Pelaksanaan keagamaan Hindu tak
pernah lepas dari simbolisasi nilai-nilai agama yang diaplikasikan langsung ke
dalam budaya lokal setempat daerah agama Hindu tersebut berkembang. Agama Hindu
merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau upakara. Ini bukan
berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias pelaksanaan ritual.
Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu memiliki makna dan tujuan
tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Demikian halnya yang
terjadi di Bali, hampir sebagian besar dan bahkan secara keseluruhan
nilai-nilai agama itu menjiwai kebudayaan Bali. Darah seni berkolaborasi dengan
nilai religius keagamaan merasuk dalam nafas kreativitas orang-orang Hindu
Bali. Begitu pula dalam pelaksanaan yadnya, baik sarana-sarana yadnya maupun
hal-hal lainnya.
Upakara ritual agama Hindu di
Bali kaya dengan jenis dan bentuk upakara. Baik dari bentuk yang paling kecil
dan sederhana, sampai yang paling besar dan rumit. Sebagai contoh dalam pelaksanaan
upacara keagamaan atau dalam persembahyangan diperlukan beberapa sarana,
seperti penjor, gebogan, daksina, canang sari, dan sebagainya. Termasuk juga
salah satunya berupa “kewangen”, namun sebelumnya kita bahas sedikit tentang
canang sari sebagai sarana sembahyang umat Hindu di Bali.
Canang Sari
Canang berasal dari bahasa jawa
kuno yang pada mulanya berarti sirih, yang disuguhkan pada tamu yang sangat dihormati.
Jaman dulu, sirih benar–benar bernilai tinggi. Setelah agama Hindu berkembang
di Bali, sirih itupun menjadi unsur penting dalam upacara agama dan kegiatan
lain. Di Bali, salah satu bentuk banten disebut “Canang” karena inti dari
setiap canang adalah sirih itu sendiri. Canang
belum bisa dikatakan bernilai agama jika belum dilengkapi porosan yang
bahan pokoknya sirih.
Perlengkapan canang adalah
alasnya dipakai ceper atau daun pisang berbentuk segi empat, di atasnya
berturut – turut disusun plawa, porosan, urasari kemudian bunga.
Makna masing – masing
perlengkapan canang :
Plawa adalah daun–daunan. Telah
disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa plawa merupakan lambang tumbuhnya
pikiran yang hening dan suci, sehingga dapat menangkal pengaruh busuk dari
nafsu duniawi.
Porosan adalah dari pinang dan
kapur yang dibungkus daun sirih. Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan
pinang, sirih dan kapur adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan pada
Dewa Brahma, kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih lambang pemujaan pada
Dewa Wisnu.
Urasari adalah jejahitan,
reringgitan, dan tetuwasan sebagai lambang ketepatan dan kelanggengan pikiran dan
lambang permohonan pada Tuhan Yang maha esa agar alam lingkungan hidup kita
selaras dan seimbang.
Bunga adalah lambang keikhlasan.
Apapun yang mengikat diri kita di dunia ini harus kita ikhlaskan sebab cepat /
lambat dunia inipun akan kita tinggalkan.
Dalam Bhagawad Gita IX.26
disebutkan:
“Patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati,
Tad aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah”.
Artinya:
Siapapun yang dengan
sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bungan, sebiji
buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang
berhati suci.
Berdasarkan sloka tersebut, unsur
persembahan kepada Tuhan tidak mengikat, dapat berupa daun, bunga, buah, air
dan lain-lain, asal diberikan dengan tulus ikhlas, diterima. Tanpa itupun juga
boleh, sebagaimana dinyatakan dalam Rg Weda IV.25.8 jo Rg Weda VIII 70.3. Mengacu
pada sloka tersebut, leluhur umat Hindu di Bali mengembangkan tatwa suci itu
dengan kecerdasan lokal jenius yang mereka miliki (lokal wisdom). Maka munculah
sebuah budaya “canang” sebagai wujud persembahan rasa syukur umat Hindu Bali
atas segala yang ada di dunia ini. Karena kalau kita cermati, semua bahan untuk
membuat “canang” itu berasal dari alam, alam adalah ciptaan Tuhan. Segala sesuatunya
berasal dari Tuhan, lalu apa yang manusia persembahkan?. Manusia diberikan satu
kelebihan dibandingkan semua ciptaan Tuhan yang lainnya, yaitu “idep” atau
pikiran. Dengan mengolah pikiran, cipta, rasa dan karsanya leluhur umat Hindu
di Bali membuat sebuah simbolisasi persembahan dengan mengaplikasikan sloka
Bhagawad Gita tersebut ke dalam bentuk sebuah persembahan yang kita sebut
dengan “canang”. Selain itu jika kita lihat juga “canang” yang lengkap dengan
kembang rampainya terlihat menyerupai sebuah linggayoni, sebagai simbolisasi
kesuburan dan penciptaan. Maka dari itu, diusahakan jika menghaturkan “canang”
kalau bisa untuk membuat sendiri sebagai persembahan rasa syukur kita atas
semua yang ada di dunia ini.
Jadi canang mengandung arti dan
makna rasa syukur dan bhakti serta perjuangan hidup manusia dengan selalu
memohon bantuan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, untuk dapat menciptakan,
memelihara dan meniadakan yang patut diciptakan, dipelihara, dan ditiadakan
demi suksesnya cita–cita hidup manusia yakni kebahagiaan.
Canang dari segi penggunaannya
dan bentuk serta perlengkapannya ada beberapa macam, misalnya: Canang Genten,
Canang Burat Wangi, Lenge Wangi, Canang Sari, Canang Meraka, dan lain – lain.
Kwangen
Kalau dikaitkan dengan huruf
suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol “Omkāra” (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om” adalah huruf suci, singkat dan mudah diingat.
Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa “kewangen” memiliki bentuk kecil,
mungil, praktis, dan indah serta berbau harum. Keharuman ”kewangen” ini adalah
suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta senantiasa mengingat,
mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan. Keberadaan “Kewangen” sangat
penting dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang
dipuja yaitu Tuhan Yang Mahaesa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sebagai simbolik
Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya “kewangen” dibuat dengan bentuk
yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan harum. Hal ini dapat dimaknai
bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum, dan suci sehingga
menarik untuk dipuja dan dimuliakan. Dalam Siwagama disebutkan bentuk Kewangen Sebagai
simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki ukuran bentuk yang
kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti bunga sedang
kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang, plawa,
porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum yang
ditusuk dengan semat (bilih bambu
yang dibelah kecil-kecil). Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan.
Porosan sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian
kewangen, bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya
diisi lidi (batang daun kelapa yang
kecil) yang dilipat sehingga mudah ditancapkan.
Estetika Kewangen
Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas
manusia baik sengaja atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan
bathin atau rohani bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat.
Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk
memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun
keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan
(estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia. Keindahan dan
seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia
akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran karya
estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam kehidupannya. Demikian
juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk ”Kewangen” yang
merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika. ”Kewangen”
memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni.
Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam persembahyangan
umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ” sebagai sarana
dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya membawa suasana
bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman sehingga memudahkan
berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah ”kewangen”
dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana senang, suci,
kusyuk dan nyaman dalam sembahyang.
1. Unsur-unsur keindahan Kewangen
Untuk mewujudkan estetika
“kewangen” diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna tersendiri dalam
persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan (estetika) pada pada bentuk
“kewangen”. Adapun unsur tersebut antara lain:
1) Kojong kewangen
Kojong kewangen dibuat dari daun
pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian
depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti
kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah
untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan “Arda Candra”, badang
kojong melambangkan “Suku Tunggal”.
2) Plawa
Pelawa adalah sejenis daun-daunan
(cukup selembar), daun yang dimaksud bisa dari daun kemuning, daun pandan
harum, daun kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan
ketengan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang
menarik sehingga dapat mendukung estetika “kewangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua
lembar daun sirih yang digabung berhadaphadapan, ditengahnya berisi kapur sirih
dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida
Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini juga melengkapi keindahan komposisi dari
bentuk “kewangen”.
4) Sampian kewangen
Sampian kewangen berbentuk cili
dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Sampian kewangen
sebagai simbol “Nada”. Unsur ini paling dominan terlihat dalam mendukung
estetika kewangen. Sampian kewangen dari rangkaian tuesan/ rerunggitan daun
kelapa yang melambangkan rasa ketulusan hati, dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan
bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta penataan yang
mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan
(estetika) sebuah “kewangen”.
5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng
adalah sejenis uang yang diperlukan dalam upacara keagamaan umat Hindu. Uang
kepeng melambangkan sesari / sarining manah. Selain itu uang kepeng berfungsi
sebagai penebus segala kekurangan yang ada. Kalau kita perhatikan dengan
seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf
mandarin dan sanskerta pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu
juga mendukung estetika dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O),
yaitu penyatuan Siwa Budha.
2. Komposisi keindahan Kewangen
Komposisi merupakan penataan
unsur-unsur yang membentuk keindahan suatu karya. Komposisi keindahan
“kewangen” adalah menata atau menyusun unsurunsur dari “kewangen” itu sendiri,
seperti: menata atau menyusun kojong kewangen, pelawa, porosan silih asih, pis
bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga, sehingga menjadi bentuk yang indah
dan menarik.
1) Keseimbangan
Penataan unsur-unsur “kewangen”
dengan memperhatikan keseimbangan antara bagian kiri dan kanan dengan
menerapkan keseimbangan simetris, yaitu bagian kiri dan kanan diusahakan
unsur-unsurnya memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang sama. Hal ini dilakukan
agar “kewangen” tidak berkesan berat sebelah.
2) Kesatuan
Penataan unsur-unsur “kewangen”
agar berkesan suatu keutuhan bentuk. Unsur yang satu menukung unsur yang
lainnya sehingga tidak ada kesan yang lepas atau terpisah antara bagian-bagian
dari “kewangen” itu sendiri. Penataan ini perlu dilakukan agar pandangan orang
terhadap “kewangen” terfokus pada keutuhan bentuk “kewangen”.
3) Irama
Penataan unsur-unsur “kewangen”
berdasarkan irama untuk menimbulkan keharmonisan bentuk “kewangen”. Penataan
ini dapat dilakukan dengan mengatur gradasi bentuk, ukuran dan warna unsur,
misalnya dari bentuk kecil ke bentuk yang lebih besar dan kembali ke bentuk
yang kecil, atau dari warna yang terang ke warna yang lebih gelap dan kembali
ke warna yang terang.
4) Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan
dalam penataan unsur-unsur pembentuk “kewangen” termasuk ketepatan penempatan
posisi dari masing-masing bagianbagian dari “kewangen”, seperti penempatan
sampian kewangen pada bagian belakang, pis bolong pada bagian depan, dan
sebaginya. Penempatan unsur-unsur kewangen yang tepat pada posisinya tentu akan
mendukung keindahan bentuk “kewangen”.
3. Hubungan bentuk, esteika dan
fungsi
Kwangen berasal dari bahasa jawa
kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum. Mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran
‘an’ menjadi kewangian disandikan menjadi kwangen artinya keharuman yang
berfungsi untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha
Esa.
Bentuk “kwangen” yang kecil dan
mungil serta seolah-olah berbentuk segitiga terbalik tentu telah
memperhitungkan fungsi dari “kwangen” tersebut. Fungsi yang dimaksud adalah
saat digunakan untuk sembahyang, yaitu “kwangen” dipegang (dijepit) pada
cakupan kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubun-ubun dan menghadap pada
diri kita. Artinya “kwangen” nyaman digunakan saat sembahyang, tidak susah dipegang,
tidak mudah jatuh dan tidak mengganggu konsentrasi. Keserasian antara bentuk
dan fungsi mutlak harus dikondisikan. Keindahan suatu bentuk jangan sampai
mengganggu fungsi dan sebaliknya fungsi jangan sampai menganggu bentuk. Kalau
diperhatikan, pada bagian badan “kwangen” yang merupakan kojong “kwangen”
dibuat polos (sederhana) tanpa hiasan, hal ini untuk memudahkan dipegang
(dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan. Demikian juga, keindahan bentuk
jangan sampai tergganggu akibat salah menggunakan atau memegang “kwangen”. Keserasian
bentuk dan fungsi “kwangen” akan memberikan kepuasan bathin saat memandangi
estetika “kwangen”, seperti dapat menimbulkan kesenangan, menyejukkan pikiran,
dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk sembahyang dapat
memberikan kekusukan dan kesucian bathin. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa estetika “kwangen” nampak pada bentuknya yang kecil dan mungil yang
tersusun atas komposisi unsur-unsur yang indah dan bermakna simbolik serta
dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Keindahan (estetika) kewangen memiliki
keserasian bentuk dan fungsi sehingga nyaman digunakan pada saat sembahyang
baik secara fisik maupun bathin.
Kwangen digunakan sebagai sarana
dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara / bebantenan. Kwangen paling
bangak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu juga sebagai
pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya.
Dewa Yadnya, sebagai pelengkap
Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis sesayut.
Rsi Yadnya, juga sebagai
pelengkap Banten Tetebasan.
Pitra Yadnya, dipakai dalam
upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk diupacarakan yaitu pada setiap
persendian tubuhnya.
Manusia Yadnya, digunakan pada
setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan, dan pelengkap banten.
Bhuta Yadnya, digunakan dalam
upacara memakuh, macaru, dll
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar