Selasa, 31 Juli 2012

SEBUAH TUJUAN


Setelah usai perang Bharatayudha, Pandawa kembali ke kemahnya. Krishna dan Arjuna meniup kerang Panchajanya dan Dewadatta yang sakti dengan keras. Krishna tidak ingin semangatnya hilang karena pemandangan Samantapanchaka. Dia adalah yang paling gembira di antara mereka semua. Segera setelah mereka sampai di kemah, Krishna menyuruh mereka semua untuk tetap berdiri. Dia memberitahu Arjuna: “Arjuna, ambil Gandiwa dan tempat anak panahmu. Turunlah dari kereta”. Krishna masih duduk di atas kereta. Arjuna melakukan apa yang disuruh. Setelah dia turun, barulah Krishna meninggalkan kekang dan cemetinya turun dari Arjuna yang bertahtakan permata. Begitu Krishna turun, Hanuman yang perkasa, yang berada di bendera kereta, tiba-tiba melompat ke angkasa dan menghilang dari pandangan. Seketika juga setelah itu, kereta Arjuna mulai terbakar seperti setumpuk kayu menjadi setumpuk abu. Kuda putih Arjuna pun semuanya terbakar habis.

PENEBANG KAYU

Pada suatu hari ada dua orang penebang kayu yang sedang menebang sebuah pohon. Mereka asik dengan pekerjaannya, salah satu dari penebang itu sangat cepat menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan penebang yang satunya sangat susah untuk menebang pohon. Ia mengeluh mengapa pohon itu susah sekali untuk ditebang. Tiba-tiba ada seorang kakek tua melewati tempat mereka melakukan penebangan pohon, kakek tua ini sangat memperhatikan kedua penebang pohon ini bekerja. Kakek ini penasaran lalu mendekati kedua penebang pohon itu, mencari tahu rahasianya. Ada dua rahasia yang akan ia cari, yaitu: pertama sebuah rahasia kenapa gagal dalam menebang pohon dan kedua kenapa bisa sukses menebang kayu. Ternyata rahasia pertama kenapa penebang kayu gagal melakukan pekerjaannya, karena ia sangatlah malas mengasah kapak yang dipakainya untuk menebang pohon, sementara penebang yang kedua mempunyai rahasia setiap selesai menebang sebuah pohon ia selalu mengasah kapaknya. Tidak heran, setiap kali menebang sebuah pohon kapaknya selalu membawa hasil yang maksimal dan dibutuhkan waktu yang sangat singkat. Kalau mau diresapi dengan mendalam, bahwa kehidupan si penebang pohon tidaklah jauh berbeda dengan kehidupan kita. Jika kita memang memiliki kapak kehidupan yang tajam sudah pasti kita akan dapat memotong atau merobohkan setiap persoalan atau permasalahan dengan baik dan bijaksana. Sebaliknya jika kapak kehidupan kita ternyata tumpul sudah pasti kita akan sulit sekali untuk memotong permasalahan, dengan ketidakmampuan rasanya sulit untuk menaklukkan masalah, bahkan akhirnya kita bisa menyerah. Mengasah kapak kehidupan adalah menjadi bagian penting dalam hidup kita. Semoga kebahagiaan dan kedamaian hati selalu menyertai hidup ini. Astungkara"

KWANGEN SEBAGAI SIMBOLISASI OMKARA


Pelaksanaan keagamaan Hindu tak pernah lepas dari simbolisasi nilai-nilai agama yang diaplikasikan langsung ke dalam budaya lokal setempat daerah agama Hindu tersebut berkembang. Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu memiliki makna dan tujuan tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Demikian halnya yang terjadi di Bali, hampir sebagian besar dan bahkan secara keseluruhan nilai-nilai agama itu menjiwai kebudayaan Bali. Darah seni berkolaborasi dengan nilai religius keagamaan merasuk dalam nafas kreativitas orang-orang Hindu Bali. Begitu pula dalam pelaksanaan yadnya, baik sarana-sarana yadnya maupun hal-hal lainnya.

Senin, 30 Juli 2012

Bija atau Wija


Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).

Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.

Mahabharata


Perang di Kurukshetra
Perang di Kurukshetra (Devanagari: कुरुक्षेत्र युद्ध ), yang merupakan bagian penting dari wiracarita Mahābhārata, dilatarbelakangi perebutan kekuasaan antara lima putera Pandu dengan seratus putera Dretarastra. Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.  Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang disebut terjadi pada "Era Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing di Kurukshetra (seperti misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya. Menurut Bhagawad Gita, Perang di Kurukshetra terjadi 3000 tahun sebelum tahun Masehi (5000 tahun yang lalu) dan hal tersebut menjadi referensi yang terkenal. Meskipun pertempuran tersebut merupakan pertikaian antar dua keluarga dalam satu dinasti, namun juga melibatkan berbagai kerajaan di daratan India pada masa lampau. Pertempuran terjadi selama 18 hari. Perang tersebut mengakibatkan banyaknya wanita yang menjadi janda dan banyak anak-anak yang menjadi anak yatim. Perang ini juga mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju zaman Kali Yuga.

Kepahlawanan Bhisma


Bhisma dan Dewi Amba
-- Tut Widi--

Bhisma, adalah tokoh besar dalam kisah Mahabharata. Ia adalah Putra Mahkota, buah perkawinan Prabu Santanu, Raja Hastina dengan Dewi Gangga. Bhisma Menjadi icon penting, bahkan mungkin yang utama, dari kisah kepahlawanan dalam Mahabharata. Ia menjadi termasyur bukan karena tahta, karena justru Bhismalah yang mengajarkan bahwa Kepahlawanan bukan sesuatu yang ditakdirkan, bukan sesuatu yang ada karena keterkondisian, bukan karena sesorang adalah Raja, Putra Mahkota, Prajurit dsb. Kepahlawanan adalah sebuah pilihan.

Puja Tri Sandhya


Ulasan Singkat Tentang Mantra ‘Puja Tri Sandhya’
Oleh : I Gede Widya Suputra

            Weda merupakan sumber dari ilmu pengetahuan dan sebagai pedoman hidup umat Hindu dan juga seluruh umat manusia dalam menjalani kehidupan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal. Di dalam Pustaka Suci Weda kita juga akan menemukan ratusan ribu sloka dan mantra suci dan juga ilmu pengetahuan lainnya yang semuanya itu disediakan hanya untuk satu tujuan, yakni “to harmonize the life of mankind” yakni ‘untuk mengharmoniskan kehidupan umat manusia’. Semua sloka dan mantra yang ada di dalam Weda beserta ilmu pengetahuan lainnya ‘disediakan’ untuk dimanfaatkan oleh manusia guna kehidupan yang lebih baik, baik hari ini, esok, dan kehidupan yang akan datang yang jika disimpulkan akan membentuk satu kata yakni ‘keharmonisan’.

Rabu, 25 Juli 2012

Hanoman: Pemuja yang setia dan berbhakti


Dalam sebuah percakapan antara Arjuna dan Krishna, Arjuna bertanya, “mengapa Rama harus menurunkan tentara kera jika Ia memang hebat? Aku sendiri dapat membuat jembatan dengan panah saya.” Pada saat itu, Hanoman berada di sana juga, kemudian Krishna berkata pada Hanoman, “Bagaimana Hanoman? Junjunganmu diremehkan, engkau ditantang oleh Arjuna.” Hanoman berkata, “baiklah Arjuna, silakan buatlah sebuah jembatan dan aku akan menguji kekuatan jembatanmu.” Arjuna menjawab dan bertanya, “Baik, bagaimana jika aku menang?” Hanoman menjawab, “Jika engkau menang, aku akan memujamu, dan jika engkau kalah, pujalah diriku.” Dan Arjuna pun bersedia menerima tantangan ini. 

NASIHAT TETUA: JALAN KEHIDUPAN

Barangkali diantara kita pernah mempunyai impian turut larut dalam permainan mesin waktu, yang bisa mengulang kehidupan di masa lampau, bisa memperbaiki kesalahan yang pernah kita perbuat, sehingga di kehidupan sekarang ini kita terbebas dari kesalahan-kesalahan, tetapi itu tetap hanya sebuah impian dan hasilnya tetap saja sia-sia. Boleh dikatakan bahwa inilah impian terindah kita sebagai manusia, bisa berharap menjadi muda kembali dan mendapatkan kesempatan kedua untuk bisa mengubah kesalahan yang dahulu pernah kita perbuat dan bisa mulai lagi semuanya dari awal.

HADIAH TERBAIK


Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah waktunya, kita akan menuai. Mulailah Hari ini dengan hal-hal yang paling INDAH...!!
Hadiah terbaik untuk sahabat ialah: PENGERTIAN
Hadiah terbaik untuk Boss ialah: KEJUJURAN
Hadiah terbaik untuk musuh ialah: PENGAMPUNAN
Hadiah terbaik untuk suami ialah: KESETIAAN
Hadiah terbaik untuk istri ialah: KASIH SAYANG

KECERDASAN

Di dalam mengarungi samudra kehidupan ini kita sering kali dihadapkan dengan banyak permasalahan yang berbeda-beda, nah.... di sinilah kita selalu membutuhkan suatu kecerdasan sehingga kita mampu untuk mengayuh sampan hidup di samudra kehidupan. Pada saat kita belajar untuk mencari tahu sesuatu yang ingin kita lebih ketahui, maka di sana diperlukan kecerdasan intelektual.

MENULIKAN TELINGA

Di dalam sebuah perjalanan kehidupan, selalu saja ada riak-riak pasang surut kehidupan yang indah maupun menyakitkan menghampiri kita. Semua itu merupakan irama yang selalu memadukan diri untuk menumbuhkan kedewasaan kita. Ada sebuah fenomena, pada saat kita berada di dalam perjalanan yang menyenangkan banyak teman yang turut menikmati langkah-langkah kita. Namun ketika pada saat keterpurukan menghampiri, banyak teman mulai menghindari kita, kadang pula mereka seakan-akan memadamkan semangat kita untuk bisa bangkit dari keterpurukan.

Kamis, 19 Juli 2012

Tumpek Wariga: Monumental Hari Bumi


“Kaki Bentuyung, titiang mapangarah, buin selae dina Galungan, mabuah nyen apang nged, nged, ngeeed!”

Setiap kali perayaan hari Tumpek Pengatag, sekelumit doa sederhana itu senantiasa terucap dari orang tua kita dahulu hingga saat ini pun masih terngiang di telinga. Doa itu mengandung penghargaan agar sang pohon bisa berbuah lebat. “Nged” adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti berbuah banyak /lebat, sehingga bisa digunakan untuk keperluan upacara hari raya Galungan yang jatuh 25 hari berikutnya.
Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag - dikenal juga sebagai Tumpek Wariga, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh - dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh tumbuhan. Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.

Sejarah Banten di Bali dan Aspek Upacara Hindu


Sejarah Banten di Bali 

Membaca sejarah/babad/prasasti-prasasti/pelelutuk yang ada di Bali (antara lain: Markandeya Tattwa, Tutur Kuturan, Sanghyang Aji Swamandala, Gong Besi, Dwijendra Tattwa), maka: Upakara yang juga dinamakan: banten, bali, hanya bagi umat Hindu yang di Bali, atau bagi umat Hindu Bali yang merantau keluar Bali.
Sebabnya, Maharsi Markandeya yang datang ke Bali pada abad ke-8 mendapat wahyu bahwa umat Hindu di Bali perlu:
1. Melengkapi upakara dengan bentuk sesajen, yang kemudian bernama bali. Jadi nama bali berasal dari artinya yaitu : sajen/banten/upakara. Orang yang memuja Tuhan dengan sarana banten/bali dinamakan orang Bali. Tempat mereka tinggal dinamakan tanah/pulau Bali.
2. Pada awal kedatangan Maharsi Markandeya, beliau tidak tahu bahwa tata-cara di Bali harus menggunakan banten/upakara. Maka pengikutnya yang berjumlah 400 orang terkena bencana dan meninggal dunia.

Rabu, 18 Juli 2012

Wijayakusuma: Kembang Sri Krshna


Wijayakusuma adalah salah satu nama tanaman yang mempunyai bunga yang sangat indah. Berasal dari Amerika Latin. Nama latinnya Epiphylum Anguliger. Dia termasuk tanaman langka. Tanamannya tergolong tanaman kaktus. Sementara arti dari nama bunga Wijayakusuma ini sangat indah yaitu bunga kemenangan. Mitos di jaman Hindu bunga ini milik Kresna dan dapat menghidupkan orang yang sudah mati. Mekar di waktu malam hari, layu dan kuncup kembali di pagi hari. Saat mekar bunga ini mengeluarkan bau yang sangat harum. Mitosnya juga, jika bunga ini mekar akan ada rejeki yang mendekat.

Pacaran Sehat: Kajian Susastra Hindu


“Manusah sa śarve bhūtesu varttate vai subhāsubhe, asubhesu sāmavistam subhesvevāvakarayet” Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya menjelma menjadi manusia.
(Sarasamuccaya. 2).

Om Swastyastu,
Membutuhkan kesadaran bersama bahwa “medan” pergaulan anak remaja saat ini sudah jauh berbeda dan berubah dalam satu generasi terakhir ini. Globalisasi sistem informasi telah sangat mempengaruhi cara pandang gaya hidup remaja kita di Indonesia. Sebagian besar orang  tua di Indonesia sudah kecolongan bahkan ada sebagian lebih cenderung bersikap permisif (serba boleh). Peranan mereka sebagai pengasuh telah diambil alih oleh alat-alat elektronik, seperti TV, CD, VCD, Komputer, Internet, HP. Orang tua telah kehilangan wibawanya untuk mengatur berapa lama anak boleh main game dan menonton televisi. Dan acara apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh anak-anak.

Senin, 16 Juli 2012

Keikhlasan: Pintu Pembuka Surga

Ada sebuah cerita, ada seorang pendeta yang sangat tenar dan seorang pengamen jalanan yang tidak dikenal selalu diremehkan oleh orang-orang yang melihatnya ketika ia sedang mengamen.

Sang pendeta merasa diri sangat dekat dengan Tuhan karena setiap hari memberikan dharma wacana kepada umat tentang hakikat ke-Tuhanan, dari ini merasa diri bahwa pada saat kematiannya sudah pasti akan mendapatkan surga.

Karna seorang pejuang berprinsip


Seperti diketahui bahwa Karna lahir akibat perbuatan ceroboh Kunti yang masih muda merapal mantera yang diberikan oleh Resi Durvasa yang mengakibatkan hadirnya Dewa Surya untuk memberikannya seorang anak yang sekuat Dewa Surya. Anak itu lahir dilengkapi dengan Kavacha ( zirah, baju perang) dan Kundala (sepasang anting-anting). Dengan pertolongan Dhatri, dayang keputren, Karna dilarung ke sungai Gangga.
Bayi Karna dipungut oleh Adiratha, kusir Raja Dhristrashtra, Raja Hastinapura. Oleh Adiratha dan istrinya, Radha, bayi Karna diberi nama Vasusena. Tetapi karena dianggap anak Radha, maka julukan lainnya yang disandangkan kepada Karna adalah Radheya (Anak Radha).
Karna kecil lebih tertarik belajar ilmu perang daripada meneruskan tradisi keluarganya menjadi kusir kereta Raja. Maka dia pun menemui Dronacharya. Dronacharya adalah guru ilmu perang dari para pangeran dinasti Kuru. Dan karena Karna bukan dari kasta Ksatria, Dronacharya pun menolak permintaan Karna untuk mengajarkan ilmu perang kepadanya.

Jumat, 13 Juli 2012

Kekuatan Sebuah Persahabatan


Dalam epos cerita Mahabharata, ada dua persahabatan yang begitu erat dan menarik, yaitu:
1. Persahabatan Khrisna dengan Arjuna (sekaligus sepupu);
2. Persahabatan Duryodhana dengan Radheya (Karna).
Dua pasang sahabat tersebut kisahnya begitu menonjol dalam Mahabharata. Salah satu cuplikan terkenal dari pasangan Khrisna-Arjuna adalah ketika keduanya bahu membahu dalam membantu Dewa Agni dalam membakar hutan Kandawa, mereka harus bertempur menghadapi Dewa Indra beserta dewa-dewa lain yang membantunya, dimana pertempuran dimenangkan oleh Khrisna dan Arjuna.

Minggu, 08 Juli 2012

Cumbuan Kehidupan

Banyak hal yang terjadi dalam hidup ini tanpa pernah kita duga, sekarang senang bisa pula sebentarnya lagi penuh derai air mata. Itulah yg membuat perasaan kita terombang-ambik bak perahu kecil di tengah samudra kehidupan yg luas. Kadang dibawa ke kanan, kadang dilempar ke kiri. Seperti itulah hidup ini, yang tak punya tujuan dan pegangan hidup niscaya deburan ombak akan menghempaskannya pada kegelisahan mendalam akan riak-riak ombak kehidupan yang kian waktu menciumi perahunya. Tak ayal pula ciuman mesra sang ombak kian lama membuat perahunya terbuai akan ayunan gelombang samudra hingga terbalik tak berdaya tenggelam dan karam. Tetapi bisa juga bagi mereka yang mampu memberikan perlawanan pada ciuman hangat nan mesra itu terlecut birahinya, semakin bergairah mengarungi samudra bersama cumbuan sang ombak yang mengantarkannya sampai di tujuan. Keyakinannya akan hadirnya sang mentari esok hari, kemauan usahanya membalas cumbuan sang ombak, ketegarannya menampik desah rayuan fatamorgana ilusi maya, serta ketabahan dan keikhlasan totalitas penjiwaannya melakoni peran laksana sang aktor menjalankan script skenario sang sutradara, niscaya membuatnya mampu mencapai dermaga pelabuhan terakhir hidupnya di dunia ini.

Kamis, 05 Juli 2012

Mencapai Kebebasan di Jaman Kaliyuga


Guru Maharsi Wyasa tenggelam dalam meditasinya dan merenung  dalam tapasyanya. Suatu hari Sanata Kumara datang. Wedawyasa menghaturkan sebuah penyambutan selamat datang dan menghaturkan upacara (sebuah ritual) sesuai dengan adat yang ada. Sanata Kumara sangat berkenan dan mengajarkan Maharsi Wyasa cerita tentang Siwaisme.
Wahai Putra Satyawati!
Kebenaran yang mutlak dan satu-satunya adalah obyek dari perenungan atau tapasya. Kemudian tidak ada kebenaran yang tertinggi selain Siwa. Inilah yang sebenarnya, seseorang sepertimu harus mampu melihat-Nya. Ia meminta sang Rsi untuk melakukan apa yang ia minta.
Rsi Wedawyasa menjawab:

Rabu, 04 Juli 2012

Takhayul yang mendamaikan

Sebagian orang berpendapat dengan benar bahwa " Iman yang benar " adalah lebih baik daripada "Iman yang berdasarkan takhayul". Dan "Iman yang berdasarkan takhayul" adalah lebih baik daripada "Yang tidak beriman sama sekali". Orang yg tidak mempunyai iman sama sekali sungguh sulit untuk tiba di pintu masuk Dharma. Jadi, "Iman yg berdasarkan takhyul" paling tidak merupakan iman awal. Setelah memasuki pintu Dharma dan mendapat "Pengertian", maka "Iman yg berdasarkan takhyul" seseorang secara perlahan berubah menjadi "Iman yg benar". Karena itu, mengenai hal iman, maka "Iman yang benar" lebih baik daripada "Iman yang berdasarkan takhyul" sedangkan "Iman yang berdasarkan takhyul" lebih baik daripada yang tidak percaya sama sekali.
Pada suatu hari seorang guide (hindu) dan tamunya seorang berkebangsaan Inggris datang berkunjung ke Tampak siring. Guide itu berkata, "Saya akan mandi di pancuran yg suci ini". Kemudian ia masuk kedalam air sambil mengucapkan "Om Namah Siwa Ya", lalu menyelam ke dlm air, dan keluar lagi. Ia melakukannya berkali2, dan terakhi ia keluar dari dalam air dengan badan dan hati yg segar. Ia merasakan amat bahagia dan damai, karena memperoleh kesempatan yg jarang untuk mandi di pancuran yg suci.
Si tamu (orang Inggris) itu tertawa dan berkata, "Itu hanyalah H2O. Bagaimana mungkin mendapatkan kebahagiaan yg tidak terucapkan dengan berendam didalamnya?. Itu semuanya hanyalah Takhayul".
Guide itu menjawab, "Biarkan saya dengan takhayul saya sendiri dan engkau dapat tetap melekat pada takhayulmu".
Orang yang sinis hanyalah mendapatkan kebersihan badan, tetapi orang yang percaya juga mendapatkan kemurnian batin.
Sebagian orang mengaku tidak mempercayai apapun, tetapi ketika kita mendesak bahwa pasti ada satu hal yang mereka percayai (misalnya uang), mereka akan segera mengangguk setuju. Uang masih merupakan suatu yang semua orang percayai, sebab uang itu terlihat mata, tidak seperti kebenaran. Orang terlena oleh aspek materi dan fisik dari dunia ini dan tidak menyadari aspek yang tidak terlihat dan halus dari pikiran dan kesadaran.
Karena itu dalam menjalankan Dharma, kunci yang paling penting adalah mempunyai "Iman yang benar atau iman kebijaksanaan".