Minggu, 06 Februari 2011

TERJEMAHAN NIRARTHA PRAKRETA


  1. Santawya ngwang i jong bhatāra paramārthātyanta ring niskala, sang tan sah sinamādhi munggwi těngahin hrěttika sunyālaya, sûryopāma sirān prakāsa měnuhi sarātma diptojjwala, byaktāwās kahiděp swadipa suměnö lumreng manah niscala.

Mohon ampun hamba dibawah-Mu Bhatara Paramartha di alam niskala, yang senantiasa hamba jadikan pusat semadi dan sthanakan di dalam hati, bagaikan Surya yang memenuhi segala makhluk, tentu terpikirkan jelas cahayanya sendiri yang bersinar menyusup ke dalam pikiran yang hening.

  1. Ndah yan mangkana lot sayojya hana ring cittātisuddhottama, manggěh sādhananingwan amrih atěkěn lambing guměgwang karas, nāhan donku n amuspa ring pratidineng ratryāmalar sanmatan, pintěn kārananing wěnang rumacana ng sabdātěmah bhāsita.


Dengan demikian tentulah Bhatara Paramartha senantiasa berada di dalam hati yang suci dan utama, yang hamba jadikan sarana Sastra menyuratkannya ke dalam lontar, itulah tujuan hamba menyembah siang dan malam memohon tuntunan, sehingga hamba dapat menyusun kata menjadi karya sastra.


  1. Ngwang pwātyanta wimohitāpan alěwěs tucchā kanisteng sarāt, ndan dûrān wruha marna-marna śāstrārtha widyāgama, anghing duhkita kewalāmrati sumök lwir andhakārāngasut, tan wruh panglawanganing larānupama hetungkwangikět lambanga.

Hamba adalah orang yang bodoh, nista dan dinistakan masyarakat, sangat jauh kemungkinan hamba mendapatkan hakikat sastra maupun pengetahuan suci, namun hamba tidak dapat menahan kesedihan yang bagaikan diselimuti gelap gulita, tidak tahu jalan meredakan derita itulah sebabnya hamba mengikat karya sastra ini.

  1. Dûrān manduka yān pamuktya wangining tuňjung prakirneng baňu, ekasthā rahineng kulěm tathapi tan wruh punyaning pangkaja, bheda mwang gatining madhubrata sakeng doh ndan wawang sparśaka, himpěr mangkana mûdhaningwang anukěr jöng sang widagdheng naya.

Tentu mustahillah si katak dapat menikmati wangi bunga teratai yang tersebar di air, siang dan malam berada di tempat yang sama tanpa mengetahui pemberian si bunga teratai, berbeda dengan si lebah dari jauh ia bisa merasakannya, seperti itulah kebodohan hamba tentu akan mengotori kaki beliau yang pandai bijaksana.

  1. Ring prajngadhika mitraning suka lawan swargatidiwyenusir, yan ring durgati duhka mitranilkihen sthirangiket tan kasha, yan ring budhi mahaprakopa taya len tang papa mitrangiwo, ndah yeking tri pamitra sancaya gegon tekang sayogyalapen.

Orang yang pandai dan bijaksana menjadi sahabat kesukaan dan akan menemui sorga, orang  berhati jahat menjadi sahabat kedukaan yang sangat kuat mengikatnya sehingga tidak dapat bergerak, orang yang serakah tiada lain menjadi sahabat kesengsaraan, itulah tiga sahabat ketahuilah yang patut dipilih

  1. Sangksepanya lana prihen pinaka mitra sadhu santakreti, lawan haywa minitra tang kujana durtawas maweh wadhaka, ton tang hangsa mamitra wayasa sagotranyan wisirnapejah, ndah mangka jana durwiweka tumemu ng wighna nda tanpopama

Kesimpulannya usahakanlah terus menerus berteman dengan orang yang bijaksana dan berbudi pekerti mulia, dan janganlah berteman dengan orang yang jahat, loba dan serakah, karena akan membawa bencana, lihatlah angsa yang berteman denga burung gagak, seluruh keluarganya habis dibunuhnya, seperti itu orang yang kurang wiweka akan menemui bencana yang besar.

  1. Anghing tan sipi mewehin wang tang prajnya wiwekanulus, prajnyanindita towi meweh ika sang mahyun pamijeng hayu, yadyan pujita karma dira tang anemwa jnana meweh temen, sang hyang sacra tuwin winodhana sawetnyatyantaning durlabha.

Namun tidak mudah mengetahui orang yang bijaksana, wiweka dan tulus hati, orang yang pandai bijaksana juga sukar mendapatkan keselamatan, begitu juga orang yang berbuat mulia untuk menemui kesempurnaan rohani, Sang Hyang Indra juga harus diberi petunjuk untuk mencapainya, karena sangat sulit

  1. Byaktekan kakaniscayan rusiting twas nghing sudhairya ng manah, kadyangganing amet bhinukti mangarembha dhanya sangkeng lemah, lot mritya mateken parasraya mijil wwahning tinandurnira, panggil rakwa samangkanekana ng asadhyahyun manemwang phala.

Betapapun sulitnya meningkatkan kerohanian tersebut teguhkanlah hati, seperti mendapatkan makanan dengan menanam padi di tanah harus dengan penuh kesabaran, dengan pertolongan orang lain akhirnya keluarlah hasil yang ditanamnya, seperti itu jugalah orang yang ingin berhasil.

  1. Tan lyan ring mangusir gunadhika sanaih-sanaih kramanika, lawan tingkahi sang widagdha mangamer suratna wanita, mwang buddhinta masewaken nrepati len mareng siragiri, ndah yekan pwa catur prakaranika tan dadi n gelis-gelis.

Tiada lain bertindak sabar untuk mendapatkan hal itu, demikian juga dengan orang yang pandai memikat gadis cantik, demikian juga bila ingin mengabdi kepada raja atau hendak mendaki puncak gunung, itulah empat hal yang tidak dapat dicapai dengan tergesa-gesa.

  1. Ring suklendu samatra tambayanikaweweh kedik-kedik, ring plaksalpika suksma wijanika ghora ta pwa tumuluy, mangka ng satpada panghisepnya madhu nitya mogha mapupul, tadwat mangkana ring lanotsaha temahnya purna wekasan.

Pada waktu pruh bulan membesar perlahan, juga seperti pohon beringin berasal dari biji yang kecil lalu menjadi besar, demikian juga lebah dalam menghisap madu sehingga banyak terkumpul, seperti itulah tak henti-hentinya berbuat hingga akhirnya menjadi sempurna.

  1. Lawan salwiraning gunadyapi tan arghya yogya ya gegon, drestan tang kriya banyageka wiwidha n swabanda tinenget, donyapet karanya mentasa ri sarwa bhumi ng usiren, donyasing pinalakwa tumbasenikang wwang haywa katunan.

Juga segala kepandaian walaupun terasa tak berguna patut juga diperhatikan, lihatlah pedagang yang mengembara menyimpan berbagai benda dengan baik, untuk mendapatkan benda itu ia pergi ke berbagai daerah dan negeri, tujuannya bila ada yang membeli tidak kekurangan.

  1. Sampunyan pada wreddhi ng artha salekasnikaphala tuwin, nda tan warsih amet muwah sahananing minulya ring aji, mamrih kwehani gatyaning gaway anindya lana temunen, rapwan pangguhaken wisesa mani jiwa tulya lingika.

Setelah arthanya banyak ia dapat melaksanakan kehendaknya, namun tidak berhenti mencari benda-benda yang bernilai tinggi, senantiasa ingin mendapatkan yang lebih banyak dan lebih berhasil dalam pekerjaan, supaya dapat menemukan permata kehidupan katanya.

  1. Sangsiptan taya len sudharma wekasing hinuttama dhana, kwehning hema suratna bhusana winasa jati rasika, stri len putra sawandhu Santana nahan ya mogha mapasah, mukya ng jiwita towi meweh ika ring ksana karma hilang.

Singkatnya tidak ada kekayaan yang melebihi kebajikan, begitu banyak emas permata dan perhiasan semuanya akan binasa, istri putra-putri dan sanak keluarga akhirnya akan berpisah, bahkan yang utama yaitu jiwa akhirnya begitu cepat akan hilang.

  1. Ring laksmi makahingan ing greha taman winawa ri sedenging paratrika, ngkaneng smasana hinganing swakula wandhawa weka-weka bharya tan waneh, nghing tang karmika purwa yan sukreta duskreta manuduhaken tekeng paran, dharmadharma tinutnya salakwa dadi milu manuntun ing henu.

Kekayaan batasnya hanya di rumah tidak akan dibawa sewaktu meninggal, sampai di kuburan batasnya sanak saudara, anak dan istri, tiada lain, namun perbuatan yang dilakukan pada saat hidup baik maupun buruk akan menjadi penunjuk jalan kemana akan pergi, benar atau salah akan diikuti akan menjadi penunjuk jalan.

  1. Apang tan hana len nimittaning amangguh ala sinaputing putek hati, sangkeng karmika wreddhi kopa dadi lobha temahanika moha tan surud, sangkeng moha si mada, mada dadi matsara kujana katungka garwita, ndah yan mangkana tan wurung tumemu pataka saka ri wimudhaning hidep.

Karena tiada lain yang menjadi penyebab orang mendapatkan kecelakaan diselimuti oleh kegelapan pikiran, dari perbuatan yang ditumbuhi oleh pikiran keakuan menimbulkan keserakahan dilanjutkan oleh kebingungan yang tiada henti, kebingungan menimbulkan kemabukan, kemabukan menimbulkan perasaan iri, kejahatan pikiran, kebebalan dan kecerobohan, kalau demikian halnya tak dapat dihindari akan menemukan bencana karena kebodohannya sendiri.
  1. Atyanteng atighoraning tasik awas kalanguyan i gatinya mangkana, lawan koddhretaning manik ri tutuking kupita-makara yeka tar mangel, krura ng taksaka dadya puspa sama ring hulu kasuhuna wastu panggihen, tan mangka ng sata-buddhi ya pratiniwista kadawutanikardha bhisana.

Sungguh kedahsyatan samudra akan dapat terseberangi, demikian pula permata yang berada di mulut ikan ‘makara’ yang ganas dapat diambil dengan mudah, sementara itu ular-ular yang marah akan menjadi karangan bunga yang menghiasi kepala, tidak demikian halnya orang yang berhati jahat, ia durhaka, dan sangat sukar melepaskan sifat jahatnya itu.

  1. Chatra stambha ya tejaning rawi mawas katahenani panasniradbhuta, byakta ng we wenanganya yan mamejaheng apuy atisaya diptakojjwala, matta ng naga tan angkusamatehaken, lara sabhaya si tamba panghreta, ndan ring murka jugeki tan hana pakosadha ng amateha dadya mardawa.

Paying dapat menahan sinar matahari, betapapun juga terik cahayanya, tentu air dapat memadamkan api, betapapun juga berkobarnya, gajah yang ganas dapat dirubuhkan dengan senjata pengikat, penyakit yang berbahaya dapat disembuhkan dengan obat, namun seorang pemarah tidak ada obatnya yang dapat menyembuhkannya supaya menjadi tenang.

  1. Tiksna ng pawaka mogha tang salabha mungsira ri ya sahajan paweh suka, munggwing panjara towi tang papikat asrang inusinikang arja paksika, wetning hyunya manangsaye hayuni sabdanika lalita komalanulus, keket ring wekasan tekapning atiharsanika karananin kaduhkitan.

Cahaya api dicari oleh anai-anai karena ia mengira akan mendapatkan kesukaan, burung pemikat dalam pasanga dengan penuh semangat dikunjungi oleh burung-burung itu, karena dikira membahagiakan, karena keinginan yang kuat pada suara yang halus, hilanglah kecurigaannya, akhirnya ia terjerat karena keinginannya yang begitu keras menyebabkan kedukaan.

  1. Tadwat mangkana tang samasta-jana tan dadi wenanga dhumarana ng manah, dening raga lanangiket lewu subaddha ri hatinikanang sarat kabeh, hetunyan mapageh keta ng mada wimoha manah atisumok nirantara, byaktangde wiparita tan wurung anutaken iki ri sasestining hidep

Seperti itulah orang pada umumnya apabila tidak dapat mengendalikan pikiran, karena nafsu begitu kuat mengikat hati orang-orang pada umumnya, menyebabkan munculnya kemabukan dan kebingungan begitu kuat berstanakan dalam hati dan memenuhinya tidak hentinya, itulah sebabnya orang menjadi bingung tidak urung senantiasa mengikuti kehendak hatinya.

  1. Hingayan lalu saktining hyun iki yan linagan, ing apa denya kongkaba, yapwan pinrih ilangnya manghilangaken tutur amuhara soka mohita, yan sinyuh magawe prapanca niyatangdani turida manguncanging lutut, yan winwang iniwo makin pinaka wisti pinaka hawaning kapataka.

kekuatan pikiran itu tidak ada batasnya, bagaimana dapat diperangi, lalu bagaimana dapat dikalahkan, kalau ingin menghilangkannya artinya juga menghilangkan kesadaran akhirnya menyebabkan kesedihan dan kelesuan hati, kalau dihancurkan menyebabkan pikiran bingung selanjutnya menggoncang kegairahan hati, kalau didpelihara semakin menyebabkan derita senagai jalan menemui neraka.

  1. Karmendriyeka maka manggalaning swacitta, karmendriyan pinaka marga mamisreng suksma, ndan sang huwus wruh i panuksmanikan ya mangka, yeka matangnya ginga prihaken cinitta.

Karmendriya sebagai manggala pikiran sendiri karmendriya pula sebagai jalan menemui hyang suksma, maka orang yang telah mengetahui hakikatnya seperti itu, itu sebabnya senantiasa diyakini dan terus dipikirkan

  1. Wwanten wretatwa wekasang paramatiguhya, byaping pradhana pada litnika tanpa hingan, tan dwa wibhajya bahubheda mawreddhi-wreddhi, nyang pancawingsa saha catwariwingsa tattwa.

Ada ajaran tatwa yang menjadi hakikak penegetahuan utama pradana yang sangat halus sangat kecil tanpa ukuran, selanjutnya pecah menjadi berbeda-beda dan berlipat ganda, menjadi dua puluh lima tatwa dan dua puluh empat tatwa.

  1. Yeka nimittanikanang sahaneng triloka, sthuladi tattwa katekeng dwidasangga tattwa, mwang bhuta panca kalawan lima matra tattwa, anghing rwa hetunika yan paripurna nitya.

Itulah yang menjadi sebab segala yang ada di tiga alam ini, benda-benda kasar sampai pada dua belas tatwa yang lain, lima unsur dasar (panca maha bhuta) dan lima unsur yang halus (panca tan matra), namun dua yang menjadi sumbernya yang senantiasa sempurna.

  1. Ring pancabhuta guna len lima matra siddhi, mangde wikalpa hana ring hati lot humandel, lilamangun turida raga lulutnikang twas, harseng katon sakarengo kaharas tekapnya.

Di dalam panca bhuta terdapat guna dan lima matra (panca tan matra) yang utama, membuat hati bungung dan sangat sukar dihilangkan, dengan senang membangun rasa asmara yang membelenggu perasaan, terbelenggu oleh objek penglihatan, pendengaran dan penciuman.

  1. Ngka yan pamreddhi wekasan tikang indriyartha, karmendriyadinikahen wisayanya purna, sarwesta sarwa wastu katenin hati mogha tresna.

Pada saat itu akhirnya berkembanglah indriya itu, karmendriya utamanya sempurna oblek indriyanya, keinginan terhadap rasa, bau yang wangi dan wujud yang indah, dan segala benda menjadi melekat di hati dengan kuatnya.

  1. Hinganya nirmala lawan malinatwa kirna, munggwing swabhawanikanang dadi sarwajanma, lumreng jagat mamenuhi lwaning andabhumi, apan sira prabhu wibhuh nirakara ring rat.

Batasnya kesucian dan ketidaksucian menjadi kabur, bertempat di dalam tingkah laku manusia dan semua makhluk, memnyebar di dunia memenuhi segala tempat di bumi ini karena itulah raja yang sangat menguasai tiada bandingannya di dunia ini.

  1. Mangka swajatinika kalih anopalabdhi, kapwatisuksma sumilib ri manah tan imba, durgrahya grehyaka wiceda mahaprameya, ekaswabhawa sira karwa wibhinnapaksa.

Demikianlah sesungguhnya keduanya tidak dapat dilihat, keduanya halus menyusup di dalam hati tiada bandingannya, tidak dapat diraba dan sangat gaib, tidak dapat diketahui betapa ukurannya, keduanya sebenarnya satu, tidak dapat dipisah-pisahkan.

  1. Himper wulan lawan ikang sasacihna drestannya, tekihen wenanga len kahananya munggu, yawat lanangemuki satmaka wighna saksat, tawat tumut sumuluh ing sakalanda lumrah.

Bagaikan bulan dengan gambar kelinci tamoaknya, dapat keduanya berada di tempat yang berbeda, kalau bulan terlindungu, seperti itu juga gambar kelinci, kalau bulan menerangi alam semesta, demikian pula gambar kelinci ikut bercahaya.

  1. Ndah mangkana ng hala hajeng gumelar haneng rat, duran wiyoga saka ring patemunya karwa, munggwing trikaya kawangun tekaping swacitta, solah sasabda samanah maka sadhananya.

Demikianlah kejahatan dan kebaikan tergelar di dunia, keduanya sungguh sangat sukar dipisahkan karena ia menyatu, ia dibangun oleh tri-kaya (kaya, wak, manah: perbuatan, perkataan dan pikiran) yang berasal dari dalam diri manuasia sendiri: perbuatan, perkataan dan pikiran sebagai jalannya.

  1. Yeki ing tri hetukanikang umusir yamanda, yapwan sininghitakening hala karmikangde, yeking tri hetuning amangguhaken triwarga, yan singhiting hayu ng ulah ginawe pwa nitya.

Inilah tiga hal yang menyebabkan orang terjembaab ke neraka, yaitu bila cenderung berbuat kejahatan, akibat dari hukum karma, namun tiga pula sebab orang menen\mui tri-warga (dharna, artha, kama: kebajikan, kekayaan dan kecintaan), yaitu kalau senantiasa berbuat kebaikan.

  1. Anghing trikaya paramartha wisuddha marga, ambalnikang pada wimoksa niratma misra, nahan matangnya dina ratri ya tolaheka, rapwan tumemwaken awakning acintyatattwa.

Namun tri-kaya pula yang menjadi jalan utama dan suci, yang menyebabkan orang mencapai moksa (kebahagian tertinggi) dalam persatuan dengan Sang Pencipta. Itulah sebabnya usahakanlah siang malam, agar dapat bertemu dengan Ia yang berbadankan Acintya.

  1. Nghing durlabha dahaten ikang trikaya pagehanya wimala satata, sangkeng hala ta rusitikan pinet sthiti haneriya mangulahaken, pohning paramarasa rahasya nugraha lanamenuhi maniluman, tan matra kawenang yadin prihen lewu wilaksana siran inusir.

Namun sangat sukarlah untuk menjaga tetap sucinya tri-kaya tersebut, karena kejahatan sukar dipisahkan, ia berada di dalamnya dan menggerakkanya, sari rasa yang sangat rahasya dan sangat utama hadir bagaikan anugerah yang memenuhi perasaan, tidak sedikitpun didapat sekalipun sangat diusahakan, karena tidak dapat dijangkau.

  1. Pujarcana sahana widhikriyasrayakenanta pinaka sarana, mwang dhyana saha japa samadhi yoga pangupaya sakala regepen, tan byakta tika karananing tumemwa wekasing parama kasugatin, yan tan wruh i patitisi sandhining samaya nisphala sahanika.

Puja, upakara upacara dan segala persembahan dilakukan ebagai sarana pemusatan pikiran, dikir, samadhi, menghubungkan diri terus menerus dihusakan pelaksaaannya, namun semua itu belum menjadi jaminan ditemuinya hakikat kesempurnaan yang utama, kalau tidak mengetahui hakikat “pusat pertemuan”, maka semuanya akan tidak berguna.

  1. Apan sahana hanikang prayoga pinakesti sira juga tedun, ndah mogha mawaka rikang anggego smreti tekasunga wara kahidep, tan wruh yadi sira hana ring swabhawa tineleng milu manelengaken, nir sadhana sira maka sadhaneng hayu sadanilib ing angen-angen.

Karena semua bentuk yoga bertujuan untuk memuja dan menurunkan Beliau, Beliau manunggal dengan ia yang melakukan pemanunggalan ngatan, Beliau juga memberikan anugrah, namun Beliau tidak dapat dengan mudah diketahui, karena Beliau berada pada semua yang ada, Beliau dilihat sekaligus melihat, Beliau tidak memerlukan sarana, namun menjadi sadhana menuju kebahagian, Beliau senantiasa tersembunyi di dalam pikiran.

  1. Lwir bahni wekasing atisuksma tan sipi haneng kayu-kayu sahana, ndah yan tutuhana wadungen pajun kapana yann umijila ng anala, nghing yan wruhanikanang anguswaken lalu sawega lekasanikahen, byaktotpadanikang apuy dumagdhakena wreksa pinenuhan ika.

Bagaikan api yang sangat tersembunyi dala semua kayu yang ada, sekalipun dibelah dengan kapak, mustahillah api itu akan keluar, namun kalau orang bisa menggosok dua potongt kayu dengan cepatdan tetap, tentu api itu keluar, lalu membakar kayu itu samapai habis.

  1. Iwa mangkaneki gati sang hyang umibeki samuhaning dadi, ya mawak pawak ya ginawe gumaway ikang acintya niskala, sasinadhyaning tapa masadhya ring angulahaken siwarcana, hana tan tumut tuwi tumut ta ya raket i sapolahing sarat.

Demikianlah keadaan Beliaiu yang memenuhi dam ada di dalam semua makhluk, Beliau meliputi dan diliputi, beliau yang dibuat namun membuat, yang Acintya dan Niskala (tidak dapat dicapai oleh pikiran dan indra), Beliau menjadi tujuan para pertapa yang menyembah Hyang Siwa, Beliau ada, turut namun tidak turut, dan menyatu dalam semua perbuatan seantero jagat.

  1. Ring apan kawastwan i siran grahana tuhu widehalaksana, ya matangnya durgama kapanggihanika tekaping mamet hayu, numeneng nda tan wenang atarka ri karegepaning samangkana, katunan tutur hidepikan lebar abalika wreddhyaning lupa.

Kapan Beliau dapat dibayangkan atau diraba, karena Beliau sungguh tak berwujud, itulah sebabnya sangat sukar Beliau ditemui oleh orang yang berbuat baik sekalipun, diam tidak dapat dirasakan pertemuan itu, hilangnya kesadaran, bebas dari ingatan, namun memekarnya ketidak ingatan (pada objek indria), ketika itu Beliau ditemui.

  1. Asing ulahanikang wwang tan byaktanya kinatayan, padanira hana ri ngka lwir maya taya tinuduh, ya karananira sang wruh nir tang sadhya telengana, smretinira juga langgeng nimnajnana suci sada.

Apa saja yang dilakukan orang tidak akan terwujud tanpa Bek\liau, kehadiran Beliau di situ, bagaikan bayangan yang tidak diketahui datangnya, itulah sebabnya orang yang telah mengetahui apa yang menjadi pemusatan pikiran, teguh ingatannya kepada Beliau dalam keadaan pikiran yang senantiasa suci.

  1. Ri henengikanang ambek tibralit mahening aho, lengit atisaya sunya jnananasraya wekasan, swayeng umibeki tan ring rat mwang deha tuduhana, ri pangawakira sang hyang tatwadhyatmika katemu.

Ketika hati tangah “heneng” (tenang), sangat halus, hening (bening) dan cemerlang, teramat halus dan sunya, akhirnya pikiran menjadi sempurna tanpa ikatan, pikiran bagaikan meliputi seluruh jagat, tiada diketahui lagi asalnya, pada saat seperti itu Sang Hyang Tattwadhyatamika ditemui.

  1. Ndan i huwusira mangka sang sampun kretasamaya, tri mala malilaing ing cittangde suddha tanu sada, lara pati puteking twas ndin sandehan ika kabeh, gesengi manahirapan rudratma sakala wibhuh.

Setelah hal itu tercapai, setelah hakikat tujuan ditemui, trimala (tiga kotoran) yang menyelimuti pikitan menjadi suci nirmala demikian juga badannya selalu suci, sakit, kematian, duka cita, bagaimana ia takut kepada itu semua, semuanya telah dibakar dalam pikiran, karena ia telah menjadi Rudra yang nyata di dunia.

  1. Mangkana rakwa sang telas anemwaken pada wisesa guhyasamaya, tan mangawastha tang hidep amisra suksma ri bhatara satmika lana, lingga manahniran sthiti mangekadesa madeg ing Siwalaya sada, saktinirapremaya hibeking jagat juga maweh sukapratihata.

Seperti itulah orang yang telah menemui persatuan gaib yang utama, pikirannya teguh dan tenang dalam persatuan dengan Hayang Siwa, persatuan yang lama, hatinya teguh bagaikan lingga, senantiasa tegak menyatukan negeri di bawah kekuasaan Hyang Siwa, kesaktiannya tidak ada bandingannya, meliputi seluruh jagat, dan memberikan kebahagian yang abadi.

  1. Na lwiri sang tepet manemu yoga sandhining acintya sasmreti sada, tan swasarira kewala wisuddha nirmala tekaparatmaka kabeh, swartha parartha sadhyanira tan wurung mudani harsanging parahita, yeka panihnaning sakalamurti sang hyang apagoh umandel i sira.

Seperti itulah orang yang telah dengan tepat menemui jalan persatuan dengan Hyang Acintya, dengan ingatan yang tetap dan teratur, tidak hanya dirinya sendiri yang suci nirmala, namun seluruh masyarakat luas, kepentingan orang lain adalah juga kepentingan dirinya sendiri, tak hentinya ia memberikan kebahagiaan kepada masyarakat luas, itulah tandanya secara nyata Hyang Siwa berwujud, dan teguh bestana dalam dirinya.

  1. Len hana nista madhya lawan uttama pada kininkining hayunika, mwang karananya mentasa sakeng aweci musira ng sukadhikapada, yan mulating paranemu suduhkitalara dahat hidepnira tumon, ri wruhi tanpa bedhanira mulaning bhuwana jati tunggal ikahen.

Apayang disebut nista (bawah) madhya (tengah) utama (atas) sama di dalam pikirannya, demikian juga jalan melepaskan orang dari neraka menuju kebahagiaan diperhatikannya, ia sangat menaruh perasaan kepada orang yang ditimpa penderitaan, karena Beliau mengetahui hakikat yang ada adalah satu tidak ada bedanya.

  1. Tan mangka janaloka buddhi winangunya tang amuhara treptining hidep, ndan bwat dwesa gatinya ring paraguna, swagunga juga lewih wuwusnika, gongning dosa hinotakenya ri sarira kinekesika tan kaniscayan, anghing yan hana dosa matranikanang parajana winulik winarnana.

Tidak demikan halnya kebanyakan orang yang hanya ingin menyenangkan dirinya sendiri, ia sangat tidak senang terhadap kemampuan orang lain, kemampuan dirinya sendiri sajalah yang dipujinya, dosanya yang besar disembunyikan dalam dirinya sehingga tidak diketahui orang lain, namun kalau ada kesalahan orang lain yang hanya sedikit, itu dicarinya dan dibesar-besarkannya.

  1. Lyan tekang hati tustacitta ri sedengnika n umulati duhkaning waneh, irsyeng wang tumemu ng sukanalah ulah karananira manemwa duhkita, nindyeng sadhu mahardhika manah anindya winaling agawe kaduskretan, gongning krodha madeg yadin calana, henti sumukitanikan hinastawa.

Lain lagi hatinya sangat senang apabila orang lain dalam keadaan ditimpa kesusahan, mia iri kepada orang yang menemui kebahagiaan, malah berusaha untuk menjerumuskannya ke jurang kedukaan, ia senantiasa mencela orang-orang suci dan orang-orang berbudi mulia, ia ingin agar mereka tidak menemui kebahagiaan, namun ia sangat marah kalau dicela, sangat merasa bahagia kalau disanjung.

  1. Tang tunggal mara sampaying nara wumurka tumaya taya ring huwus mahan, nirsandeha cumodya solahira sang jenek angulahaken kasatwikan, yeku bhranta wimudha janma tang amet hyang aputeran aneka laksana, lesyanyan turunging wruh ing gati nahan pangucapira mangalpanika lwero.

Tidak satu caranya untuk menjerumuskan orang, menghina orang, ia meniadakan dan menholok-olok orang-orang bijaksan, tiada malu ia mencela perbuatan orang yang dengan tetap pendirian menegakkan kebenaran, “orang-orang seoerti itu adala orang-orang bingung, orang-orang bodoh yang mencari Sang Pencipta dengan berbagai cara dan bersusah payah, apalaagi alasannya karena belum mengetahui hakikat tujuan yang sejati “, demikian katanya menghina dan dengan bangga kepada dirinya.

  1. Ndah mangkambekikang satagelem apet ring analahi ng ulahnya nityasa, lobhe dhih umaku wisesa tinemunya ri turunging acihna ring praja, ndan sabdanya jugalepas lwiraniki ng kalilingan atikadbhutapatuk, anghing tan kawenang miber sthiti haneng kuwungika ri wipaksaning tanu.

Demikian pikiran orang yang senatiasa mencari kesalahan orang lain, dengan liba ia mengakui dirinya yang paling hebat, padahal belum ada buktinya dalam masyarakat, kata-katanya memang terdengar hebat, bagaikan suara burung kalilingan yang patuknya sangat besar, namun ia sendiri tidak bisa terbang, ia diam saja di sarangnya, karena tidak mampu terbang.

  1. Nistanyan pwa ya mangkana ng gati taman surud anekani sestining hati, tan sengeh yadin asyana ng para tekapnikan awedi kasoran ing naya, wetning hyunya pujin stutin ya lingika ng bhuwana lepasa dengku tan wurung, simbantenn iki yan makarya ya jugan winawanika ri tambragomuka.

Singkatnya seperti itulah jadi nya orang yang tidak hentinya menuruti keinginan, ia tidak memperdulikan tudingan orang lain, karena ia takut dikatakan kalah pintar, karena ia ingin dipuji dan dihormati, maka ia berkata, “Dunia ini akan saya selamatkan, sudah tentu”, jangankan ia mampu (menyelamatkan dunia), malah dia sendiri akan terjerumus ke dalam jurang neraka.

  1. Tang mangkambek munindratisaya nipuna ring sarwa tatwopadesa, tan sangkeng lobha yar sorakeni sahananing loka kapwapranamya, sangka ry asihnira ng hetunika pada musap jong lananghyang masewa, warsajnanopasantanirami manahanikang rat dumeh harsacitta.

Tidak demikian pikiran seorang maha pandita yang telah matang dalam segala ajaran tattwa, bukan karena loba hatinya kalau beliau ditempatkan lebih tinggi dan dihormati oleh masyarakat, namun karena penuh kasihlah beliau kepada masyarakat menyebabkan beliau dihormati dan senantiasa dihormati, dijadikan guru, bagaikan hujan yang menyirami hati masyarakat luas dengan jnana, kesabaran hati memberikan kebahagiaan.

  1. tekwan tan sangka ring pintanika ri datenging sarwa ratnopakara, wetnyatyanteng mahasiddhinira kumawaseng rat taya ng langghaniya.

Adapun bukan karena permintaannya apabila berbagai permata dan yang lain datang kepadanya, karena sangat tinggi dan sempurna pengetahuan beliau, sehingga beliau dapat menguasai jagat dan tidak ada yang mengalahkannya.

  1. Apan prajna suluh sang yatiwara masawang bahni candrarka dipta, ring wahyadhyatmika ng angga rinadinanira ng satru yangken peteng sok, dhyasteka nang tamahninh hati sahannikang papa len klesa sirna, lila-lilan pangicchen bhuwana tekapikang jnana saktyaniwarya.

Karena pengetahuan suci merupakan suluh bagi sang pandita, bagaikan cahaya api, juga cahaya matahari dan bulan, di dalam dirinya yang tampak maupun yang tidak tampak dikalahkannya segala musuhnya yang bagaikan gelap gulita hilanglah kegelapan pikitrannya (tamah), segala kenestapaan (papa) dan kekotoran (klesa) menjadi musnah, dengan penuh kebahagiaan beliau membuat bahagianya dunia dengan kekuatan jnana yang besar.

  1. Samangka tingkahnira sang huwus mahan, mahojjwaleng jnana lumon prabhaswara, prabhaswareng rat supenuh nda tan katon, katon tikang wastu susuksma denira.

Demikianlah perbuatan orang yang telah mencapai kesempurnaan jiwa, jnana bagaikan api yang berkobar-kobar, becahaya cemerlang, cahayanya memenuhi jagat, namun tidak terlihat, hanya terlihat wujud yang sangat halus nan indah.

  1. Nirantarathatwa mapinda tan luput, luput ring angga mwang ing anda yan pinet, pinet maner ing hati muksa tan hilang, hilangnikamisra mawor nda tan pawor.

Sesuatu yang abadi terus berkumpul di dalam dirinya tidak salah lagi, namun bila ingin mendapatnya di dalam diri dan di tempat lain di dunia, tidak akan di dapat, namun dia harus dicari di dalam hati, walaupun bagaikan tidak ada, sesungguhnya tidak hilang, hilangnya karena bersatu, namun tidak bercampurbaur.

  1. Pawornikeng atma makeka ring tutur, tutur sadakala sunispreheng sarat, sarat hilang mwang ri hidep maluy malit, malit sangkeng litning acintyaniskala.

Persatuan dengan atma adalah dalam kesadaran (tutur), kesadaran yang terus menerus menyebabkan dapat melupakan jagat, hilangnya jagat menyebabkan batin menjadi kecil dan halus, yang kecil dan halus dari Acintya yang tak terpikirkan.

  1. Kalah tikang sadripu sirna denira, niragraha citta wisuddha nirmala, malanaput tanpa napel kawes humur, humur dumohi wisayanya nityasa.

Keenam musuh dalam dirinya kalah dan musnah pikirannya tetap suci nirmala, kekotoran yang menyelimuti telah habis tidak berbekas, obyek indria senantiasa juga makin menjauh.

  1. Makantya tekana ginuhya ring hati, atita ring kirya kabeh ya nisphala, phalanya tan matra kasinghiteng manah, manah sumimpen ri huwusnya nirnaya.

Segala yang mulia terus disimpan dalam hati, semua perbuatan yang lalu kini tidak berpahala lagi, pahalanya yang sedikit tersimpan di dalam hati, pikiran pun tersimpan setelah tiadanya keinginan.

  1. Ya samangkana rakwa lekasira sang uttama diwyayati, ginelarnira sang guru panganumateng kami mudha dahat, wiphalan kadi dipa sumeleh atidipta tibeng jaladhi, temahanya padem kakelem i petenging hati lot wipatha.

Seperti itulah keadaan orang yang utama dan mulia, diuraikan oleh guru hamba, kepada hamba yang sangat bodoh, tentu tidak berguna, bagaikan lampu yang bercahaya jatuh ke dalam samudra, akhirnya tentu padam bagaikan tenggelam di dalam gelapnya pikiran yang berada di simpantg jalan.

  1. Lwirning wadhaka saktining wisaya satru jaladhi sama kirna tar surud, rwabnyandurbalani swacitta mawetu ng karaketan i temahnya ring sarat, na hetungkwa n umura karwa lepihan teher akemula kresna jirnaka, wetnung tan sipi duhka mangdasaguneng bapa ri pangataging pura-kreti.

Bagaikan rintangan kekuatan obyek indria, bagaikan musuh berwujud samudra dalam keadaan pasang, air pasang itu menyeret pikiranku ke dalam kesulitan, karena menyebabkan pikiranku terbekenggu oleh jagat, itulah senabnya hamba pergi membawa kitab ini yang berselubung kain hitam yangs sudah robek, karena sungguh sangat sedih hati hamba karena tidak memiliki keberanian dan keiklasan hati untuk melaksanakan perintah bapa (guru) yang tengah berada di istana.

  1. Nahan hinganikan palambang atidurlikita wigati tar wenang lingen, ndan sing sabda riniptaken teka ng ujar sarinapini winorku ring rasa, bhrangtajnananiking pitanuluyi putra sawuwusika tulya bhasmaran, tustengwang yadin asyana ng para sadenya cumacada linampuning hulun.

Demikianlah karya tulis ini sangat buruknya sehingga tidak dapat dibicarakan, semabrang kata yang hamba tulis, sampai dengan kata-kata yang penting telah hamkba campur dengan rasa, pikiran hamba binggung, sehingga bapa memberikan penerangan kepada putranya dengan kata-kata yang penuh makna, hamba menjadi senang, sekalipun hamba ditertawai lalu dicela hamba menerimanya dengan tulus hati.

  1. Tekwan tan wihikan gatingku ri rusit-rusitin akawi punya kirtiman, nghing sinwinutusing yayah medarena katiwasanira nitya kasmala, hetungkwanis anuksma mogha maparab wedi katengera cihnaning hulun, erang ngwang sthitihen pradesa juga tan maluya wekasing nirarthaka.

Lagi pula hamba memang tidak mengetahui seluk beluk membuat karya sastra persembahan, namun hamba diperintah oleh bapa hamba untuk menguraikan kesengsaraan orang yang berpikiran kotor, itulah sebabnya hamba pergi ke tempat yang sepi, memakai nama samaran, takut diketahui diri hamba yang sesungguhnya, hamba merasa malu, maka hamba tetap tingga di tempat itu, dan tidak akan kembali sampai akhir hidupku.


2 komentar:

  1. Bang, nyari kitabnya atau belinya dimana ya bang... Atau kalopun gak di perjualbelikan kita bisa membaca/mempelajarinya dimana ya bang...?

    BalasHapus
  2. Saya menangis mmendengar ulasan diatas terima kasih telah memposting

    BalasHapus