Guru Maharsi Wyasa tenggelam dalam meditasinya dan merenung
dalam tapasyanya. Suatu hari Sanata Kumara datang. Wedawyasa menghaturkan
sebuah penyambutan selamat datang dan menghaturkan upacara (sebuah ritual)
sesuai dengan adat yang ada. Sanata Kumara sangat berkenan dan mengajarkan
Maharsi Wyasa cerita tentang Siwaisme.
Wahai Putra Satyawati!
Kebenaran yang
mutlak dan satu-satunya adalah obyek dari perenungan atau tapasya. Kemudian
tidak ada kebenaran yang tertinggi selain Siwa. Inilah yang sebenarnya,
seseorang sepertimu harus mampu melihat-Nya. Ia meminta sang Rsi untuk
melakukan apa yang ia minta.
Aku mencatat berbagai jalan dimana
manusia bisa mencapai keempat tujuan yang disebut dengan Purusha artha –
Dharma, Artha, Kama dan Moksa. (Berpegang
teguh pada hukum suci, menghasilkan uang, memenuhi keinginan dan akhirnya
mencapai kebebasan- mukti.). Bahkan setelah melakukan hal ini semua, aku masih
tidak mampu mendapatkan jnana itu yang adalah alat untuk mencapai kebebasan.
Dengan pikiran seperti itulah aku bertapa.
Sanata Kumara tersenyum dan berkata:
Mengapa mengkhawatirkan hal itu?
Dulu akupun menderita kebimbangan yang sama dan melakukan tapasya. Dengan
berkah Siwa, aku berlari ke Nandikeshwara yang meyakinkanku. Ia memberkahiku
hanya dengan Shrawana, Chintana, Manana dan Kirtana seseorang bisa
mencapai-Nya.
Wahai putra Parasara! Kaupun harus
melakukan ketiga hal ini. Lupakan keinginanmu yang lain. Tenanglah dan
berpegang-teguhlah.
Kejarlah
cita-citamu dengan ketetapan hati.
Setelah mengatakan hal ini, Sanata
Kumara pergi dengan sahabat-sahabatnya ke Brahmaloka.
Karena itulah, kata Rsi Suta bahwa
Shravana, chintana, manana dan kirtana akan menjadi jalan untuk menyadari-Nya.
Kata Rsi Shaunaka dan yang lainnya:
Apa yang kau katakan memang benar.
Tetapi ketiga hal ini yang disebut dengan sadhana trikam sangat lama dicapai.
Bahkan tidak mungkin pada jaman Krita dan juga Treta yuga. Dengan sedikit usaha
akan bisa dicapai pada masa Dwapara. Tetapi pada jaman Kaliyuga manusia
memiliki umur yang pendek. Dalam hidup yang pendek, adakah cara yang lebih
mudah?
Maharshi Suta kemudian menjawab:
Tidak hanya dalam Kaliyuga. Pada
jaman apapun adalah mudah untuk mencapai kebebasan. Yaitu dengan memuja
(berdoa) Siwa dengan menggunakan lingga. Seseorang itu bisa memiliki lingga
pada telapak tangannya, atau pada tempat pemujaan, pada ruang yang khusus atau
kuil/ pura. Bisa juga pada tempat suci peziarahan. Ia yang memuja Siwa pasti akan
mencapai pembebasan. Perenungan/meditasi (dhyana), memanggil dewa, menghaturkan
tempat duduk, lampu, buah dan air, menghidupkan wewangian adalah proses
pemujaan yang disebutkan dalam sastra dan menghaturkan semua keenam belas
upacara—ritual – dengan ketulusan akan menghasilkan hasil yang baik. Ia yang
tidak bisa melakukan widhi atau tugasnya menghaturkan pemujaan, bisa memuja
lingga dengan memakai sebuah patung. Hanya Siwa dengan kesempurnaannya dan
keagungannya dipuja sebagai ‘personalitas’. Dewa yang lain memiliki
personalitas (murtimanta) tetapi tidak mencapai keadaan nirakarata –
ketidakberwujudan dengan menjadi Paratatwa. Ini adalah alasan menyebut Siwa
dengan Sarweswara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar