Setelah banjir
besar dan bumi tenggelam dalam mahapralaya, semuanya berada dalam ketenangan
yang sempurna. Ketiga guna: rajas-agresif, tamas-malas, dan satwik-tenang
berada dalam keseimbangan, seperti api
yang ditarik ke dalam kayu. Tak ada gerakan. Setelah beberapa lama, ada
waktunya keseimbangan terganggu. Munculah tangkai bunga teratai dari pusar Narayana.
Brahma lahir dan merasa berada dalam bunga teratai yang tak terukur besarnya.
Brahma mencari pangkal bunga dan tak bisa tercapai sehingga kembali pada
tempatnya semula. Seakan ada suara yang menyuruh dia bertapa dan dia mendapat visi
tentang Narayana yang sedang terbaring pada Adhisesha yang putih seperti
tangkai teratai. Seakan Narayana berkata, “Aku memberi tugas menciptakan dunia
dan makhluknya.” Dan Brahma menjawab, “Semoga demikian.”
Pencarian
Brahma yang gagal untuk mencapai pangkal bunga teratai yang tidak tidak terukur
besarnya, adalah seperti pencapaian manusia dalam mencari Tuhannya. Akhirnya
Brahma mendengarkan suara nuraninya dan mendapat petunjuk untuk bertapa. Keluar
dari Brahma wujud empat resi: Sanaka, Sananda, Sanatama dan Sanathkumara dan
mereka menolak permintaan Brahma untuk mencipta lebih lanjut. Brahma sangat
marah tetapi dapat mengendalikannya dan dari keningnya keluar bayi merah yang
menangis yang dinamakan Rudra. Brahma berkata, “Tempat kamu adalah hati,
indera, hidup , langit, dan semua unsur alam. Kamu dapat mencipta di
tempat-tempat tersebut!” Brahma kemudian mencipta sepuluh putra, Atri,
Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Bhrigu, Daksa, Marici, Wasishta, Narada.
Dharma dan Adharma pun adalah putra Brahma. Dari hati Brahma juga lahir
keinginan. Bayang-bayang Brahma mengambil bentuk sebagai putra yang bernama
Kardama. Dari pikiran dan badan Brahma diciptakalah seluruh dunia. Dari empat
mukanya lahir empat Weda. Brahma kemudian membagi tubuhnya menjadi satu pria
dan satu wanita yang disebut Swayambhu Manu dan Satarupa. Dari mereka lahir
lima anak, tiga putri: Akuti, Prasuti Dan Dewahuti serta dua pria: Priyawrata
dan Uttanapada. Akuti menikah dengan Ruchi, Dewahuti dengan Kardama dan Prasuti
dengan Daksa. Dan anak-anak mereka mendiami dunia ini. Kisah-kisah dalam Srimad
Bhagawatam adalah kisah-kisah dari semua anak keturunan Brahma.
Manusia yang
hidup di dunia ini adalah anak keturunan Manu. Dan, ada kehendak dalam diri
manusia untuk mengetahui hakikat kehidupan. Perjalanan anak manusia meniti
kembali ke dalam diri adalah perjalanan menuju “sangkan paraning dumadi”, awal
mula penciptaan. Sifat Rudra yang ada dalam diri harus kembali terkendalikan.
Berbagai “Keinginan” yang merupakan anak-anak Brahma harus tertaklukkan. Sifat
pria atau wanita yang ada dalam diri manusia harus terlampaui. Sebagai
bayang-bayang, manusia harus menyatu dengan diri sejati. Dalam diri manusia ada
sifat rajas, tamas dan satwik, akan tetapi dalam diri manusia juga ada potensi
ketuhanan yang mengatasi tiga sifat tersebut, karena pada hakikatnya semuanya berasal
dari Tuhan. Segala sesuatu adalah proyeksi Tuhan.
Swayambhu Manu
datang kepada Brahma, “Aku patuh pada perintah Ayahanda untuk mencipta di bumi,
akan tetapi bumi sedang tenggelam!” Brahma berpikir bagaimana mengeluarkan bumi
dan dia teringat pada Narayana yang akan selalu membantunya, karena Dia lah
yang menyuruhnya untuk mencipta. Tiba-tiba dari lubang hidung Brahma keluar
celeng kecil sebesar kelingking yang kemudian berkembang menjadi Celeng yang
tak terukur besarnya. Inilah Narayana yang mewujud sebagai Waraha Awatara yang
akan mengangkat bumi dari bawah samudera.
Di masa awal
penciptaan tersebut terjadilah suatu peristiwa yang perlu direnungkan secara
seksama. Tiga belas putri Daksha diberikan kepada Resi Kasyapa putra Marici.
Diti salah seorang putri Daksha tersebut memiliki sifat sebagaimana manusia di
bumi ini. Pada saat itu matahari mulai terbenam, yang merupakan saat suci bagi
Resi Kasyapa untuk memuja Mahadewa, proyeksi Tuhan yang diberi kuasa untuk
mendaur ulang alam. Diti datang kepada suaminya dengan gelora birahi tak
tertahankan dan mengajak suaminya berkasih mesra. Resi Kasyapa berkata pelan,
“Tentu istriku, seorang istri mendapat tempat terhormat dalam hati suaminya.
Bahagia sekali aku dapat menemanimu. Akan tetapi ini adalah waktu suci pemujaan,
sabarlah sebentar istriku”. wajah Diti memerah karena malu, dan keangkuhan
serta kemarahannya muncul. “Seberapa kuat sih pertahanan suamiku?” Dan Diti
mengambil inisiatif sehingga sang suami takluk.
Penyesalan
selalu datang kemudian dan Diti menyesal, mengapa sifat keserakahan, keangkuhan
dan kemarahan memenuhi dirinya, sehingga nurani ketuhanannya terkesampingkan.
Pikiran, ucapan dan tindakan adalah benih yang akan berkembang menjadi lembaga,
pohon, bunga dan buah pada saatnya
nanti. Sesuatu yang telah terjadi tidak dapat ditarik kembali. Manusia dibekali
pikiran jernih, sehingga tidak bertindak reaktif menuruti hawa nafsunya. Itulah
yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk yang lebih rendah tingkat
kesadarannya. Banyaknya peristiwa mesum di tempat parkir sepi, di semak-semak
belukar, menandakan tingkat kesadaran para pelakunya masih rendah. Bila hal
demikian dilakukan dengan sengaja, bila peringatan nurani dikesampingkan, maka
nurani ketuhanan pun tertutup oleh gejolak nafsu yang membara. Dalam diri
manusia masih terdapat “animal instink”. Hewan hanya beda kelas sedikit dengan
manusia. Hewan makan daging mentah, manusia diberi bumbu dan diolah. Hewan
tidur di liang dan manusia di rumah. Hewan melakukan seks pada saat musimnya
dengan siapa saja tanpa pandang waktu dan tempat, manusia melakukan berdasarkan
etika masyarakat. Mereka yang melanggar etika dan menuruti nafsunya belum
mencapai derajat kemanusiaan, dia masih bersifat Asura.
Diti menghela
napas dan menyadari bahwa dirinya telah diperbudak nafsu. Dirinya lupa bandul
lonceng itu semakin dekat pusat, pengaruhnya ke bawah semakin besar. Sedikit
gerakan pemimpin di pusat akan memberikan goyangan besar di masyarakat. Dirinya
berada dekat dengan pusat dunia. tindakannya akan berpengaruh besar terhadap
dunia. Tanpa sadar, kama-nafsu, mada-keangkuhan dan krodha-kemarahan telah
membakar dirinya kala berhubungan dengan suaminya.
“Suamiku, aku
takut, aku sudah menghina Shiwa, Sang Mahadewa, yang dilambangkan sebagai
lingga dan yoni. Segala sesuatu dimulai dengan bertemunya energi Feminin dan
energi Maskulin, Yin dan Yang, sperma dan ovum. Saat pertemuan yang seharusnya
suci itu telah dipengaruhi aura kemarahan, keangkuhan dan nafsu yang
menggelora. Apakah aku akan melahirkan seorang Asura?”, Diti mohon maaf dengan
penuh penyesalan dan mohon apabila sang putra lahir, agar dilenyapkan oleh
Narayana sendiri. Adalah merupakan berkah, bahwa seseorang dibunuh langsung
oleh Narayana.
Beberapa
purnama kemudian, dalam mimpi, Diti melihat dua asura tinggi besar dan perkasa
bersimpuh dihadapannya. “Ibu, sudah lama kami menunggu. Sifat bawaan dari ayah
dan ibu serta aura saat benih menyatu sesuai dengan jiwa kami untuk menyelesaikan perhitungan kami di
dunia.” Diti kemudian merasa ada dua ruh raksasa kembar yang masuk ke dalam
janin yang dikandungnya.
Resi Sanaka
dan tiga saudaranya bermaksud menemui Wisnu dan ditolak oleh penjaga istana
Waikunta Jaya dan Wijaya, karena Wisnu sedang bercengkerama dengan Laksmi,
istrinya. Resi Sanaka tidak suka atas cara penolakan mereka. Ketika Resi Sanaka
bilang bahwa dia sudah mempunyai perjanjian dengan Wisnu, mereka tetap
melarangnya. Resi Sanaka mengutuk mereka, “Aku melihat adanya kemarahan,
keangkuhan dan nafsu merasa benar sendiri, ketika melarangku. Kalian merasa
begitu dekat dengan Wisnu, sudah seharusnya kalian menolakku secara baik-baik.
Disebabkan tindakan kalian. Maka kalian akan lahir di dunia dengan kama-gairah
nafsu, krodha-kemarahan, mada-keangkuhan untuk melawan Wisnu.”
Wisnu keluar
dari istana dan kedua penjaga berlutut pada kaki Wisnu. Wisnu berbicara pelan,
“Semuanya memang harus terjadi, Aku merestui tindakan Resi Sanaka mengutuk
kalian. Kalian akan dilahirkan di dunia tiga kali. Kalian akan membenci aku
dengan kebencian yang teramat besar. Itulah Jalan pintas penyatuan, jalan pintas yoga dimana kalian berpikir
lebih banyak tentang diriku daripada kalian menjadi bhaktaku. Prioritasmu
adalah mengalahkanku, semua pikiran lain kau kesampingkan. Bahkan selain saat
tidur lelap, dalam mimpi pun kalian hanya memikirkan diriku.” Dan kedua anak
kembar Diti lahir diberi nama Hiranyaksa dan Hiranyakasipu yang merupakan
titisan dari Jaya dan Wijaya.
Malam itu
Hiranyaksa mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan dengan Wisnu. Hiranyaksa merasa apabila dirinya berhasil
mengalahkan Wisnu dirinya akan menjadi penguasa mutlak tiga dunia. Memang dalam
dirinya hanya ada satu keinginan, keinginan menaklukkan Wisnu yang amat
dibencinya. “Ayahku adalah Resi Kasyapa yang bijak. Ibuku adalah Diti, seorang
perempuan energik yang bergelora semangatnya. Genetik mereka berada dalam
diriku. Aku adalah Asura yang cerdas dan bersemangat. Tiga dunia praktis sudah
kukuasai. Asura tunduk padaku dan pada Hiranyakasipu, saudaraku. Para Dewa
miris terhadap aku dan saudaraku. Hanya Wisnu, satu-satunya penghalangku.”
Hiranyaksa
berkeliling mencari Wisnu dan begitu angkuh saat bertemu Ular Raksasa Waruna,
dia bermaksud mengajak bertarung. Tetapi Waruna berkata pelan, “Aku sudah tua
dan sudah lama menghentikan perkelahian.
Berkelahilah dengan Wisnu, musuhmu yang sebanding. Temuilah Narada dan
tanyakanlah di mana Wisnu berada.” Saat bertemu, Narada berkata, “Kamu ingin
berkelahi dengan Wisnu? Dia sedang mengambil wujud Waraha, Celeng Raksasa. Dia
sedang di Rasatala, sedang mengangkat bumi.”
Tatkala Waraha
menaikkan bumi dari dasar samudera, Hiranyaksa mengejarnya. Hiranyaksa
menantang Waraha berduel dan menghinanya. Sang Waraha, menggeram, “Aku sedang
menjadi binatang buas maka aku mendengar ocehanmu. Kau mengatakan bahwa dirimu
pembela para Asura dan ingin membersihkan jalan Asura dari duri yang
melukainya. Aku kau anggap duri. Bukan, Aku bukan duri, Aku Maha Pembalas
Kejahatan. Sudah banyak sekali korban kejahatanmu. Sudah berulang kali kau
menggunakan kekerasan dalam memaksakan kehendak. Kau telah menakut-nakuti
masyarakat dengan menebar ancaman. Aku tidak suka kekerasan, tetapi aku sedang
mewujud menjadi binatang buas, mari bertarung! Saatnya kau
mempertanggung-jawabkan kekerasan yang telah kau lakukan berkali-kali.” Pertarungan
yang luar biasa, berdarah-darah. Dunia gemetar, bumi berguncang, laut
menggelegak, gunung-gunung tak sanggup menahan dan mengeluarkan muntahan api,
taufan badai mengamuk. Pada akhirnya Hiranyaksa terbunuh oleh tangan Wisnu yang
sedang mewujud sebagai Waraha.
Parikesit
menyimak semua kisah Resi Shuka dan merasa bersyukur bahwa di akhir masa
hidupnya di dunia dia telah diberi anugerah untuk mendengarkan kisah-kisah
dalam Bhagawata Purana. Narayana selalu mewujud kala adharma sedang merajalela.
Narayana mewujud untuk menegakkan dharma dan untuk membantu manusia yang sedang
berada dalam kesusahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar