Sejarah Banten di Bali
Membaca
sejarah/babad/prasasti-prasasti/pelelutuk yang ada di Bali (antara lain:
Markandeya Tattwa, Tutur Kuturan, Sanghyang Aji Swamandala, Gong Besi,
Dwijendra Tattwa), maka: Upakara yang juga dinamakan: banten, bali, hanya bagi
umat Hindu yang di Bali, atau bagi umat Hindu Bali yang merantau keluar Bali.
Sebabnya, Maharsi Markandeya yang datang
ke Bali pada abad ke-8 mendapat wahyu bahwa umat Hindu di Bali perlu:
1. Melengkapi upakara dengan
bentuk sesajen, yang kemudian bernama bali. Jadi nama bali berasal dari artinya
yaitu : sajen/banten/upakara. Orang yang memuja Tuhan dengan sarana banten/bali
dinamakan orang Bali. Tempat mereka tinggal dinamakan tanah/pulau Bali.
2. Pada awal kedatangan Maharsi
Markandeya, beliau tidak tahu bahwa tata-cara di Bali harus menggunakan
banten/upakara. Maka pengikutnya yang berjumlah 400 orang terkena bencana dan
meninggal dunia.
Umat Hindu dari etnis lain di
luar Bali, silahkan menggunakan tradisi mereka masing-masing, jangan dipaksakan
menggunakan banten, karena sejak dahulu kala, Hindu di Jawa/Majapahit
menggunakan sesajen yang berbeda dengan banten di Bali.
ASPEK UPACARA HINDU
Upacara dalam Bahasa Sanskrit
berasal dari kata Upa yang artinya "dekat" dan Cara yang artinya
"kegiatan". Jadi Upacara arti sempitnya adalah kegiatan yang
dilakukan dalam rangka berbakti atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Arti sempit
ini kemudian berkembang sehingga dalam bahasa sehari-hari, upacara tidak saja
berarti kegiatan dalam lingkup keagamaan, tetapi juga kegiatan seremonial di
bidang lain.
Tiga aspek yang menjadi kerangka Agama Hindu adalah : Tattwa, Susila,
dan Upacara.
Tattwa membentuk pola pikir manusia tentang pemahaman filsafat Veda
Susila menggerakkan dan mengendalikan perilaku berdasar Tattwa
Upacara ritual yang menguatkan keyakinan Tattwa
Ketiga aspek itu menyatu dan
saling berkaitan sehingga bila salah satu aspek lemah atau tidak ada maka
kehidupan beragama tidak berjalan sempurna. Penonjolan salah satu aspek dari
tiga kerangka Agama Hindu mencerminkan dua hal pokok yaitu kemampuan
inteligensi dan "marga" yang digunakan dalam mencapai kesehatan
spiritual.
Catur Marga adalah empat
"jalan" menuju Tuhan yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga,
dan Yoga Marga. Aspek Upacara bisa sangat menonjol pada Bhakti Marga sedangkan
pada Marga-marga lainnya masalah ritual tidak terlalu diperhatikan. Walaupun
demikian, dengan berbagai Marga manusia Hindu dapat mencapai Tuhan karena Veda
telah menyediakan alternatif yang paling sesuai di mana pada hakekatnya
ke-empat Marga dapat digunakan secara serentak dengan perimbangan bobot menurut
kemampuan masing-masing.
Inilah salah satu ciri kebesaran
Agama Hindu sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita IV.11 : "Ye yatha mam prapadyante, tams tathai
va bhajamy aham, mama vartma nuvartante, manusyah partha savasah" :
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu
juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti-Ku,
O Partha.
Aspek Upacara sangat berkaitan
dengan Panca Yadnya, yaitu Deva Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya,
dan Manusia Yadnya. Dalam Manava Dharmasastra III.73 disebut sebagai : Ahuta,
Huta, Prahuta, Brahmahuta, dan Prasita. Yadnya adalah bhakti dalam bentuk
pengorbanan suci yang tulus ikhlas.
Yadnya diadakan karena hidup
manusia berawal dari adanya Rna atau "hutang" kepada tiga pihak yaitu
:
1. Deva Rna, hutang kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan pada
Atman untuk bereinkarnasi dalam kehidupan.
2. Pitra Rna, hutang kepada orang tua yang telah melahirkan dan
memelihara.
3. Rsi Rna, hutang kepada para Maha Rsi yang telah memberikan
pengetahuan Veda.
Upacara Panca Yadnya menggunakan
Upakara, dari Bahasa Sanskrit di mana Upa artinya "dekat" dan Kara
artinya "tangan" yaitu sesuatu yang dikerjakan dengan tangan dalam
mewujudkan Bhakti. Bentuk upakara adalah sesajen dan sarana pendukungnya.
Unsur-unsur Upakara adalah :
bunga, air, api, biji-bijian/buah-buahan dan harum-haruman. Kelima unsur ini disebut
Panca Upakara, sebagai pengembangan dari sloka Bhagawadgita IX.26 : “Pattram puspam phalam toyam, yo me bhaktya
prayacchati, tad aham bhaktyupahrtam, asnami prayatatmanah”. : Siapapun
yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau
air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku
terima. Penggunaan api disebutkan dalam Manava Dharmasastra III.76 : “Agnau prastahutih samyag adityam
upatistate, adityajjayate vrstir vristerannam tatah prajah” : Persembahan
yang dijatuhkan ke dalam api akan mencapai matahari, dari matahari turunlah
hujan, dari hujan timbullah makanan, dari mana mahluk mendapatkan hidupnya.
Upakara berupa sesajen dan sarana
pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak karena
berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi. Dari bentuk
dasar berupa Panca Upakara menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan
tatanan, selanjutnya menyatu dalam tradisi yang membudaya.
Dari sini berkembanglah berbagai
jenis sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan penggunaan
warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Dewa-Dewa di arah mata angin,
yaitu : Iswara di timur berwarna putih, Brahma di selatan berwarna merah,
Mahadewa di barat berwarna kuning, dan Wisnu di utara berwarna hitam.
Selanjutnya Dewa dan warna-warna sela : Mahesora di tenggara berwarna merah
muda, Rudra di barat daya berwarna oranye, Sangkara di barat laut berwarna
hijau, Sambhu di timur laut berwarna abu-abu dan Siwa di tengah-tengah berwarna
campuran.
Upakara sebagai simbol atau
Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai :
1. Kekuatan Tuhan,
2. Wujud bhakti,
3. Prasadam/ Lungsuran/ Surudan,
4. Sarana pensucian roh,
5. Mantra.
Sebagai kekuatan atau Sakti Tuhan
misalnya niyasa yang disebut sebagai Daksina, banyak digunakan di India dan
Nusantara; sebagai wujud bhakti, antara lain berbagai jenis sesajen
persembahan; sebagai Prasadam adalah makanan-minuman yang telah diberkati;
Sarana pensucian roh banyak digunakan pada upacara Sraddha baik berupa bunga,
air dan api; kemudian Mantra-Mantra dapat pula diwujudkan dalam bentuk ornamen
dan sesajen tertentu, atau kain dengan warna tertentu bertuliskan aksara-aksara
suci misalnya OM, Ang, Ung, Mang, dll. Selain itu Niyasa dalam bentuk bangunan
misalnya Pura/Mandir, dan patung/arca.
Pedoman dasar upacara Agama Hindu
disebut dalam Weda sebagai Brahmana (Karma Kanda), dan Aranyaka/ Upanisad
(Jnana Kanda). Kitab-kitab yang tergolong Karma Kanda dari Rg Weda adalah
Aiteraya dan Kausitaki, dari Sama Weda adalah Pancavimsa dan Sadvimsa, dari
Yayur Weda adalah Satapatha dan Taittiriya, dari Atharwa Weda adalah Gopatha.
Kitab-kitab yang tergolong Jnana Kanda dari masing-masing Samhita jumlahnya
puluhan buah.
Upacara-upacara yang berkaitan
dengan Rg Weda Samhita meliputi arti kedudukan yang penting dari Div (sinar
suci), dan prosedur pemujaan yakni urutan pengucapan mantra. Yang berkaitan
dengan Yayur Weda Samhita, baik Sukla Yayur Weda maupun Krsna Yayur Weda adalah
upacara korban dan penjelasan mistisnya. Yang berkaitan dengan Sama Weda
Samhita adalah cara atau irama suara di kala mengucapkan mantra, dan yang
berkaitan dengan Atharwa Weda Samhita menyangkut cara memanfaatkan pengetahuan
untuk kehidupan dan kesehatan.
Upakara yang di Bali disebut
Banten. Banten mula-mula dikenalkan oleh Maharsi Markandeya sekitar abad ke-8
kepada penduduk di sekitar pertapaan beliau di Desa Puakan, Taro (sekarang
Kecamatan Tegallalang, Gianyar). Jenis simbol/niyasa ini adalah pengganti
Mantra, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Yajnya Prakerti dan Mpu Lutuk. Jadi
banten dikembangkan kepada umat Hindu yang tidak menguasai mantra-mantra dalam
kegiatan bhaktinya. Banten itu dahulu dinamakan Bali, sehingga orang-orang yang
melakukan upacara persembahyangan menggunakan Banten disebut orang Bali. Lama
kelamaan ajaran Maharsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau maka jadilah
nama pulau kecil ini : PULAU BALI
Sumber: disadur dari wacana
Bhagawan Dwija
Tidak ada komentar:
Posting Komentar