Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok mahluk magis yang menyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikan rupa sebagai simbul unsur niskala ( tidak nampak) dari adanya Ida Bhatara Rangda.
Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan “ ke “ dan akhiran “ an “, sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi.
Petapakan Ida Bhatara Rangda itu, diyakini tidak saja mampu mengusir gerubug ( wabah penyakit ). Yang pada musim-musim tertentu datang mengancam penduduk Bali , namun juga diyakini dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu. Rasa aman semacam itu menjadi penting, meskipun masyarakat bali telah menjadi masyarakat moderen dan berpendidikan tinggi. Aktualisasi dari rasa aman, dari ancaman niskala ini adalah disetiap desa, atau pura meski ada petapakan Ida Bhatara, sebagai tanda atau kendaraan adanya Ida Bhatara Rangda, yang jika dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa. Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terpokos pada Durga sebagai saktinya Siwa. Dibagian bagian tertentu negeri India , mungkin Siwa tidak sepopuler di Bali mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikkannya tidak diragukan lebih popular atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manepestasinya sebagai Dewa praline yang bertugas menghancurkan itu justru lebih popular dari pada Wisnu atau Brahma yang lembut.
Dalam kisah cerita calonarang diungkapkan, setelah raja airlangga memutuskan untuk menyerang kediaman calonarang janda dirah, maka janda penekun ilmu hitam ini mengajak murid-muridnya ke kuburan untuk menghadap Dewi Durga. Untuk itu, janda dari dirah itu harus menyiapkan sarana dan prosesi menyambut kedatangan Dewi Durga. Setelah sarana upacara dan prosesi pemujaan berlangsung, muncullah Dewi Durga dalam wujud yang menyeramkan, mulut menganga, taring mencuat dan saling bergesekan, rambuk mengombak, membentangkan kain selendang pada susu, penuh hiasan, letak kedua kakinya miring, memakai kain setengah badan, matanya membelalak bagaikan matahari kembar, terus menerus mengeluarkan api, kemudian dengan suara berteriak menanyakan apa tujuan waluing girah ( janda dari girah atau dirah ) menghadap.
Cerita perwatakan dewi Durga yang demikan seram itu, kelak muncul dalam randa yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaan para seniman Bali . Entah siapa yang menjadi pelopor, tampaknya seniman pertama yang menciptakan. Sosok rangda di Bali tidak dikenal, sosok rangda muncul disejumlah desa di Bali sebagai wujud aktualisasi rasa magis masyarakat bali. Kelahirannya itu, agaknya tidak sekedar melewati proses penciptaan yang biasa, mesti mengacu pada petunjuk mitos atau lontar tertentu. Lontar-lontar ( daun pohon lontar yang berisi aksara suci ) itu memberi petunjuk mengenai sah tidaknya sebuah petapakan untuk mendapatkan anugrah ketakson. Sementara itu, mitos-mitos diciptakan berfungsi untuk menambah bobot magis petapakan tersebut. Cerita-cerita mengenai makhlumakhluk magis yang seram disampaikan oleh mitos-mitos tersebut., dipahami oleh penduduk Hindu Bali sebagai ancaman niskala pada kehidupan sehari-hari, jika petunjuk-petunjuknya tidak dipenuhi. Dalam mitos-mitos itu selalu disebuttkan bahwa makhluk-makhluk magis itu menyebarkan wabah penyakit pada musim-musim tertentu. Tidak heran, bila kemudian penduduk Bali merasa takut terhadap ancaman wabah penyakit itu. Lalu seniman sakral Bali menciptakan mitos baru yang merupakan perwujudan dari sosok makhluk-makhluk magis itu. Salah satu ciptaan itu adalah petapakan Ida Bhatara Rangda.
Pasti ada unsur yang bertugas mentranformasikan kesadaran mistik orang Bali dari generasi ke generasi, sehingga kesadaran mistik tersebut tetap hidup dan bertahan dalam memori penduduk Bali . Walaupun tidak harus dikatakan bahwa kesadaran mistik itu, bergerak dan hidup didalam memori semua penduduk Bali, namun tidak dapat dipungkiri kalau ada sebagian orang Bali kesadaran mistik itu masih hidup, muncul dan tenggelam. Artinya, sebagian penduduk Bali mungkin tidak lagi memperhatikan dan terlibat didalam prosesi untuk menghidupkan kesadaran mistik itu, namun tidak dapat ditolak kalau kesadaran mistik itu tetap hidup didalam memori mereka. Hal ini, misalnya tampak pada sedikit orang yang masih menghidupkan tradisi ngereh, namun bukan berarti kesadaran mistiknya telah terkikis. Inilah keajaiban Bali .
Unsur perekat macam apa yang mampu mempertahankan kesadaran purba tersebut ? kalau saja tidak ada teks, lebih khusus teks cerita calonarang, yang dengan rajin disalin dan dibuat teks-teks baru mengenai makhluk-,akhluk magis yang mengancam keselamatan penduduk Bali bila terjadi dis-harmoni terhadap mereka pastilah rasa takut itu berkurang. Baiklah, kalaupun berpikir positif, ancaman secara niskala semacam itu, ternyata juga membuat seniman (undagi) Bali menjadi kreatif dan karya-karya mereka memperkaya khasanah kebudayaan Bali . Persoalan kemudian penduduk Hindu Bali menjadi bertambah kerepotannya ketika karya-karya itu harus mendapatkan anugrah ketakson atau kesaktian melalui proses sakralisasi. Jika tidak, perasaan terancam secara niskala itu sangat mengganggu irama hidup penduduk Bali .
Dis-harmoni tidak boleh terjadi. Berbagai upakara harus diciptakan dan dipersembahkan, bukan untuk menghancurkan makhluk-makhluk magis itu, melainkan untuk dikembalikan kewilayahnya, somya (dinetralkan). Hal itu berarti, kedatangan wabah penyakit adalah dari akibat dis-harmonis tersebut, dan dis-harmonis terjadi terjadi karena ada yang melewati atau melanggar batas wilayah masing-masing. Batas-batas itu bisa niskala, bisa juga sekala. Bagi yang melanggar batas-batas, sekali lagi, tidak harus dihancurkan atau dibunuh, melainkan dikembalikan kealam semula, atau diberi sangsi agar kembali kewilayahnya semula.
Puncak harmonisasi antara makhluk-makhluk mitologis itu dengan penduduk Hindu Bali adalah saling memberi kekuatan atau kesaktian, maka proses ngereh merupakan bukti adanya kesadaran mistik itu. Petapakan yang mendapatkan ketakson, merupakan bentuk presentasi dari kesadaran mistik Hindu Bali tersebut.
Agar petapakan dapat menjalankan fungsinya sebagai penangkat ancaman niskala mistik itu, disamping dapat mengayomi penduduk dari ancaman niskala itu, maka petapakan itu harus sakti, memiliki taksu dan agar sakti harus melalui proses sakralisasi. Sakralisasi ini sudah mulai dijalankan pada saat mencari kayu yang akan dijadikan bahan petapakan itu. Umumnya kayu yang digunakanbahan petapakan, adalah jenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis, antara lain kayu pole, kepuh (randu), jaran, kapas, waruh teluh dan kepah. Masing-masing jenis kayu ini ternyata memiliki mitologinya sendiri, yang narasinya berusaha menggambarkan keunikan dan kemagisan kayu-kayu tersebut. Sakralisasi juga tampak pada hari baik dipilih saat mulai mengerjakan petapakan itu, yang disebut hari kilang-kilung menurut kalender Bali . Sakralisasi ini harus dijalankan dalam beberapa tahapan, antara lain tahapan pasupati, ngatep, mintonin dan akhirnya ngerehang.
Apa sesungguhnya ngereh itu? Dari beberapa lontar memang ada memberi petunjuk mengenai ngereh, antara lain lontar canting mas, sewer mas, widhi sastra, ganapati tattwa dan lontar pengerehan. Lontar-lontar tersebut ternyata memberi penjelasan mengenai ngereh dalam perspektif yang luas sehingga ada kesan, bahwa ngereh adalah prosesi mistik yang sangat rahasia, sebab dilakukan di kuburan pada tengah malam, adalah pengertian yang sempit. Meskipun demikian, pengertian ngereh yang sempit inilah yang hidup dimasyarakat Hindu Bali.
Ngereh sebagai prosesi ritual mistik dikuburan dan dilakukan pada tengah malam adalah tahapan akhir dari proses sakralisasi petapakan Ida Bhatara Rangda. Untuk hal pertama, setelah petapakan dipasupati oleh seorang pendeta, maka diadakan ritual ngereh untuk mendapatkan sakti Panca Durga (lima kesaktian Durga). Apapun istilah yang digunakan untuk menyebut kedatangan roh atau kekuatan sakti itu, yang jelas proses ritual mistik inilah yang unik dan sangat rahasia. Kerahasiannya antara lain dapat dilihat dari tidak banyaknya penduduk yang terlibat dalam prosesi ritual mistik itu, bagi yang ingin melihat harus dari jarak tertentu, sehingga pengalaman mistik pelaku ngereh adalah pengalaman sedikit orang yaitu orang yang bisa hidup dialam supranatural.
Prosesi ngereh petapakan Ida Bhatara Rangda diperlukan tiga tingkatan upakara.
Ngereh biasanya berhubungan dengan upacara sacral berupa : pasupati, ngatep dan mintonin. Ngereh artinya memusatkan pikiran dengan mengucapkan mantra dalam hati, sesuai dengan tujuan yang bersangkutan. Pasupati artinya kekuatan dari dewa Siwa. Ngatep artinya mempertemukan dan Mintonin adalah bahasa jawa kuna yang artinya menampakkan diri.
Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh
Dalam prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda diperlukan tiga tingkatan upakara seperti : Prayascita dan Mlaspas, Ngatep dan Pasupati, Masuci dan Ngerehin.
Pengertian ketiga tingkatan upacara sakralisasi proses Ngereh Petapakan Betara Rangda diatas adalah sebagai berikut : Tingkat Prayascita dan Melaspas. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghapuskan noda baik yang bersifat sekala maupun niskala yang ada pada kayu atau benda lain yang digunakan untuk pembuatan Petapakan Betara Rangda. Noda ini dapat saja ditimbulkan oleh sangging(seni ukir) ataupun bahan itu sendiri. Dengan upacara Prayascita diharapkan kayu atau bahan itu menjadi bersih dan suci serta siap untuk diberikan kekuatan. Upakara tersebut dihaturkan kehadapan Sang Hyang Surya, Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Sapujagat.
Ngatep dan Pasupati dapat dilakukan oleh Pemangku (orang suci) dan Sangging (seni ukir). Dengan upacara ini terjadilah proses Utpeti( kelahiran) terhadap Petapakan Betara Rangda. Mulai saat itu dapat difungsikan sebagai personifikasi dari roh atau kekuatan gaib yang diharapkan oleh penyungsungnya (pemujanya). Tingkat Masuci Dan Ngerehin, merupakan tingkat upacara terakhir dengan maksud Betara Rangda menjadi suci, keramat dan tidak ada yang ngeletehin (menodai). Tujuan upacara adalah untuk memasukan kekuatan gaib dari Tuhan. Dengan demikian diharapkan Petapakan Betara Rangda mampu menjadi pelindung yang aktif. Upacara ini biasanya dilakukan di dua tempat yaitu di pura dan di kuburan. Apabila dilakukan di kuburan yang dianggap tenget(angker), maka diperlukan tiga tengkorak manusia yang berfungsi sebagai alas duduk bagi yang memundut (mengusung). Begitu pula bila dilakuka di pura maka tengkorak manusia dapat diganti dengan kelapa gading muda. Upacara ini biasanya dilakukan pada tengah malam terutama pada hari-hari keramat seperti hari kajeng kliwon menurut kalender Bali . Sebagai puncak keberhasilan upacara ini adalah adanya kontak dari alam gaib yaitu berupa seberkas sinar yang jatuh tepat pada pemundutnya (pengusungnya). Si pemundut (pengusung) yang kemasukan sinar itu akan dibuat kesurupan (trance) dan pada saat itu pula si pemundutnya ( pengusungnya ) menari-nari. Kejadian lain yang menandakan upacara ini berhasil adalah apabila Petapakan Bhatara Rangda bergoyang tanpa ada yang menyentuhnya.
Jadi ritual ngereh itu adalah peristiwa kesurupan, yang sengaja dibuat karena untuk membuktikan “topeng” yang diupacarai sudah memiliki kekuatan gaib untuk keselamatan masyarakat penyungsungnya (pemujanya).
Tehnik ngereh petapakan Bhatara Rangda.
Tempat pelaksanaan ngereh biasanya ditengah-tengah setra atau kuburan pada hari tilem dan hari keramat dimalam hari. Jam pelaksaannya sekitar jam 23.00 yang diawali dengan atur piuning atau pemujaan, ngaturang caru (menghaturkan sesajen yang ditaruh diatas tanah) dan nyambleh kucit butuhan (memotong babi jantan yang masih muda).
Orang yang ditugaskan ngereh duduk berhadapan dengan Bhatara Rangda, lidah petapakan Bhatara Rangda dilipat diatas kepalanya. Diantara orang yang ngereh dengan petapakan Bhatara Rangda itu ditempatkan upakara, yang pokok adalah getih temelung (darah dari babi jantan) yang ditaruh pada takir (daun pisang). Pengereh bersemedi, sedangkan rekan-rekannya yang lain berjaga-jaga disekitar setra (kuburan). Malampun bertambah larut, suasana magis mulai terasa ditambah desiran angina yang membuat bulu kuduk berdiri.
Untuk menjadi pengereh diperlukan kesiapan mental, keberanian dan kebersihan pikiran dan badan serta yang paling penting adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas). Tidak boleh sesumbar atau menambah serta melengkapi diri dengan kekuatan-kekuatan lainnya seperti : sesabukan atau jimat kesaktian. Adanya benda-benda asing diluar kekuatan asli yang berada dibadan akan mengganggu masuknya kekuatan Ida Bhatara.
Gegodan atau gangguan niskala mulai mengetes keteguhan hati pengereh, apakah dia bisa bertahan dan berhasil atau malah kabur yang berarti gagal. Beberapa jenis gegodan antara lain :
1. semut yang menggerubuti sekujur tubuh pengereh dan semut ini besar-besar, jika tidak tahan maka pengereh akan menggaruk-garuk seluruh tubuhnya maka gagallah dia.
2. Nyamuk yang menggigit serta menyengat muka sampai terasa sakit, rasa-rasanya muka akan hancur. Jika tidak tahan pengereh akan mengusap atau menepuk-nepuk mukanya dan gagallah dia.
3. Ular besar yang melintasi paha pengereh bergerak perlahan yang terasa geli,dingin dan mengerikan. Jika pengereh geli, ketakutan maka gagallah dia.
4. Celeng atau babi yang datang menguntit pantat pengereh yang sedang khusuknya bersemedi jika takut dan merasa terusik, gagallah sipengereh itu.
5. Angin semilir yang membawa aji sesirep, jika tidak waspada akhirnya ketiduran maka gagallah dia.
6. Kokok ayam dan galang kangin artinya suasana hari mendekati pagi diiringi dengan ayam berkokok, jika pengereh terpengaruh dan menghentikan semedi karena merasa hari sudah pagi, maka gagallah dia.
7. “Bikul nyuling” menggoda, sehingga membuat si pengereh tertawa karena lucu melihat tikus meniup seluring, maka gagallah dia.
8. Talenan bersama blakas yang datang dengan bunyi tek..tek..tek dan akan melumat si pengereh, langsung di cincang. Kalau sudah seperti ini si pengereh harus kabur menyelamatkan diri, karena kehadiran talenan dan blakas ini adalah ciri kegagalan.
9. kedengaran bunyi gemerincing, cring..cring..cring, kalau sudah begini berarti sudah gagallah prosesi ngereh ini, dan sipengereh tidak perlu lagi melanjutkan dan harus secepatnya mengangkat kaki menyelamtkan diri. Hal ini akan menandan hadir Banaspati Raja, ancangan Ida Bhatara Bairawi yang berkuasa di setra atau kuburan.
Kalau yang disampaikan yang diatas kegagalan ngereh, maka keberhasilannya ditandai dengan adanya gulungan api atau tiga bola api yang dating menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Bhatara Rangda. Jika sudah masuk ke petapakan Ida Bhatara Rangda, ditandai dengan menjulurnya lidah petapakan Ida Bhatara Rangda yang semula diatas kepalanya kemudian turun berjuntai mengarah ke takir atau daun pisang yang berisi getih temelung dan menyedotnya sampai habis, selanjutnya si pengereh akan kerauhan atau trance kemudian masuk ke patapakan Ida Bhatara Rangda dan ngelur dan berteriak menggelegar ; akhirnya tangkil atau dating ke pura Dalem, permisi lanjut menuju pura tempat payogan atau persemedian Ida Bhatari Durga.
Mengenai 9 jenis gegodan ( gangguan ) itu tidak terjadi sekaligus kesembilannya pada saat ritual ngereh. Gangguan (gogodan) yang terjadi bisa 1 atau 2 atau 3 atau 4 dan seterusnya tergantung situasi dan kondisi serta keberadaan si pengereh, kelengkapan upacara dan kemungkinan penyebab lainnya.
Petapakan Ida Bhatara Rangda diisi Kekuatan Sakti Panca Durga.
Dalam ngerehang pun memanggil Panca Durga untuk mengisi kekuatan rangda. Untuk upacaranya perlu dibuatkan segehan Agung beserta perangkatnya yang sesuai dengan lontar pengerehan.
Adapun yang dimaksud dengan Sakti Panca Durga adalah lima macam kekuatan Durga yaitu : Kala Durga, Durga Suksemi, Sri Durga, Sri Dewi Durga dan Sri Aji Durga. Lima macam kekuatan Durga inilah yang menguasai ilmu arah mata angin di dunia niskala dan bisa menimbulkan kemakmuran bagi umat manusia maupun bencana apa bila dilanggar batas-batasnya.
Dalam ajaran Agama Hindu di Bali sarat dengan lokal genius yang berdasarkan sastra-sastra Agama, termasuk diantaranya ngereh. Dalam lontar Kanda Pat, ngereh atau pengerehan erat kaitannya dengan petapakan Ida Bhatara Rangda yang berupa benda yakni tapel Rangda( topeng Rangda)
Sedangkan ngerehan Rangda sesuai dengan lontar Pengerehan, Kanda Pat, bahwa ngerehang rangda mempunyai kekhususan sendiri. Sebab ini berhubungan dengan sifat magis yang dimiliki rangda itu sendiri karena rangda merupakan simbol rajas (emosi) yang penuh dengan nafsu ingin menguasai. Dalam lontar Calonarang, rangda artinya janda yang memilki nafsu tak terbendung atau kemarahan yang tak tertahankan karena dendam. Rangda sendiri merupakan sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya sehingga menyebabkan gejolak dalam diri kita sebagai manusia.
Rangda pengerehan dilaksanakan di setra ( kuburan ), karena setra ( kuburan ) merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Bhairawi yaitu Dewa kuburan dalam lontar Bhairawa Tatwa, yang merupakan wujud dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, disini Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga berupa rangda sehingga muncullah beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alas an kenapa setra ( kuburan ) dipakai sebagai tempat ngerehang rangda. Karena penuh dengan kekuatan black magic. Sehingga dalam ngerehang rangda, kalau sudah mencapai puncaknya ia akan hidup. Setelah hidup rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak ( setan ) atau makhluk halus lainnya.
Sarana Ngereh Petapakan Ida Bhatara Rangda di kuburan berupa Pala Walung.
“Sebelum ngerehan, maka disiapkan berbagai sarana dan bebantenan ( sesajen sakral ). Sarana yang penting tersebut adalah memohon Pala Walung ( tengkorak manusia ) sebanyak tiga buah. Untuk itu dilakukan matur piuning ( pemujaan 0 kehadapan Ida Bhatara di Mrajapati. Setelah itu, sekitar jam 12.00 siang jero mangku ( orang suci ) beserta krama (masyarakat) mencari-cari tengkorak di sekita setra (kuburan). Pala Walung atau tengkorak yang didapat tersebut kemudian dicuci dengan toya kumkuman ( air suci dari air kelapa ) dan ketiganya dihancurkan rayunan cenik ( suguhan berupa hidangan ).
“Hal lain yang perlu adalah mempersiapkan juru pundut (pengusung) ketika upacara ngereh”.
Pada hari pengerehan tersebut juru pundut (pengusung) yang kasudi (ditugaskan) atau ditunjuk dilakukan upacara sakral di Pura Dalem. Setelah itu ngiderang gedong Pura Dalem sebanyak 3 kali. Kemudian juru pundut tersebut menghaturka sembah kepada Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati. Proses ini berlangsung sekitar jam 22.30 malam.
Pada tengah malam sekitar jam 23.30 malam, barulah petapakan Ida Bhatara Rangda diikuti oleh para damuh (masyarakat pengusung) menuju ke setra atau kuburan untuk upacara ngereh. Di sana telah disediakan banten (sesajen). Semuja banten (sesajen) tersebut diastawa ( dipuja ) oleh jero mangku. Di tempat tersebut ditancapkan sebuah sanggah cucuk ( tempat sesajen dari pohon bambu ) yang berisi sesajen sakral. Sedang Ida Bhatara Rangda diletakan diatas gegumuk (gundukan tanah)
Pemundut (pengusung) kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten dan prerai ( muka topeng ) petapakan Ida Bhatara Rangda. Duduk bersimpuh dimana kedua lututnya beralaska pala walung, dan satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan memegang kuange, ngulenang kayun kehadapan Ida Bhatari Durga. Dihadapannya diletakkan sebuah pengasepan (tempat api). Selain itu areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku. Semua berada dalam jarak yang jauh.
Jadi pengertian ngereh pada intinya adalah Petapakan Ida Bhatara Rangda mesuci ( membersihkan diri ) di setra (kuburan). Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesidian (kesaktian) beliau. Setelah upacara ngereh Petapakan Ida Bhatara Rangda selesai, kemudian pala walung yang tadinya dimohon, dikembalikan ke tempatnya semula, agar tidak ngerebeda (mengganggu atau menimbulkan hal yang tidak diinginkan).
Petapakan Ida Bhatara Rangda di Bali diyakini mampu mengusir gerubug (wabah penyakit) dan dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang, aman dan tentram dalam irama kehidupan umat Hindu di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar