“Kaki Bentuyung,
titiang mapangarah, buin selae dina Galungan, mabuah nyen apang nged, nged,
ngeeed!”
Setiap kali perayaan hari Tumpek Pengatag, sekelumit doa sederhana itu senantiasa terucap dari orang tua kita dahulu hingga saat ini pun masih terngiang di telinga. Doa itu mengandung penghargaan agar sang pohon bisa berbuah lebat. “Nged” adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti berbuah banyak /lebat, sehingga bisa digunakan untuk keperluan upacara hari raya Galungan yang jatuh 25 hari berikutnya.
Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag - dikenal juga
sebagai Tumpek Wariga, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh - dihaturkan persembahan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa
Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan.
Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan
memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur
dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi
segala jenis tumbuh tumbuhan. Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek
Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan
menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan
penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu
diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam
memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia
bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.
Annaad
bhavanti bhuutaani.
Prajnyaad
annasambhavad.
Yadnyad
bhavati parjanyo
Yadnyah
karma samudbhavad.
(Bhagavad Gita.III.14)
Artinya:
Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya.
Yadnya itu adalah karma.
SLOKA
Bhagavad Gita ini mengingatkan kita bahwa tanpa tumbuh-tumbuhan semua makhluk
bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya di bumi ini. Mengapa? Karena bahan
pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan
adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini.
Bumi memberikan tanah. Langit
menurunkan hujan untuk berkembangnya tumbuh-tumbuhan. Mengapa bumi dan langit
dapat berlaku demikian. Itulah hukum Rta yang diciptakan oleh Tuhan. Tuhan
dalam kemahakuasaan-Nya menciptakan tumbuh-tumbuhan melalui hukum alamnya yang
disebut Dewa Sangkara oleh para Rsi.
Karena itu, umat Hindu akan memuja
Tuhan sebagai Dewa Sangkara untuk memohon kekuatan jiwa dan raga dalam
mengembangkan tumbuh-tumbuhan. Pada zaman industri dewasa ini, sungguh tidak
mudah mengembangkan upaya agar tumbuh-tumbuhan dapat berkembang seimbang sesuai
dengan hukum ekologi.
Manusia sebagai makhluk hidup yang
paling serakah sering berbuat tidak adil kepada keseimbangan hidup
tumbuh-tumbuhan tersebut. Untuk menumbuhkan sikap yang adil dan penuh kasih
kepada tumbuh-tumbuhan, umat Hindu memohon tuntunan Dewa Sangkara sebagai
manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, umat Hindu di India memiliki ”Hari
Raya Sangkara Puja”, sedangkan umat Hindu di Bali memiliki Tumpek Wariga
sebagai hari untuk memuja Dewa Sangkara. Tumpek Wariga adalah hari untuk
menghaturkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi
sebagai Dewa Sangkara (masyarakat Bali Kuno menyebut sebagai Kaki Bentuyung),
Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan
dengan menghaturkan bubur/bubuh. Selain itu,Tumpek wariga juga merupakan
rangkaian awal dalam persiapan menyambut hari raya Galungan.
Kemasan luar perayaan Sangkara Puja di
India dan hari Tumpek Wariga di Bali tentunya berbeda, tetapi maknanya tidak
berbeda. Kedua hari tersebut sebagai suatu proses ritual yang sakral untuk
mengingatkan umat manusia agar selalu memohon tuntunan Tuhan dalam
mengembangkan dan melindungi tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan makhluk
hidup yang paling utama.
Di Bali pada zaman kerajaan ada Lontar
Manawa Swarga yang mencantumkan tentang perlindungan kepada tumbuh-tumbuhan.
Dalam Lontar Manawa Swarga dinyatakan, barang siapa menebang pohon tanpa izin
raja, maka akan dihukum denda lima ribu kepeng. Demikian juga dalam struktur
pemerintahan kerajaan ada satu jabatan yang mengurus tumbuh-tumbuhan yang
disebut Menteri Juru Kayu. Mungkin mirip menteri pertanian dan kehutanan dewasa
ini.
Demikian besarnya perhatian umat di
masa lampau pada tumbuh-tumbuhan. Dewasa ini sesungguhnya secara formal
perhatian umat manusia pada kehidupan tumbuh-tumbuhan juga sangat besar. Namun,
orientasinya lebih banyak untuk mendapatkan keuntungan ekonomis jangka pendek.
Bahkan, keuntungan tersebut pun distribusinya tidak berkeadilan. Mereka yang
berkecimpung dalam bidang pertanian dalam arti luas selalu mendapatkan
kontribusi yang sangat kecil kalau dibandingkan dengan yang lainnya. Petani
yang menghasilkan beras, sayur-sayuran, buah-buahan, penghasilannya sangat
kecil kalau dibandingkan dengan pedagang beras, sayur atau buah-buahan.
Apalagi bidang yang lainnya. Padahal
semua orang tidak mungkin bisa hidup tanpa hasil pertanian itu. Rerainan Tumpek
Wariga ini yang datang setiap 210 hari hendaknya jangan dibiarkan terus
bergulir dengan tema yang penuh gema namun kosong makna. Marilah kita maknai
lebih nyata. Misalnya dengan membuat program enam bulanan dari Tumpek Wariga ke
Tumpek Wariga berikutnya ada hal-hal yang nyata yang kita lakukan terhadap
perbaikan nasib tanaman-tanaman yang tumbuh di bumi ini.
Demikian juga nasib masyarakat yang
berbuat nyata dalam mengembangkan dan melindungi berbagai macam tumbuh-tumbuhan
di Bali. Zaman dahulu umat Hindu memelihara dan melindungi berbagai macam
tanaman dengan upacara keagamaan. Itu memang sesuai dengan apa yang diajarkan
dalam kitab suci.
Kita tanam tumbuh-tumbuhan itu,
setelah dia tumbuh maksimal terus dijadikan sarana memuja Tuhan. Sekarang
banyak lahan tidur di Bali. Masyarakat lebih suka membeli ke luar Bali berbagai
kebutuhan sarana upacara tersebut. Para ahli sebaiknya menyampaikan
pandangannya kalau terus-menerus tumbuh-tumbuhan dari luar masuk Bali bagaimana
nasib masa depan tumbuh-tumbuhan yang asli Bali.
Karena itu pula, tradisi perayaan
Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi
ala Bali. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu
Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang
perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari
baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan
bahwa para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga
agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kering-kerontang akibat alam
lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam
konteks semesta raya, tak semata Bali. Visi dari segala tradisi itu bukan semata
menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan
lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum
manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk menjaga kelestarian
lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah
lebih dulu mewadahinya dengan arif.
Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag
sebagai Hari Bumi ala Bali menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai
bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak
keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan.
Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi.
Situasi serba paradoks ini
sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung
terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya
alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak
disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah
upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total
sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi
terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.
Karenanya, menurut pandangan Ketut
Gobyah, salah satu pemuka masyarakat, akan menjadi menawan, bila Tumpek
Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan,
tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan
merusak alam lingkungan. Dengan tindakan nyata, satu orang menanam satu pohon.
Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner
menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa
lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta
indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental.
Mari terus menerus menjaga kebersihan
dan kelestarian lingkungan kita. Dalam skala kecil, berawal dari lingkungan
tempat tinggal kita dahulu. Menanam tumbuh-tumbuhan untuk kelestarian
lingkungan, dan dijadikan sarana memuja Tuhan. Dalam skala yang lebih besar
lagi, mengaktifkan dengan menanami berbagai jenis tanaman pada banyak lahan
tidur di Bali. Hasilnya akan bisa dimanfaatkan masyarakat Bali sendiri tanpa
harus tergantung dari pasokan luar Bali, khususnya dalam memenuhi berbagai
kebutuhan sarana upacara keagamaan.
Hal inilah yang semestinya kita
lakukan secara terus menerus, dan berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna
Bali, bahkan di seluruh dunia. Secara berkala dalam merayakan hari Tumpek
Wariga, di samping secara niskala kita melakukan upacara keagamaan. Dengan
demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan
berbagai kemajuan dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan Bali pada khususnya dan
bumi pada umumnya.
Sumber:
http://dekualbalineseclothing.blogspot.com/2011/05/tumpek-bubuh.html
Hello, kunjungan siang, rahajeng mekarya stata rahayu dan terus berkarya untuk Budaya Bali dan Agama Hindu Tercinta ...
BalasHapusom swastyastu.. rahajeng sore bli...
Hapusdumogi stata kapica waranugraha ida sang hyang widhi wasa... sareng2 malajah niki bli... hehehe dumogi kenak sareng sami.... hehehe
Om Swastyastu, kunjungan sore... rahajeng makarya, btw ba jam mulih, mai mataki2 malu,,, hehehe
BalasHapus