Adiparwa adalah
buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya
bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah
mengenai latar belakang cerita, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda
Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur
ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah
keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan
Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya:
Cerita Begawan
Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang
dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana). Kisah
panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja
Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa.
Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban
ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka, yang telah
membunuh raja Parikesit.
Selain itu sang
Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang menyusun
Mahabharata; jumlah bab, sloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.
Cerita dikutuknya
maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang
dilangsungkan oleh sang maharaja.
Cerita Begawan
Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda.
Dilanjutkan dengan cerita Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid
sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu
membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara
pengorbanan ular.
Cerita asal mula
Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan
tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak
sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja
Janamejaya.
Cerita Astika;
mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan) dan
beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga
oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda,
hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular. Di dalam ceritera
ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk mendapatkan tirta amrta
atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.
Cerita asal-usul
Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.
Cerita
pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika
mengurungkan kurban ular ini.
Cerita asal-usul
dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang
melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada
sang Kuru, yang membuat medan Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan
Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata,
lahirnya Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai
kepada lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu)
–ayah para Pandawa, dan sang Widura.
Cerita kelahiran
dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah
Danghyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
Cerita masa muda
Pandawa. Terbakarnya rumah damar/kardus, kisah sang Bima (Bhîma) mengalahkan
raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatotkaca,
kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi
dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam
hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya
hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.
Ringkasan isi Kitab Adiparwa
Adiparwa
dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika
Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan
Nemisa. Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan
sebuah kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah
perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang
Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
1. Mangkatnya Raja Parikesit
Dikisahkan, ada
seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di
Hastinapura. Beliau merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa.
Pada suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya
sampai kehilangan jejak. Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta
bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi,
namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu). Hal tersebut membuat Raja
Parikesit marah. Beliau mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya di
leher sang pendeta.
Putera sang
pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang
Kresa, kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat
karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja
menerima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan
diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para patihnya. Di sekeliling menara juga
telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular. Pada hari ketujuh, yaitu
hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka
menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya
Sang Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam
jambu.
2. Raja Janamejaya mengadakan upacara korban
ular
Setelah Maharaja
Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya.
Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian,
kepandaian, dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri
dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil
dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya.
Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang
menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka,
sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga
Taksaka.
Sang Raja
meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka.
Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas
Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan
mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat
Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian
ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika
menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika
menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya.
Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan
upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga
Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
3. Waisampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja
Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa
untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang
bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka
Bagawan Waisampayana disuruh mewakilinya. Beliau adalah murid Bagawan Byasa,
penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja
Janamejaya, Bagawan Waisampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja,
yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di
Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Waisampayana mula-mula
menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata,
Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
4. Garis keturunan Maharaja Yayati
Leluhur Maharaja
Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama Maharaja
Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta.
Dewayani melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu,
Druhyu, dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang
Puru disebut Paurawa.
Dalam silsilah
generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang kemudian
menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya
kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha. Sang Bharata menurunkan Dinasti
Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah
tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti
Kuru.
Setelah beberapa
generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura. Prabu
Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga
melahirkan Bhisma, sedangkan Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Karena Chitrāngada wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi
tahta, maka Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya
memiliki dua permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari Ambika lahirlah
Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra memiliki seratus
putra yang disebut Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima
putera yang disebut Panca Pandawa (lima putra Pandu).
5. Kisah Prabu Sentanu dan keturunannya
Tersebutlah
seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru
atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri
bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putra. Di antara
ketiga putra tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi
Dewi Gangga, kemudian berputra 8 orang. Tujuh putranya yang lain ditenggelamkan
ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan putranya yang terakhir berhasil
selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Putranya tersebut
bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah
sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati
melahirkan 2 putra, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada
mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu
pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh
adiknya, Wicitrawirya. Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan
Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh
keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh
Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika
melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang
turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putra, bernama Widura yang
sedikit pincang. Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putra
yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan
Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan
Pandu tersebut disebut Pandawa.
6. Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan
Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka
semasa kanak-kanak, bersama dengan putranya yang bernama Aswatama. Selain itu
mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat,
kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra
melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja,
namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana,
salah satu Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa
juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
7. Terbakarnya rumah damar/kardus
Suatu hari
Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta
Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan
sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam
suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat
muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra
yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai
putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu
terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan
Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima
beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke
tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah
disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di
tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya
yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman
dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang
petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh
karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk
pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke
hutan rimba.
8. Pandawa mendapatkan Drupadi
Pada suatu hari,
Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan
Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Drupadi. Banyak ksatria di
penjuru Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang
Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang
berhasil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil
mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang
berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia
berhasil memanah sasaran dengan baik. Namun Drupadi menolak untuk menikahi
Karna karena Karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna
kecewa tetapi juga kesal terhadap Drupadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh
Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke
muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya.
Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas
untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan
Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan
Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa
berseru, "Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu
para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan
berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia
menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil
meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta,
membuat anak-anaknya untuk berbagai istri
9. Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa
sepakat untuk membagi Drupadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan
mengganggu Drupadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu
dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama
12 tahun.
Pada suatu hari,
ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta
masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa.
Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil
senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira
dan Drupadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk
kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Drupadi yang sedang
bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani
pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna
menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau
daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri
lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari
hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya
bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah
Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan
Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak
mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat
1. Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan
seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3
murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan
diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan
berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika
biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian
merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak
tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali
usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai
pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut,
Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu,
Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk
meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat
susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka
Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal
tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke
dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang,
gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam
sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena
kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu
menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu,
Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat
gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk
sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang
Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
2. Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan
terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putra Bagawan Marici, cucu
Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan Daksa empat belas puteri. Keempat belas
puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi,
Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas
puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua
kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak
sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa
memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua
butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan
baik.
Singkat cerita,
seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang
terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara
telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas.
Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang
anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari
pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum
waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang
Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan
ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena
tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya.
3. Kisah Pamutaran Mandaragiri
Dikisahkan, pada
zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan raksasa mengadakan rapat untuk mencari
tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta
tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk
lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan raksasa kemudian menuju laut Ksira.
Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau
Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan.
Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang
Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan
raksasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar
gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama
setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda
Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian,
munculah Dhanawantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar
tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian.
Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut
tirta tersebut. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita
cantik, kemudian mendekati para raksasa dan detya. Para raksasa-daitya yang
melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut.
Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah
kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang
melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para
Dewa dan raksasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya.
Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para raksasa-detya.
Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang
menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil
membawa tirta amerta ke surga.
4. Kisah Sang Garuda dan para Naga
Dikisahkan, pada
suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar
tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung
Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut
putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna
putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua
bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana
untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru
menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya
mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut
putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu
ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya
warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena
merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya
supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan
Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah
ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga
warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan
taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu,
telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang
kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada
akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga.
Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah
berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa
yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau
Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan
dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita,
Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta
amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang
dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut,
mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak
selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya.
Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak.
Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata,
“Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi
lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga
akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa
tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para
naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para
naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang
Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum
amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika
para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang
diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi
karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati
beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun
menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang
pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang
ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
sumber: wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar