Sabtu, 02 Juli 2011

GALUNGAN

Hari raya suci keagamaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan suatu ajaran agama. Dengan peringatan atau perayaan suatu hari suci keagamaan maka diharapkan pemeluk agama dapat lebih memantapkan kualitas rohaninya, baik itu secara internal, dalam hal ini adalah bagi diri pribadi dan sesama pemeluk agama. Maupun secara eksternal, dalam hal ini adalah antar pemeluk agama dan lingkungan sosial masyarakat yang bersifat heterogen.

Senin, 27 Juni 2011

ARWAWASU DAN PARAWASU

Raja Brihadyumna, murid Rsi Ribhya, ingin melaksanakan upacara besar. Ia meminta gurunya untuk mengizinkan kedua putranya, Parawasu dan Arwawasu untuk memimpin upacara itu. Seizin ayah mereka, mereka berdua pergi ke kota raja dengan suka hati.
Suatu hari, ketika persiapan upacara sedang dikerjakan Parawasu pulang untuk menemui istrinya. Ia berjalan sepanjang malam dan tiba di pertapaan sebelum fajar. Di dekat pertapaan, di kegelapan malam ia melihat sesosok yang membungkuk seperti sedang mengintai mangsa. Ia segera menyambar lembing dan melemparkannya ke arah sosok itu. Ia berhasil mengenainya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati bahwa yang ia bunuh adalah ayahnya sendiri yang mengenakan pakaian dari kulit binatang. Ia mengira sosok di kegelapan malam itu adalah binatang hutan. Ia sadar bahwa kesalahan fatal ini disebabkan oleh kutukan Rsi Bharadwaja. Sementara mempersiapkan upacara penguburan untuk ayahnya, ia pergi kepada Arwawasu dan menceritakan kejadian yang menyedihkan itu. Katanya: “Sebaiknya kecelakaan ini tidak mengganggu persiapan upacara persembahyangan. Lakukanlah upacara pembakaran jenazah atas namaku, sebagai penebus dosa yang telah kulakukan secara tidak sengaja. Dosa yang dilakukan secara tidak sengaja bisa beroleh pengampunan. Jika engkau bisa menggantikan aku dan memohon ampunan atas dosaku, aku akan memimpin upacara persembahyangan raja. Aku bisa melakukannya sendiri. Engkau tidak bisa memimpin upacara tanpa bantuanku.”

ASTAWAKRA

Rsi Uddalaka. Seorang rsi besar dan mahaguru kitab Wedanta, memiliki seorang murid yang bernama Kagola. Kagola adalah murid yang berbudi luhur dan berbakti, tapi kurang pandai. Ia sering menjadi bahan tertawaan murid-murid yang lain. Namun demikian, Rsi Uddalaka tertarik pada keluhuran budi, sikap berbakti, dan sikapnya yang baik. Ia ingin menikahkan Kagola dengan putrinya, Sujata.
Sujata dan Kagola dianugerahi seorang putra. Biasanya seorang putra mewarisi sifat-sifat kedua orang tuanya. Tetapi putra Sujata dan Kagola ini justru mewarisi kepandaian kakeknya, Rsi Uddalaka. Sejak dalam kandungan anak ini telah menguasai kitab-kitab Weda. Ketika Kagola salah mendaraskan kitab Weda, anaknya yang masih dalam kandungan ibunya akan meronta-ronta kesakitan. Akibatnya, ketika lahir anak itu bungkuk dan memiliki delapan benjolan. Kemudian, anak itu diberi nama Astawakra yang berarti “delapan benjolan”.

Kamis, 09 Juni 2011

Memahami kata "Swastyastu"

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini (Jakarta), ada banyak pengalaman yang saya rasakan, tapi ada satu hal yang sangat menggelitik dan membangkitkan rasa ingin tahu saya tentang hal tersebut. Suatu hal yang (bukan) tidak lazim tapi (mungkin) belum lazim terdengar di telinga sahabat-sahabat Hindu di daerah lain, termasuk saya sendiri di Bali jarang mendengar penggunaan “kata” tersebut sebagai sebuah salam penutup. Ingin menunjukkan identitas, eksistensi ataukah hanya ikut gaya-gayaan saja bahwa agama kita juga punya hal-hal yang dimiliki oleh agama lain?. Spirit seperti itu layak diacungi jempol, hanya saja diksi atau pemilihan katanya juga harus tepat. Jangan sampai memaksakan suatu yang jelas-jelas keliru tapi karna sudah banyak yang menggunakan jadi sesuatu yang dilazimkan. Melalui media ini saya ingin mengajak sahabat-sahabat untuk sekadar berbagi pengetahuan yang kiranya dapat meluruskan hal-hal yang keliru terkait penggunaan bahasa dan salam dalam agama Hindu. Ada 1 hal yang ingin saya bahas pada kesempatan ini, yaitu penggunaan kata: “Swastyastu”. Marilah kita bahas  kata demi kata.

Sabtu, 04 Juni 2011

=SABDOPALON=


JALAN SETAPAK MENUJU NUSANTARA JAYA BEDAH TELISIK SPIRITUAL WASIAT NENEK MOYANG

Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis. Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon? Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V (memerintah tahun 1453 – 1478) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb:

Senin, 18 April 2011

PEMAKNAAN MITOS WATUGUNUNG


“Ya Tuhan Hyang Maha Saraswati yang maha Suci, Maha Agung, mengkaruniai kecerdasan dengan cintanya yang sejati sebagai anugrahmu terimalah persembahan kami”.
Mitos Watugunung sendiri mengisahkan tentang cinta terlarang antara seorang putra, Sang Watugunung, dengan ibunya, Sinta. Setelah campur tangan Dewata, hubungan aib ini diputus dengan diciptakannya kalender (wuku). Dengan Saraswati sebagai pemisah antara wuku terakhir (Watugunung) dengan wuku awal (Sinta).

Minggu, 06 Februari 2011

TERJEMAHAN NIRARTHA PRAKRETA


  1. Santawya ngwang i jong bhatāra paramārthātyanta ring niskala, sang tan sah sinamādhi munggwi těngahin hrěttika sunyālaya, sûryopāma sirān prakāsa měnuhi sarātma diptojjwala, byaktāwās kahiděp swadipa suměnö lumreng manah niscala.

Mohon ampun hamba dibawah-Mu Bhatara Paramartha di alam niskala, yang senantiasa hamba jadikan pusat semadi dan sthanakan di dalam hati, bagaikan Surya yang memenuhi segala makhluk, tentu terpikirkan jelas cahayanya sendiri yang bersinar menyusup ke dalam pikiran yang hening.

  1. Ndah yan mangkana lot sayojya hana ring cittātisuddhottama, manggěh sādhananingwan amrih atěkěn lambing guměgwang karas, nāhan donku n amuspa ring pratidineng ratryāmalar sanmatan, pintěn kārananing wěnang rumacana ng sabdātěmah bhāsita.

KAKAWIN SMARA TANTRA



1B. Om Awighnam Astu.
WIRAMA I
ngkaneng Madhya ikang tilam ri huwus ing ulaha nekan i samprayojana,
kāma dĕha sinamādhi sakāla saha yoga dhāraka,
siddha mangguhaken rasa  mrĕtta wisesa panggilanga wikalpa karana.

tan sangkeng wruh sūksmaning anangga  satatā kahanan raras hati,
anging  lot pinaka srayeng hreddhya tan bsuran alangön umastana,
      yogyan manggalaning hulun  miketa laksana halā ayuning  warāngganā.


Rabu, 02 Februari 2011

Siwa Purana


Wacana Suta dalam Siwa Purana

            Dalam seratus ribu sloka yang berisikan dua belas samhita (bagian atau bab) Dewa Siwa Sendiri memberikan Siwa Purana pada Brahma dengan penuh berkah. Dewa Brahma, sang pencipta, memberikannya pada putra kesayangannya Narada. Narada kemudian meneruskannya pada Sanata Kumara, yang kemudian menceritakan kisah ini kembali pada Wedavyasa (para rsi penemu weda).
            Kemudian Rsi Wedavyasa yang terberkahi ini mengintisarikan seratus ribu sloka ini menjadi dua puluh empat ribu sloka, dalam tujuh samhita: Vidyeswara, Rudra, Shatarudra, Kotirudra, Uma, Kailasa dan Vayuviya samhita. Maharshi Suta bersama dengan Shuka Munindra diberkahi oleh Wedavyasa. Dan kemudian, Suta Muni menceritakan purana, cerita epos yang besar ini pada Rsi Shaunaka dan rsi lainnya.

Sabtu, 29 Januari 2011

PEMASUPATIAN DAN PENGEREHAN.



Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok mahluk magis yang menyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikan rupa sebagai simbul unsur niskala ( tidak nampak) dari adanya Ida Bhatara Rangda.

Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan “ ke “ dan akhiran “ an “, sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi.

Panugrahan artinya pemberian dari Dewa.