-Surya, Dyaus-langit (kadang disebut Prabhasa-fajar), Chandra-Bulan, Nakstrani-bintang-bintang (kadang disebut Dhruwa-bintang kutub). Mereka berkata bahwa mereka dikutuk Resi Wasistha sehingga mereka harus lahir di bumi.

Para Wasu sedang menikmati perjalanan di hutan, kala istri Dyaus melihat seekor sapi yang sangat elok. Sang istri membujuk Dyaus, suaminya untuk mencurinya dengan bantuan Raja Prithu. Ketujuh Wasu yang lain tidak mengingatkan dan membiarkan saja terjadinya pencurian tersebut. Akan tetapi sapi tersebut ternyata milik Resi Wasistha, dan sang resi tahu bahwa para Wasu telah mencuri sapinya. Kedelapan Wasu kemudian dikutuk harus lahir ke dunia. Para Wasu kemudian mohon maaf dan Resi Wasistha meringankan kutukannya. Tujuh dari Wasu akan bebas dari kelahiran di bumi dalam tahun kelahirannya, sedangkan Wasu Dyaus harus menerima hukuman penuh dan dia di bumi akan disebut Dewabrata, bhakti seorang dewa. Brata bisa berarti bhakti atau janji. Kesalahan 7 Wasu adalah mengetahui pencurian sapi, tetapi tidak mengingatkan dan membiarkan Wasu Dyaus mencurinya. Kesalahan tersebut dapat diperingan sehingga setelah kelahiran di bumi, pada tahun itu juga bisa kembali ke kahyangan. Sedangkan kesalahan Wasu Dyaus adalah mencuri sapi dengan mengikuti keinginan isterinyanya. Sehingga Wasu Dyaus dihukum harus hidup di bumi sebagai manusia sampai meninggalnya.

Para Wasu minta tolong kepada Dewi Gangga, “Bunda Mandakini, mohon melakukan tindakan kebaikan kepada kami. Kami mohon dilahirkan sebagai putramu, akan tetapi kami ngeri memikirkan untuk hidup di dalam dunia. Oleh karena itu, buang kami ke sungai Gangga, setelah Bunda melahirkan kami. Tindakan tersebut akan membuat kami memenuhi kutukan yang telah diberikan kepada kami. Dewi Gangga menyetujui permintaan para Wasu.

Kisah Resi Wiswamitra sang Brahmarsi


Resi Wiswamitra dan Resi Wasishta adalah Guru-Guru Sri Rama.  Seorang awatara pun pernah berguru ketika masih muda. Demikian pula seorang resi. Resi Wiswamitra berjuang tanpa kenal lelah untuk meningkatkan kesadaran. Seorang pandai besi pembuat pisau juga memilih baja yang baik untuk membuat pisau yang tajam.  Logam yang lembek tak memiliki potensi menjadi sebuah pisau yang tajam. Demikian pandangan Resi Wasishta terhadap Raja Kausika, nama Resi Wiswamitra sebelum menjadi resi.
Alkisah pada suatu hari, putra mendiang Raja Gadhi bernama Raja Kausika dari dinasti Brighu, yang masih terhitung kakek dari Rama Bargawa atau Awatara Parasurama, beserta pasukannya mengunjungi Resi Wasishta. Mereka dijamu Resi Wasishta dengan hidangan berlimpah. Raja Kausika heran bagaimana caranya Resi Wasishta dapat menyiapkan hidangan begitu nikmat yang mencukupi kebutuhan pasukannya. Kemudian Resi Wasishta memanggil lembu Ilahi Sabala yang merupakan sumber segala kebutuhan yang tak ada habisnya, dan menjelaskan ke Raja Kausika bahwa Sagala lah yang menyediakan hidangan tersebut.
Raja Kausika berkata, “Wahai Resi, lembu ini lebih bermanfaat bagi kerajaan daripada berada di ashram pedesaan, biarlah lembu ini saya bawa ke istana.” Selanjutnya, Raja Kausika memerintahkan para prajuritnya menyeret Sabala. Keinginan untuk memiliki Sabala, dan keinginan untuk mempertahankan kenikmatan dari Sabala, membuat Raja Kausika lupa diri dan mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa istana lebih butuh Sabala daripada ashramnya Resi Wasishta.
Lembu Sabala meneteskan air mata, dia sangat sedih, mengapa Resi Wasishta yang sudah dianggap sebagai orang tuanya melepaskan dia begitu saja mengikuti sang raja. Tergerak oleh rasa kasih, Resi Wasishta berkata, “Sabala keluarkan pasukan untuk mengalahkan pasukan Raja Kausika.” Singkat cerita pasukan Raja Kausika mengalami kekalahan telak dari pasukan ciptaan Sabala.
Raja Kausika merasa malu, ternyata kekuatan seorang raja tidak dapat mengalahkan kekuatan seorang resi. Raja Kausika pulang ke istana, menyerahkan kekuasaan kepada putranya dan bertapa mohon senjata dari Bathara Guru, Dewa Shiwa. Dengan panah Bramastra anugerah senjata dari Dewa Shiwa, Raja Kausika kembali mendatangi padepokan Resi Wasishta. Dengan panahnya padepokan tersebut dihancurkan menjadi abu dan akhirnya berhadapanlah Raja Kausika dengan Resi Wasishta.
Akan tetapi panah Bramastra pun terserap ke dalam gada Brahmadanda dari Resi Wasiahta. Kembali Raja Kausika menderita kekalahan dan kembali bertapa ribuan tahun agar dapat menjadi seorang resi menandingi Resi Wasishta.

Kisah Resi Sukra


Sri Rama bertanya kepada Resi Wasishtha, “Guru, wujud dari Bimbingan dan Kasih Sang Pencipta yang dianugerahkan Keberadaan kepadaku,  mohon diterangkan bagaimana seseorang dapat menikmati kenikmatan surgawi, padahal semuanya tersebut pada hakikatnya hanya berupa ilusi pikiran.” Resi Wasishtha tersenyum kepada Sri Rama yang masih remaja, dan mulailah dia bercerita tentang Resi Sukra.
Pada suatu hari, Resi Bhrigu bertapa di pegunungan Mandrachal yang sejuk dan indah. Sukra, putra Resi Bhrigu yang beranjak dewasa, menjaga dan melayani keperluan ayahnya dan duduk bersila di dekatnya. Sewaktu Resi Bhrigu nampak terserap dalam samadhinya, Sukra menyingkir ke tempat yang tenang dan mulai mengatur napasnya.
Dalam rasa penuh damai, Sukra, sang remaja memperhatikan langit yang begitu indah. Awan putih nampak menari perlahan dengan penuh kelembutan. Tiba-tiba, kedua matanya terbeliak. Dia menyaksikan bidadari yang sangat cantik terbang dengan penuh gemulai di angkasa. 
Dengan memejamkan matanya, Sukra membayangkan betapa berbahagianya dapat hidup bersama sang bidadari tersebut. Seakan-akan seperti dipandu instruktur, Sukra merasa dirinya setengah melayang dan mencapai surga yang dipenuhi pohon kalpa. Sukra merasa berjalan-jalan di surga dan untuk melupakan sang bidadari, dia berpikir tentang Indra, yang kemudian mempersilahkannya masuk ke taman surga dan tinggal beberapa hari di sana.
Sukra terserap imaginasinya dan melupakan tubuhnya. Sesuai hukum ketertarikan, ibarat magnet, apa yang menjadi obsesi pikiran siang dan malam akan mendekati dirinya. Pada suatu hari saat berjalan-jalan di taman Sukra melihat sang bidadari impiannya sedang bercanda dengan teman-temannya. Wishwachi, demikian nama sang bidadari tersebut. Sukra dan Wishwachi saling pandang dan saling jatuh cinta pada pandangan pertama, semuanya berjalan sesuai dengan ilusi di benak Sukra. Keduanya langsung dimabuk asmara dan menghabiskan waktu di bawah pohon kalpa dan menikmati taman surga selama 32 Yuga.