Sabtu, 21 Januari 2012

SIWA RATRI SEBAGAI MALAM KESADARAN


Sehari sebelum Tilem sasih Kapitu atau yang sering disebut prawaning tilem kapitu, umat hindu memperingati Hari Siwaratri. Jika di urut dari asal katanya, “siwa” itu dapat diartikan sebagai terang dan “ratri” itu dapat diartikan gelap. Jadi Siwaratri dapat diartikan bahwa yang terang telah menjadi gelap dan yang gelap menjadi terang kembali. Dalam diri manusia bersemayam Tuhan beserta sifat - sifat ketuhanan, namun seiring perjalanan hidup, kegelapan dan ilusi duniawi membuat manusia semakin lupa akan asal dan jati diri.
         Dalam Siwaratri Kalpa dijelaskan bahwa bagaimana Sang Hyang Atma kelangen, begitu terpesonanya dengan segala kenikmatan yang diperoleh dari panca indria walaupun semua keindahan dan kenikmatan tersebut bersifat semu dan palsu. Semakin hari pikiran semakin memberi ruang gerak yang semakin leluasa kepada panca indria, sehingga akhirnya jiwa menjadi dikendalikan oleh panca idria.  Mata selalu ingin melihat sesuatu yang bagus, senang melihat wanita cantik atau lelaki tampan. Hidung selalu mencari bau yang harum, lidah selalu ingin makan makanan enak, telinga selalu ingin mendengar suara yang merdu, dan kulit pun selalu ingin sentuhan lembut. Karena begitu hebatnya pengaruh kenikmatan duniawi sehingga akhirnya sang jiwa terbelenggu dalam kesibukan untuk selalu mengejar keinginan panca indria sampai lupa akan asal dan jati diri sebagai manusia.
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa terdiri dari dua unsur yang utama yaitu  purusa  dan  pradana  atau unsur kejiwaan dan unsur kebendaan. Purusa adalah jiwa yang penuh kesadaran karena bersumber dari atman. Atman berasal dari Brahman atau Tuhan Yang Maha Esa. Pradana adalah unsur material yang menjadi dasar jasmani terdiri dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta (tanah, air, api, udara dan angkasa). Karena itu Bhagavadgita menyebutkan, manusia memiliki dua kecenderungan yaitu kecenderungan kedewaan atau dewa sampad dan kecenderungan keraksasaan atau asura sampad.  Kedua kecenderungan itu bisa silih berganti muncul setiap saat menguasai manusia.
Jika kecenderungan kedewaan yang menguasai manusia, maka segala perbuatannya selalu berdasarkan pada sreya karma. Sreya karma mengarahkan perbuatan yang selalu berdasarkan dharma, karena didorong oleh kesadaran. Kesadaran itu adalah penguasaan indria oleh pikiran dan pikiran oleh budhi yang disinari pancaran suci atman. Sebaliknya, kalau kecenderungan keraksasan yang menguasai diri manusia, maka segala perbuatan manusia selalu didasarkan oleh wisaya karma. Wisaya karma  mengarahkan manusia berbuat di luar dharma bahkan bertentangan dengan dharma. Perbuatan itu semata-semata didorong wisaya atau hawa nafsu semata.
Sreya karma mengarahkan perbuatan yang disebut subha karma (perbuatan baik) dan wisaya karma mengarahkan perbuatan yang disebut asubha karma (perbuatan yang penuh dosa). Manusia tentu harus menghindari perbuatan yang penuh dosa. Untuk mengetahui perbuatan dosa dan perbuatan yang sesuai dengan dharma dapat dilihat contohnya dalam Itihasa dan Purana. Dalam Mahabharata, Pandawa di bawah tuntunan Sri Krishna selalu berbuat dengan penuh pertimbangan dharma. Sebaliknya Korawa, saudara sepupu Pandawa, berbuat atas dasar dorongan hawa nafsu keduniawian saja. Contoh perbuatan yang baik dan buruk, juga bisa kita temukan dalam Ramayana. Sri Rama selalu bertindak di atas pertimbangan dharma. Sedangkan Rahwana selalu bertindak berdasarkan dorongan hawa nafsu yang menyimpang sama sekali dengan dharma.
Berbuat yang selalu berdasarkan dharma tidak segampang membalik telapak tangan. Tantangan atau godaan acapkali menghadang, sehingga untuk melakukan kebajikan itu, harus berani menanggung derita, bahkan mempertaruhkan nyawa. Satu hal yang perlu diingat adalah, agar dapat selalu berbuat berdasarkan dharma, maka harus selalu memelihara kesadarannya.
Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagra-lah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa.
Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran).  Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit mendapatkannya.  Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa.  Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut "malam kesadaran" atau "malam pejagraan", bukan "malam penebusan dosa" sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama.
Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna.
Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sauca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sauca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sauca itu artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.

Sumber Ajaran Siwa Ratri
Brata Siwa Ratri pada mulanya dirayakan amat terbatas, yaitu hanya oleh sejumlah pendeta di Bali dan Lombok. Pada tahun 1966, setelah hancurnya Komunisme di Indonesia, kesadaran akan kegiatan rohani kian bangkit. Tahun 1966 itulah, perayaan Siwa Ratri mulai dimasyarakatkan oleh Parisada dan pemerintah lewat Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama).
             Mengapa Siwa Ratri dimasyarakatkan, tentu karena memang dianjurkan oleh kitab suci Hindu. Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan Maha Siwa Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak diuraikan dalam pustaka berbahasa Sansekerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu pertanda, bahwa Siwa Ratri dari sejak dahulu sudah dirayakan baik oleh umat Hindu di India, maupun di Jawa dan Bali. Kemudian baru sejak 1966, Siwa Ratri dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia.
Dalam kepustakaan Sansekerta, keutamaan brata Siwa Ratri diuraikan dalam kitab-kitab Purana, misalnya Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana. Dalam Siwa Purana, pada bagian Jñana Samhita memaparkan keutamaan brata Siwa Ratri dan tata-cara merayakan malam suci tersebut. Di situ ada dimuat tentang dialog antara seseorang bernama Suta dan para rsi. Dalam percakapan tersebut dikisahkanlah seseorang yang kejam bernama Rurudruha. Ia menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah melakukan brata Siwa Ratri. Berkat kesadarannya bangkit, ia tinggalkan semua perbuatan dosa, lalu dengan mantap berjalan di jalan dharma.
Dalam Skanda Purana dituturkan percakapan seseorang bernama Lomasa dengan para rsi. Lomasa menuturkan kejahatan orang bernama Canda yang suka membunuh, dari membunuh binatang sampai brahmana. Namun setelah melakukan tapa brata Siwa Ratri, Canda yang jahat itu akhirnya sadar akan segala perbuatan dosanya dan baru memahami kebenaran. Canda akhirnya menjadi orang suci dan bisa bersatu dengan Tuhan. Dalam Skanda Purana, juga disebutkan tentang tata cara dan asal mula dilangsungkannya upacara Siwa Ratri tersebut.
Sumber Sansekerta yang lain, yaitu Garuda Purana memaparkan upacara Siwa Ratri lebih singkat. Di situ dituturkan tentang Sang-hyang Siwa yang mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari istrinya (saktinya) yaitu Dewi Parwati. Dewi Parwati bertanya, di antara pelaksanaan brata, apa yang paling utama dilaksanakan agar mencapai kesadaran tinggi tentang nilai hidup Ketuhanan. Sanghyang Siwa menjawab, brata yang paling utama adalah brata Siwa Ratri. Sanghyang Siwa juga menjelaskan tentang tata cara brata Siwa Ratri tersebut.
Selain itu, dikisahkan pula seorang raja bernama Sundara Senaka yang berwatak jahat dan kasar. Raja yang disertai anjingnya selalu berburu ke hutan membunuh binatang. Selain itu, beliau juga suka menghamburkan hawa nafsu birahinya. Namun setelah melakukan brata Siwa Ratri, beliau sadar akan semua perbuatan dosanya. Kemudian sang raja meninggalkan kebiasaan buruknya itu, untuk kembali berpegang teguh ke jalan dharma.
Seperti halnya dalam Padma Puranabrata Siwa Ratri termuat juga di bagian Uttarakanda. Di sana dikisahkan dialog Raja Dilipa dengan Rsi Wasistha. Rsi agung ini menjelaskan kepada Dilipa bahwa brata Siwa Ratri adalah brata yang sangat utama. Pelaksanaannya agar dilakukan pada bulan magha dan palguna. Dalam kitab ini dikisahkan seorang pemburu bernama Nisada yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Lubdhaka (dalam bahasa Sansekerta, lubdhaka artinya pemburu). Suatu hari, ketika Nisada berburu ke dalam hutan, ia kemalaman. Untuk menyelamatkan diri dari ancaman binatang buas, ia berlindung di atas pohon — yang kebetulan pohon bila. Di bawah pohon itu, ada sebuah telaga. Agar tidak ngantuk dan tertidur (jika tertidur tentu akan jatuh), Nisada memetik-metik daun pohon dan dijatuhkannya pada telaga. Kebetulan di telaga itu ada sebuah lingga Siwa yang terbuat dari kristal. Lingga itulah yang kena daun pohon. Lagi pula, malam itu adalah Purwani Tilem Kapitu atau sehari sebelum tilem ketujuh (tilem yang paling gelap di antara 12 tilem).
Sentuhan daun bila oleh Nisada dipandang sebagai persembahan oleh Sanghyang Siwa. Nisada dipandang telah sadar akan dosa-dosa yang pernah dibuatnya. Karena itu, Sanghyang Siwa menerima Nisada di Siwaloka, setelah badan jasmani pemburu itu meninggal. Para peneliti menyimpulkan, Padma Purana inilah yang menjadi sumber karya sastra yang memuat tentang Siwa Ratri yang tersebar di Indonesia.
Brata Siwa Ratri dilaksanakan dengan tiga tingkatan berdasarkan nista, madya, utama. Bentuk pelaksanaan pada tingkat nista dilaksanakan dengan jagra. Jagra artinya sadar. Kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata Siwa Ratri disimpulkan dengan melaksanakan melek semalam suntuk, sambil memusatkan segala aktivitas diri pada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa. Ada yang melaksanakan jagra semalam suntuk dengan membahas sastra-sastra agama, seperti kakawin dalam berbagai judul. Ada pula yang melaksanakan sauca dan dhyana. Dalam kitab Wrhaspati Tattwa disebutkan, "Nitya majapa maradina sarira," artinya sauca adalah melakukan japa dan selalu membersihkan badan. Sedangkan dhyana dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan, Nitya Siwa Smaranam, artinya selalu mengingat dan memuja Sanghyang Siwa.
Brata Siwa Ratri dengan jagra tidaklah tepat kalau hanya begadang semalam suntuk tanpa arah menuju kesucian Tuhan. Jagra dalam pengertian yang sebenarnya adalah orang yang memiliki kesadaran budhi. Melek semalam suntuk hanyalah perilaku yang bermakna simbolis untuk memacu, tumbuhnya kesadaran budhi yang sebenarnya.
Bentuk pelaksanaan Siwa Ratri pada tingkat madya adalah dengan jagra dan upawasa. Upawasa dalam kitab Agni Purana berarti "kembali suci." Yang dimaksud kembali suci ini adalah dilatihnya indria melepaskan kenikmatan makanan. Lezatnya makanan adalah sebatas lidah. Kalau sudah lidah dilewati makanan itu tidak akan terasa lezat. Lidah harus dilatih untuk tidak terikat pada kelezatan makanan. Latihan upawasa ini melahirkan sikap yang tidak tergantung pada makanan yang enak. Tubuh mem-butuhkan makanan yang sehat dan bergizi bukan yang enak.
Upawasa dilaksanakan dengan tidak boleh makan dan minum dari pagi hari saat matahari terbit pada panglong 14 sampai besoknya pada Tilem sasih Kepitu saat matahari terbenam. Upawaca Siwa Ratri dilaksanakan selama 36 jam penuh. Upawasa ini dapat dilakukan sambil bepergian ke luar rumah misalnya sambil titra gamana. Ini bedanya dengan upawasa Nyepi yang hanya dilakukan di tempat, tidak boleh bepergian.
Pelaksanaan brata Siwa Ratri yang paling utama bersumber dalam sebuah kekawin berbahasa Jawa Kuna yang bernama Siwa Rarti Kalpa buah cipta dari Mpu Tanakung.
Menurut Worsley, salah seorang peneliti sastra Jawa Kuna, bagian-bagian tertentu dari kakawin Siwa Ratri Kalpa merupakan terjemahan dari kitab Padma Purana Sansekerta. Kakawin Siwa Ratri Kalpa ini di Bali terkenal dengan kakawin Lubdhaka. Kakawin itu merupakan terjemahan dari bagian Uttarakanda dari Padma Purana. Dalam Padma Purana nama si pemburu adalah Nisada sedangkan dalam kekawin Siwa Ratri Kalpa, si pemburu bernama Lubdhaka. Nama Nisada tidak dijumpai dalam kekawin Siwa Ratri Kalpa. Lubdhaka dalam Padma Purana bukanlah nama, tetapi artinya pemburu. Kalau boleh disimpulkan kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah terjemahan bebas dari Padma Purana ke dalam sastra Jawa Kuna.
Kesimpulan ini menggambarkan bahwa para ilmuan, sastrawan dan rohaniman Hindu di masa lampau telah demikian mahir berbahasa Sansekerta. Tanpa pengetahuan dan penguasaan bahasa Sansekerta yang kuat tidak mungkin Mpu Tanakung mampu menyusun kakawin Siwa Ratri Kalpa.
Tentang Mpu Tanakung, Prof. DR. Purbacaraka pernah menduga bahwa Mpu Tanakung adalah seorang sastrawan yang hidup pada zaman Ken Arok memerintah di Jawa Timur. Purbacaraka juga berpendapat bahwa Mpu Tanakung mengarang kakawin Siwa Ratri Kalpa adalah untuk mengambil hati raja Ken Arok orang yang pernah sebagai perampok dan merebut istri rajanya sendiri yaitu Tunggul Ametung.
Prof. Zoetmulder dan Prof. A. Teuw, keduanya peneliti sastra Jawa Kuna yang tersohor, mendapatkan kesimpulan yang amat berbeda dengan pendapat Prof. DR. Purbacaraka. Mpu Tanakung bukanlah seorang sastrawan yang hidup pada zaman Ken Arok. Mpu Tanakung adalah seorang Rakai yang hidup pada zaman Majapahit akhir, yaitu antara tahun 1466-1478 M. Itu berarti sekitar dua setengah abad setelah pemerintahan Raja Ken Arok. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan hasil penelitian "Waringin Pitu" yang berangka tahun 1447 M dan prasasti Pamintihan berangka tahun 1473 M.
Kedua prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Singawikrama yang mempunyai nama kecil Suraprabhawa. Nama Suraprabhawa inilah yang tercantum dalam menggala kekawin Siwa Ratri. Tujuan Mpu sebagai seorang yang suci atau pendeta mengarang kakawin Siwa Ratri Kalpa adalah untuk menyebar luaskan ajaran brata Siwa Ratri sebagai ajaran Hindu yang amat utama. Tidaklah mungkin seorang Mpu yang suci menjilat sekali pun kepada rajanya sendiri.
Dalam tradisi Hindu orang suci seperti Mpu mendapat kedudukan yang sejajar dengan seorang raja dalam fungsi yang berbeda. Oleh karena itu Empu Tanakung dapat diyakini seorang tokoh agama yang menyebarkan ajaran suci agama Hindu termasuk ajaran Siwa Ratri.
Dapat dipastikan pula Empu Tanakung adalah seorang sastrawan spiritual yang ahli bahasa Sansekerta dan ahli bahasa Jawa Kuna. Kemahiran beliau dalam dua bahasa inilah yang menyebabkan beliau dapat dengan mudah mendalami tatwa-adyatmika yang terdapat dalam sastra-sastra Hindu seperti ajaran Siwa Ratri dalam Padma Purana.
Di Bali ajaran Siwa Ratri disebarkan dalam berbagai bentuk. Di Bali terdapat lontar yang menguraikan keutamaan brata Siwa Ratri seperti Geguritan Lubdhaka dan Lontar Lubdhaka Caritra. Kedua lontar itu terdapat dalam koleksi lontar Fak. Sastra Unud Denpasar. Di Gedung Kertya terdapat lontar Aji Brata yang juga menguraikan keutamaan brata Siwa Ratri.

Kenapa Siwaratri dilaksanakan pada Prawaning Tilem Kapitu?
Sifat ketuhanan beserta segala kemampuan luar biasa yang menyertainya yang ada pada diri manusia semakin hari semakin dalam terkubur karena manusia telah lupa diri, manusia telah dirasuki sapta timira, tujuh kegelapan atau sifat kemabukan yaitu Surupa yang mana manusia mabuk akan rupa yang cantik dan tampan, padahal ini sifatnya hanya sementara, sekarang cantik maka lima atau sepuluh tahun lagi semua itu akan hilang, namun sangat banyak yang masih memburu hal tersebut. Dhana yaitu kita yang takabur dan mabuk oleh kekayaan, sekarang ini bisa dikatakan mereka yang punya uang yang berkuasa, namun inipun hanya semu, tidak ada uang yang bisa menjanjikan kebahagiaan. Guna artinya lupa diri karena merasa diri lebih pintar sehingga merendahkan orang lain, namun pengetahuan itu ibarat samudera yang tanpa batas. Kulina adalah orang yang merasa diri lebih tinggi kedudukannya karena faktor keturunan, Yowana yaitu lupa diri karena masa remaja, Kasuran yaitu sifat sombong karena mabuk kemenangan dan Sura karena mabuk minumam keras. 
Jika ada yang bertanya, kenapa Siwaratri dirayakan pada prawaning tilem kapitu? kenapa bukan sasih yang lain? Prawaning Tilem atau sehari sebelum tilem merupakan malam yang paling gelap dan sasih kepitu merupakan lambang sapta timira, jadi Ida Mpu Kuturan memilih Prawaning Tilem Kepitu sebagai hari perayaan Siwaratri untuk mengingatkan kita bahwa kita yang berasal dari Tuhan (siwa) telah masuk ke jurang kegelapan (ratri) karena pengaruh tujuh sifat kemabukan (pitu).  Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa karena pengaruh ikatan duniawi yang kuat manusia telah melupakan asal muasalnya. Karena kuatnya keinginan duniawi maka manusia akan menemuai klesa yaitu kekotoran, menuju ke papa yaitu kegelapan jiwa dan pikiran yang pada akhirya akan bermuara kepada dosa.  Siwaratri merupakan momentum bagi kita untuk introspeksi diri, bertanya dalam keheningan jiwa, "betulkan saya adalah percikan sinar suci tuhan?" Jika betul apakah sifat dan perilaku kita sudah mencerminkan hal tersebut?. Malam Siwaratri hendaknya dijadikan sebuah momentum untuk merenungkan diri karena sangat jarang kita punya waktu untuk berbicara dengan diri sendiri. Saat Siwaratri hendaknya kita sadari semua kekeliruan dan kebodohan kita sebagai manusia dan jadikan itu sebagai sebuah bara semangat untuk memulai kehidupan yang lebih baik sehingga terang yang menjadi gelap bisa kembali bersinar terang.

Siwaratri dan Penebusan Dosa
           Banyak yang beranggapan bahwa Siwaratri adalah malam peleburan dosa, hal ini mungkin karena pemahaman yang kurang jelas tentang cerita sang Lubdaka yang katanya adalah pembunuh namun terbebas dari dosa karena bergadang saat malam Siwaratri.  Dalam ajaran Hindu tidak ada peleburan dosa, dosa adalah hasil perbuatan (karma) yang harus tetap ditebus oleh akibat (phala). Dalam Siwarati umat manusia berusaha menyadarkan diri sehingga terhindar dari papa (kegelapan pikiran dan jiwa) seperti yang tertuang dalam puja Tri Sandya "Om papo'ham papakarmaham papatma papasambhavah",  yang pada akhirnya akan menghindarkan manusia dari segala perbuatan dosa

Sang Lubdaka  Seorang Pembunuh Binatang
Banyak yang bertanya, bukankah membunuh itu dosa? Dalam ajaran Agama Hindu khususnya di Bali, memang diperbolehkan membunuh binatang. Hal ini termuat dalam lontar Werthi Sesana. Ada dua hal yang diperbolehkan dalam membunuh binatang, yang pertama untuk upacara yadnya dan yang kedua untuk dimakan. Jika kita membandingkan dengan cerita Lubdaka, dalam sastra disebutkan bahwa Sang Lubdaka tersebut melakukan pembunuhan binatang hanya untuk dimakan, tidak untuk upacara yadnya. Dalam Bhagawadgita disebutkan bahwa segala sesuatu bersumber dari Tuhan, sehingga apapun yang kita makan harus kita persembahkan terlebih dahulu, jika makan tanpa persembahan maka itu sama artinya dengan kita mencuri dan itu adalah dosa. Dalam cerita dikatakan bahwa Sang Lubdaka berburu binatang tanpa melakukan persembahan, hanya mengutamakan nafsu untuk makan saja, sehingga Sang Lubdaka telah melakukan perbuatan mencuri. Oleh karena itu, umat Hindu khususnya di Bali selalu diharuskan melakukan persembahan berupa yadnya sesa sebelum makan. 
Dalam sastra Hindu, banyak tatwa - tatwa yang terkandung dalam cerita yang dijadikan tuntunan dalam menjalankan kehidupan, namun demikian cerita atau tatwa tersebut harus di telaah dan dipahami lebih dalam sehingga maksud atau inti dari cerita itu dapat kita petik. Dalam cerita Lubdaka dikatakan bahwa Lubdaka adalah seorang pembunuh binatang namun saat bergadang pada malam Siwaratri sang Lubdaka mendapat sebuah pencerahan dari Tuhan. Sang Lubdaka sebagai pembunuh binatang, hal dapat kita artikan sebagai seseorang yang telah mampu membunuh sifat - sifat kebinatangannya, sehingga saat dia sadar (terjaga / tidak tidur) akan hakikatnya sebagai Siwa (setiap manuasia bersumber dari Tuhan / Siwa) yang telah diliputi maya dan kegelapan (ratri) maka saat itulah kesadaran akan kesejatian sebagai seorang manusia mulai bersinar. Dalam cerita para penglingsir kita, Lubdaka juga diartikan sebagai Lud (melepaskan) dan Daki (kekotoran).  Jadi Siwaratri merupakan sebuah momentum guna menyadarkan diri akan hakikat kita sebagai manusia yang sesungguhnya mempunyai sinar suci (Siwa) namun kita telah terbelenggu oleh kegelapan duniawi, dan kesadaran tersebut tidak hanya pada Hari Raya Siwaratri saja, tetapi setiap hari kita harus terjada dan sadar.

Pelaksanaan Siwaratri
Tata pelaksanaan brata Siwa Ratri telah diseminarkan oleh PHDI Pusat bersama dengan IHD Denpasar tahun 1984. Hasil seminar tersebut telah ditetapkan oleh PHDI Pusat menjadi Pedoman Pelaksanaan Brata Siwa Ratri. Brata Siwa Ratri dilaksanakan pada hari "Catur Dasi Krsna Paksa" bulan Magha yaitu panglong ping empat belas sasih kapitu. Tujuan brata Siwa Ratri untuk menemukan "kesadaran diri" (atutur ikang atma rijatinia).  Brata tersebut dilaksanakan dengan upawasa, monabrata dan jagra.
Malam Siwaratri sebenarnya merupakan suatu malam perenungan atas perbuatan-perbuatan yang  telah kita lakukan selama ini agar kita bisa intropeksi diri. Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata:
1.       Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona artinya bertujuan melatih diri dalam hal berbicara agar biasa bicara dengan penuh pengendalian sehingga tidak keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan. Mona berarti melatih pembicaraan pada diri sendiri dengan merenungkan kesucian. Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalahpahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang ke rumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.
2.       Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya. Alangkah baiknya jika bisa berpuasa.
3.       Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi beliau (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi rumah sahabat, saudara dan kerabat sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu untuk melakukan Bratha Siwaratri sehari sebelum Prawaning Tilem sasih Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu indria, ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan),  Sura(mabuk karena minuman keras).
Makna Siwaratri itu sendiri adalah agar manusia menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.
Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya. Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

Keutamaan Brata Siwa Ratri
Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan terhapus. Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lembaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.
Yang mungkin menjadi pertanyaan kita selama ini adalah apa sebenarnya tujuan pelaksanaan Monabratha, Upasawa, dan Jagra. Secara singkat tujuan dari ketiga bratha Siwaratri itu adalah sebagai berikut:
1.   Monabrata pada hari suci Siwaratri diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan di dalam lubuk hati secara terus menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan seterusnya.
Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya. Tapa monabrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara murka.  Sebab kata-kata yang kasar bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun. Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan kata-kata yang kasar. Tambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka, sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk dikatakan.
Sehabis sembahyang atau meditasi dan japa biasakan me-lakukan mona atau agak membatasi berbicara. Hal ini akan bermaanfaat untuk memberikan kesempatan pada berkembangnya "positif energi" untuk menggeser "parasit energy”. Positif energi dalam diri akan dapat memberikan kita kesehatan, ketenangan dan kesucian. Kalau tiga hal ini dapat kita miliki dalam hidup maka hidup yang bahagia lahir bathin akan semakin kita rasakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakikatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh di dalam diri kita; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
2.      Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata. Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah. Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.

3.      Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung. Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
Pelaksanaan Hari Raya Siwaratri intinya lebih dipusatkan ke dalam diri sehingga lebih ditekankan pada pelaksanaan brata dan tapa. Dalam Agama Hindu selalu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama yang bisa dipilih sesuai kemampuan, begitu pula tingkatan brata dalam melaksanakan Siwaratri. Ada tiga jenis brata Siwaratri, Upayasa (puasa) yaitu brata tidak makan dan minum, Monabrata yaitu puasa tidak berbicara dan Jagra yaitu tidak tidur. Dalam tingkatan nista Upayasa dilaksanakan selama 12 jam yaitu mulai jam 6 sore sampai jam 6 pagi keesokan harinya. Tingkat Madya dilaksanakan selama 24 jam yaitu dari pagi hingga pagi keesokan harinya, dan tingkat Utama dilaksanakan selama 36 jam yaitu dari pagi hingga sore keesokan harinya. Begitupun tingkatan bratanya, tingkat nista hanya jagra, tingkat madya upayasa dan jagra, dan utama melaksanakan ketiganya. Mengawali hari raya Siwaratri sebaiknya dimulai dengan melukat dan bersembahyang di pagi harinya, lalu jalankan brata sesuai kemampuan dan malamnya lakukan perenungan akan hakikat dan jati diri kita sebagai manusia
Demikianlah tiga tingkatan pelaksanaan brata Siwa Ratri berdasarkan nista madya utama. Dari segi makna amat tergantung kesungguhan sikap kita melaksanakan brata tersebut. Meskipun kita mengambil yang nista namun sikap yang melandasi ber-sungguh-sungguh, maka yang nista itu pun akan menghasilkan yang utama.

Makna simbolik dari cerita Lubdhaka
1. Hari Perayaan Siwaratri.
Siwaratri yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan simbol. Kata  ratri  berarti  malam, Karena itu Siwaratri  berarti malam siva. Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang. Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem kapitu (panglong ping 14 sasih kapitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian ( Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yowana), mabuk karena minuman keras (sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran). Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh dasaindriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.
2. Makna Kata Lubdhaka.
Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakikat. Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakikat yang mulia.
3. Tempat Tinggal Lubdhaka.
Lubdhaka dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . Gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritera Wrespati Kalpa dikisahkan Betara Siwa dipuja di puncak Gunung Kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah seorang pemuja Siwa (Siwa Lingga).
4. Alat Perburuan dan binatang Buruan.
Alat berburu si Lubdhaka adalah panah, simbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan indrianya (melupakan bekal makanan). Binatang yang diburu oleh Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha. Dengan demikian ketiga binatang buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa ( Siwa).
5.  Berangkat berburu pada panglong ping 14. 
Hari ke 14 paro terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada panglong ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan anugrahnya.
6. Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan.
Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.
7. Berjalan sendirian.
Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut  yang berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwreti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.
8. Menuju arah timur laut.
Menuju kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara simbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur simbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.
9. Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .
Simbolik dari merosotnya situasi politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.
10. Tidak seekor binatangpun didapatkan.
Binatang simbol “ ego” sifat binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.
11. Tidak terasa senjapun tiba.
Simbol dari daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.
12. Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang 
Pohon simbol dari meningkatnya kesadaran dengan jalan meditasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik ke atas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.
13. Ranu atau danau
Simbol Yoni lambang sakti atau Dewi, saktinya siwa adalah lambang kesuburan.
14. Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada ditengah danau . Lingga adalah simbol Siwa
15. Memetik daun bilwa.
Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakikat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu Tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan. Untuk itu disebutkan oleh Mpu Tanakung , “mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat”. Artinya brata Siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra, melakukan japa smaranam ( menyebut nama Tuhan berkali-kali),
16. Tiba di pondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).
Kenyataan umum setiap orang berburu pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang dilakukan selama dua hari satu malam : 36 jam.
17. Tiba di pondok Lubdaka baru makan.
Perjalanan berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak makan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem
Itulah cerita  tentang Lubdaka dimana cerita itu penuh makna dan arti. Seperti yang dikatakan Mpu Tanakung bahwa kita selayaknya dalam hidup ini selalu “amuter tutur pinahayu”, yang artinya berusaha memutar kesadaran dengan cara yang tepat. Salah satunya adalah menjalankan brata Siwaratri ini. Dapat kita simpulkan bahwa Lubdaka adalah manusia biasa yang penuh dosa papa, mampu dengan secara kebetulan menjalankan ajaran / memuja Siwa di hari yang ratri, yaitu panglong ping 14 yang mana itu merupakan hari pemujaan Siwa, maka segala dosa yang pernah diperbuat mendapat pengampunan. Artinya, dosa –dosanya itu menjadi berkurang karena perbuatan yang baik, disaat yang tepat.

Sekilas Tentang Cerita Lubdaka
Om Swastyastu,
Om Awighnamastu namo siddham,
Lubdaka adalah seorang kepala keluarga hidup di suatu desa menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan. Hasil buruannya sebagian ditukar dengan barang-barang kebutuhan keluarga, sebagian lagi dimakan untuk menghidupi keluarganya. Dia sangat rajin bekerja, dia juga cukup ahli sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak hasil buruan.
Hari itu  Lubdaka berburu sebagaimana biasanya, dia terus memasuki hutan, aneh pikirnya kenapa hari ini tak satupun binatang buruan yang muncul, dia semua peralatan berburu digotongnya tanpa kenal lelah, dia tidak menyerah terus memasuki hutan. Kalo sampai aku pulang tidak membawa hasil buruan nanti apa yang akan dimakan oleh keluargaku..?, semangatnya semakin tinggi, langkahnya semakin cepat, matanya terus awas mencari-cari binatang buruan, namun hingga menjelang malam belum juga menemukan apa yang ia harapkan, hari telah terlalu gelap untuk melanjutkan kembali perburuannya, dan sudah cukup larut jika hendak kembali ke pernaungan.
Ia memutuskan untuk tinggal di hutan, namun mencari tempat yang aman terlindungi dari ancaman bahaya, beberapa hewan buas terkenal berkeliaran di dalam gelapnya malam guna menemukan mangsa yang lelap dan lemah. Sebagai seorang pemburu tentu dia tahu betul dengan situasi ini. Tak perlu lama baginya guna menemukan tempat yang sesuai, sebuah pohon yang cukup tua dan tampak kokoh di pinggir sebuah telaga mata air yang tenang segera menjadi pilihannya.
Dengan cekatan dari sisa tenaga yang masih ada, ia memanjat batang pohon itu, melihat sekeliling sekejap, ia pun melihat sebuah dahan yang rasanya cukup kuat menahan beratnya, sebuah dahan yang menjorok ke arah tengah mata air, di mana tak satu pun hewan buas kiranya akan bisa menerkamnya dari bawah, sebuah dahan yang cukup rimbun, sehingga ia dapat bersembunyi dengan baik. Singkat kata, ia pun merebahkan dirinya, tersembunyikan dengan rapi di antara rerimbunan yang gulita.
Ia merasa cukup aman dan yakin akan perlindungan yang diberikan oleh tempat yang telah dipilihnya. Sesaat kemudian keraguan muncul dalam dirinya. Kalo sampai dia tertidur dan jatuh tentu binatang buas seperti macan, singa, dll akan dengan senang hati memangsanya.
Ia resah dan gundah, badannya pun tak bisa tenang, setidaknya ia harapkan badannya bisa lebih diam dari pikirannya, itulah yang terbaik bagi orang yang dalam persembunyian. Namun nyatanya, badan ini bergerak tak menentu, sedikit geseran, terkadang hentakan kecil, atau sedesah napas panjang. Tak sengaja ia mematahkan beberapa helai daun dari bantalannya yang rapuh, entah kenapa Lubdaka tiba-tiba memandangi daun-daun yang terjatuh ke mata air itu. Riak-riak mungil tercipta ketika helaian daun itu menyentuh ketenangan yang terdiam sebelumnya. Ia memperhatikan riak-riak itu, namun ia tak dapat memikirkan apapun. Beberapa saat kemudian, riak-riak menghilang dan hanya menyisakan bayang gelombang yang semakin tersamarkan ketika masuk ke dalam kegelapan. Ia memetik sehelai daun lagi dan menjatuhkannya, kembali ia menatap, dan entah kenapa ia begitu ingin menatap. Ia memperhatikan dirinya, bahwa ia mungkin bisa tetap terjaga sepanjang malam, jika ia setiap kali menjatuhkan sehelai daun, dan mungkin ia bisa menyingkirkan ketakutannya, setidaknya karena ia akan tetap terjaga, itulah yang terpenting saat ini.
Lubdaka – si pemburu, kini menjadi pemetik daun, guna menyelamatkan hidupnya. Ia memperhatikan setiap kali riak gelombang terbentuk di permukaan air akan selalu riak balik, mereka saling berbenturan, kemudian menghilang kembali. Hal yang sama berulang, ketika setiap kali daun dijatuhkan ke atas permukaan air, sebelumnya ia melihat itu sepintas lalu setiap kali ia berburu, baru kali ia mengamati dengan begitu dekat dan penuh perhatian, bahwa gerak ini, gerak alam ini, begitu alaminya. Sebelumnya, ia mengenang kembali, ketika ia berburu, yang selalu ia lihat adalah si mangsa, dan mungkin si mara bahaya, namun tak sekalipun ia sempat memperhatikan hal-hal sederhana yang ia lalui ketika ia berburu. Lubdaka hanya ingat, bahwa di rumahnya, ada keluarga yang bergantung pada buruannya, dan ia hanya bisa berburu, itulah kehidupannya, itulah keberadaannya.
Ia terlalu sibuk dalam rutinitas itu, ya… sesaat ia menyadari bahwa hidup ini seakan berlalu begitu saja, ia bahkan tak sempat berkenalan dengan sang kehidupan, karena ia selalu sibuk lari dari si kematian, ia berpikir apakah si kematian akan datang ketika si kelaparan menyambanginya, ataukah si kematian akan berkunjung ketika si mara bahaya menyalaminya ketika ia lalai. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah upaya bertahan hidup. Ia tak tahu apapun selain itu, mungkin ia mengenal mengenal kode etik sebagai seorang pemburu, dan aturan moralitas atau agama, namun semua itu hanya sebatas pengetahuan, di dalamnya ia melihat, bahwa dirinya ternyata begitu kosong dan dangkal. Keberadaannya selama ini, adalah identitasnya sebagai seorang pemburu, ia tak mengenal yang lainnya.
Sesekali ia memetik helai demi helai, dan menatap dengan penuh, kenapa ia tak menyadari hal ini sebelumnya, ia bertanya pada dirinya, ia melihat kesibukan dan rutinitasnya telah terlalu menyita perhatiannya. Dalam keheningan malam, dan sesekali riak air, ia bisa mendengar sayup-sayup suara malam yang terhantarkan bagai salam oleh sang angin, ia pun terhenyak, sekali lagi, ia tak pernah mendengarkan suara malam seperti saat ini, biasanya ia telah terlelap setelah membenahi daging buruannya dan santap malam sebagaimana biasanya.
Terdengar lolongan serigala yang kelaparan tak jauh dari tempatnya berada, secara tiba-tiba ia mengurungkan niatnya memetik daun. Jantungnya mulai berdegup kencang, Lubdaka tahu, pikirannya berkata bahwa jika ia membuat sedikit saja suara, si pemilik lolongan itu bisa saja menghampirinya, dan bisa jadi ia akan mengajak serta keluarga serta kawan-kawannya untuk menunggu mangsa lezat di bawah pohon, walau hingga surya muncul kembali di ufuk Timur. Ia berusaha memelankan napasnya, dan menjernihkan pikirannya. Walau ia dapat memelankan napasnya, namun pikirannya telah melompat ke beberapa skenario kemungkinan kematiannya dan bagaimana sebaiknya lolos dari semua kemungkinan itu. Beberapa saat kemudian, ketenangan malam mulai dapat kembali padanya. Ia mendengarkan beberapa suara serangga malam, yang tadi tak terdengar, ah… ia ingat, ia terlalu ketakutan sehingga sekali lagi tak memperhatikan. Sebuah helaan napas yang panjang, ia masih hidup, dan memikirkan kembali bagaimana ia berencana untuk lolos dari kematian yang terjadi, ia pun tersenyum sendiri, ia cukup aman di sini. Namun Lubdaka melihat mulai melihat sesuatu dalam dirinya, yang dulu ia pandang sambil lalu, sesuatu yang yang ia sebut ketakutan. Lubdaka menyadari bahwa ia memiliki rasa takut ini di dalam dirinya, sesuatu yang bersembunyi di dalam dirinya, ia mulai melihat bahwa ia takut terjatuh dari pohon, ia takut dimangsa hewan buas, bahkan ia takut jika tempat persembunyiannya disadari oleh hewan-hewan yang buas, ia takut tak berjumpa lagi dengan keluarganya. Setidaknya ia tahu saat ini, ia berada di atas sini, karena takut akan tempat yang di bawah sana, tempat di bawah sana mungkin akan memberikan padanya apa yang disebut kematian. Dan ketakutan ini begitu mengganggunya.
Ia kembali memetik sehelai daun dan menjatuhkannya ke mata air, namun secara tak sadar oleh kegugupannya, ia memetik sehelai daun lagi dengan segera, secepat itu juga ia sadar bahwa tangannya telah memetik sehelai daun terlalu cepat. Ia memandangi helaian daun itu, di sinilah ia melihat sesuatu yang sama dengan apa yang ia takutkan, ia melihat dengan jelas sesuatu pada daun itu, sesuatu yang disebut kematian. Daun yang ia pisahkan dari pohonnya kini mengalami kematian, namun daun itu bukan hewan atau manusia, ia tak bisa bersuara untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, ia tak dapat berteriak atau menangis kesakitan, ia hanya … hanya mati, dan itulah apa yang si pemburu lihat ketika itu.
Selama ini Lubdaka selalu melihat hewan-hewan yang berlari dari kematiannya dan yang menjerit kesakitan ketika kematian yang dihantarkan sang pemburu tiba pada mereka, Lubdaka telah mengenal sisi kematian sebagai suatu yang menyakitkan, dan kengerian yang timbul dari pengalamannya akan saksi kematian, telah menimbulkan ketakutan di dalam dirinya. Ia melihat ia sendiri telah menjadi buruan akan rasa takutnya. Lubdaka telah melihat bentuk kematian di luar sana, termasuk yang kini dalam kepalan tangannya, ia kini masuk ke dalam dirinya, dan ingin melihat kematian di dalam dirinya, namun semua yang ia temukan hanyalah ketakutan akan kematian, ketakutan yang begitu banyak, namun si kematian itu sendiri tak ada, tak nyata kecuali bayangan kematian itu sendiri. Lubdaka pun tersenyum, aku belum bertemu kematian, yang menumpuk di sini hanyalah ketakutan, hal ini begitu menggangguku, aku tak memerlukan semua ini. Lubdaka melihat dengan nyata bahwa ketakutannya sia-sia, ia pun membuang semua itu, kini ia telah membebaskan dirinya dari ketakutan. Ia pun melepas tangkai daun yang mati itu dari genggamanannya, dan jatuh dengan begitu indah di atas permukaan air. Diapun tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siva (Siva Ratri). Dimana Siva sedang melakukan tapa brata yoga semadi. Barang siapa pada malam itu melakukan brata (mona brata: tidak berbicara, jagra: Tidak Tidur, upavasa: Tidak makan dan minum) maka mereka akan dibebaskan dari ikatan karma oleh Siva.
Ufuk Timur mulai menunjukkan pijar kemerahan, Lubdaka memandangnya dari celah-celah dedaunan hutan, dalam semalam ia telah melihat begitu banyak hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kini ia telah berkenalan dengan kehidupan dan melepas ketakutan-ketakutannya, ia telah mulai mengenal semua itu dengan mengenal dirinya.
Lubdaka begitu senang ia dapat tetap terjaga walau dengan semua yang ia alami dengan kekalutan dan ketakutan, kini sesuatu yang lama telah padam dalam dirinya, keberadaannya begitu ringan, tak banyak kata yang dapat melukiskan apa yang ia rasakan, begitu hening, sehingga ia bisa merasakan setiap gerak alami kehidupan yang indah ini, setiap tiupan yang dibuat oleh angin, dan setiap terpaan sinar yang menyentuhnya. Kini sang pemburu memulai perjalanannya yang baru bersama kehidupan.
Dia menyadari bahwa berburu bukanlah satu-satunya pilihan untuk menghidupi keluarganya. Setelah dia melewati perenungan di malam tersebut, kesadaran muncul dalam dirinya untuk merubah jalan hidupnya. Dia mulai bercocok tanam, bertani hingga ajal datang menjemputnya.
Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun pengikut Siwa. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siwa. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke Neraka loka.
Siwa menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa)  salam  Siwa Ratri/Malam Siwa, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siwa. (Kisah ini adalah merupakan karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siwa Ratri).
Kami mohon maaf bila ada kekurangan, kesalahan dalam penyampaian kisah ini, yang merupakan karya besar leluhur yang maha suci Mpu Tanakung. Sembah sujud hamba pada Beliau, atas karya sucinya yang telah memberikan penerangan kepada kita semua.
Om Santi Santi Santi Om

Sumber:
Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni

3 komentar:

  1. Om Swastiastu; Rahajeng Nyanggra Hari Raya Galungan dan Kuningan, Kemenangan Dharma atas Adharma, siap siap Ngelawar....


    Salam Rahayu
    Help You See Beyond Reality

    BalasHapus
  2. Om Swastiastu

    Rahajeng Rahina Suci Siwaratri, semoga kesadaran diri semakin tercerahkan pada hari ini, Kesadaran akan kebesaran Agama Hindu dalam memahami hidup dan kehidupan dunia, kecintaan Agama Hindu akan keindahan dan kedamaian, Kemuliaan Umat Hindu dalam menjalani hidup spiritualnya yang berdampak pada kejayaan Umat Manusia di Bumi ini

    Salam Rahayu
    Om Santi Santi Santi Om

    BalasHapus
    Balasan
    1. om swastyastu,
      om namah siwaya....
      dumogi sangkaning sih paswecan ida sang hyang widhi, iraga sareng sami prasida nincapang kawruhan , sradha lan bhakti sangkaning kaelingan lan kauningan ring daging2 sastra lan agama hindune sane akweh pisan niki... swasti rahina siwaratri bli...
      om santi santi santi om

      Hapus