Kala itu
Maharaja Parikesit sedang berburu di hutan, hari sangat panas dan dia merasa
sangat kehausan. Sang Raja masuk pertapaan seorang pertapa dan minta air
penghapus dahaga. Sang pertapa sedang khusyuk bermeditasi, matanya tertutup dan
tidak ada perhatian dengan kedatangan sang maharaja. Parikesit berkata, “Apakah
Resi benar-benar bermeditasi sehingga pikiran dan indera terabaikan, ataukah
hanya mencoba menghindari saya karena keangkuhan dari seorang resi? Apabila
seorang maharaja yang belum mencapai kesadaran sempurna datang, apakah seorang resi
tidak perlu membuka mata?” Dalam keadaan tak nyaman karena sangat kehausan,
pikiran jernih sang raja sedikit terkesampingkan. Keangkuhan seorang maharaja
bangkit, dirinya mengambil bangkai ular dan meletakkannya di leher sang resi.
Dan sang maharaja pun pergi meninggalkan pondok tersebut.
Di dalam salah
satu kamar, Sringi, putra sang resi mendengar gerutuan seorang ksatria yang
tidak sopan dan kemudian melihat ada ular yang dilingkarkan di leher ayahnya
yang sedang bermeditasi. Putra sang resi menjadi marah, “Bagaimana etikanya
seorang kesatria dapat melakukan hal demikian terhadap seorang brahmana? Tugas
kesatria adalah melindungi orang-orang suci. Hal ini dapat terjadi karena Sri
Krishna sudah tidak ada tak ada di atas permukaan bumi lagi. Wahai kesatria
kukutuk dirimu agar digigit ular beracun dalam waktu seminggu!”
Saumika, sang
resi terganggu oleh kemarahan sang putra dan membuka mata, “Wahai putraku, kau
telah berdosa terhadap seorang maharaja. Akibat kesalahan kecil, kau mengutuk
terlalu berat. Apabila sang maharaja mati, para penjahat akan berkembang biak,
peran agama menurun dan terjadi kebingungan di masyarakat. Dan, semua kejahatan
yang akan terjadi ini berasal dari ketergesa-gesaanmu dan akan membunuh kita
semua. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengampuni
pemahamanmu yang belum matang ini.”
Sang resi
berkata dengan penuh kewibawaan, “Akibat kemarahan, kau telah melupakan
swadharma seorang brahmana. Kewajiban brahmana adalah untuk memaafkan. Kau
tidak dapat menarik kutukanmu. Setelah berpulang, sang maharaja akan dikenang
sepanjang zaman, sedangkan kau, apakah ada yang masih mengingatmu setelah kau
mati nanti?” Sang putra menangis penuh penyesalan, “Baik ayahanda, kami mohon
ampun atas kesalahan kami, kami akan segera pergi ke istana dan mohon sang
baginda mengetahui kutukan kami dan agar beliau dapat mempersiapkan diri.”
Sesampai di
istana Raja Parikesit merasa menyesal, mengapa melakukan tindakan yang tidak
perlu. Dirinya telah menganggap sang resi yang sedang bermeditasi angkuh,
padahal dirinyalah yang angkuh. Orang menjadi tidak adil karena keangkuhannya.
Rasa angkuh membuat orang menjadi keras kepala, merasa benar sendiri. Raja
Parikesit sadar, bila keadaan ini dibiarkan makin lama ia menjadi makin keras
dan akan bertindak tidak adil untuk mempertahankan pendapatnya.
Tidak beberapa
lama, Sringi, putra resi yang yang dilecehkan sang maharaja datang dan menangis
di hadapan sang maharaja dan mengatakan kesalahannya karena telah terlanjur
mengutuk sang maharaja. Entah kekuatan apa yang membuat maharaja Parikesit
memeluk Sringi, “Wahai putra resi, adalah keberuntunganku aku kau kutuk,
sehingga aku tidak harus menanggung kesalahanku di kehidupanku mendatang karena
telah berbuat tidak sopan dengan orang suci. Kau adalah utusan Tuhan, untuk
menyampaikan berita yang tidak mungkin disampaikan oleh manusia biasa.
Kelahiranku, kehidupanku, semua sudah ditentukan sebelumnya, tetapi bagaimana
kuhadapi ketentuan itu sepenuhnya tergantung pada diriku.”
Seandainya
manusia tahu bahwa satu minggu lagi dia akan mati, dan dia boleh melakukan apa
saja, maka tindakan apa yang perlu diambil? Sebuah pertanyaan yang menantang
pikiran. Tetapi pikiran tetap tak dapat memutuskan yang terbaik, karena pikiran
selalu diliputi keraguan. Sebuah jawaban akan disangkal yang lain. Manusia
perlu belajar bagaimana maharaja Parikesit memutuskan mengambil tindakan apa
saja sebelum kematiannya.
Sang maharaja
segera menobatkan putranya sebagai raja pengganti. Dan, selanjutnya, dirinya
pergi ke tepi Sungai Gangga. Para brahmana menghormati sang raja, karena meniru
Pandawa, para kakeknya yang meninggalkan istana untuk mempersiapkan kematian.
Akan tetapi mereka tidak dapat memberikan solusi yang tepat apa yang harus
dilakukan Parikesit yang akan mengalami kematian dalam tujuh hari ke depan. Kejujuran
dan ketidakpahaman tentang apa yang harus dilakukan menjelang kematian serta
kepasrahan kepada Tuhan, Yang Maha Kuasa menggerakkan Resi Shuka, Putra
Bhagawan Abiyasa mendatangi Parikesit. Resi Shuka dengan pancaran ketuhanannya
menemui Parikesit di tepi Sungai Gangga.
Bhagawan
Abyasa mempunyai tiga putra, tokoh-tokoh Dinasti Bharata, yaitu Drestarastra,
Pandu Dewanata dan Widura. Pandu Dewanata adalah kakek buyut Parikesit. Akan
tetapi Bhagawan Abyasa juga mempunyai seorang putra yang berasal dari
permohonannya kepada Hyang Maha Kuasa, yang diberi nama Shuka. Shuka yang masih
muda bisa dikatakan adalah kakek buyut Parikesit. Banyak yang percaya bahwa
Bhagawan Abyasa adalah seorang “chiranjiwin”, seorang yang dikaruniai umur
panjang. Dan, hal tersebut adalah wajar karena dia menyusun Weda, kisah
Mahabharata dan Srimad Baghawatam yang masih menjadi panduan bagi umat manusia.
Selama buah pikirannya masih dipakai maka pikiran Sang Bhagawan masih
menyertainya. Setelah kematian ketiga putranya, Drestarastra, Pandu Dewanata
dan Widura yang merupakan para kakek buyut Parikesit, Bhagawan Abyasa mohon kepada
Hyang Maha Kuasa untuk memberinya putra dengan kualitas yang sempurna. Pada
suatu saat, kala Bhagawan Abyasa sedang menggesekkan kedua kayu arani untuk
membuat api suci dalam ritual persembahan “agni homa”, dia sekelebat melihat
hapsari cantik Ghritaci. Sang Bhagawan tahu bahwa terpikat pada seorang Hapsari
dapat membuat banyak permasalahan seperti yang pernah dialami nenek moyang
dinasti Bharata. Maka Sang Bhagawan terus melanjutkan ritualnya. Sang Hapsari
juga takut dikutuk sang resi dan mengubah wujudnya sebagai burung Shuka,
sejenis burung beo. Dari api suci itulah lahir Shuka. Kita masih ingat bahwa
Bhagawan Abyasa menguasai Weda, sehingga dia pun pernah mengubah segumpal
daging menjadi seratus Korawa, sebuah pengetahuan tentang kloning yang dikuasai
dengan sempurna. Sang Bhagawan juga membuat Sanjaya, putra Widura dapat melihat
perang Bharatayudha dan melaporkan pandangan mata langsung secara detail kepada
Drestarastra. Kita juga masih ingat bahwa Dewi Kunti mempunyai mantra pemberian
Resi Durwasa untuk melahirkan Yudistira, Bhima, Arjuna dan Karna dari elemen
alami. Ilmu pengetahuan sudah sangat maju pada zaman itu.
Putra adalah
keturunan. Buah pikiran kita juga merupakan anak hasil pikiran dan kesadaran
kita. Shuka adalah putra dari hasil pikiran dan kesadaran Sang Bhagawan. Shuka
putra dan murid dari Bhagawan Abyasa ini mempunyai ingatan yang sempurna yang
mampu memahami Srimad Bhagawatham secara utuh. Julukan Shuka, sebenarnya dapat
merujuk kepada memori sempurna. Shuka adalah jiwa yang diwujudkan dengan
kelahiran.
Shuka bahkan
lebih sempurna dari Bhagawan Abhiyasa, karena Shuka adalah putra ideal dari
pikiran Sang Bhagawan. Konon ketika
Shuka melewati beberapa gadis yang sedang mandi telanjang, para gadis tidak
mempedulikan Shuka, sang perjaka tampan. Akan tetapi ketika Bhagawan Abyasa
menyusul Shuka di belakangnya, para gadis cepat-cepat menutupi diri mereka
dengan pakaian, meskipun ia sudah tua dan seorang resi. Abyasa bertanya,
mengapa dia tidak mempedulikan Shuka yang muda tetapi malu dengan dia yang
sudah tua, mereka menjelaskan bahwa Shuka adalah “Samadrik”, orang yang melihat
tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, tetapi Abyasa belum mencapai tahap
itu.
Tuhan Hyang
Maha Kuasa campur tangan dalam urusan Parikesit yang pasrah terhadap-Nya
tentang bagaimana cara yang tepat yang harus dilakukan menjelang kematiannya
dalam tujuh hari ke depan. Resi Shuka berkata pada Parikesit tentang cara
terbaik menghadapi kematiannya. Parikesit sangat berbahagia dengan dukungan
moril Resi Shuka. Seorang resi tidak asal berbicara, semua yang diucapkan
adalah sabda ilahi. Resi Shuka berkata, “Hormatku pada ayahandaku yang telah
menyusun Bhagawata Purana, tujuh hari ke depan akan menjadi tujuh hari teragung
dalam hidupmu. Khatwanga saja bisa mencapai kaki Narayana dalam waktu 1 muhurta
(48 menit). Umat manusia ke depan akan menerima manfaat dari kisah yang
kuceritakan kepadamu. Potong tali ikatan keluarga dan duniawi, mandi dan duduk
meditasi, persiapkan dirimu menghadapi kematian!” Manusia suka menunda, itulah
sifat utama pikiran, manas, pikiran manusia, bila merasa saat ini kematian
belum menjemput, lebih baik nanti saja melakukan persiapan untuk kematian.
Demikian dilakukan sampai ajal menjemput dan manusia masih belum siap juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar