Hari raya suci keagamaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan suatu ajaran agama. Dengan peringatan atau perayaan suatu hari suci keagamaan maka diharapkan pemeluk agama dapat lebih memantapkan kualitas rohaninya, baik itu secara internal, dalam hal ini adalah bagi diri pribadi dan sesama pemeluk agama. Maupun secara eksternal, dalam hal ini adalah antar pemeluk agama dan lingkungan sosial masyarakat yang bersifat heterogen.
Umat Hindu sebagaimana halnya dengan umat beragama lain di negara Republik Indonesia ini, juga menjadikan hari raya suci kegamaan sebagai hari yang diperingati atau yang diistimewakan karena berdasarkan keyakinan, hari-hari itu mempunyai makna atau fungsi yang amat penting bagi kehidupan umat Hindu, baik karena pengaruhnya maupun nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya sehingga dirasakan perlu diingat dan diperingati selalu. Dengan merayakan atau memperingati hari raya suci tersebut, baik yang telah ditentukan atau dinyatakan di dalam kitab-kitab suci, atau menurut kepercayaan tradisional, hari tersebut akan memberi pengaruh terhadap diri sehingga dirasakan sangat berkewajiban untuk diperingatinya.
A. Pengertian Galungan
Pada kesempatan ini marilah kita telusiri tentang hari raya Galungan. Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis. Dalam bahasa Sunda juga terdapat kata Galungan yang berarti berperang.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini. Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Dharma berasal dari bahasa Sanskerta, urat kata dhr yang artinya memelihara, mengatur, memangku. Dharma berarti aturan, kewajiban, kebenaran, ataupun pekerjaan-pekerjaan yang baik. Kemenangan dharma berarti mengandung makna terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan yang baik. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugerah Hyang Widhi. Gembira atas anugerah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Bagi umat Hindu, kewajiban dan pekerjaan yang baik tersebut adalah yadnya, sebab yadnya adalah perbuatan Ida Sang Hyang Widhi yang dapat diikuti oleh manusia. Oleh karena itu dalam merayakan kemenangan dharma atau merayakan Galungan, pelaksanaan yadnya merupakan tujuan utama walaupun cara atau jalan yang ditempuh serta materi yang digunakan dan obyeknya berbeda-beda. Tetapi Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan mendekati hambaNya sesuai dengan jalan yang ditempuh, seperti yang disebutkan dalam Bhagawadgita:
Ye yatha mam prapadyante
Tams tathai ‘va bhajamy aham
Mama vartma ‘nuvartante
Manusyah partha sarvasah (IV.11).
Artinya :
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu Aku memenuhi keinginan mereka,
Melalui banyak jalan manusia menggikuti jalanKu, O Partha.
Demikianlah pada hari raya Galungan masyarakat Hindu di Bali akan berusaha melaksanakan yadnya sebanyak-banyaknya, tentunya dengan rasa yang tulus dan ikhlas, diwujudkan dengan persembahan atau pengorbanan berupa sesajen-sesajen yang ditujukan kehadapan para Dewa, kekuatan-kekuatan Alam, Leluhur, binatang-binatang (gumatap-gumitip, sarwa prani) bahkan apa saja yang dianggap membantu, menemani hidupnya dan berada di sekitarnya, seperti tempat sirih, alat-alat bekerja di dapur, di sawah, menenun, menumbuk padi, sapu, saluran air (song sombah), kendaraan dan lain sebagainya. Upacara hendaknya dilakukan sebelum matahari condong ke barat.
B. Mitologi Galungan
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi (Zaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur. Dalam Pararaton zaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan.
Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
C. Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sundarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sundarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byaparaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.
Selain upacaranya, penjor yang ditancapkan di depan rumah saat perayaan Galungan juga memiliki makna. Penjor, melambangkan Gunung Agung. Tak hanya itu, penjor yang menjulang dengan ujung yang merunduk juga memiliki filosofi padi. Semakin berisi semakin merunduk. Manusia pun harus berlaku demikian. Semakin tinggi ilmu, semakin rendah diri. Khusus untuk penjor Galungan ini, harus terdapat pala mula, pala bungkah dan pala gantung. Kain putih sebagai lambang kesucian juga ikut menghiasi penjor. Semuanya sebagai simbolitas rasa syukur manusia pada Hyang Kuasa atas hasil alam yang ada di dunia ini. Setelah semua dipahami, tentu merayakan Galungan bukan lagi sekadar rutinitas, tetapi ada makna yang harus diketahui.
D. Rangkaian Hari Raya Galungan
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Prosesi hari raya Galungan di Bali dimulai dari :
1. Sugihan Jawa
Hari raya Sugihan merupakan rangkaian hari raya yang menyertai hari raya Galungan. Hari raya ini dirayakan umumnya tidak seistimewa ataupun semeriah Galungan. Namun hari raya ini memiliki nilai filosofi yang tidak kalah penting dari filosofi Galungan sebagai hari peringatan kemenangan dharma atas adharma. Sebelum melanjutkan pembahasan lebih jauh mengenai hari raya Sugihan, maka terlebih dahulu marilah kita mencoba memaknai definisi kata sugihan tersebut dari sudut etimologi kata sugihan itu sendiri.
Sugihan secara etimologi berasal dari kata sugi, yang berarti suci atau kesucian. Sehingga definisi dari hari raya sugihan itu sendiri adalah suatu hari raya, yang diperuntukan sebagai waktu untuk melaksanakan pensucian. Pensucian disini tentunya dikaitkan dengan perayaan dari hari raya Galungan, sebelum Galungan datang, hendaknya kita melaksanakan pensucian. Pensucian terhadapa bhuana agung dalam hal ini adalah lingkungan termasuk peralatan yang akan dipergunakan pada saat Galungan. Dan pensucian terhadap bhuana alit dalam hal ini adalah diri kita sendiri, sebagai pelaksana dalam perayaan hari raya Galungan.Sugihan Jawa jatuh pada hari Wrhaspati/Kamis Wage wuku Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya Galungan dan merupakan hari penyucian terhadap tempat-tempat suci serta perumahan. Penyucian disini dilakukan secara sekala yaitu membersihkan halaman Pura, Paibon, Sanggah atau Mrajan Perumahan, bangunan-bangunan suci (pelinggih) termasuk mengganti tikar, tempat air (caratan dan coblong) dan tempat sesajen (bokor) yang telah rusak, demikian pula dilakukan terhadap halaman serta bangunan perumahan.
Karena hari raya sugihan ini merupakan rangkaian dari perayaan Galungan, maka secara otomatis, hari raya ini diperingati berdasarkan pawukon (wuku) yaitu setiap 210 hari sekali. Tepatnya Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrehaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Sedangkan Sugian Bali diperingati keesokan harinya yaitu pada Sukra Kliwon Wuku Sungsang. Sebagai bagian dari rangkaian hari raya Galungan, yang merupakan perayaan sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan dorongan Asuri Sampad dan Daiwi Sampad
Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Hari raya Sugihan merupakan rangkaian proses perjuangan dari dharma atas adharma. Dalam proses ini ada dua hal yang dititik beratkan yaitu bhuana agung dalam hal ini adalah lingkungan sekitar dan bhuana alit yaitu diri sendiri. Diusahakan pada kedua tempat ini, dharma selalu dapat unggul daripada adharma.
Perjuangan ini diwujudkan dalam bentuk pensucian terhadap kedua hal tersebut, yakni bhuana agung dan bhuana alit. Sehingga hari raya Sugihan juga dibedakan atas hari raya Sugihan Jawa dan hari raya Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sedangkan kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan pada saat hari raya Sugihan Bali.
Selanjutnya penyucian niskala, dengan jalan menghaturkan sesajen-sesajen yang bersifat pembersihan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai prabawaNya yang dipuja di tempat bersangkutan.
Bagi Sang Sadaka (Wiku) hal ini dilakukan dengan mengucapkan puja mantra (anggrha puja), sedangkan para yogin dengan jalan melakukan yoga semadhi.
- Upakara-upakaranya :
- Untuk bangunan-bangunan yang dianggap utama seperti Padmasana, Meru, Sanggah Kemulan, Taksu, Pengijeng atau Penunggun Karang dan lain-lain. Sedangkan yang dianggap perlu yaitu Pabersihan atau Panyucian, Canang Buratwangi atau yang lain dan Tirtha Anyar (Toya Anyar). Dapat pula dilengkapi dengan ajuman dan daksina atau sesuai dengan yang telah berlaku.
- Untuk pelinggih yang lebih kecil diperlukan Canang Buratwangi atau yanng lain sesuai dengan apa yang telah berlaku.
- Penyucian secara umum, yang disebut juga dengan Parerebuwan.
- Prosesi Upacara
Setelah melakukan pembersihan secara sekala, lalu dilakukan pembersihan secara niskala yaitu menghaturkan banten Parerebuwan. Bila hanya membuat satu soroh banten Parerebuwan, hendaknya diusahakan mempergunakan ikan, ayam, atau itik, dan terlebih dahulu dihaturkan di Padmasana kemudian di Sanggah Kemulan atau Meru atau Gedong, Taksu dan seterusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil, akhirnya di lebar di Jaba disertai dengan Segehan dan Tetabuhan. Setelah selesai menghaturkan banten Parerebuwan, barulah menghaturkan sesajen-sesajen seperti yang tercantum diatas, diakhiri dengan persembahyangan dan mohon tirta sebagaimana biasa.
Mengenai definisi maupun makna yang terkandung dalam hari raya Sugihan telah kita bahas bersama. Kemudian akan timbul pertanyaan lain, kenapa hari raya Sugihan menjadi rangkaian dalam perayaan hari raya Galungan. Pertanyaan ini dapat dijelaskan atau diuraikan sebagai berikut. Galungan diibaratkan sebagai suatu puncak kemenangan dharma atas adharma. Secara logis, tentunya untuk memperoleh suatu kemenangan, terdapat suatu rangkaian peristiwa perjuangan sehingga kemenangan tersebut dapat diraih dengan gemilang.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Maksudnya ialah pada waktu hari raya ini yang disucikan ialah dewa, yang dalam dalam hal ini mewakili kondisi bhuana agung (makrokosmos) yang terdapat di alam semesta ini. Sedangkan pada hari Sugihan Bali disebutkan Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Maksudnya ialah dilaksanakan pensucian bagi bhuana alit (mikrokosmos) dari alam semesta ini, yaitu diri kita masing-masing.
Lebih jauh lagi, kenapa hari raya Sugihan ini menjadi rangkaian dari perayaan kemenangan dharma atas adharma, ialah kembali dari definisi kata sugihan itu sendiri yaitu kesucian. Kesucian sangat berperan dalam menegakan atau memenangkan dharma atas adharma. Kalau kita renungkan lebih dalam, titik akhir dari semua pergulatan hidup di alam semesta ini adalah kesucian itu sendiri. Tanpa kesucian dari jasmani dan rohani bagaimana kita dapat melampaui rintangan kelahiran ini untuk mencapai apa yang dinamakan moksartham jagadhita ya ca iti dharma. Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Sebagai contoh, nilai yang terkandung dalam perayaan Sugihan Jawa ialah pensucian terhadap bhuana agung (makrokosmos). Banyak tindakan yang terkesan sederhana tapi dapat mencerminkan nilai-nilai ini dalam hidup bermasyarakat. Misalnya saja, menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak melanggar pertauran lalu lintas yang telah ada, peduli dan aktif dalam kegiatan gotong royong membersihkan jalan umum atau pun sarana peribadatan seperti pura atau sanggar. Gotong royong seperti ini seyogianya tidak perlu menunggu datangnya Sugihan, dapat dilaksankan setiap bulan sekali. Bisa dibayangkan aklau kegiatan seperti ini dilakukan hanya pada saat Sugihan, tempat suci kita tentu akan berkurang keasrian dan kesuciannya baik secara sekala atau niskala.
2. Sugihan Bali
Sehari setelah Sugihan Jawa Sugihan Bali yaitu pada hari Sukra/Jumat Kliwon wuku Sungsang, dan merupakan penyucian terhadap diri sendiri. Pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing- masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Untuk hari Sugihan Bali, sebagai waktu yang ditujukan bagi pensucian bhuana alit, yaitu bagi diri kita sendiri-sendiri. Dapat dilakukan dengan melaksanakan upawasa semampunya, maupun dengan melaksanakan persembahyangan baik di rumah maupun di tempat suci. Dapat pula dengan melakukan samadhi, untuk menenangkan pikiran dalam menyambut datangnya hari kemenangan dharma atas adharma. Sloka dari pustaka suci Manawa Dharma Sastra berikut ini, dapat pula dijadikan pedoman dalam pelaksanaan Sugihan Bali. Adapaun bunyinya sebagai berikut:
Adbirgaatrani suddhyati,
Manah satyena suddhyati,
Vidya tapobhyam bhutaatma,
Buddhir jnyanena sudhyati
(Badan dibersihkan dengan air, Pikiran disucikan dengan kebenaran dan kejujuran, Atman disucikan dengan ilmu pengetahuan dan Tapa, Budhi disucikan dengan kebijaksanaan) Manawa Dharmasastra V.109
Bunyi sloka tersebut, memberi kita suatu tuntunan tindakan yang dapat ditempuh dalam usaha-usaha yang diperuntukan bagi pencapaian kesucian atau kebersihan dari diri kita sendiri, baik secara sekala maupun niskala, dan secara jasmani maupun rohani.
Bertolak dari bunyi sloka tersebut, maka sebenarnya penerapan konsep atau tattwa dari hari raya Sugihan ini, dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep kesucian ini dapat meningkatkan kualitas hubungan sosial kita secara horisontal yakni dengan sesama dan juga dengan lingkungan alam kita. Maupun kualitas hubungan rohani kita secara vertikal dengan Brahman (Gusti Sang Hyang Widhi).
Upacara yang bersifat khusus boleh dikatakan tidak ada dan agar diusahakan mohon tirta penglukatan kehadapan Sang Sadaka atau Sulinggih disamping bersembahyang serta mohon tirta sebagaimana biasa pada hari-hari Kliwon.
Nilai yang terkandung dalam sugihan Bali, sebagai waktu yang ditujukan untuk pensucian bhuana alit yaitu diri kita sendiri, juga dapat dilaksanakan secara rutin setiap hari. Misalnya saja dengan menerapkan konsep Tri Kaya Parisudha pada kehidupan bermasyarakat kita. Dengan mengusahakan kebersihan dan kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan kita, niscaya kesucian diri pribadi dapat kita capai.
Dalam Panca Niyama Brata, atau lima macam pengendalian diri tahap kedua untuk mencapai tujuan akhir yaitu moksartham jagadhita ya ca iti dharma. Konsep kesucian ini disebut dengan sauca. Yang dalam pustaka Silakrama 64 dituliskan sebagai berikut;
Akrodha grurususrusa,
saucam ahara-laghawam
Apramadac ca pancaite,
niyamah ciwabheasitah
(Yang namanya akrodha ialah tidak suka marah, yang bernama guru susrusa ingin berhubungan rapat dengan guru, karena ingin mendengar pelajaran guru, yang bernama sauca selalu berdoa, memohon kebersihan lahir bathin terhadap Tuhan. Yang bernama aharalaghawa, tidak sembarangan makanan dimakan, apramada namanya tidak segan-segan membiasakan ajaran kependetaan/ kerohanian. Kelima itu bernama Niyama Brata, sabda bhatara Siwa)
3. Hari Panyekeban
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Tiga hari menjelang Galungan yaitu pada hari Redite/Minggu Paing Wuku Dungulan disebut hari Panyekeban. Di kalangan masyarakat yang pemikirannya masih sederhana, hari ini merupakan saaat untuk memetik serta menyimpan buah-buahan atau pisang pada tempat yang khusus (nyekeb) agar matang pada Hari Raya Galungan. Tetapi bila ditinjau lebih lanjut dimana disebutkan pada hari itu Sang Hyang Tiga Wisesa dalam wujud Sang Kala Tiga turun ke dunia untuk menggagu manusia, bahkan mungkin akan menjadi mangsaNya. Yang dimaksud Sang Hyang Tiga Wisesa tidak lain daripada Ida Sang Hyang Widhi dalam mencipta, memelihara, serta melebur yang lebih dikenala dengan sebutan Sang Hyang Tri Murthi, sedangkan Sang Hyang kala Tiga adalah wujud krodhaNya yang dikenal dengan sebutan Rudra (Tuhan memiliki 11 sifat Rudra).
Oleh karena itu setiap orang hendaknya waspada dan berusaha menjaga kesucian dirinya (pratiyaksa anyekung ikang adnyana nirmala). Bagi para sulinggih dan sang sujanaakan berusaha melakukan tapa, brata, dan semadi. Hal tersebutu kiranya agak sulit dilakukan oleh masyarakat umum terutama di kalangan pekerja, anak-anak, dan wanita. Tetapi dengan mengarahkan aktivitasnya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat spiritual yaitu menyediakan serta menyimpan buah-buahan untuk kepentingan yadnya dan bukan semata-mata untuk dimakan, diharapkan mereka dapat memusatkan pikiran ke arah kesucian, mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terhindar dari gangguan dan bencana yang disebabkan oleh Sang Kala Tiga. Dengan demmikian hari Panyekeban tidak hanya berarti saat untuk memetik serta menyimpan buah-buahan, tetapi mempunyai pula arti mengasingkan diri atau mengendalikan diri untuk mencapai kesempurnaan hidup. Sebagai perbandingan dikenal pula adanya hari Pengekeban dalam upacara Meningkat Dewasa, Potong Gigi, Pernikahan, ataupun Madwijati.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan bahwa hari Panyekeban mempunyai arti bahwa suatu usaha untuk mengendalikan diri agar dapat menegakkan dharma yang merupakan perahu untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Sebagaimana halnya dengan buah-buahan ynag mentah, jika menjadi matang akan mempunyai rasa yanng lebih enak.
4. Hari Penyajaan
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”
Sehari setelah hari Panyekeban yaitu pada hari Soma/Senin Pon Wuku Dungulan disebut Penyajaan. Penyajaan berasal dari kata “jajah”, mendapat awalan pe- dan akhiran –an menjadi Penyajahan yang artinya penguasaan penaklukan atau mengalahkan. Selanjutnya, Penyajaan yang dimaksud disini adalah penguasaan Sang Kala Tiga terhadap diri manusia, atau sebaliknya manusia dapat mengalahkan Sang Kala Tiga.
Untuk dapat mengalahkan Sang Kala Tiga kiranya tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kewaspadaan, kesucian, dan mendekatkan diri mohon perlindungan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Demikianlah disebutkan di dalam lontar Sunarigama, para Sulinggih dan Sang Sujana hendaknya meningkatkan tapa, brata, serta semadinya, sedangkan masyarakat akan meningkatkan kegiatannya dalam mempersiapkan alat-alat untuk kepentingan yadnya misalnya menggoreng jajan, menyediakan kacang-kacangan, saur, serundeng, membuat tumpeng, penek serta berjenis-jenis sampian atau jejahitan dari janur. Pekerjaan tersebut benar-benar telah menyita waktu terutama di kalangan wanita. Kadang-kadang mereka tidak sempat menyiapkan makanan sebagaimana biasa karena seluruh perhatiannya terpusat pada pekerjaan-pekerjaan untuk keperluan yadnya serta sesajen. Dan ini adalah salah satu cara bagi karma marga dn bakti marga untuk menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di dalam bhagawad Gita disebutkan :
Brahma’rpanam brahma havir
Brahmagnau brahmana hutam
Brahmai va tena gantavyam
Brahmakarmasamadhina. (IV.24)
Artinya :
Baginya pelaksanaan korban suci adalah Brahman (Tuhan), korban itu sendiri adalah Brahman.
Disajikan oleh Brahman di dalam api dari Brahman. Brahman (Tuhan itu yang akan dicapai bagi ia yang menyadari bahwa Brahman (Tuhan) ada di dalam pekerjaannya.
Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan setelah hari minggu (Panyekeban) lebih banyak dikerjakan oleh kaum wanita ssedangkan kaum pria boleh dikatakan belum mempunyai kegiatan serta pekerjaan-pekerjaan yang khusus, kecuali menyiapkan bahan-bahan seperti janur, ron, bambu, ataupun semat. Perlengkapan tersebut ada kalanya di beli di pasar sehingga kaum pria benar-benar tidak mempunyai kegiatan yang berhubungan dengan yadnya. Dalam hal ini maka yang patut dilaksanakan adalah bersikap waspada, sabar, dapat menahan kekesalan, terutama menghindari pertengkaran sebagai usaha nyata untuk menegakkan kesejahteraan atau kedamainan. Seperti halnya pada hari penyekeban maka pada hari inipun belum ada kegiatan yang berupa upacara atau persembahan dan masih merupakan persiapan-persiapan saja.
5. Penampahan Galungan
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Pada hari Anggara/ Selasa Wage Wuku Dungulan disebut Penampahan Galungan. Bagi masyarakat, hari ini merupakan saat untuk memotong hewan seperti ayam, itik, dan terutama babi. Pada hari ini barulah tampak adanya kegiatan-kegiatan yang menyeluruh diantara anggota keluarga seperti kaum pria sejak pagi hari telah memotong babi serta hewan lainnya serta membuat olahan sate, lawar, urutan, dan lain sebagainya, dilanjutkan dengan membuat Penjor yang dipasang pada sore harinya. Kaum wanita sibuk membuat sesajen, memasang busana pada bangunan-bangunan suci dilengkapi dengan cenigan serta gantungan-gantungan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan lanjutan dari kegiatan sejak hari Panyekeban dan Penyajaan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa sejak hari Panyekeban serta hari Penyajaan, Sang Hyang Kala Tiga berusaha untuk menggoda serta menaklukan manusia dan pada hari Penampahan ini, Sang Hyang Kala Tiga berusaha untuk menjadikan makanannya tersebut sebagai makanan yang siap untuk di santap (nadah). “Makan” atau nadah disini mempunyai pengertian takluk, berada dalam kekuasaannnya sehingga kata-kata serta tingkah laku manusia diatur oleh Sang Hyang Kala Tiga tidak berdasarkan pikiran (manah). Orang yang telah takluk, akan berbuat, berkata, dan berpikir mengikuti kehendak Sang Hyang Kala Tiga sehingga menimbulkan kekacauan, kesedihan, penderitaan, atau bertentangan dengan dharma.
Sebagai contoh, Dewi Kunti yang telah tega menyerahkan putranya (Nakula) kepada Dewi Durga, Duryadana yang sampai hati membuang saudara sepupunya (pandawa) sehingg terjadi pertumpahan darah antar saudara, serta masih banyak cerita-cerita lainnya yang berkaitan dengan tubuh yang dikuasai Sang Hyang Kala Tiga.
Tetapi, seorang yang menyadari dirinya dan kewajibannya sebagai manusia, akan bersikap waspada, berusaha untuk menaklukan Sang Hyang Kala Tiga serta Butha Kala lainnya, kemudian mengembalikan kepada asalNya. Kewajiban sebagai manusia adalah menegakkan kesejahteraan, dan kedamaian bagi umat Hindu, yang disebut dengan dharma serta yadnya sebagai pelaksananya. Yadnya mempunyari arti yang luas dan dapat dengan cepat dilaksanakan sesuai dengan desa, kala, patra. Adalah suatu kenyataan bahwa pada hari Penampahan serbagai jenis jajan, buah-buahan, serta masakan (olahan) telah tersedia dan siap untuk dimakan. Tetapi mereka yang sadar dengan kewajiban, tidak segera menikmati makanan tersebut, melainkan tetap mendahulukan kepentingan yadnya. Seperti diketahui sejak Panyekeban, Sang Hyang Tiga Wisesa telah turun keduniadalam wujud Kala. Oleh karena itu yadnya ynag diselenggarakan sesuai pula dengan sifat Beliau yaitu Butha Yadnya.
Jadi pengertian nampah pada hari penampahan tidak semata-mata memotong hewan, tetapi yang lebih penting artinya adalah menyucikan dan membebaskan Sang Hyang Kala Tiga sehingga kembali pada wujud semula yaitu Ida Sang Hyang Tiga Wisesa atau Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, serta pelebur. Dengan demikian keharmonisan serta kesejahteraan Buana Agung dan Buana Alit dapat diwujudkan, berarti pula dharma dapat ditegakkan.
Bagi masyarakat Hindu di Bali, penyucian tersebut diwujudkan dengan penyelenggaraan upacara Butha Yadnya terutama di pekarangan rumah dan terhadap diri sendiri termasuk pusaka-pusaka berupa senjata. Setelah menyelenggarakan upacara tersebut dilanjutkan dengan memasang penjor di depan rumah, sebagai tanda kemenangan dharma melawan adharma.
Ditinjau dari segi fungsinya, penjor adalah sebagai lambang pertiwi atau gunung dengan segala hasil yang memberi keselamatan, serta jesejahteraan bagi kehidupan didunia, sedangkan sesajen beserta perlengkapan lainnya merupakan sarin taun yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Tiga Wisesa, yang dalam Siwaisme disebut Siwa dan bagi masyarakat Hindu di Bali disebut Bhatara Gunung Agung.
6. Galungan
Sehari setelah Penampahan yaitu pada hari Buda/Rabu Kliwon wuku Dungulan disebut Galungan, merupakan perayaan kemenangan dharma melawan adharma. Bila diperhatikan upacara-upacara yang telah diselenggarakan sejak Sugihan Jawa sampai dengan Penampahan, adalah merupakan penyucian terhadap tempat tinggal seperti tempat pemujaan termasuk kekuatan-kekuatan dan sinar-sinar suci Tuhan, Leluhur yang distanakan pada tempat tersebut, pekarangan rumah, serta penyucian terhadap Sang Hyang Kala Tiga (wujud krodha dari Sang Hyang Tri Murti), dan diri sendiri termasuk senjata yang dimiliki. Ini berarti penyucian terhadap Buana Agung dan Buana Alit.
Adapun yang patut dihaturkan sesajen dalam perayaan Galungan ini yaitu :
- Pelinggih-pelinggih seperti Padmasana, Kemulan Taksu, Gedong Ibu, Penunggun Karang, dan yang setingkat termasuk pada penjor.
- Penaruman atau Pesambiyangan.
- Kamar-kamar atau di atas tempat tidur, tempat memasak, tempat mengambil air, tempat menyimpan beras dan padi, di Pengulun sawah dan lain-lain yang setingkat.
- Binatang-binatang, alat-alat yang dianggap telah membantu kegiatan manusia, serta kekuatan-kekuatan lainnya.
- Kehadapan Sang Hyang Galungan (Sang Hyang Dharma, ada pula yang menyebutkan Bhatara Sarining Galungan).
- Lebuh atau tempat-tempat untuk menghaturkan segehan.
Demikianlah setelah menghaturkan semua sesajen lalu bersembahyang dan mohon wangsuh pada sebagaimana biasa dan keesokan harinya pagi-pagi setelah menyucikan diri serta bersembahyang lalu natab banten yang ada di kamar atau di Bale Utara mohon berkah kehadapan Sang Hyang Sarining Galungan.
7. Manis Galungan
Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria, mengabarkan ajaran kebenaran, dan tentunya saling mencicipi masakan dari Babi.
8. Pamaridan Guru
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkanmenghaturkan canang meraka dan “matirta gocara”. Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pamaridan Guru jatuh pada hari Saniscara/Sabtu Pon wuku Dungulan, tepat tiga hari setelah Galungan. Makna dari Pamaridan Guru ini adalah umat menikmati waranugraha dari dewata, sebagai hari pendakian spritual untuk mencapai kemenangan (vijaya) dalam perjalanan hidup yang penuh rintangan dan tantangan.
9. Tumpek Kuningan
Tumpek Kuningan jatuh pada Sabtu Kliwon wuku Kuningan, tepat sepuluh hari setelah Galungan. Disebut Kuningan karena merupakan tonggak hari memperoleh karunia kasih sayang, yang disimbolkan melalui berbagai perlengkapan upakara, sehingga perlu dinikmati anugerahnya bersama-sama.
10. Buda Kliwon Pahang
Satu bulan (35 hari) setelah Galungan yaitu pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, disebut dengan Buda Kliwon Pegat Uwakan. Pegat artinya putus, dan uwak atau uwakan artinya bebas. Jadi Pegat Uwakan artinya putus dan bebas, yaitu berakhirnya rangkaian Galungan dan bebas dari pantangan-pantangan yang berlaku pada hari itu.
Sebagai tanda berakhirnya rangkaian Galungan, maka semua bangunan akan dibersihkan dari perlengkapan-perlengkapan upacara yang dipasang, penjor-penjor Galungan juga dicabuti atau diturunkan. Semuanya akan dikumpulkan dan dibakar, kemudian abunya akan dimasukkan kedalam kelapa gading, di kubur di tengah-tengah halaman rumah sebagai simbol kekuatan hidup (pakukuh jiwa urip).
Pada Buda Kliwon Pahang juga diadakan acara ngelawang, dimana kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk menetralisir unsur-unsur dan kekuatan-kekuatan negatif (Butha Kala) yang belum tersucikan. Tujuan lain dari kegiatan ini yaitu :
- Menumbuhkan dan memupuk kecintaan terhadap benda-benda suci (realisasi dari rasa cinta serta ketaatan terhadap agama).
- Menumbuhkan dan memupuk kecintaan terhadap kesenian, misalnya gambelan, tari-tarian, nyanyian baik yang bersifat kerohanian (kidung) maupun petuah (sesonggan) yang sering didendangkan oleh Barong Landung.
- Menumbuhkan dan memupuk jiwa gotong royong serta sosial, misalnya dalam hal ini secara bergantian membawa bekal, memberi hiburan secara sukarela dan sebaliknya bagi tempat yang dikunjungi secara sukarela pula memberi bantuan berupa sesari (uang yang jumlahnya berdasarkan keikhlasan).
- Mengenal alam lingkungan.
E. Macam-Macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel) , Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
b. Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
c. Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran. “
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yon mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (liari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bi]a demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa mauneb Bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilangsungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diiiustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan dharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
F. Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarunganantara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Nawa Ratri itu dilakukan dengan mumuja Dewi Durgha selama tiga hari. Tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi. Tiga hari memuja Dewi Durgha bertujuan untuk membangun niat baik dalam hati nurani. Membangun niat baik inilah pekerjaan yang paling sulit. Tiga hari memuja Dewi Saraswati artinya untuk meningkatkan kemampuan kita menguasai ilmu pengetahuan. Niat baik saja tidak cukup. Niat baik itu hartus disertai dengan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan untuk menuntun hidup manusia. Tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi.Ini artinya puncak dari perjuangan membangun niat baik dan menguasai ilmu pengetahuan adalah hidup sejahtra lahir batin. Niat baik dan ilmu pengetahuan itu tidak ada apa-apanya kalau tidak menghasilkan hidup sejahtra lahir batin. Pemujaan pada dewi Laksmi ini bertujuan agar niat baik dan ilmu pengetahuan itu benar-benar diarahkan untuk mewujudkan hidup sejahtra Sekala dan Niskala. Untuk membangun hidup sejahtra itu tidak mudah,karena itu harus dilakukan upaya spiritual dengan memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi pada tiga hari terakhir dari Nawa Ratri tersebut..
Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria.Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Hanuman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan fllosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
(disarikan dari berbagai sumber)
Om Swastiastu; Rahajeng nyanggra Hari Raya Galungan dan Kuningan , Budha Kliwon Wuku Dunggulan tanggal 6 Juli 2011, Dumogi Ida SangHyang Widhi Wasa mapaica waranugraha ring umat Hindu se Dharma di seluruh dunia..
BalasHapus| | | Radio Internetne Nak Bali | | |