Mawija atau mabija dilakukan
setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara
persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih
atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL)
sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya
diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang
Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud
dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang.
Mawija mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri
orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan
suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia terdapat sifat
kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daiwi-sampat dan Asuri-sampat.
Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat
kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu
bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya
sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka
tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati
itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua
kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai
lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
Agaknya perlu juga dikemukakan di
sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan
bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma
terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan
menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau
dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah
bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata
"bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa
Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa
Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang
masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang
berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka
dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini adalah
lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan
menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk
menyucikan dirinya (Bhasma sesa).
Pada kenyataanya, setiap umat
Hindu di Indonesia mempunyai cara sendiri dalam menggunakan bija. Penempatan
bija pada tubuh setiap orang berbeda-beda. Berikut adalah tempat pemakaian bija
beserta beragam macam maknanya:
-
Di ubun-ubun: untuk menguatkan atma
-
Di dahi atau sela-sela alis: untuk memuja Siwa
(trinetra)
-
Di pangkal tenggorokan: untuk menguatkan
kundalini (tujuh cakra di dalam tubuh)
-
Di pangkal leher belakang: untuk menolak bahaya
-
Di daun telinga bawah kiri-kanan: untuk
mengendalikan panca indra
Adapun tempat pemakaian bija dan
makna yang berbeda sebagai berikut:
Bija yang diletakkan di kening
memiliki makna supaya dengan prasadam yang diberikan oleh Tuhan tujuannya untuk
menimbulkan benih-benih ide yang cemerlang serta membuat pikiran kita terfokus
pada hal-hal yang suci, doa yang di gunakan saat menaruh bija di kening adalah
Om Shriyam Bawanthu, yang artinya semoga cerdas atas anugerah Hyang Widhi.
Bija yang diletakkan pada dada
dimaksudkan agar di dada senantiasa bersemayam kesucian pribadi dan untuk
melapangkan hati doa yang di ucapkan pada saat meletakkan bija di dada adalah
Om Sukham Bhawanthu, yang artinya semoga mendapatkan kebahagiaan atas anugerah
Hyang Widhi.
Bija yang ditelan kedalam mulut
bermakna bahwa kita menanam benih-benih kesucian dalam diri, selain itu juga
untuk memperoleh anugrah kemakmuran, doa yang diucapkan pada saat menelan bija
itu adalah Om Purnam Bhawanthu, Om ksama sampurna ya namah swaha, yang artinya
semoga mendapat kesempurnaan dan pengampunan dari Hyang Widhi.
Belum ditemukan referensi atau
lontar mengenai pemakaian bija yang tepat. Tetapi, jumlah biji bija yang
dipakai adalah tiga biji pada setiap tempat.
Sumber:
http://www.babadbali.com/canangsari/bija.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar