Bhisma dan Dewi Amba
-- Tut Widi--
Bhisma, adalah tokoh besar dalam
kisah Mahabharata. Ia adalah Putra Mahkota, buah perkawinan Prabu Santanu, Raja
Hastina dengan Dewi Gangga. Bhisma Menjadi icon penting, bahkan mungkin yang
utama, dari kisah kepahlawanan dalam Mahabharata. Ia menjadi termasyur bukan
karena tahta, karena justru Bhismalah yang mengajarkan bahwa Kepahlawanan bukan
sesuatu yang ditakdirkan, bukan sesuatu yang ada karena keterkondisian, bukan
karena sesorang adalah Raja, Putra Mahkota, Prajurit dsb. Kepahlawanan adalah
sebuah pilihan.
Bhisma yang putra mahkota itu
mengucapkan sumpah Brahmacari dan tak hendak menduduki tahta Hastina demi
meyakinkan Dewi Satyawati, seorang Janda Jelita yang menjadi pujaan hati
Santanu, sepeninggal Dewi Gangga yang kembali ke Kahyangan.
Demi menjaga Hidup Prabu Santanu,
ia menjemput Dewi Satyawati ke tengah hutan, dan meyakinkannya bahwa hasil
pernikahannya dengan Prabhu Santanu kelak adalah pewaris tahta Hastina. Agar
sengketa tahta tak berlanjut ke generasi berikutnya, Bhisma memutuskan untuk
menempuh Hidup Brahmacari. Tidak hanya berhenti sampai di situ, Bhsima
meyakinkan Satyawati dan juga Prabu Santanu bahwa tanpa tahtapun dia tidak akan
pernah meninggalkan Hastina dan segala hal yang menjadi kewajibannya seorang
Ksatria di tanah Hastina.
Waktu segera berlalu, Santanu dan
Satyawati hanya mampu melahirkan dua orang anak laki-laki Wicitrawirya dan
Wicitranggada yang kesehatannya tidak normal, yang mana para tabib
memperkirakan dua putra mahkota itu akan mati muda. Tentu saja Satyawati risau
akan haknya. Di sisi lain, Bhisma juga merisaukan keberlangsungan Hastina. Maka
ia menyepakati tugas yang dititahkan Dewi Satyawati untuk segera mencarikan
jodoh bagi dua putra mahkota itu agar segera menghasilkan keturunan sebelum
maut merampas kesempatan itu. Kebetulan di Negara tetangga ada raja yang hendak
mencarikan jodoh bagi tiga orang putrinya lewat sayembara. Ketiga orang putri
itu adalah Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Sebenarnya Dewi Amba
enggan diikutkan dalam sayembara itu karena Ia terlanjur jatuh hati pada
seorang pangeran dari negeri tetangga.
Singkat cerita, Bhisma yang tak
diundang karena status-nya yang brahmacari hadir ke tengah sayembara. Tanpa
diminta, ia menyampaikan pada hadirin bahwa kehadirannya dalam sayembara bukan
untuk dirinya, tetapi untuk dua orang adiknya. Tentu saja banyak pihak yang tak
sepakat. Bhisma tak gentar, dan dia hanya memberikan dua pilihan pada Raja dan
semua pangeran di sana : Mengijinkannya ikut sayembara atau dia akan merampas
semua putri yang disayembarakan.
Bhisma tetap tak diijinkan
mengikuti sayembara, sehingga ia memilih cara kedua. Dengan Keretanya yang
putih berkilau, Ia menyeruak ke tengah arena. Ketiga putri ditariknya ke atas
kereta lalu dengan senjata yg siaga, mata yang awas ia bergegas meninggalkan
arena. Tak satupun pangeran yang kuasa menghalanginya. Bhisma hanya sedikit
repot ketika Pacar Dewi Amba menghadang dan Dewi Amba sendiri berupaya
melarikan diri dari kereta Bhisma. Tapi itupun tidak berlangsung lama karena
hanya dengan tiga desingan anak panah sang pacar menyerah. Sang pacar merasa
dipermalukan. Dewi Amba …? ia hanya bisa mengiba, menggapai angin dari kereta
yang terus semakin laju meningalkan asanya di balik kepulan debu.
Bhisma kembali ke Hastina dengan
tiga orang gadis.
Sampai di sini, perlulah kita
membahas kepahlawanan Bhisma lebih jauh lagi.
Untuk hal Kepahlawanan, sepertinya terasa cukup. Namun demikian, mungkin
ada baiknya kita menyimak sedikit lagi tentangnya.
Bhisma telah menjadi insprirasi
bagi ungakapan “Right Or Wrong Is My Country” karena sikapnya yang tetap kukuh
menjaga Kehormatan Negara Hastina, meskipun Hastina diperintah oleh raja yang
lalim seperti Duryudana dan para Korawa. Kecintaannya pada Hastina tak
dibutakan oleh kasih sayang kepada Para Pandawa yang saat itu telah mendirikan
Kerajaan Indraprastha.
Baginya, sekuat dan sebenar
apapun alasan bagi Pandawa dan Indrapasta untuk berperang, itu adalah dalam
urusannya dengan para Korawa. Dan ketika berbagai alasan itu bersinggungan
dengan kehormatan Hastina, Bhisma harus tetap berdiri di garis depan, menjadi
panglima perang bagi Hastina.
Bhisma tak akan pernah
tertandingi dalam sejarah Kepahlawan. Ia adalah yang pertama dalam urusan
menjaga kehormatan Negara.
Namun demikian, adakah ia juga
piawai dalam menjaga kehormatan Wanita?
Cerita di atas baru sepenggal
berkisah tentang itu.
Tiga orang gadis dirampasnya, dan
kemudia semua dari kita tahu apa yang kemudian terjadi pada Dewi Amba. Tidak
Wicitrawirya, tidak juga Wicitranggada yang memilihnya sebagai Istri. Bahkan
Ketika Bhisma hendak mengembalikannya pada sang pacar, ia pun ditolak. Dewi
Amba akhirnya mengembalikan semua kepada Bhisma sehingga Bhisma terjebak dalam
kisah simalakamanya sendiri. Terlepas dari persoalan suka ataupun tidak, Ia
yang telah mengangkat sumpah Brahmacari tak mungkin menikahi Amba, dan di sisi
lain ia juga tak mampu mengupayakan hal yang lebih baik baginya.
Ia yang mulai galau dan berusaha
menenggang waktu, tak kuasa menolak karmanya sendiri. Anak panah yang ia
selipkan pada rentangan gandewa tiba-tiba lepas dan menghujam deras, tepat di
ulu hati Dewi Amba.
Bisakah karma memberikan
toleransinya pada bhisma yang sama sekali tak bermaksud membunuh? Pada Bhisma
yang hanya ingin menunda waktu?
Tidak.
Sang karma harus adil dan
memberikan kesempatan pada Dewi Amba untuk selalu menuntut Kebenaran. Maka,
atas restu sang Karma, Dewi Amba mengutuk Bhisma, menuntut balas kematian,
kelak di medan Kuruksetra.
Dan … ketika waktunya tiba, Amba
dalam wujud Srikandi mendapatkan haknya itu.
Sehari sebelum waktu pembalasan,
Bhisma sudah mengetahui kehadiran Amba pada diri Srikandi. Ia yang tak takut
pada kematian, ia yang tunduk pada garis kehidupan, nampak ceria melewatkan
setiap tanda pergantian waktu dengan bahagia. Ia tak memerintahkan
dipersiapkannya pasukan khusus untuk menghalangi pertemuannya dengan Srikandi.
Sebaliknya, justru ia sungguh-sungguh mengharapkan segeranya pertemuan itu.
Keesokan harinya, di medan Kuru
Ksetra, Bhisma tetap berusaha menunaikan tugas ke-Ksatriaannya. Semua yang
menghadang harus bersusah payah menghindar dari hujan panah Bhisma. Pun ketika
ia melihat Arjuna.
Sesaat setelah menerima
penghormatan Arjuna, Bhisma kembali merentangkan anak panah membidik Arjuna.
Entah dari mana datangnya, secepat kilat, Srikandi hadir diantara mereka.
Bhisma terkesiap dan segera mengarahkan mata panahnya ke tubuh srikandi. Namun,
kala itu ia tak punya kesempatan. Tak satupun anak panah yang terlepas menjadi
utuh menyentuh tubuh Srikandi karena anak panah Bhisma di tebas panah-panah
Arjuna. Sebaliknya Srikandi dapat melepaskan setaip anak panahnya dengan
leluasa. Tak satupun panah Srikandi luput menghujam Bhisma. Panah Srikandi,
menghujam tepat di setiap simpul cakra Bhisma.
Adakah Bhisma panik dan menyimpan
amarah karenanya? Tidak …. Bhisma menyambut semua anak panah Srikandi dengan
bahagia. Semakin berlaksa, semakin jelas dilihatnya sosok Amba pada diri
Srikandi. Bhisma terhuyung, namun ia berusaha tetap berdiri. Tanggannya
mengembang, badannya condong … seolah ingin mendekat … ingin menyambutnya …
memeluknya.
Akhirnya Srikandi menyadari
isyarat itu. Perlahan, ia menurunkan anak panahnya. Dengan seksama ia menangkap
makna dari tatapan Bhisma yang syahdu. Saat itulah, Dewi Amba dalam wujud Srikandi
menemukan jawaban yang jujur dari seorang Bhisma. Lewat matanya, lewat
senyumnya, Bhisma menyampaikan pada Amba bahwa sesungguhnya ia sangat
menunggu-nunggu kesempatan itu, saat dimana ia dapat melepaskan semua sumpah
dan atribut yang duniawinya selama ini yang tak memberinya ruang untuk
mengungkapan Cinta. Amba akhirnya tahu, dirinya bukanlah seorang yang
ter-sia-sia ….
Bhisma ….
Ia memang Pahlawan Besar, tak
pernah lelah menjaga Kehormatan Hastina.
Sementara Dewi Amba …
Perjalan kisahnya juga membawa
pesan tersendiri yang tak kalah mulianya.
Ia telah mengajarkan bahwa
Kepahlawan, Kegigihan dalam menjaga Kehormatan Negara tak boleh menjadi alasan
pembenar untuk mengabaikan Kehormatan Wanita.
Bhagavad Gita Mengajarkan :
“Dimana Kaum Perempuan Di
hormati, di sana Rejeki akan berlimpah, Kesejahteraan Masyarakat meningkat,
serta Kehormatan bangsa dan Negara terjaga. Sebaliknya, Dimana Kaum Perempuan
direndahkan dan diperlakukan sebagai kaum marginal, maka dengan segera Bangsa dan
Negara itu akan menjelang Kehancuran”.
Semoga kita dapat belajar dari
kisah ini.
Sumber: http://ceritahindu.blogspot.com/2010/04/bhisma-dan-dewi-amba.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar