“Ya Tuhan Hyang Maha Saraswati yang maha Suci, Maha Agung, mengkaruniai kecerdasan dengan cintanya yang sejati sebagai anugrahmu terimalah persembahan kami”.
Mitos Watugunung sendiri mengisahkan tentang cinta terlarang antara seorang putra, Sang Watugunung, dengan ibunya, Sinta. Setelah campur tangan Dewata, hubungan aib ini diputus dengan diciptakannya kalender (wuku). Dengan Saraswati sebagai pemisah antara wuku terakhir (Watugunung) dengan wuku awal (Sinta).
Diceritakan pada masa kecilnya Watugunung adalah seorang anak yang nakal. Karena bandel, suatu hari kepala Watugunung kecil terluka oleh amarah ibunya. Ia lalu pergi menghilang dan bertapa hingga pada akhirnya mendapat kesaktian. Muncul angkara murkanya terhadap wanita, raja-raja, dan akhirnya ibunya yang lalu dikawininya. Ibunya sendiri yaitu Dewi Sinta tidak tahu bahwa itu adalah anaknya sendiri yaitu Watugunung, hingga pada suatu ketika Dewi Sinta mencari kutu di kepala suaminya itu. Ia melihat parut luka itu dan teringat akan anaknya, itu adalah anaknya yaitu Watugunung. Menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya yaitu telah bersenggama dengan anaknya, ia ingin berpisah dan mengakhiri semua ini dengan mengakali Watugunung supaya ia melamar istri Batara Wisnu. Batara Wisnu murka dan menganggap itu sebagai sebuah kelancangan. Meletuslah perang dahsyat antara Watugunung dan Batara Wisnu. Pada saat itu Watugunung kalah oleh Batara Wisnu yang bertriwikrama (menguasai tiga dunia).
Pada saat peperangan itu Watugunung dicampakkan ke tanah tepat pada hari Minggu Redite-Kliwon—disebut Watugunung Runtuh. Dan ia dibunuh pada hari Senin Soma-Umanis—disebut Sandang Watang, yaitu hari “pembuangan layon”. Lalu, ia diseret di tanah pada hari Selasa Anggara Paing, disebut Paid-paidan (seret). Kemudian, pada hari Rabu Buda Pon—disebut Buda Urip (Rabu Hidup), dia dihidupkan kembali pada hari Kamis Wrespati Wage (Patetegan) oleh Batara Wraspati. Setelah itu dia dibunuh sekali lagi oleh Batara Wisnu, sebelum akhirnya Batara Siwa menghidupkannya pada hari Sukra Kliwon (Pangradanan). Melihat Batara Wisnu sekali lagi akan membunuhnya, Batara Siwa pun bersabda, “ Oh, Batara Wisnu, jangan bunuh lagi sang Watugunung, bila kau membunuhnya, hilanglah ajaran bagi generasi mendatang, alangkah lebih baik jika dia diberikan kehidupan yang kekal.”
Batara Wisnu menjawab, “Ingin saya bunuh Watugunung oleh karena dosanya yang mahabesar. Dia telah mencoba mengawini wanita yang sudah bersuami, dia juga telah bersanggama dengan ibunya dan ibu tirinya, kesalahan ini terlalu besar bagi dunia manusia.”. Maka Batara Siwa bersabda, “Mulai sekarang ini, pantanglah manusia mengawini wanita yang sudah bersuami, apalagi ibu dan ibu tirinya”. Lalu dia menambahkan, ”Tanpa membunuhnya, kita dapat menghukumnya dengan cara lain, oleh karena dosanya memang besar.”
Lalu Batar Wisnu berujar, “Hai, Watugunung, setiap enam bulan kau akan mengalami masa leteh/kotor.” Kemudian disahut oleh Watugunung, “Hukuman ini hamba terima, Oh, Batara.” Batara Siwa lalu menghidupkan kembali raja-raja Wuku serta para Panca Resi—korban peperangan. Pada hari Saniscara Umanis turunlah para dewata untuk membersihkan dunia. Itulah hari ketika sesajen dihaturkan kepada lontar-lontar (Hari Raya Sarawati).
Satu di antara hari terpenting Pawukon adalah Saraswati. Ini merupakan hari penutup siklus Pawukon. Pada hari tersebut, masyarakat Hindu menghaturkan banten pada lontar dan buku, serta menghaturkan sembah bhakti kepada Dewi Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan. Keesokannya, pada hari Banyu Pinaruh, yaitu hari pertama siklus Pawukon berikutnya, mereka melakukan penyucian ritual di sungai atau laut. Rentetan upacara ini diyakini sebagai pergantian siklus, dari suatu Pawukon ke Pawukon berikutnya.
Makna hari raya Saraswati adalah untuk memperingati turunnya Ilmu pengetahuan, seperti kita ketahui ilmu pengetahuan sangatlah penting. Sebab jika pengetahuan atau kebijaksanaan tidak ada, mungkinkah akan ada kemakmuran dan kebahagian dalam bidang material dan spiritual?.
Tanpa kebijaksanaan, manusia tidak akan bisa bahagia, dan tanpa kebahagiaan, manusia akan menjadi lemah dalam kehidupan yang penuh dengan perjuangan ini. Digambarkan Dewi Saraswati adalah sebagai wanita Ayu yang cantik jelita, bertangan empat yang masing masing membawa Wina (gitar) Keropak, genitri, dan yang satunya bersikap mendamai kan, serta mengendarai burung merak, atau berdiri diatas bunga teratai. Dari simbolis ini dapat kita ambil, hikmahnya antara lain bahwa ilmu pengetahuan memang betul betul berarti diantaranya :
- Wanita Ayu adalah simbol keindahan karena ilmu pengetahuan memang
indah dan luhur.
indah dan luhur.
- Wina(gitar) melambangkan kehalusan rasa (estetika)
- Keropak adalah tempat penyimpanan lontar-lontar simbol pengetahuan
- Genitri adalah simbol lingkaran tidak akan pernah berakhir sesuai dengan bahasa Inggris disebut Signtipic is long life education and never ending karena tidak akan habis dipelajari (wiadin ririh liu enu peplajahan) walaupun pandai masih banyak lagi yang perlu kita pelajari.
- Burung Merak adalah lambang kewibawaan yang bisa dibawakan oleh ilmu pengetahuan itu
- Bunga teratai adalah lambang kesucian, bahwa pengetahuan itu adalah suatu hal yang suci. Dengan pengetahuan pula akan menghantarkan kita pada tingkatan tertinggi yaitu moksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar