Banten vs Dosa
Warga Hindu (Bali) tiap kali
menggelar upacara keagamaan bersaranakan banten. Termasuk saat melakukan
upacara menyucikan diri secara niskala, banten juga menjadi sarana utama. Ida
Pandita Dukuh, sesungguhnya seberapa besar banten bisa menyucikan dosa? Apakah
banten bisa menggantikan dosa? Kalau banten memang bisa menebus dosa, atau
setidaknya mengurangi berat-ringan dosa, tidakkah orang-orang kaya akan
berlomba-lomba menebus dosa dengan banten, lalu tinggallah si miskin yang
sakit-sakitan saja terus berkubang sepanjang hayat pada dosa? Kalau cuma
miskin, orang pun bisa saja meminjam dulu uang, yang penting dosa akhirnya bisa
dihapuskan.
Bagaimana ini mesti dipahami,
diterangkan, biar pihak non-Bali Hindu juga bisa memahami praktek keagamaan
kita di Bali yang sampai kini sedikit-sedikit menggunakan banten sebagai sarana
rasa bakti, meskipun tidak lagi dengan membuat langsung, melainkan cukup dengan
membeli, layaknya membeli komoditas lain di pasar swalayan? Terus terang saya
belum menemukan jawaban tepat, karena itulah saya bertanya kepada Ida Pandita
Dukuh. Mohon dapat diterangkan sejelas-jelasnya. Matur suksma.
Made Yudyastana
Tampaksiring, Gianyar
Jawab:
Yadnya adalah persembahan dan
korban suci yang dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Karena bersentuhan
dengan ketulusikhlasan, maka yadnya yang kita persembahkan semestinya tanpa
menimbulkan beban bagi yang melaksanakan. Ikhlas memiliki makna melakukan yadnya
yang disesuaikan dengan batas kemampuan. Tanpa pamrih artinya dalam melakukan yadnya
kita tidak mengharapkan suatu pembalasan atau penghormatan apa pun, melainkan
semata-mata karena rasa bakti kita kepada leluhur, para dewa, dan pada akhirnya
kepada Tuhan—yang kerap dirumuskan dengan kalimat “rame ing gawe sepi ing pamrih”.
Pada hakikatnya yadnya itu timbul
dari rna atau utang. Adapun manusia
memiliki tiga utang atau kewajiban utama yang disebut tri rna, yakni pitra-rna,
dewa-rna, rsi-rna. Dari sinilah kemudian muncul panca yadnya: utang kelahiran
(pitra-rna) akan melahirkan manusa yadnya dan pitra yadnya; utang hidup dan
kehidupan (dewa-rna) memunculkan dewa yadnya dan bhuta yadnya; serta utang
pengetahuan tentang hidup (rsi-rna) melahirkan rsi yadnya. Dalam Bhagawata
Purana, yadnya itu dibagi menjadi lima hal pokok yang disebut panca maha yadnya,
terdiri dari:
1. Drawya yadnya, yaitu beryadnya
dengan harta benda, seperti banten dan sejenisnya;
2. Tapa yadnya, yakni beryadnya
dengan pengendilan diri;
3. Jnana yadnya, yaitu beryadnya
dengan mempelajari hidup dan kehidupan (pengetahuan rohani);
4. Yoga yadnya, yakni beryadnya
lewat melatih diri dengan pengaturan napas kehidupan;
5. Swadyaya yadnya, yakni dengan
mempersembahkan tenaga sebagai persembahan.
Jadi, berpijak pada panca maha yadnya
ini, sesungguhnya, upacara dengan banten hanya seperlima bagian dari
pelaksanaan yadnya. Begitu juga jika bersuluh pada tri kerangka agama Hindu—yang
mencakup tatwa (filosofi), susila (etika), dan upacara, maka beryadnya tidak
cukup hanya dengan sesaji atau banten.
Sayangnya, selama ini masih
terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan beragama Hindu. Kebanyakan kita hanya
mengutamakan upacara sebagai bentuk bakti kepada Tuhan dan terkadang
mengabaikan etika serta tatwa yadnya itu sendiri. Akibatnya, memunculkan suatu
bentuk upacara yang penuh sarat dengan sarana, sebaliknya sangat minim
pengetahuan kita tentang tatwa upacara tersebut.
Jadi, yadnya, khususnya upakara
(dari kata upa = dekat; kara = tangan) bukan bertujuan sebagai
sarana penghapusan dosa, melainkan menjadi satu di antara bentuk bakti kepada
alam, leluhur, para dewa serta Tuhan. Dengan demikian tidak perlu ada
kekhawatiran bagi kita yang kurang mampu untuk melaksanakan upacara dengan
banten besar atau megah. Masih ada banyak jalan yang bisa ditempuh sebagai
bentuk pelayanan bakti kepada Tuhan, sehingga pencapaian jagadhita dan
moksartham akan terwujud seperti disuratkan dalam Upanisad Manawa Sewa,
“Layanilah manusia sebagaimana engkau melayani Tuhanmu.”
Sumber: Hindu Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar