Kamis, 19 Juli 2012

Tumpek Wariga: Monumental Hari Bumi


“Kaki Bentuyung, titiang mapangarah, buin selae dina Galungan, mabuah nyen apang nged, nged, ngeeed!”

Setiap kali perayaan hari Tumpek Pengatag, sekelumit doa sederhana itu senantiasa terucap dari orang tua kita dahulu hingga saat ini pun masih terngiang di telinga. Doa itu mengandung penghargaan agar sang pohon bisa berbuah lebat. “Nged” adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti berbuah banyak /lebat, sehingga bisa digunakan untuk keperluan upacara hari raya Galungan yang jatuh 25 hari berikutnya.
Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag - dikenal juga sebagai Tumpek Wariga, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh - dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh tumbuhan. Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.

Annaad bhavanti bhuutaani.
Prajnyaad annasambhavad.
Yadnyad bhavati parjanyo
Yadnyah karma samudbhavad.
(Bhagavad Gita.III.14)

Artinya:
Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu adalah karma.

SLOKA Bhagavad Gita ini mengingatkan kita bahwa tanpa tumbuh-tumbuhan semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya di bumi ini. Mengapa? Karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini.
Bumi memberikan tanah. Langit menurunkan hujan untuk berkembangnya tumbuh-tumbuhan. Mengapa bumi dan langit dapat berlaku demikian. Itulah hukum Rta yang diciptakan oleh Tuhan. Tuhan dalam kemahakuasaan-Nya menciptakan tumbuh-tumbuhan melalui hukum alamnya yang disebut Dewa Sangkara oleh para Rsi.
Karena itu, umat Hindu akan memuja Tuhan sebagai Dewa Sangkara untuk memohon kekuatan jiwa dan raga dalam mengembangkan tumbuh-tumbuhan. Pada zaman industri dewasa ini, sungguh tidak mudah mengembangkan upaya agar tumbuh-tumbuhan dapat berkembang seimbang sesuai dengan hukum ekologi.
Manusia sebagai makhluk hidup yang paling serakah sering berbuat tidak adil kepada keseimbangan hidup tumbuh-tumbuhan tersebut. Untuk menumbuhkan sikap yang adil dan penuh kasih kepada tumbuh-tumbuhan, umat Hindu memohon tuntunan Dewa Sangkara sebagai manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, umat Hindu di India memiliki ”Hari Raya Sangkara Puja”, sedangkan umat Hindu di Bali memiliki Tumpek Wariga sebagai hari untuk memuja Dewa Sangkara. Tumpek Wariga adalah hari untuk menghaturkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Dewa Sangkara (masyarakat Bali Kuno menyebut sebagai Kaki Bentuyung), Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan dengan menghaturkan bubur/bubuh. Selain itu,Tumpek wariga juga merupakan rangkaian awal dalam persiapan menyambut hari raya Galungan.
Kemasan luar perayaan Sangkara Puja di India dan hari Tumpek Wariga di Bali tentunya berbeda, tetapi maknanya tidak berbeda. Kedua hari tersebut sebagai suatu proses ritual yang sakral untuk mengingatkan umat manusia agar selalu memohon tuntunan Tuhan dalam mengembangkan dan melindungi tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan makhluk hidup yang paling utama.
Di Bali pada zaman kerajaan ada Lontar Manawa Swarga yang mencantumkan tentang perlindungan kepada tumbuh-tumbuhan. Dalam Lontar Manawa Swarga dinyatakan, barang siapa menebang pohon tanpa izin raja, maka akan dihukum denda lima ribu kepeng. Demikian juga dalam struktur pemerintahan kerajaan ada satu jabatan yang mengurus tumbuh-tumbuhan yang disebut Menteri Juru Kayu. Mungkin mirip menteri pertanian dan kehutanan dewasa ini.
Demikian besarnya perhatian umat di masa lampau pada tumbuh-tumbuhan. Dewasa ini sesungguhnya secara formal perhatian umat manusia pada kehidupan tumbuh-tumbuhan juga sangat besar. Namun, orientasinya lebih banyak untuk mendapatkan keuntungan ekonomis jangka pendek. Bahkan, keuntungan tersebut pun distribusinya tidak berkeadilan. Mereka yang berkecimpung dalam bidang pertanian dalam arti luas selalu mendapatkan kontribusi yang sangat kecil kalau dibandingkan dengan yang lainnya. Petani yang menghasilkan beras, sayur-sayuran, buah-buahan, penghasilannya sangat kecil kalau dibandingkan dengan pedagang beras, sayur atau buah-buahan.
Apalagi bidang yang lainnya. Padahal semua orang tidak mungkin bisa hidup tanpa hasil pertanian itu. Rerainan Tumpek Wariga ini yang datang setiap 210 hari hendaknya jangan dibiarkan terus bergulir dengan tema yang penuh gema namun kosong makna. Marilah kita maknai lebih nyata. Misalnya dengan membuat program enam bulanan dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya ada hal-hal yang nyata yang kita lakukan terhadap perbaikan nasib tanaman-tanaman yang tumbuh di bumi ini.
Demikian juga nasib masyarakat yang berbuat nyata dalam mengembangkan dan melindungi berbagai macam tumbuh-tumbuhan di Bali. Zaman dahulu umat Hindu memelihara dan melindungi berbagai macam tanaman dengan upacara keagamaan. Itu memang sesuai dengan apa yang diajarkan dalam kitab suci.

Kita tanam tumbuh-tumbuhan itu, setelah dia tumbuh maksimal terus dijadikan sarana memuja Tuhan. Sekarang banyak lahan tidur di Bali. Masyarakat lebih suka membeli ke luar Bali berbagai kebutuhan sarana upacara tersebut. Para ahli sebaiknya menyampaikan pandangannya kalau terus-menerus tumbuh-tumbuhan dari luar masuk Bali bagaimana nasib masa depan tumbuh-tumbuhan yang asli Bali.
Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi ala Bali. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kering-kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya, tak semata Bali. Visi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif.
Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi ala Bali menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi.
Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.
Karenanya, menurut pandangan Ketut Gobyah, salah satu pemuka masyarakat, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan tindakan nyata, satu orang menanam satu pohon. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental.
Mari terus menerus menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan kita. Dalam skala kecil, berawal dari lingkungan tempat tinggal kita dahulu. Menanam tumbuh-tumbuhan untuk kelestarian lingkungan, dan dijadikan sarana memuja Tuhan. Dalam skala yang lebih besar lagi, mengaktifkan dengan menanami berbagai jenis tanaman pada banyak lahan tidur di Bali. Hasilnya akan bisa dimanfaatkan masyarakat Bali sendiri tanpa harus tergantung dari pasokan luar Bali, khususnya dalam memenuhi berbagai kebutuhan sarana upacara keagamaan.
Hal inilah yang semestinya kita lakukan secara terus menerus, dan berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna Bali, bahkan di seluruh dunia. Secara berkala dalam merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara niskala kita melakukan upacara keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan Bali pada khususnya dan bumi pada umumnya.


Sumber:
http://dekualbalineseclothing.blogspot.com/2011/05/tumpek-bubuh.html

3 komentar:

  1. Hello, kunjungan siang, rahajeng mekarya stata rahayu dan terus berkarya untuk Budaya Bali dan Agama Hindu Tercinta ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. om swastyastu.. rahajeng sore bli...
      dumogi stata kapica waranugraha ida sang hyang widhi wasa... sareng2 malajah niki bli... hehehe dumogi kenak sareng sami.... hehehe

      Hapus
  2. Om Swastyastu, kunjungan sore... rahajeng makarya, btw ba jam mulih, mai mataki2 malu,,, hehehe

    BalasHapus