Kamis, 31 Januari 2013

Lontar Kala Tatwa


Om Awighnamastu

Nihan Kala Tatwa nga, indik Bhatara Kala duk sira wahu mijil. Caritan Bhatara Siwa sareng swaminida Bhatarì Girìputri lungha nulu sagara.

Ndah tan dwa prapta ring luhur ing samudra. Tan dwa kasmaran Bhatara Siwa ahyun asanggama ring rabhi Sang Hyang Girìputri. Tan kahyun Ida Siwa ahyun asanggama ring rabhi Sang Hyang Girìputri. Tan kahyun Ida Bhatarì, eling ring paragan ing Hyang.

Dadya ta wirosa Bhatara Siwa. Umatura Bhatarì; ”Uduh pukulun aja mangkana, dudu polah ing Hyang”. Ling Bhatara; ”Singgih Bhatarì aja sira mangkana, apan tan siddha inandetan ikang indriya yan tan aweh tan suka aku”.

Tan dwa pada rosa-wirosa. Durung tutug ing citta Bhatara, dadi mijil ikang kama tiba ring sagara. Kunang Bhatara mantuka maring swarga, sahardhanareswarì nira.

Tan caritanan Ida Bhatara lawan Bhatarì. Ndan tucapa sira Sang Hyang Brahma Wisnu andulu ikanang kama, katon ocak ikang samudra, neher sira mayoga sareng kalih. Tan dwa kumpul ikang kama dadi marupa raksasa agung kabinawa, tan kabina-bina rupa. Irika malayu Bhatara Brahma Wisnu.

Tan caritanan ri palakun ira ikang raksasa arep sira wruh ring yayah-rena. Kadeleng ikang samudra sunya. Kadeleng mangetan sunya. Mangidul sunya. Mangulwan sunya. Mangalor sunya. Maring sor sunya. Maring luhur sunya.

Tandwa makrak ikang raksasa masinghanada, gumeter ikang nagara, menggang-menggung tang swarga kabeh. Tadwan mijil prawatek Dewata Nawasangha kabeh, katon tikang danuja agung krura rupa, makrak manggrang masinghanada. Tadwan muntab krodhan ira Bhatara watek Dewata Nawasangha kabeh, teher mapag i mamanuhi. Karebut ikang raksasa dening Dewata kabeh. Tan wikara mwah ikang danuja, neher sira umatur. ”Ah ah bhagya ko kapangguh aja sira amrang ngong, ngong aminta bener?”.

Ling Dewata: ”Ah ah mami, aja sira akweh ujar, apan sira danuja lwih murkha tan urung sing ko mati”. Neher sira maprang. Tandwa kapes ikang Dewata binurunia, kabalasan watek Dewata kabeh pada umungsi jeng ira Bhatara Siwa.

Sekilas Tentang Cuntaka


CUNTAKA

I.                   Arti Cuntaka
Cuntaka maarti nenten suci manut pandangan Hindu. Sane mawasta nenten suci inggih punika keadaan sane ngeranayang goyah, nenten tenang, nenten mantep ngelaksanayang upacara Agama Hindu.

II.                Sane Ngeranayang Cuntaka/ Sebel:
1.      Seda/ padem (kematian)
2.      Wiwaha (perkawinan)
3.      Ngembas rare (melahirkan)
4.      Kruron (menggugurkan)
5.      Sebel kandel (kotor kain)
6.      Mitra ngalang (kumpul kebo)
7.      Agamya gamana/ salah timpal
8.      Sakit ila/ gering agung
9.      Bobot tan maduwe laki
10.  Lekad rare tan maupakara wiwaha
11.  Cilaka (tan dados menek bajang)
12.  Cuntaka ngelarang Sad Atatayi
13.  Cuntaka manak salah
14.  Cuntaka menolong kematian
15.  Cuntaka melayat/ mejenukan

Tios ring punik wente taler mawit buron, kayu muwah tiosan, minakadi:
1.   Ubuan sampi, kebo, kambing, celeng, yan masuk genah suci, taler ngeranayang letuh/ cuntaka. (Yening anggen upacara nenten ngeletehin.)
2.      Kayu/ entik-entikan sane mentik ring setra, sander kilap taler leteh.
3.      Bunga sane mentik ring setra, bunga Sari Lonto, Sungenge taler leteh.
4.      Alat-alat/ pangangge kematian taler leteh.
5.      Pangangge anak sebel kandel taler leteh, muwah sane tiosan.

Rabu, 30 Januari 2013

SEKILAS TENTANG SUDHIWADANI



Oleh: Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa

Pada zaman global kini saya melihat beberapa tantangan akan dihadapi warga Hindu di Indonesia, tak terkecuali di Bali. Untuk itu, orang Hindu harus mampu memberikan jalan keluar cerdas sehingga aturan agama tetap teguh dijalankan. Di sisi lain keinginan orang lain memeluk Hindu pun tak patut dihalangi. Sehubungan dengan tantangan ke depan inilah saya ingin menanyakan beberapa hal kepada Ida Pandita.
1. Ada wanita pemeluk Hindu melangsungkan perkawinan dengan orang Barat yang non-Hindu. Pasangan ini menikah di negeri Barat lewat prosesi upacara bukan Hindu. Jika kedua mempelai sepakat tinggal di Bali dan memilih ikut agama Hindu, kemudian memiliki anak, bagaimana supaya anaknya bisa diupacarai layaknya warga Hindu di Bali?
2. Ada wanita Hindu kawin dengan orang Barat dan menikah di negeri Barat juga dengan cara non-Hindu. Seandainya pasangan ini bercerai dan si wanita bersama anaknya memilih tinggal di Bali, bagaimana agar anaknya bisa diupacarai secara Hindu di Bali?
3. Bila wanita Bali mempunyai anak di luar perkawinan (berdasarkan hasil kumpul kebo) dengan orang Barat, bagaimana cara supaya si anak ini bisa diberikan upacara yang lengkap sebagai orang Hindu Bali?
4. Jika ada wanita Bali memiliki anak di luar perkawinan (hasil hubungan kumpul kebo) bersama orang Barat, tapi saat ini pasangan itu sudah pisah. Bagaimana caranya agar anaknya bisa diberikan upacara yang lengkap sebagai orang Hindu Bali?
Itulah beberapa persoalan yang saya lihat dan tak mustahil akan terjadi di Bali atau dialami oleh orang Bali.


Lembaga umat Hindu, seperti Parisada, sudah memutuskan dan menetapkan proses yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang berkeinginan memeluk agama Hindu. Aturan tersebut, antara lain, diatur dalam keputusan Mahasabha Parisada. Proses yang dilakukan sesuai dengan pertanyaan Saudara yang pertama, yakni bila ada pemeluk Hindu (orang Barat) sedangkan pasangan ini menikah di Barat dengan proses non-Hindu, kemudian mereka berkeinginan memeluk agama Hindu dan menetap di Bali, maka harus diawali dengan proses upacara sudhiwadani, yakni suatu proses pengesahan seorang non-Hindu untuk menjadi pemeluk Hindu. Upacara ini sangat sederhana dan dapat diambil dari tingkatan paling kecil, seperti byakala, prayascitta, pangulapan, pabersihan, dan banten ayaban. Sarananya bisa berupa canang sari, atau yang lebih besar dalam wujud banten daksina pejati. Jadi, dengan upacara sudhiwadani seseorang yang ingin memeluk agama Hindu sudah dianggap sah secara Hindu.
Seandainya ada wanita Hindu kawin dengan orang Barat dan menikah di negeri Barat lewat cara non-Hindu, kemudian pasangan ini bercerai dan si anak diserahkan kepada ibunya. Jika ibu beserta anaknya ingin memeluk agama Hindu, maka proses yang harus dilakukan selain disahkan lewat upacara sudhiwadani adalah mesti melewati upacara manusa yajnya, layaknya warga Hindu di Bali. Antara lain: upacara abulan pitung dina (42 hari), tiga bulan (105 hari), enam bulan (210 hari). Ini bisa dilakukan bertahap. Itu kalau memungkinkan.
Berbeda halnya kalau perceraian itu terjadi ketika anaknya sudah remaja, maka upacara pengesahan dari lahir hingga upacara ngotonin (enam bulanan), dapat dilakukan sekaligus, bersamaan dengan upacara sudhiwadani. Prosesinya juga sederhana. Contoh, dalam prosesi tiga bulanan. Saat ini juga dilakukan pengesahan nama si anak melalui upacara. Kalau toh sebelum usia tiga bulan atau 105 hari, sesuai kalender Bali, anak bersangkutan sudah memiliki nama lengkap yang dibuktikan lewat akte kelahiran yang dikeluarkan Dinas Catatan Sipil, maka nama tersebut tak perlu lagi diubah. Apa yang tertera di akte kelahiran, itulah yang dipergunakan dalam upacara tiga bulanan. Untuk upacara lain, sesuaikan dengan situasi dan kondisi. Tak mesti bermegah-megah kalau hal tersebut memang tak memungkinkan dilakukan.
Menyangkut pertanyaan ketiga, yakni seorang wanita Bali mempunyai anak di luar perkawinan berkat hasil hubungan gelap (kumpul kebo) dengan orang non-Hindu, kemudian ada keinginan supaya si anak ini dapat diberikan upacara lengkap selayaknya orang Hindu di Bali. Kalau saja proses upacara perkawinan kedua pasangan ini bisa dilangsungkan dan sah menurut agama, tentu kasus yang Saudara ajukan terselesaikan secara elok. Anak yang lahir tersebut sah secara hukum maupun agama. Bukan sebagai anak bebinjat.
Berbeda jika pasangan kumpul kebo ini tak mau melangsungkan perkawinan baik secara aturan Hindu ataupun mengikuti ketentuan agama pasangan kumpul kebonya. Jalan keluar yang mungkin diambil: wanita yang melahirkan anak di luar nikah ini bisa mencari seorang calon wali anaknya. Sebab, dalam proses perkawinan harus ada wali yang mungkin akan mengangkat si anak tanpa ayah sah itu. Misalkan, dengan keluarga dekat atau orang-orang yang memang secara sukarela mau melakukan itu sehingga si anak menjadi sah menurut agama.
Kalau tak ada pihak laki yang menjadi wali dan mengangkat si anak, bisa mengikuti sila, yaitu aturan-aturan yang bisa kita lihat pada zaman kerajaan dulu, di mana wanita yang hamil di luar perkawinan bisa melakukan proses perkawinan dengan simbol tertentu yang ditentukan agama. Misalkan, dengan keris. Cuma, bila ini dihubungkan dengan hak asasi manusia, tentu ada sedikit benturan. Sebab, ada keganjilan: manusia kok dikawinkan dengan simbol-simbol agama tertentu. Adapun aturan yang berlaku pada kalangan warga Hindu di Bali menentukan bahwa seorang anak dianggap sah kelahirannya secara adat, terlebih dari sudut agama Hindu, jika orangtuanya telah melalui prosesi perkawinan. Di sinilah para cendekiawan Hindu ke depan perlu memikirkan lebih seksama lagi perihal hak seorang ibu untuk memelihara anaknya, sebagai orangtua seutuhnya. Selanjutnya, pertanyaan Saudara keempat, memiliki keterkaitan dengan pertanyaan kedua. Proses yang harus dilalui, yakni dengan upacara sudhiwadani, dan upacarai anak bersangkutan layaknya orang Hindu dari semenjak lahir hingga dewasa.

Sumber:  "MAJALAH SARAD BALI" di kolom Sasa Multiply 

Kamis, 17 Januari 2013

Filosofi Air


Air bersifat mengalah, namun selalu tidak pernah kalah
Air mematikan api dan membersihkan kotoran.
Kalau merasa sekiranya akan dikalahkan, air meloloskan diri
Dalam bentuk uap dan kembali mengembun.
Air merapuhkan besi sehingga hancur menjadi abu

Aliran air setiap waktu berubah.
Bilamana bertemu batu karang, dia akan berbelok
Untuk kemudian meneruskan perjalanannya kembali.
Air dengan mudah melewati bebatuan. 
Bila bertemu kerikil ia akan mengalir di atasnya, 
Namun bila menjumpai batu besar ia lewat di sampingnya

Bersih dan jernih adalah sifat air yang masih alami.
Air membuat jernih udara sehingga angin menjadi mati
Air memberikan jalan pada hambatan dengan segala kerendahan hati.
Karena dia sadar bahwa tak ada suatu kekuatan apapun
Yang dapat mencegah perjalanannya menuju lautan.
Air menang dengan mengalah, dia tak pernah menyerang
Namun selalu menang pada akhir perjuangannya.