Dalam sebuah perjalanan spiritual
kita akan dipertemukan pada sisi yang berbeda dari dunia material. Jika dalam
konsep material kita belajar dulu baru berjalan, namun tidak demikian halnya dengan
konsep spiritual. Dalam konsep spiritual kita berjalan sambil belajar,
perjalanan adalah guru yang utama. Bukan belajar dulu baru berjalan, tetapi berjalan
atau melaksanakan kewajiban sesuai apa yang sementara itu kita pahami dengan
tanpa membatasi pemahaman kita maka Tuhan akan datang mengajari manusia itu. Seperti
halnya wahyu, wahyu itu turun bukan karena duduk diam baca buku tetapi karena
perjalanan manusia dan perilaku, perkataan dan pikiran manusia itu selama
perjalanan. Bagaimana cara para leluhur dan orang-orang suci supaya mendapat
wahyu itu susah untuk dicatat, namun yang dapat kita catat itu hanya apa wahyu
yang didapat oleh beliau. Seperti itulah perjalanan dalam konsep spiritual, bahwa perjalanan
adalah guru yang utama.
Sabtu, 08 Desember 2012
Jumat, 07 Desember 2012
Upacara Rsi Gana, Dewa Yadnya atau Bhuta Yadnya?
Warga Hindu di Bali dan orang
Bali yang berada di luar Bali mengenal ada banyak jenis upacara. Ada yang
menyebutkan upacara Rsi Gana itu bukan sebagai caru atau bhuta yadnya,
melainkan digolongkan ke dalam dewa yadnya. Alasannya, Rsi Gana bukan untuk
mengharmoniskan alam lewat proses somya,
melainkan pemujaan kepada Ganapati sebagai Wigneswara agar terhindarkan dari
berbagai rintangan. Menurut Ida Pandita Dukuh, yang manakah betul sesungguhnya,
apakah Rsi Gana itu upacara tergolong bhuta yadnya ataukah dewa yadnya?
Made A Dwipranatha
Sidemen, Karangsem
Rentan Waktu Caru dan Tawur
Di Bali ada berbagai jenis
upacara keagamaan. Di antaranya bhuta yadnya, setingkat macaru dan tawur.
Lantas, apa ada batasan jangka waktu setiap tingkatan dan jenis upacara macaru
dan tawur? Pada saat seperti apa mesti digelar upacara bhuta yadnya yang
dinamakan caru dan bilamana lantas menggunakan tawur? Mohon penjelasannya.
Ni Wayan Sukasih
Buahan, Payangan, Gianyar
Banten Bukan Penebus Dosa
Banten vs Dosa
Warga Hindu (Bali) tiap kali
menggelar upacara keagamaan bersaranakan banten. Termasuk saat melakukan
upacara menyucikan diri secara niskala, banten juga menjadi sarana utama. Ida
Pandita Dukuh, sesungguhnya seberapa besar banten bisa menyucikan dosa? Apakah
banten bisa menggantikan dosa? Kalau banten memang bisa menebus dosa, atau
setidaknya mengurangi berat-ringan dosa, tidakkah orang-orang kaya akan
berlomba-lomba menebus dosa dengan banten, lalu tinggallah si miskin yang
sakit-sakitan saja terus berkubang sepanjang hayat pada dosa? Kalau cuma
miskin, orang pun bisa saja meminjam dulu uang, yang penting dosa akhirnya bisa
dihapuskan.
Bagaimana ini mesti dipahami,
diterangkan, biar pihak non-Bali Hindu juga bisa memahami praktek keagamaan
kita di Bali yang sampai kini sedikit-sedikit menggunakan banten sebagai sarana
rasa bakti, meskipun tidak lagi dengan membuat langsung, melainkan cukup dengan
membeli, layaknya membeli komoditas lain di pasar swalayan? Terus terang saya
belum menemukan jawaban tepat, karena itulah saya bertanya kepada Ida Pandita
Dukuh. Mohon dapat diterangkan sejelas-jelasnya. Matur suksma.
Made Yudyastana
Tampaksiring, Gianyar
Selasa, 04 Desember 2012
Kisah Parikesit dan Dewi Kunti: Pencarian dan Keyakinan Seorang Bhakta
Dewi Drupadi
histeris, lima putra dan semua saudaranya terbunuh pada malam hari selagi tidur
seusai perang Bharatayuda. Aswatama telah membunuh seluruh keturunan Pandawa
yang masih hidup, sebagai balas dendam atas kematian Drona, ayahandanya, yang
menurutnya dilakukan Pandawa dengan penuh tipu muslihat. Arjuna bersama Sri
Krishna mengejar Aswatama yang bersembunyi di pertapaan Abyasa, kakek para
Pandawa dan Hastina. Saat Arjuna menemukan Aswatama, mereka berperang tanding.
Akhirnya, Bramastra, senjata Brahma, senjata sangat canggih dari Aswatama
dilepaskan. Arjuna merasakan bulu kuduknya meremang, dan diingatkan Sri Krishna
untuk segera melepaskan senjata yang sama.
Saat kedua senjata
mengudara, Abyasa berteriak menggelegar, “Batalkan segera arah senjata-senjata
itu, apabila sempat bertemu dunia akan musnah dan kalian berdua harus
menanggung akibatnya! “Arjuna dapat mengendalikan dan menarik kembali
senjatanya. Akan tetapi tidak demikian dengan Aswatama, dia belum mahir
mengendalikan senjata tersebut dan agar tidak kembali dan membunuh dirinya maka
senjata itu diarahkannya ke calon cucu Pandawa yang masih berada dalam
kandungan, agar habis anak keturunan Pandawa.
Dewi Utari
merasa ada sebuah gumpalan energi gelap mengejar dan mengancam kehidupan
kandungannya dan dia memanggil nama Sri Krishna. Dewi Utari merasakan bahwa Sri
Krishna memintanya duduk diam, menutup mata dan berdoa. Dewi Utari merasakan
kedamaian, dan dalam bayangannya Sri Krishna telah masuk ke dalam kandungannya
menunggu bramastra datang, kemudian menangkap dan membawa senjata itu keluar
dari tubuhnya. Ada rasa kelegaan setelah bahaya yang mengancam bayi dalam
kandungannya hilang. Bayinya telah diselamatkan Sri Krishna.
Kisah Parikesit: 7 Hari Menjelang Kematian
Kala itu
Maharaja Parikesit sedang berburu di hutan, hari sangat panas dan dia merasa
sangat kehausan. Sang Raja masuk pertapaan seorang pertapa dan minta air
penghapus dahaga. Sang pertapa sedang khusyuk bermeditasi, matanya tertutup dan
tidak ada perhatian dengan kedatangan sang maharaja. Parikesit berkata, “Apakah
Resi benar-benar bermeditasi sehingga pikiran dan indera terabaikan, ataukah
hanya mencoba menghindari saya karena keangkuhan dari seorang resi? Apabila
seorang maharaja yang belum mencapai kesadaran sempurna datang, apakah seorang resi
tidak perlu membuka mata?” Dalam keadaan tak nyaman karena sangat kehausan,
pikiran jernih sang raja sedikit terkesampingkan. Keangkuhan seorang maharaja
bangkit, dirinya mengambil bangkai ular dan meletakkannya di leher sang resi.
Dan sang maharaja pun pergi meninggalkan pondok tersebut.
Di dalam salah
satu kamar, Sringi, putra sang resi mendengar gerutuan seorang ksatria yang
tidak sopan dan kemudian melihat ada ular yang dilingkarkan di leher ayahnya
yang sedang bermeditasi. Putra sang resi menjadi marah, “Bagaimana etikanya
seorang kesatria dapat melakukan hal demikian terhadap seorang brahmana? Tugas
kesatria adalah melindungi orang-orang suci. Hal ini dapat terjadi karena Sri
Krishna sudah tidak ada tak ada di atas permukaan bumi lagi. Wahai kesatria
kukutuk dirimu agar digigit ular beracun dalam waktu seminggu!”
Saumika, sang
resi terganggu oleh kemarahan sang putra dan membuka mata, “Wahai putraku, kau
telah berdosa terhadap seorang maharaja. Akibat kesalahan kecil, kau mengutuk
terlalu berat. Apabila sang maharaja mati, para penjahat akan berkembang biak,
peran agama menurun dan terjadi kebingungan di masyarakat. Dan, semua kejahatan
yang akan terjadi ini berasal dari ketergesa-gesaanmu dan akan membunuh kita
semua. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengampuni
pemahamanmu yang belum matang ini.”
Kisah Asura Hiranyaksa dan Waraha Awatara
Setelah banjir
besar dan bumi tenggelam dalam mahapralaya, semuanya berada dalam ketenangan
yang sempurna. Ketiga guna: rajas-agresif, tamas-malas, dan satwik-tenang
berada dalam keseimbangan, seperti api
yang ditarik ke dalam kayu. Tak ada gerakan. Setelah beberapa lama, ada
waktunya keseimbangan terganggu. Munculah tangkai bunga teratai dari pusar Narayana.
Brahma lahir dan merasa berada dalam bunga teratai yang tak terukur besarnya.
Brahma mencari pangkal bunga dan tak bisa tercapai sehingga kembali pada
tempatnya semula. Seakan ada suara yang menyuruh dia bertapa dan dia mendapat visi
tentang Narayana yang sedang terbaring pada Adhisesha yang putih seperti
tangkai teratai. Seakan Narayana berkata, “Aku memberi tugas menciptakan dunia
dan makhluknya.” Dan Brahma menjawab, “Semoga demikian.”
Pencarian
Brahma yang gagal untuk mencapai pangkal bunga teratai yang tidak tidak terukur
besarnya, adalah seperti pencapaian manusia dalam mencari Tuhannya. Akhirnya
Brahma mendengarkan suara nuraninya dan mendapat petunjuk untuk bertapa. Keluar
dari Brahma wujud empat resi: Sanaka, Sananda, Sanatama dan Sanathkumara dan
mereka menolak permintaan Brahma untuk mencipta lebih lanjut. Brahma sangat
marah tetapi dapat mengendalikannya dan dari keningnya keluar bayi merah yang
menangis yang dinamakan Rudra. Brahma berkata, “Tempat kamu adalah hati,
indera, hidup , langit, dan semua unsur alam. Kamu dapat mencipta di
tempat-tempat tersebut!” Brahma kemudian mencipta sepuluh putra, Atri,
Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Bhrigu, Daksa, Marici, Wasishta, Narada.
Dharma dan Adharma pun adalah putra Brahma. Dari hati Brahma juga lahir
keinginan. Bayang-bayang Brahma mengambil bentuk sebagai putra yang bernama
Kardama. Dari pikiran dan badan Brahma diciptakalah seluruh dunia. Dari empat
mukanya lahir empat Weda. Brahma kemudian membagi tubuhnya menjadi satu pria
dan satu wanita yang disebut Swayambhu Manu dan Satarupa. Dari mereka lahir
lima anak, tiga putri: Akuti, Prasuti Dan Dewahuti serta dua pria: Priyawrata
dan Uttanapada. Akuti menikah dengan Ruchi, Dewahuti dengan Kardama dan Prasuti
dengan Daksa. Dan anak-anak mereka mendiami dunia ini. Kisah-kisah dalam Srimad
Bhagawatam adalah kisah-kisah dari semua anak keturunan Brahma.
Kisah Kardama: Putra, Suami, dan Ayah yang Mampu Memberi Teladan
Dalam Srimad
Bhagawatam dikisahkan bahwa setelah mahapralaya, Brahma yang baru saja muncul
dari bunga teratai tidak dapat mengukur kedalaman tangkai bunga teratai yang
keluar dari pusar Narayana. Narayana pun
masih merupakan misteri bagi Brahma. Kemudian Brahma mendapat perintah untuk
bertapa dan baru setelah itu memperoleh visi tentang Narayana dan mendengar
perintah-Nya untuk menciptakan dunia dan makhluknya. Akan tetapi tidak semua
putra yang diciptakannya mematuhi perintah Brahma untuk membantu penciptaan.
Sanaka, Sananda, Sanatama dan Sanathakumara menolak permintaan Brahma untuk
mencipta lebih lanjut. Kardama dan Manu adalah dua orang putra Brahma yang
patuh kepada perintah Bapaknya.
Kardama pergi
ke hulu sungai Saraswati dan bertapa hingga beberapa tahun lamanya. Pada suatu hari dalam pandangan Kardama,
Narayana muncul dan bertanya tentang apa yang diinginkannya. Kardama menjawab,
“Hamba adalah manusia yang beruntung yang telah mendapatkan karunia untuk
menyaksikan Tuhan. Tuhan adalah Parambrahman, Roh Yang Maha Agung, dan setelah
menyaksikan Tuhan manusia tak punya keinginan lainnya lagi. Saudara hamba
Narada telah melakukan hal demikian pada kalpa yang lalu, sehingga pada kalpa
ini dia dilahirkan lagi sebagai dewaresi. Akan tetapi ayahanda hamba telah
memerintah hamba untuk melakukan tugas penciptaan, oleh karena hamba tidak
dapat menghilangkan keinginan untuk menyelesaikan tugas dari ayahanda kami.
Oleh karena itu kami mohon agar Tuhan berkenan memberikan wanita sempurna
kepada kami, sehingga kami dapat mempersembahkan putra-putri terbaik bagi
dunia. Bagaimana pun tujuan utama kami adalah Tuhan, oleh karena itu mohon
berkahmu agar kami sekeluarga selamat dalam melaksanakan peran kami di dunia
ini.”
Senin, 03 Desember 2012
Kisah Dewahuti: Seorang Putri, Istri, Ibu dan Sekaligus Hamba Yang Berbhakti
Ketika Kardama
telah pergi melanjutkan perjalanan spiritualnya sebagai Sanyasin. Dan, Kapila
sudah menginjak remaja kala Dewahuti teringat kehidupannya di masa lalu. Dewahuti
adalah seorang putri yang baik yang patuh terhadap kedua orang tuanya,
Swayambhu Manu dan Satarupa. Sejak kecil Dewahuti begitu yakin bahwa Tuhan Yang
Maha Pengasih akan membimbing dirinya lewat orang-orang yang berada di
dekatnya. Dewahuti yakin bahwa ayah dan ibunya adalah guru pemandu yang diutus
Tuhan untuk membimbingnya saat dirinya lahir ke dunia. Setelah Dewahuti kawin
dengan Kardama dan ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, Dewahuti menganggap
Kardama sebagai guru spiritualnya. Dan, setelah Kardama pergi, maka Dewahuti
merasa yakin bahwa Kapila, putranya sendiri adalah wujud Narayana yang akan
memandu dirinya yang tidak mengenal Weda dan ilmu ketuhanan lainnya kecuali
hanya berbekal pengabdian yang tulus.
Dewahuti
teringat pesan Brahma, sang mertua pada saat dirinya dan Kardama menikah,
“Menantu terkasihku, Narayana berkehendak mengajarkan Brahmawidya, ilmu tentang
ketuhanan kepada dunia. Oleh karena itu, Narayana akan lahir sebagai putramu.
Dia akan mengajari ilmu itu pertama kali kepadamu, agar kau terbersihkan dari
Awidya, ketidaktahuan yang menjadi penyakit di dunia ini! Mereka yang sakit
jiwanya merasa dirinya hampa, akan selalu mengejar kedudukan, ketenaran dan
kekayaan. Seseorang yang ingin menonjolkan dirinya pun, sedang menderita sakit.”
Dewahuti berkata
kepada Kapila, “Putraku, ibu tahu bahwa kau adalah Narayana sendiri. Aku minta
kau membantu ibumu ini. Aku lelah dan muak hidup dengan hanya memuaskan
kesenangan indera dan pikiran. Kamu adalah matahari yang dapat mengusir
kegelapan pikiran orang awam seperti diriku. Di dalam badan yang terdiri dari 5
elemen alami, sudah Kau tanamkan rasa “aku” dan “milikku”. Berilah aku jalan
untuk menuju kedamaian dan keselamatan.” Kapila tersenyum dan berkata, “Wahai
ibu, menurutku hanya ada satu yoga yang
mengakhiri penderitaan atau samsara. Aku telah mengajarkannya kepada
para resi yang sudah siap pada kalpa lalu. Dan, Aku akan memberi pelajaran yang
lebih mudah. Ibu, adalah pikiran yang menyebabkan perbudakan atau kebebasan.
Manakala pikiran di arahkan keluar diri, ia akan mengembara menjauhi Atman.
Akan tetapi jika pikiran berbalik ke dalam diri, mengarah kepada-Ku, maka ia
akan menjadi penyebab kebebasan dari jerat indera. Ini adalah langkah pertama
menuju tujuan. Manakala rasa “aku” dan “milikku” lenyap, pikiran akan bebas
dari nafsu, kemarahan dan lain-lainnya. Pikiran menjadi murni. Kesenangan dan
penderitaan dunia tidak akan mempengaruhinya. Keterikatan pada dunia dilepaskan
dengan jalan bhakti terhadap-Ku dan mempertahankan kesadaran kebenaran tentang
Aku, maka selanjutnya pikiran dapat merasakan ketuhanan. Dari semua jalan
kepada-Ku, Bhakti adalah yang paling mudah. Para bijak mengatakan keterikatan
adalah salah satu sifat yang tak dapat dipisahkan dari manusia. Keterikatan
selalu ada, maka ubahlah obyek keterikatan dari obyek luar diri kepada obyek di
dalam diri, dari obyek duniawi menjadi keterikatan pada-Ku.
Langganan:
Postingan (Atom)