Menjadi tua itu pasti, namun
menjadi dewasa itu adalah sebuah pilihan. Lahir, tua dan mati itu sebuah
kepastian yang akan kita hadapi. Semua orang pasti akan mengalaminya,
tergantung sejauh mana kedewasaan kita memaknai dan mengisi hidup ini. Kita boleh
saja berandai-andai dan berkeinginan untuk memiliki segala sesuatu di dunia ini,
namun tetap ketuaan dan kelangsungan umur kehidupan ini ada batasnya. Semua kepemilikan
material yang kita miliki dan angan-angankan sekarang ini nantinya tidak akan
bisa kita bawa sampai mati. Berikut ini adalah sebuah penggalan cerita dari epos
wiracarita Mahabharata tentang kepastian hari tua dan kedewasaan kita dalam
menyikapi dan memaknai hidup.
Raja Yayati mengalami ketuaan
karena kutukan Resi Sukra yang tersinggung karena sang raja yang sudah menjadi
menantunya mengabaikan nasihat sang resi untuk tidak menikahi Sarmishta. Resi Sukra
menyatakan bahwa penyakitnya bisa sembuh bila ada salah seorang putranya yang
sanggup menukar kemudaannya dengan ketuaan sang raja. Raja Yayati kemudian
mendatangi para putranya. Pertama Yayati mendatangi Yadu putra sulung hasil
perkawinannya dengan Dewayani. Yadu berkata, “Ayahanda, aku ingin melaksanakan
tugas sehari-hari dengan baik. Apa yang akan terjadi saat rambutku memutih dan
tenagaku lemah? Umur tua tidak menyenangkan Ayahanda dan aku tidak mau bertukar
usia dengan Ayahanda!” Kemudian Yayati mendatangi Turwasu, putra keduanya.
Turvasu berkata, “Tidak Ayahanda, aku tidak ingin umur tua menghilangkan
kekuatanku dan ketampananku!” Yayati kemudian mendatangi Druhyu dan Anu, putra
sulung dan putra kedua dari perkawinannya dengan Sarmistha. Akan tetapi
keduanya juga menolak menukar usia mudanya dengan usia tua ayahandanya. Ketika
Yayati mendatangi putra bungsu dari perkawinannya dengan Sarmistha, dia sudah
siap menerima penolakannya dan berupaya akan menerima usia tuanya dengan
sebaik-baiknya.
Raja Yayati menemui Puru, putra
bungsunya. Sang raja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sejak
pertemuannya dengan Dewayani dan Sarmishta, sampai dirinya dikutuk oleh Resi
Sukra menderita penyakit tua dan hanya akan kembali muda bila ada seorang
putranya yang sanggup menukar usia mudanya dengan ketuaan dirinya. “Putraku aku
telah menjelaskan semuanya kepadamu, agar kamu dapat menarik hikmah dari
kejadian yang telah kualami.” Tidak ada yang perlu disesali, semuanya sudah
terjadi, yang penting tidak diulangi. Keinginan-keinginan duniawiku membuat
siklus hidupku semakin panjang. Aku tidak begitu berhasrat lagi untuk memintamu
menggantikan diriku menerima kutukan Resi Sukra. Aku akan menerimanya dan sisa
waktuku yang lebih sedikit akan kugunakan untuk bertapa.”
Puru berkata, “Ayahanda, keempat
kakakku menolak menukar usia mudanya dengan ketuaan Ayahanda dan mereka juga
telah kau tolak sebagai putra mahkota. Diriku pun masih terlalu muda untuk
menjadi penggantimu bila ayahanda pergi bertapa. Demi ibunda, demi ayahanda,
demi kerajaan ini aku merelakan usiaku menjadi tua, kuterima tugas menggantikan
diri Ayahanda untuk menjalani kutukan. Semoga ayah dapat memperoleh seorang
putra lagi untuk menjadi putra mahkota. Semoga ayah menyelesaikan tugas-tugas
yang masih tertunda……” Jawaban Puru membuat Raja Yayati kaget, terharu dan
butir-butir air matanya bercucuran.
Puru masih remaja dan belum
banyak mengenal sastra, buku-buku suci. Akan tetapi Puru dengan tulus mengikuti
suara hatinya. Tak ada rasa takut, tak ada penyesalan di dalam hatinya. Puru
bahagia melihat ayahandanya bahagia, kemudian ibundanya akan berbahagia dan
seluruh rakyat pasti akan berbahagia pula, karena masih mempunyai raja yang
kuat. Tanpa disadari dalam diri Puru sudah bangkit “Rasa Kasih”.
Raja Yayati menjadi muda kembali
dan memerintah kerajaan dengan adil dan bijaksana. Kemarahan Dewayani sudah
berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Bahkan kini Dewayani telah
dikaruniai seorang Putri bernama Madawi. Dewayani bahkan memberikan
penghormatan kepada Puru atas pengorbanannya. Sarmishta sedih melihat putranya
yang kelihatan tua, tetapi sekaligus bangga mempunyai putra yang berjiwa agung.
Kesadaran Raja Yayati dan kedua
istrinya meningkat. Raja Yayati sadar, “Wahai Gusti Hyang Maha Kuasa, kami
menyadari bahwa apa pun yang kami alami, sebetulnya adalah akibat dari tindakan
kami sendiri di masa lalu. Bagaimana cara menghadapi masalah yang berada di
depan mata, itulah pilihan yang ada pada saat ini, yang akan menentukan akibat
ke depan.” Kemudian Raja Yayati bersyukur, “Terima kasih Gusti yang telah
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan tugas yang harus kami selesaikan
dalam kehidupan ini. Wahai Gusti, kami juga bersyukur bahwa Gusti telah
menganugerahi kami dengan putra yang berjiwa luhur.”
Dan, akhirnya pada suatu hari
Raja Yayati memanggil Puru untuk mengembalikan kemudaannya. Puru setelah
menjadi muda kembali, kemudian dinobatkan sebagai raja pengganti Yayati. Yayati
berkata, “Putraku aku dulu salah dalam mengidentitaskan diriku. Pikiranku ku
anggap sebagai diriku sehingga aku terombang-ambing antara mengejar kesenangan
dan ketakutan mengalami penderitaan. Kini aku sadar. Kelahiranku, kehidupanku,
semua sudah ditentukan sebelumnya, tetapi bagaimana cara menghadapi ketentuan
itu sepenuhnya tergantung pada diriku sendiri. Dan kini aku memutuskan
menyerahkan kemudaan dan kekuasaan kerajaan kepadamu.”
Raja Yayati juga sudah memaafkan
para putra yang lain, Yadu diminta menjadi raja di Daerah Selatan, Druhyu menjadi
raja di Barat Daya, Turwasu dan Anu di daerah Utara. Yayati kemudian mengembara
di hutan memusatkan perhatian kepada Tuhan sampai akhir hayatnya.
Resi Shukabrahma putra Bhagawan Byasa
mengakhiri kisah tentang Puru kepada Parikesit dengan berkata, “Dari Yadu putra
Dewayani lahirlah kaum Yadawa yang termasuk para raja Surasena, Kunti dan
Chedi. Sri Krishna berasal dari Dinasti Yadawa. Sedangkan Pandawa, nenek
moyangmu berasal dari keturunan Puru. Dari Turwasu lahir para raja di Utara.
Dari Druhyu lahir para Raja Gandhara, Dari Anu lahir para raja Angga, Pundra,
Kalingga, Wangga dan Suhma.”
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus