Rabu, 17 Oktober 2012

Memuliakan atau Menyenangkan Diri??


Di dalam hidup ini manusia sering dihadapkan pada pilihan melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat bermanfaat bagi orang banyak (shreya) atau memberikan kesenangan bagi dirinya sendiri (preya). Hendaknya manusia memilih “shreya” daripada “preya”. “Shreya”, atau mementingkan segala sesuatu yang mulia dan bermanfaat bagi banyak orang, dan tidak memilih preya, atau sesuatu yang sekedar menyenangkan diri. Dalam hidup ini kita memang selalu berhadapan dengan dua pilihan tersebut, shreya atau preya, yang memuliakan, atau yang menyenangkan. Seorang pencari jatidiri hendaknya memilih shreya, atau yang memuliakan. Dan, tidak memilih preya, yang menyenangkan. Karena yang menyenangkan itu belum tentu baik belakangnya. Seperti halnya pada kutipan cerita berikut ini.

Resi Sukra adalah Guru dari Raja Asura Warsaparwa. Dewayani putri Resi Sukra berteman dengan Sarmishta putri Raja Warsaparwa. Pada suatu hari mereka dengan beberapa temannya mandi di sungai. Mendadak angin besar bertiup yang membuat pakaian mereka mulai terbang. Para gadis segera naik ke pinggir sungai mengejar pakaiannya dan segera pulang sambil berlari. Tanpa sadar Dewayani bertukar baju dengan Sarmistha. Kemudian terjadilah keributan, Dewayani menganggap Sarmishta tidak sopan karena seorang asura mengapa berani memakai pakaian putri seorang brahmana. Padahal sang brahmana, Resi Sukra adalah Guru dari raja asura. Karena dibimbing Resi Sukralah  maka kaum asura menjadi jaya. Sarmishta tidak menerima Dewayani menghina ayahandanya dengan mengatakan, bahwa bagaimanapun ayahnyalah yang memberi makan sang resi, sehingga sang resi dapat diibaratkan sebagai seorang pengemis. Mereka adu mulut, dan karena angin bertambah besar Sarmistha berlari duluan pulang. Sedangkan Dewayani yang berlari dalam keadaan angin yang bertiup semakin kencang, kemudian  terperosok masuk ke dalam sumur.

Kedewasaan dan Ketuaan


Menjadi tua itu pasti, namun menjadi dewasa itu adalah sebuah pilihan. Lahir, tua dan mati itu sebuah kepastian yang akan kita hadapi. Semua orang pasti akan mengalaminya, tergantung sejauh mana kedewasaan kita memaknai dan mengisi hidup ini. Kita boleh saja berandai-andai dan berkeinginan untuk memiliki segala sesuatu di dunia ini, namun tetap ketuaan dan kelangsungan umur kehidupan ini ada batasnya. Semua kepemilikan material yang kita miliki dan angan-angankan sekarang ini nantinya tidak akan bisa kita bawa sampai mati. Berikut ini adalah sebuah penggalan cerita dari epos wiracarita Mahabharata tentang kepastian hari tua dan kedewasaan kita dalam menyikapi dan memaknai hidup.

Raja Yayati mengalami ketuaan karena kutukan Resi Sukra yang tersinggung karena sang raja yang sudah menjadi menantunya mengabaikan nasihat sang resi untuk tidak menikahi Sarmishta. Resi Sukra menyatakan bahwa penyakitnya bisa sembuh bila ada salah seorang putranya yang sanggup menukar kemudaannya dengan ketuaan sang raja. Raja Yayati kemudian mendatangi para putranya. Pertama Yayati mendatangi Yadu putra sulung hasil perkawinannya dengan Dewayani. Yadu berkata, “Ayahanda, aku ingin melaksanakan tugas sehari-hari dengan baik. Apa yang akan terjadi saat rambutku memutih dan tenagaku lemah? Umur tua tidak menyenangkan Ayahanda dan aku tidak mau bertukar usia dengan Ayahanda!” Kemudian Yayati mendatangi Turwasu, putra keduanya. Turvasu berkata, “Tidak Ayahanda, aku tidak ingin umur tua menghilangkan kekuatanku dan ketampananku!” Yayati kemudian mendatangi Druhyu dan Anu, putra sulung dan putra kedua dari perkawinannya dengan Sarmistha. Akan tetapi keduanya juga menolak menukar usia mudanya dengan usia tua ayahandanya. Ketika Yayati mendatangi putra bungsu dari perkawinannya dengan Sarmistha, dia sudah siap menerima penolakannya dan berupaya akan menerima usia tuanya dengan sebaik-baiknya.

Selasa, 16 Oktober 2012

Seorang Pedagang Buah


Pada suatu hari ada seorang perempuan Nisadha yang sudah tua sebagai pedagang buah datang ke rumah Nanda. Kita masih ingat bahwa Rajarishi Kausika pernah mengutuk putra-putra Resi Wasistha dan juga kelimapuluh putra raja Kausika sendiri untuk menjadi orang Nisadha. Orang-orang Nisadha berkehidupan sebagai para pemburu yang sering berpindah-pindah tempat. Para perempuan Nisadha kadang membawa buah-buahan ke desa dan menukarnya dengan butir-butir gandum. Kali ini tinggal beberapa butir buah-buahan yang tersisa dan dia menawarkannya di depan rumah Nanda.

Krishna kecil mendatangi pedagang buah tersebut dan minta barter buah-buahan yang dibawanya dengan butir-butir gandum dari rumahnya. Sang perempuan pedagang tersenyum dan mengangguk. Krishna kecil masuk ke rumah membawa butir-butir gandum dengan kedua telapak tangannya yang kecil menemui sang pedagang di jalan. Akan tetapi di sepanjang perjalanan, butir-butir gandum tersebut berjatuhan dan tinggal sedikit tersisa di telapak tangan yang diserahkan ke sang pedagang. Sudah bolak-balik Krishna mengambil butir-butir gandum dari rumahnya dan membawanya ke sang pedagang dan selalu saja tercecer di jalan dan tinggal sedikit yang tersisa di telapak tangannya. Sang pedagang tersenyum penuh kasih kepada Krishna kecil. Butir-butir gandum tersisa diletakkan sang pedagang ke keranjang. Dan kali ini sang pedagang memegang kedua telapak tangan Krishna yang lucu dan kecil. Sang pedagang mengambil seluruh sisa buah yang ada di keranjangnya dan memberikan kepada Krishna kecil yang segera didekapkan ke dada kecil Krishna. Sang perempuan tua pedagang tersenyum bahagia dapat menyenangkan anak kecil yang sangat menawan. Sang pedagang kemudian pamit kepada anak kecil tersebut dan meneruskan perjalanannya. Sudah seharian sang perempuan pedagang berjalan dan dia ingin beristirahat di bawah pohon yang rindang. Kala itu sang perempuan terkesima, ternyata butir-butir gandum yang jumlahnya sedikit yang dibawa anak kecil tersebut berubah menjadi banyak permata yang sangat berharga.

Seorang Penjual Bunga


Ada sebuah perumpamaan bagus yang ada dalam kitab Parasara dan sangat menarik untuk direnungkan oleh seorang pemimpin atau calon pemimpin.  Seorang pemimpin hendaknya menjadi seperti tukang merangkai bunga, jangan seperti penjual arang yang rakus menebang pohon untuk dijadikan arang.

Puspam puspam vicinuyam
mulacchedam na karayet
Malakara ivodyane na
tathangara karakah
(Parasara Dharmasastra.1.60)

Maksudnya: Ibarat seorang tukang bunga merangkai karangan bunga, hanya memetik sekuntum bunga saja pada setiap pohon bunga dalam kebun. Demikian pulalah pemimpin mendapatkan pendapatan sesuatu dari penentuan keputusan atau kebijakan yang ringan tanpa memberatkan siapapun. Ia tidak berbuat seperti tukang arang yang menebang seluruh pohon dalam hutan dan memusnahkannya menjadi arang.

Sebuah Perenungan


indriarthesu vairagyam
anahamkara eva sa
janma mrtyu jara vyadhi
duhkha dosa anu darsanam
(Bhagawad Gita.XIII.8)

Maksudnya: Melepaskan indria dari ikatan benda-benda duniawi, bebas dari rasa egoisme, senantiasa merenungkan permasalahan kelahiran (janma), kematian (mrtyu), umur tua (jara), sakit (vyadhi), duhkha dan dosa.
Untuk meningkatkan kualitas kehidupan di bumi ini ada dinyatakan dalam Bhagawad Gita XIII,8 agar setiap saat merenungkan enam hal yang disebut sad anu dharsanam. Enam kelemahan itu kalau tidak direnungkan dapat menimbulkan penderitaan. Tapi kalau direnungkan baik-baik maka dampak negatifnya dapat diperkecil. Sad anu dharsanam itu adalah:
Arti kata darsana dalam bahasa Sansekerta adalah memandang atau pandangan. Hidup ini akan diselenggarakan dengan baik apabila didasarkan pada pandangan yang baik dan benar. Yang dimaksud sad anu darsanam adalah merenungkan enam permasalahan hidup sampai mendatangkan pandangan yang benar tentang maknanya kelahiran di bumi ini. 

Senin, 15 Oktober 2012

Dunia Ini Adalah Asrama Kehidupan


Masyarakat Hindu amat beruntung mempunyai banyak jiwa-jiwa yang telah mendapatkan pencerahan untuk menuntun kita sepanjang jalan spiritual. Pengajaran mereka amat dalam dan sungguh kuat mereka penetrasikan ke dalam kesadaran kita dan memberi kita penglihatan batin yang baru tentang bagaimana memaksimalkan kemajuan spiritual dalam hidup ini.
Guru kami, Yogaswami, Jaffma, dari Sri Lanka, memberi kami sesuatu yang berharga ketika ia mengatakan, “Dunia ini adalah sebuah asrama, suatu latihan yang mendasar untuk mencapai moksa, kebebasan.” Pernyataan Yogaswami mempunyai hubungan dengan puisi William Shakespeare “Seperti Kamu Menyukainya.”
Seluruh dunia ini adalah sebuah panggung, dan seluruh manusia semata-mata hanyalah para pemain, mereka punya jalan keluar dan jalan masuk, dan seorang manusia memainkan berbagai peran, ia bersaksi selama tujuh abad.

Senin, 01 Oktober 2012

Empat Orang Brahmin


Di sebuh kota tinggalah empat putra dari para brahmin. Mereka bersahabat satu sama lain. Tiga orang brahmin tersebut sangat ahli dalam ayat-ayat dan sastra-sastra tetapi tidak memiliki akal sehat. Sedangkan brahmin ke empat tidak ahli dalam sastra-sastra tetapi memiliki akal sehat. 

Persatuan Burung


Ketika itu hari masih pagi, sekelompok burung merpati terbang mencari makanan disekitar sawah yang baru saja selesai di panen. Merpati putih berkata; aku lapar,  kapan kita menemukan makanan ?. Sabarlah, kata merpati tua, kita akan segera mendapatkan makanan. Merpati putih berteriak dengan gembira, bahwa ia dapat melihat banyak butir padi berceceran di rerumputan. Sekelompok burung merpati terbang menuju rerumputan. Merpati hitam berkata; cobalah sedikit hati-hati, tampaknya seperti ada perangkap. Mereka lalu turun hinggap di atas rerumputan dan mulai mematuki butir-butir padi itu. Mereka semua sibuk makan dan tidak menyadari seorang pemburu burung bersembunyi dibalik cabang sebatang pohon . 

Tamu Idola


Dalam penggalan ceritra purana, ada  disebutkan seorang raja, yang sangat arif dan bijaksana.   Nama Beliau Adalah Raja “Setya Vreta” Beliau sangat rajin melakukan Bhakti  konon katanya Puja Bhakti waktu hampir tidak pernah ditinggalkannya, dalam  kesehariannya beliau memakai pemujaan dalam altar dengan memakai “ARCANAM”. Akhirnya dari ketekunan inilah sang raja mendapatkan kemantapan hati dan kemurnian Vibrasi. Dari kemurnian hati inilah beliau mendapatkan pemahaman hidup kita di dunia ini, sesungguhnya “UNTUK APA SAYA TERLAHIR DI DUNIA INI” terlebih lagi sang raja yang memiliki kepekaan yang cukup berat terhadap kerajaan yang beliau naungi. Prinsip sang raja adalah suatu keharusan untuk memiliki sikap mental yang lebih tegar dari rakyat, singkatnya menjadi orang No 1 adalah harus mempunyai sesuatu yang lebih, bukan hanya umbar janji. Semakin tinggi pohon itu, maka semakin kuatlah terpaan angin yang mencoba untuk merobohkannya.