APAKAH arti
kemenangan? Setelah Kurawa dikalahkan, medan perang Kuruksetra tinggal lapangan
penuh bangkai. Bau busuk terbentang. Rasa cemar terapung ke kaki langit. Ribuan
anjing galak melolong, mengaum, mengais. Selebihnya cuma erang sekarat para
prajurit, di antara sisa kereta dan senjata yang patah. Warna di sana hanya
darah. Anyir. Tak akan ada lagi perbuatan kepahlawanan. Si pemenang, kelima
bersaudara Pandawa, telah merebut istana yang kini sepi. Mereka pun membisu
capek memandangi balairung yang lengang. Apa, setelah ini? Akan apa lagi? Dalam
dongeng yang biasa, setelah kemenangan tercapai, si pendongeng akan menyebut
bahwa, "rakyat pun hidup aman dan sejahtera . . .".
Tapi Mahabharata
bukan dongeng seperti dongeng yang lain. "Mahabharata berakhir dengan para
Pandawa menarik diri kembali ke gunung Mahameru," tulis Dr. Franz Magnis
Suseno dalam risalah pendek yang pernah diterbitkan Leppenas berjudul “Kita Dan
Wayang”. Dalam perjalanan ke sana, satu demi satu para pemenang perang itu mati
-- kecuali Yudhistira dan anjingnya. Suatu pengamatan Franz Magnis yang menarik
dari cerita wayang ini ialah bahwa "Pandawa pun tidak dapat mempertahankan
diri apabila Kurawa tidak ada lagi." Kurawa kalah dan habis, dan di
situlah letak tragisnya lakon ini. "Dalam alam Mahabharata," tulis
Franz Magnis Suseno, "yang baik dan yang buruk, pihak kanan dan pihak kiri
harus ada. Ketegangan itu harus ditahan, tidak boleh menghilangkan satu dari
kedua belah pihak".
Mungkin itulah
sebabnya dalam Kurawasrama dari abad ke-15, setelah perang Baratayudha
berakhir, para Kurawa dihidupkan lagi. Perang pun dimulai kembali: yang baik
harus ada, tapi begitu pula yang buruk. Memang agak teramat aneh memahami
keniscayaan seperti itu. Apakah artinya kemenangan jika kemudian ia harus
terlepas kembali? Apakah artinya kejayaan jika ia tak menghabiskan setiap kemungkinan
musuh nanti? Apakah artinya pergulatan bila tidak untuk mengakhiri pergulatan? Memang,
barangkali tak banyak artinya -- jika dilihat sedemikian. Tapi hidup lebih
rumit ketimbang rencana, ketimbang angan-angan, ketimbang cita-cita. Kenyataan
lebih kompleks ketimbang skenario.
Seperti nampak dalam sejarah, umat manusia tak
pernah ditakdirkan untuk menang secara mutlak. Ia tak bisa menang mutlak atas
perbedaan pendapat. Ia tak bisa menaklukkan 100% unsur-unsur yang dianggapnya
menyimpang. Ia tak bisa menguasai sebuah dunia, yang tanpa konflik, yang tanpa penyakit
dan tanpa masalah, Hidup, atau sejarah, bukanlah suatu meja bersih putih yang
karena itu harus dikembalikan sebagai meja bersih putih dalam cita-cita kita.
Satu soal selesai soal lain timbul.
Barangkali
karena itulah Bhagawadgita, dialog antara Kresna dan Arjuna di ambang
pertempuran besar di Kuruksetra itu, menyebut tyaga. Yakni, sikap melepaskan diri dari kehendak memperoleh buah
dari kerja. Siapa yang menghendaki buah akan cepat kecewa. Buah itu akan busuk.
Tapi siapa yang menjalankan kerja seraya tak terseret oleh hasrat itu ia akan
benar bebas, bahagia dan lurus. Yudhistira, orang yang lurus itu, bersedih
ketika perang selesai dan kemenangan berada di tangannya. Kita bayangkan dia
berjalan malam itu di lorong-lorong istana Astina yang baru saja ia rebut.
Tiang-tiang perkasa. Balairung istana yang luas. Relung-relung yang mencekam.
Lampu-lampu yang sayup, gemetar oleh angin, seperti ketakutan oleh kekuasaan,
keangkuhan dan keagungannya. Mengapa manusia harus memburu-buru kejayaan itu –
dan memperebutkannya dengan habis-habisan?.
DI luar
Mahabharata kita teringat satu adegan. pendek dalam sejarah. Napoleon
Bonaparte, perwira revolusi yang diangkat jadi Konsul, untuk pertama kalinya
memasuki Istana Tuileries. Februari 1800 itu ia harus tinggal di sana. Berjalan
melalui kamar-kamar besar yang dulu menandakan kejayaan wangsa Bourbon itu,
seorang pembantunya berbisik, "Jenderal, suasananya menyedihkan" .
Napoleon menjawab singkat, dalam kesenyapan, "Oui, comme le gloire".
Ya, sedih, seperti halnya kemegahan.
Om Swastiastu
BalasHapusBecik niki blognyane, tetap berkarya dan sukses selalu
suksma komennya bli... dumogi wenten pikenohnyane... :-)
Hapus