The Dating of the Old Javanese
Uttarakanda
S.Supomo, Australian National
University
Untuk waktu yang
lama, sisipan dianggap sebagai semacam penyakit dalam literatur jawa kuno.
Sekecil apapun gejalanya, penyunting selalu diharapkan berhati-hati dalam
mendekati sebuah kakawin dan harus cepat memutuskan: bagian-bagian yang
dicurigai diletakkan di dalam kurung kotak. Bagian yang sakit ini pada umumnya
tidak tersentuh karena itu sudah diterima sebagai kebiasaan umum diantara
generasi awal peneliti jawa kuno, seperti Kern, Juynboll dan Poerbatjaraka. Itu
mungkin disebabkan oleh prasangka buruk terhadap apapun yang dianggap sebagai
sisipan bagi murid jawa kuno (yang juga mendapat sanskrit dalam pendidikan
mereka dan familiar dengan teori bahwa Uttarakanda adalah edisi terakhir dari
teks asli Ramayana Walmiki. Hanya sedikit perhatian pada kerja salinan Jawa Kuna.
Demikianlah meskipun keberadaanya telah diketahui setidaknya dari waktu
pengumuman dari laporan Friederich’s di tahun 1849-50. Uttarakanda Jawa Kuna
belum diterbitkan secara menyeluruh. Di lain pihak, sebagian besar adaptasi
dari parwa epos Mahabharata yang sampai kepada kita, beberapa bagian dari
mereka telah dipublikasikan, dan beberapa bagian dari mereka telah diterjemahkan
dan didiskusikan.
Didalam konteks
literatur jawa kuno, pengertian atau paham bahwa Uttarakanda adalah sisipan
adalah tentu salah. Sanskrit Uttarakanda adalah edisi terakhir dalam Ramayana Walmiki,
adalah benar. Karena ketika Uttarakanda diterjemahkan ke dalam jawa kuna.
Kepada seluruh maksud dan tujuan itu telah menjadi bagian dari epos Walmiki
untuk hampir sepuluh abad. Jadi seorang penulis berkata dalam “exordium”
Uttarakanda jawa kuna:
“Setelah Lengkapura diceritakan oleh bhagawan Valmiki, kemudian dia
menggubah akhir dari Ramayana disebut Uttarakanda.”
Kenyataanya
bahwa penyuntingan dan studi pembelajaran dari Uttarakanda jawa kuno telah
diabaikan sangatlah disesalkan jika kita tidak menyadari bahwa pekerjaan itu
adalah sumber primer dari cerita Arjunasasrabahu, satu dai empat siklus dari
lakon wayang jawa baru. Itu adalah tujuan dari tulisan tersebut untuk memberi
beberapa keterangan dalam satu aspek dari Uttarakanda jawa kuno, dengan harapan
itu dapat membangkitkan minat pada pekerjaan ini.
Didalam manggala atau exordium
dari Uttarakanda jawa kuno, kami baca:
“Adalah sang pendeta yang sangat unggul… dialah Bhagawan Walmiki
namanya yang dijadikan sebagai dewa dari segala pujangga, hormatilah sebagai
orang yang memberi berkah dalam menggubah cerita Uttarakanda… dan adalah
seorang penguasa dunia di pulau jawa… dialah Sri Dharmawangsa Teguh
Anantawikrama namanya, akan memberi berkah perlindungan pertolongan dalam
penulisan cerita Ramayana”.
Dari kutipan di atas
, jelaslah bahwa penulis tanpa nama Uttarakanda jawa kuna memilih Balmiki, itu
untuk menyebut Walmiki, penulis cerita kuno epos Ramayana dan Dharmawangsa
Teguh Anantawikrama, seorang penguasa dari kerajaan jawa di Jawa Timur, sebagai
pelindungnya.
Seperti dimohon
menjadi petunjuk dalam Uttarakanda jawa kuna, nama Dharmawangsa Teguh
Anantawikrama juga dimohon sebagai pelindung dalam terjemahan dari tiga
terjemahan jawa kuna dari epos Sanskrit lainya, yaitu Adiparwa , Wirataparwa
dan Bhismaparwa. Padahal Uttarakanda adalah bagian dari epos Ramayana, parwa
ini adalah bagian dari epos Sanskrit terkenal lainya, Mahabharata. Bagian dari
tiga parwa ini, enam atau mungkin tujuh parwa jawa kuna juga sampai pada kita
(Sabhaparwa, Udyogaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa,
dan Swargarohanaparwa), tetapi tidak ada nama raja yang disebutkan di dalamnya.
Sebelumnya satu
dari tujuh kanda dari Ramayana dan Sembilan atau sepuluh dari delapan belas
parwa dari Mahabharata telah sampai pada kita. Pertanyaan yang muncul apakah
hanya mereka bagian dari epos yang telah diterjemahkan atau disalin ke dalam
jawa kuna atau apakah hanya mereka yang mampu bertahan dari seluruh terjemahan
dari kedua epos?
Sehubungan
dengan Mahabharata , Berg berpendapat bahwa seluruh epos telah diterjemahkan ke
dalam jawa kuna tetapi beberapa parwa dari epos tersebut telah hilang. Pigeaud
di lain pihak dengan pendek menjelaskan bahwa tidak semua dari delapan belas
buku Mahabharata telah diterjemahkan ke dalam prosa jawa. Sayangnya kita tidak
mempunyai dokumen sejaman yang digunakan untuk mendebat atau melawan dua
pendapat berbeda itu. Dokumen tertua berisi data yang dapat digunakan sebagai
titik awal untuk menghasilkan diskusi dalam hal Korawasrama, sebuah risalah
atau acuan bertanggal dari abad ke-16, sekitar enam abad setelah terjemahan
epos itu sendiri.
Berdasarkan
Korawasrama, risalah itu adalah lanjutan dari Dwidasa parwa, yang terdiri dari
delapan belas parwa, yaitu : Adhiparwa, Sabhaparwa, Udyogaparwa, Wirataparwa,
Bhismaparwa, Dronaparwa, karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa,
Santiparwa, Anusasanaparwa, Uttarakanda, Aswamedhaparwa, Mausalaparwa,
Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa dan Agastyaparwa.
Seperti catatan
Swellenggrebel, nama Dwidasaparwa dalam risalah itu nampaknya digunakan untuk
menunjuk Mahabharara. Dia juga membenarkan bahwa Wanaparwa dan Asramawasika
parwa hilang dari daftar-daftar dan untuk membuat daftar turun temurun dari
delapan belas parwa yang mengangkat Mahabharata lengkap. Uttarakanda dan
Agastyaparwa ditambahkan.
Seperti naskah
dari dua parwa tambahan telah ditemukan dalam korpus dari naskah jawa kuno yang
sampai pada kita, disana rupanya terdapat sedikit keraguan bahwa dua karya
tersebut masuk dalam daftar sebab pengarang dari Korawasrama kenal akan
keduanya. Itu diikuti sebuah perdebatan selanjutnya, bahwa 16 parwa lain yang
disebutkan di dalam daftar juga bagian dari literatur yang masih ada hingga
hari itu. Jika dalil itu benar, pendapat Pigeaud bahwa tidak semua dari delapan
belas buku Mahabharata telah diterjemahkan ke dalam prosa jawa nampaknya benar.
Situasinya
bagaimanapun juga itu agak rumit, karena sementara tujuh dari tujuh belas parwa
hilang dari koleksi naskah jawa kuno di bermacam-macam perpustakaan. Kedua
parwa yang hilang dari daftar adalah bagian dari naskah yang masih ada dalam
koleksi. Ini dapat diterjemahkan bahwa parwa-parwa yang masih ada pada saat
itu.
Mengingat
fakta-fakta ini, yaitu bahwa pengarang dari daftar Korawasrama enam belas dari
delapan belas parwa dari Mahabharata dalam perjalanannya dua naskah yang hilang
adalah bagian dari naskah yang sampai pada kita, itu artinya bagi saya lebih
masuk akal bahwa seluruh epos Mahabharata diterjemahkan ke dalam jawa kuno.
Tetapi beberapa dari parwa-parwa tersebut hilang seiring berjalanya waktu. Hal
itu mungkin patut diperhatikan bahwa beberapa dari parwa yang hilang ini adalah
bagian yang menceritakan perang besar dari keluarga Bharata. Mpu Sedah dan Panuluh,
dua pujangga besar selama dua belas abad telah menyusun atau mengarang kakawin
yang paling terkenal, Bharatayuddha, yang didasarkan pada perang keluarga
Bharata. Hal itu mungkin yang popularitasnya luar biasa besar dan penghargaan
yang tinggi kakawin ini dinikmati di antara orang Jawa dan Bali yang mungkin
terhapus, membutuhkan untuk menulis kembali beberapa parwa-parwa menjadi subjek
yang sama seperti kakawin.
Pada akhirnya,
kenyatan bahwa bagian pertama dan terakhir dari parwa-parwa yaitu Adiparwa dan
Swargarohanaparwa berturut-turut diterjemahkan ke dalam jawa kuna memperkuat
argumen di atas. Meskipun kita tidak dapat menyatakan dengan pasti parwa mana
dalam Mahabharata yang diterjemahkan, karena hanya satu dari mereka yang diberi
tanggal, ini lebih mungkin bahwa parwa-parwa diurutkan secara teratur, dari
pertama hingga selanjutnya lebih baik daripada dengan acak. Ini selanjutnya
meguatkan fakta bahwa Adiparwa, Wirataparwa dan Bhismaparwa semuanya menyebut
nama Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang menandakan bahwa parwa tersebut
diterjemahkan selama masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Di lain pihak, tidak
disebutkan nama Dharmawangsa Teguh atau raja lain dalam Asramawasikaparwa atau
Mausalaparwa atau Prasthanika parwa (Swargarohanaparwa, parwa terakhir tidak
diumumkan begitu jauh). Apakah tidak disebutkan nama menandakan bahwa
parwa-parwa terakhir dalam Mahabharata diterjemahkan selama masa peralihan yang
kacau di Jawa Timur (yaitu setelah kematian Teguh th 1017 tetapi sebelum Airlangga
naik tahta th 1035 ) adalah pertanyaan yang sangat beresiko untuk dijawab.
Dan saya
berpendapat bahwa seluruh Mahabharata diterjemahkan ke dalam jawa kuna dan oleh
karena itu daftar parwa-parwa dari Mahabharata berdasarkan Korawasrama tidak
lengkap. Di lain pihak, menyinggung Uttarakanda dalam daftar dari Dwidasa parwa
berdasarkan Korawasrama rupanya untuk menunjukkan bahwa hanya satu kanda jawa
kuna dari Ramayana yang diketahui oleh penulis dari Korawasrama. Karena ini
cocok dengan fakta bahwa naskah yang ada hanya Uttarakanda adalah satu-satunya
bagian Ramayana yang diterjemahkan ke dalam bahasa jawa kuna. Dan faktanya
adalah dalam jawa kuna kata parwa digunakan untuk menunjukkan prosa secara umum
nampaknya menguatkan argumen di atas. Seperti pemakaian tidak akan mungkin
timbul banyak kanda yang ada sisi demi sisi dengan parwa-parwa baik dari awal.
Karena
Uttarakanda adalah terakhir dari tujuh kanda yang terdapat dalam epos Ramayana
Walmiki, sedangkan dalam kasus Mahabharata , kita berpendapat bahwa parwa-parwa
diterjemahkan dari parwa pertama dan seterusnya. Pertanyaan yang secara alami
timbul mengapa bagian akhir dari epos Ramayana terjadi hanya satu-satunya itu
dapat dikatakan merupakan pertama dan terakhir, diterjemahkan kedalam jawa
kuna.
Bagaimanapun ini
tidak akan menjadi masalah, jika membutuhkan muncul untuk menterjemahkan
Uttarakanda ke dalam jawa kuna, ada sebuah buku yang berhadapan dengan
pengembaraan Rama diceritakan dalam enam bagian pertama dari Ramayana Valmiki
dengan demikian sesungguhnya dalam keadaan, seperti kakawin, yaitu Ramayana
sudah ada lebih dari satu abad ketika salinan dari Uttarakanda dibuat.
Ramayana jawa
kuna sebagian besar adaptasi dari Rawanawadha (pembunuhan Rawana). Tujuh abad
puisi Sanskrit ditulis oleh Bhatti (disini biasanya ditujukkan untuk Bhattikawya)
dan walaupun bagian akhir dari kakawin berbeda dengan Bhattikawya. Berakhir
seperti dalam karya Bhattikawya, yakni kembalinya Rama ke Ayodhya setelah
kematian Rawana. Mengapa penulis tanpa nama dari Ramayana jawa kuna mengambil
model dari karya Bhattikavya dan tidak Ramayana Walmiki, ini tidak jelas dan
pertanyaannya mungkin tidak relevan bagi kita mengenai ini.
Satu hal yang
jelas bagaimanapun yaitu bahwa adaptasi Bhattikawya menunjukkan bahwa cerita
Rama sangat popular di Jawa pada zaman dahulu. Ini juga bukti dari fakta bahwa
beberapa bagian dari cerita dilukiskan di candi prambanan , yang dibangun
sebelum penulisan Ramayana jawa kuna. Dan dari tulisan dikeluarkan oleh Dyah
Balitung ,yang dipublikasikan oleh Van Naerssen ini jelas bahwa pertunjukan Ramayana
menunjukkan satu dari ciri-ciri favorit dalam peristiwa jawa pada zaman dahulu.
Perkataan yang
digunaan dalam tulisan “macarita” Ramayana. Van Naerssen berdebat bahwa dalam
literatur jawa kuna “macarita” digunakan dalam merasakan penceritaan karya
prosa. Jika argumen ini benar, kita dapat menarik kesimpulan bahwa versi prosa
cerita Rama sudah ada di dalam zaman Balitung.
Bagaimanapun,
pendapat ini nampaknya tidak didukung adanya bukti. Seperti yang saya katakan
sebelumnya, dalam jawa kuna kata “parwa” yang biasanya digunakan untuk menunjuk
karya prosa, terutama dengan isi epos secara umum. Kata “carita”, dilain pihak,
digunakan untuk menunjukkan cerita secara umum. Di dalam kutipan di atas dari
terjemahan Uttarakanda jawa kuna , untuk contoh, kami membaca “ri telas ning Lengkapurakanda
cinaritaken de Bhagawan Balmiki”. Sebagaimana karya valmiki yaitu bukanlah
karya prosa, faktanya dimana penulis Uttarakanda jawa kuna harus disadar, “cinaritaken”
dalam kutipan di atas tidak dapat diartikan “diceritakan dalam bentuk prosa”.
Kata dasarnya “carita” ,karena itu dapat digunakan untuk menunjuk Sutasoma dan
Arjunawijaya untuk mendukung saya.
Dalam jawa kuna
itu nampaknya tidak ada perbedaan dalam penggunaan antara “cerita” dan “katha”.
Keduanya dapat digunakan untuk menunjuk prosa dan puisi. Dalam bait-bait dari
Arjunawijaya, penulis dari Bali faktanya disebut Arjunawijaya, kakawin
Arjunawijaya (naskah A) Arjunawijaya katha (naskah D). Dan satu naskah (F)
sungguh menyebut cerita.
Apapun kasusnya
mungkin frase “macarita” Ramayana terjadi dalam tulisan di atas menunjukkan popularitas
dari kisah itu di antara orang jawa pada hari itu. Satu dari versi paling
terkenal dari cerita Rama adalah Ramayana Walmiki. Epos ini juga
mempertimbangkan buku suci dari umat Hindu. Kita boleh beranggapan bahwa orang
pada jaman itu harus paham dengan versi dari cerita Rama. Ini menunjukkan bahwa
mereka harus tahu cerita Rama setelah ia kembali ke Ayodhya (yang diceritakan
kembali dalam Uttarakanda tapi tidak memaksakan tak hadir dari Ramayana
kakawin). Ini dapat dimengerti pada saat itu, permintaan untuk sesuatu seperti
tambahan untuk kakawin Ramayana timbul, mungkin suatu hari setelah kakawin asli
dilupakan. Jadi Uttarakanda jawa kuna hadir untuk membuaat kakawin Ramayana
lebih lengkap. Agaknya ini kemudian seperti pengulangan dari asal epos Ramayana
disebutkan oleh Walmiki: orang merasa bahwa cerita tidak berakhir dengan pantas
tanpa pahlawan kembali ke surga.
pertamax gan !!!
BalasHapus