Rabu, 06 Juni 2012

Interpelasi dan penanggalan Uttarakanda


The Dating of the Old Javanese Uttarakanda
S.Supomo, Australian National University

Untuk waktu yang lama, sisipan dianggap sebagai semacam penyakit dalam literatur jawa kuno. Sekecil apapun gejalanya, penyunting selalu diharapkan berhati-hati dalam mendekati sebuah kakawin dan harus cepat memutuskan: bagian-bagian yang dicurigai diletakkan di dalam kurung kotak. Bagian yang sakit ini pada umumnya tidak tersentuh karena itu sudah diterima sebagai kebiasaan umum diantara generasi awal peneliti jawa kuno, seperti Kern, Juynboll dan Poerbatjaraka. Itu mungkin disebabkan oleh prasangka buruk terhadap apapun yang dianggap sebagai sisipan bagi murid jawa kuno (yang juga mendapat sanskrit dalam pendidikan mereka dan familiar dengan teori bahwa Uttarakanda adalah edisi terakhir dari teks asli Ramayana Walmiki. Hanya sedikit perhatian pada kerja salinan Jawa Kuna. Demikianlah meskipun keberadaanya telah diketahui setidaknya dari waktu pengumuman dari laporan Friederich’s di tahun 1849-50. Uttarakanda Jawa Kuna belum diterbitkan secara menyeluruh. Di lain pihak, sebagian besar adaptasi dari parwa epos Mahabharata yang sampai kepada kita, beberapa bagian dari mereka telah dipublikasikan, dan beberapa bagian dari mereka telah diterjemahkan dan didiskusikan.

Didalam konteks literatur jawa kuno, pengertian atau paham bahwa Uttarakanda adalah sisipan adalah tentu salah. Sanskrit Uttarakanda adalah edisi terakhir dalam Ramayana Walmiki, adalah benar. Karena ketika Uttarakanda diterjemahkan ke dalam jawa kuna. Kepada seluruh maksud dan tujuan itu telah menjadi bagian dari epos Walmiki untuk hampir sepuluh abad. Jadi seorang penulis berkata dalam “exordium” Uttarakanda jawa kuna:
“Setelah Lengkapura diceritakan oleh bhagawan Valmiki, kemudian dia menggubah akhir dari Ramayana disebut Uttarakanda.”
Kenyataanya bahwa penyuntingan dan studi pembelajaran dari Uttarakanda jawa kuno telah diabaikan sangatlah disesalkan jika kita tidak menyadari bahwa pekerjaan itu adalah sumber primer dari cerita Arjunasasrabahu, satu dai empat siklus dari lakon wayang jawa baru. Itu adalah tujuan dari tulisan tersebut untuk memberi beberapa keterangan dalam satu aspek dari Uttarakanda jawa kuno, dengan harapan itu dapat membangkitkan minat pada pekerjaan ini.

Didalam manggala atau exordium dari Uttarakanda jawa kuno, kami baca:

“Adalah sang pendeta yang sangat unggul… dialah Bhagawan Walmiki namanya yang dijadikan sebagai dewa dari segala pujangga, hormatilah sebagai orang yang memberi berkah dalam menggubah cerita Uttarakanda… dan adalah seorang penguasa dunia di pulau jawa… dialah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama namanya, akan memberi berkah perlindungan pertolongan dalam penulisan cerita Ramayana”.
Dari kutipan di atas , jelaslah bahwa penulis tanpa nama Uttarakanda jawa kuna memilih Balmiki, itu untuk menyebut Walmiki, penulis cerita kuno epos Ramayana dan Dharmawangsa Teguh Anantawikrama, seorang penguasa dari kerajaan jawa di Jawa Timur, sebagai pelindungnya.
Seperti dimohon menjadi petunjuk dalam Uttarakanda jawa kuna, nama Dharmawangsa Teguh Anantawikrama juga dimohon sebagai pelindung dalam terjemahan dari tiga terjemahan jawa kuna dari epos Sanskrit lainya, yaitu Adiparwa , Wirataparwa dan Bhismaparwa. Padahal Uttarakanda adalah bagian dari epos Ramayana, parwa ini adalah bagian dari epos Sanskrit terkenal lainya, Mahabharata. Bagian dari tiga parwa ini, enam atau mungkin tujuh parwa jawa kuna juga sampai pada kita (Sabhaparwa, Udyogaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa), tetapi tidak ada nama raja yang disebutkan di dalamnya.
Sebelumnya satu dari tujuh kanda dari Ramayana dan Sembilan atau sepuluh dari delapan belas parwa dari Mahabharata telah sampai pada kita. Pertanyaan yang muncul apakah hanya mereka bagian dari epos yang telah diterjemahkan atau disalin ke dalam jawa kuna atau apakah hanya mereka yang mampu bertahan dari seluruh terjemahan dari kedua epos?
Sehubungan dengan Mahabharata , Berg berpendapat bahwa seluruh epos telah diterjemahkan ke dalam jawa kuna tetapi beberapa parwa dari epos tersebut telah hilang. Pigeaud di lain pihak dengan pendek menjelaskan bahwa tidak semua dari delapan belas buku Mahabharata telah diterjemahkan ke dalam prosa jawa. Sayangnya kita tidak mempunyai dokumen sejaman yang digunakan untuk mendebat atau melawan dua pendapat berbeda itu. Dokumen tertua berisi data yang dapat digunakan sebagai titik awal untuk menghasilkan diskusi dalam hal Korawasrama, sebuah risalah atau acuan bertanggal dari abad ke-16, sekitar enam abad setelah terjemahan epos itu sendiri.
Berdasarkan Korawasrama, risalah itu adalah lanjutan dari Dwidasa parwa, yang terdiri dari delapan belas parwa, yaitu : Adhiparwa, Sabhaparwa, Udyogaparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Uttarakanda, Aswamedhaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa dan Agastyaparwa.
Seperti catatan Swellenggrebel, nama Dwidasaparwa dalam risalah itu nampaknya digunakan untuk menunjuk Mahabharara. Dia juga membenarkan bahwa Wanaparwa dan Asramawasika parwa hilang dari daftar-daftar dan untuk membuat daftar turun temurun dari delapan belas parwa yang mengangkat Mahabharata lengkap. Uttarakanda dan Agastyaparwa ditambahkan.
Seperti naskah dari dua parwa tambahan telah ditemukan dalam korpus dari naskah jawa kuno yang sampai pada kita, disana rupanya terdapat sedikit keraguan bahwa dua karya tersebut masuk dalam daftar sebab pengarang dari Korawasrama kenal akan keduanya. Itu diikuti sebuah perdebatan selanjutnya, bahwa 16 parwa lain yang disebutkan di dalam daftar juga bagian dari literatur yang masih ada hingga hari itu. Jika dalil itu benar, pendapat Pigeaud bahwa tidak semua dari delapan belas buku Mahabharata telah diterjemahkan ke dalam prosa jawa nampaknya benar.
Situasinya bagaimanapun juga itu agak rumit, karena sementara tujuh dari tujuh belas parwa hilang dari koleksi naskah jawa kuno di bermacam-macam perpustakaan. Kedua parwa yang hilang dari daftar adalah bagian dari naskah yang masih ada dalam koleksi. Ini dapat diterjemahkan bahwa parwa-parwa yang masih ada pada saat itu.
Mengingat fakta-fakta ini, yaitu bahwa pengarang dari daftar Korawasrama enam belas dari delapan belas parwa dari Mahabharata dalam perjalanannya dua naskah yang hilang adalah bagian dari naskah yang sampai pada kita, itu artinya bagi saya lebih masuk akal bahwa seluruh epos Mahabharata diterjemahkan ke dalam jawa kuno. Tetapi beberapa dari parwa-parwa tersebut hilang seiring berjalanya waktu. Hal itu mungkin patut diperhatikan bahwa beberapa dari parwa yang hilang ini adalah bagian yang menceritakan perang besar dari keluarga Bharata. Mpu Sedah dan Panuluh, dua pujangga besar selama dua belas abad telah menyusun atau mengarang kakawin yang paling terkenal, Bharatayuddha, yang didasarkan pada perang keluarga Bharata. Hal itu mungkin yang popularitasnya luar biasa besar dan penghargaan yang tinggi kakawin ini dinikmati di antara orang Jawa dan Bali yang mungkin terhapus, membutuhkan untuk menulis kembali beberapa parwa-parwa menjadi subjek yang sama seperti kakawin.
Pada akhirnya, kenyatan bahwa bagian pertama dan terakhir dari parwa-parwa yaitu Adiparwa dan Swargarohanaparwa berturut-turut diterjemahkan ke dalam jawa kuna memperkuat argumen di atas. Meskipun kita tidak dapat menyatakan dengan pasti parwa mana dalam Mahabharata yang diterjemahkan, karena hanya satu dari mereka yang diberi tanggal, ini lebih mungkin bahwa parwa-parwa diurutkan secara teratur, dari pertama hingga selanjutnya lebih baik daripada dengan acak. Ini selanjutnya meguatkan fakta bahwa Adiparwa, Wirataparwa dan Bhismaparwa semuanya menyebut nama Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang menandakan bahwa parwa tersebut diterjemahkan selama masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Di lain pihak, tidak disebutkan nama Dharmawangsa Teguh atau raja lain dalam Asramawasikaparwa atau Mausalaparwa atau Prasthanika parwa (Swargarohanaparwa, parwa terakhir tidak diumumkan begitu jauh). Apakah tidak disebutkan nama menandakan bahwa parwa-parwa terakhir dalam Mahabharata diterjemahkan selama masa peralihan yang kacau di Jawa Timur (yaitu setelah kematian Teguh th 1017 tetapi sebelum Airlangga naik tahta th 1035 ) adalah pertanyaan yang sangat beresiko untuk dijawab.
Dan saya berpendapat bahwa seluruh Mahabharata diterjemahkan ke dalam jawa kuna dan oleh karena itu daftar parwa-parwa dari Mahabharata berdasarkan Korawasrama tidak lengkap. Di lain pihak, menyinggung Uttarakanda dalam daftar dari Dwidasa parwa berdasarkan Korawasrama rupanya untuk menunjukkan bahwa hanya satu kanda jawa kuna dari Ramayana yang diketahui oleh penulis dari Korawasrama. Karena ini cocok dengan fakta bahwa naskah yang ada hanya Uttarakanda adalah satu-satunya bagian Ramayana yang diterjemahkan ke dalam bahasa jawa kuna. Dan faktanya adalah dalam jawa kuna kata parwa digunakan untuk menunjukkan prosa secara umum nampaknya menguatkan argumen di atas. Seperti pemakaian tidak akan mungkin timbul banyak kanda yang ada sisi demi sisi dengan parwa-parwa baik dari awal.
Karena Uttarakanda adalah terakhir dari tujuh kanda yang terdapat dalam epos Ramayana Walmiki, sedangkan dalam kasus Mahabharata , kita berpendapat bahwa parwa-parwa diterjemahkan dari parwa pertama dan seterusnya. Pertanyaan yang secara alami timbul mengapa bagian akhir dari epos Ramayana terjadi hanya satu-satunya itu dapat dikatakan merupakan pertama dan terakhir, diterjemahkan kedalam jawa kuna.
Bagaimanapun ini tidak akan menjadi masalah, jika membutuhkan muncul untuk menterjemahkan Uttarakanda ke dalam jawa kuna, ada sebuah buku yang berhadapan dengan pengembaraan Rama diceritakan dalam enam bagian pertama dari Ramayana Valmiki dengan demikian sesungguhnya dalam keadaan, seperti kakawin, yaitu Ramayana sudah ada lebih dari satu abad ketika salinan dari Uttarakanda dibuat.
Ramayana jawa kuna sebagian besar adaptasi dari Rawanawadha (pembunuhan Rawana). Tujuh abad puisi Sanskrit ditulis oleh Bhatti (disini biasanya ditujukkan untuk Bhattikawya) dan walaupun bagian akhir dari kakawin berbeda dengan Bhattikawya. Berakhir seperti dalam karya Bhattikawya, yakni kembalinya Rama ke Ayodhya setelah kematian Rawana. Mengapa penulis tanpa nama dari Ramayana jawa kuna mengambil model dari karya Bhattikavya dan tidak Ramayana Walmiki, ini tidak jelas dan pertanyaannya mungkin tidak relevan bagi kita mengenai ini.
Satu hal yang jelas bagaimanapun yaitu bahwa adaptasi Bhattikawya menunjukkan bahwa cerita Rama sangat popular di Jawa pada zaman dahulu. Ini juga bukti dari fakta bahwa beberapa bagian dari cerita dilukiskan di candi prambanan , yang dibangun sebelum penulisan Ramayana jawa kuna. Dan dari tulisan dikeluarkan oleh Dyah Balitung ,yang dipublikasikan oleh Van Naerssen ini jelas bahwa pertunjukan Ramayana menunjukkan satu dari ciri-ciri favorit dalam peristiwa jawa pada zaman dahulu.
Perkataan yang digunaan dalam tulisan “macarita” Ramayana. Van Naerssen berdebat bahwa dalam literatur jawa kuna “macarita” digunakan dalam merasakan penceritaan karya prosa. Jika argumen ini benar, kita dapat menarik kesimpulan bahwa versi prosa cerita Rama sudah ada di dalam zaman Balitung.
Bagaimanapun, pendapat ini nampaknya tidak didukung adanya bukti. Seperti yang saya katakan sebelumnya, dalam jawa kuna kata “parwa” yang biasanya digunakan untuk menunjuk karya prosa, terutama dengan isi epos secara umum. Kata “carita”, dilain pihak, digunakan untuk menunjukkan cerita secara umum. Di dalam kutipan di atas dari terjemahan Uttarakanda jawa kuna , untuk contoh, kami membaca “ri telas ning Lengkapurakanda cinaritaken de Bhagawan Balmiki”. Sebagaimana karya valmiki yaitu bukanlah karya prosa, faktanya dimana penulis Uttarakanda jawa kuna harus disadar, “cinaritaken” dalam kutipan di atas tidak dapat diartikan “diceritakan dalam bentuk prosa”. Kata dasarnya “carita” ,karena itu dapat digunakan untuk menunjuk Sutasoma dan Arjunawijaya untuk mendukung saya.
Dalam jawa kuna itu nampaknya tidak ada perbedaan dalam penggunaan antara “cerita” dan “katha”. Keduanya dapat digunakan untuk menunjuk prosa dan puisi. Dalam bait-bait dari Arjunawijaya, penulis dari Bali faktanya disebut Arjunawijaya, kakawin Arjunawijaya (naskah A) Arjunawijaya katha (naskah D). Dan satu naskah (F) sungguh menyebut cerita.
Apapun kasusnya mungkin frase “macarita” Ramayana terjadi dalam tulisan di atas menunjukkan popularitas dari kisah itu di antara orang jawa pada hari itu. Satu dari versi paling terkenal dari cerita Rama adalah Ramayana Walmiki. Epos ini juga mempertimbangkan buku suci dari umat Hindu. Kita boleh beranggapan bahwa orang pada jaman itu harus paham dengan versi dari cerita Rama. Ini menunjukkan bahwa mereka harus tahu cerita Rama setelah ia kembali ke Ayodhya (yang diceritakan kembali dalam Uttarakanda tapi tidak memaksakan tak hadir dari Ramayana kakawin). Ini dapat dimengerti pada saat itu, permintaan untuk sesuatu seperti tambahan untuk kakawin Ramayana timbul, mungkin suatu hari setelah kakawin asli dilupakan. Jadi Uttarakanda jawa kuna hadir untuk membuaat kakawin Ramayana lebih lengkap. Agaknya ini kemudian seperti pengulangan dari asal epos Ramayana disebutkan oleh Walmiki: orang merasa bahwa cerita tidak berakhir dengan pantas tanpa pahlawan kembali ke surga.

1 komentar: