Rsi Uddalaka. Seorang rsi besar dan mahaguru kitab Wedanta, memiliki seorang murid yang bernama Kagola. Kagola adalah murid yang berbudi luhur dan berbakti, tapi kurang pandai. Ia sering menjadi bahan tertawaan murid-murid yang lain. Namun demikian, Rsi Uddalaka tertarik pada keluhuran budi, sikap berbakti, dan sikapnya yang baik. Ia ingin menikahkan Kagola dengan putrinya, Sujata.
Sujata dan Kagola dianugerahi seorang putra. Biasanya seorang putra mewarisi sifat-sifat kedua orang tuanya. Tetapi putra Sujata dan Kagola ini justru mewarisi kepandaian kakeknya, Rsi Uddalaka. Sejak dalam kandungan anak ini telah menguasai kitab-kitab Weda. Ketika Kagola salah mendaraskan kitab Weda, anaknya yang masih dalam kandungan ibunya akan meronta-ronta kesakitan. Akibatnya, ketika lahir anak itu bungkuk dan memiliki delapan benjolan. Kemudian, anak itu diberi nama Astawakra yang berarti “delapan benjolan”.
Suatu hari Kagola mengikuti lomba penafsiran Wedanta. Ia harus berhadapan dengan Wandi seorang ahli tafsir istana Mithila. Karena kalah dalam perdebatan itu, ia harus menceburkan diri ke laut. Sementara itu, pada usia belasan Astawakra tumbuh menjadi ahli kitab suci yang mumpuni. Pada usia dua puluhan ia telah menyelesaikan belajar kitab-kitab Weda dan Wedanta.
Suatu hari Astawakra mendengar bahwa Janaka, Raja Mithila, akan mengadakan upacara besar. Biasanya dalam upacara besar tersebut para ahli tafsir berkumpul dan memperdebatkan kitab-kitab sastra. Maka, berangkatlah Astawakra ke Mithila ditemani pamannya, Swetaketu.
Dalam perjalanan ke Mithila mereka bertemu dengan rombongan raja. Para pengawal memerintahkan agar orang-orang minggir memberikan jalan kepada raja. Alih-alih minggir, Astawakra malah berkata dengan berani: “Wahai pengawal kerajaan, bahkan seorang raja, jika ia memang bijaksana dan adil, akan memberikan jalan kepada orang buta, cacat, para wanita, pembawa beban berat, dan para brahmana. Demikianlah yang diajarkan kitab-kitab suci.”
Raja, yang terkejut dengan kata-kata bijak brahmana muda itu mengakui kebenaran protes itu dan mengalah untuk memberikan jalan kepada mereka. Katanya kepada para pengawal: “Apa yang dikatakan brahmana itu memang benar. Api adalah api, entah itu besar atau kecil, tetap saja punya kekuatan membakar.”
Astawakra dan Swetaketu masuk ke ruangan upacara.
Penjaga gerbang menghentikan mereka. Katanya: “Anak-anak tidak boleh masuk. Hanya mereka yang benar-benar ahli kitab-kitab Weda diperbolehkan masuk.” Jawab Astawakra: “Kami bukan anak-anak sembarangan. Kami telah menjalani sumpah brahmana dan telah mempelajari kitab-kitab Weda. Mereka yang telah menguasai kitab-kitab Weda tidak akan menilai orang lain hanya dari penampilan luar atau usia.” Kata penjaga itu: “Hentikan omong kosongmu! Bagaimana mungkin engkau, bocah ingusan, telah mempelajari dan menghayati Weda?” Jawab Astawakra: “Maksudmu aku ini bogel seperti labu bungkuk yang tidak ada isinya? Penampilan atau usia bukan ukuran untuk menilai kedalaman pengetahuan seseorang. Orang tua yang berbadan tinggi besar mungkin saja bodoh dan tidak tahu apa-apa. Biarkan aku masuk.” Penjaga berkata: “Engkau masih hijau dan tidak tinggi, meskipun bicaramu seperti orang yang sudah ubanan. Engkau tetap tidak boleh masuk. Keluar sana!” Astawakra menjawab: “Rambut beruban bukanlah cerminan kematangan jiwa seseorang. Orang yang benar-benar matang adalah orang yang telah mempelajari dan memahami kitab Weda dan Wedanta, menguasai isi dan meresapi ajaran-ajarannya. Aku datang ke mari untuk menghadapi Wandi, ahli tafsir istana. Mohon permintaan ini disampaikan kepada Raja Janaka.”
Kebetulan saat itu, Raja Janaka lewat tempat itu. Ia segera mengenali Astawakra, bocah yang mengucapkan kata-kata bijak di jalan. Tanya raja: “Apakah engkau tahu Wandi, ahli tafsir istana, telah mengalahkan sekian banyak ahli tafsir dan membuat mereka terpaksa harus menceburkan diri ke laut? Apakah itu tidak mengecilkan hatimu?” Jawab Astawakra: “Ahli tafsir paduka belum pernah menghadapi orang sepertiku, yang benar-benar telah menguasai kitab Weda dan Wedanta. Ia menjadi sombong karena bisa mengalahkan banyak ahli dengan mudah. Aku datang ke sini untuk membayar hutang ayahku, yang telah dikalahkan oleh tafsir Paduka dan harus menceburkan diri ke laut. Demikian cerita yang disampaikan ibuku. Aku yakin aku pasti bisa membuat Wandi tidak bisa apa-apa, seperti kereta kuda yang rusak rodanya. Mohon Paduka berkenan memanggilnya.”
Astawakra menghadapi Wandi. Perdebatan dimulai. Mereka mulai mengungkapkan pendapat dan memperbantahkannya. Masing-masing mengeluarkan kemahiran dan dengan cerdas menguliti kesalahan pendapat yang lain. Pada akhirnya, sidang memutuskan bahwa Astawakralah yang menang dan dengan demikian, Wandi harus menelan kekalahan. Ahli tafsir istana Mithila harus tunduk di hadapan Astawakra dan harus menerjunkan diri ke laut, menyerahkan diri kepada Baruna.
Jiwa Kagola, ayah Astawakra, mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan berkat kemenangan putranya. Seorang anak tidak musti sama seperti ayahnya. Seorang ayah yang lemah raganya bisa saja memiliki anak yang gagah perkasa. Seorang ayah yang dungu bisa saja mendapatkan anak yang sangat cerdas. Kita tidak bisa menilai kebesaran jiwa orang dari penampilan ragawi atau usia. Penampilan luar bisa menipu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar