Pengertian Puisi Jawa Kuna
Istilah Puisi Jawa Kuna merupakan istilah modern untuk menyebut dan memberi
nama kepada salah satu genre sastra
Nusantara. Istilah puisi berasal dari sastra Barat, yakni ragam sastra yang
menggunakan bahasa diikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan
bait (Panuti Sudjiman, 1984:61).
Istilah Jawa Kuna
digunakan untuk menyebut dan memberi nama kepada suatu bahasa (termasuk
sastranya) yang pernah tumbuh dan berkembang di Jawa sekitar abad ke-9 sampai
abad ke-15 (Zoetmulder, 1985). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Puisi
Jawa Kuna adalah ragam sastra berbahasa Jawa Kuna yang diikat oleh irama,
matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Dalam bahasa Jawa Kuna sendiri,
ragam sastra yang disebut puisi Jawa Kuna tersebut dinamakan kakawin.
Istilah kakawin
berasal dari kata Sanskerta, yakni kata kawi.
Pada mulanya, dalam bahasa Sanskerta, kata kawi
berarti “seseorang yang mempunyai pengertian luar biasa, seseorang yang dapat
melihat hari depan, orang bijak”. Akan tetapi, dalam sastra Sanskerta klasik,
istilah kawi mempunyai arti khas,
yakni “penyair”. Kata kawi yang berarti “penyair” ini
kemudian diserap ke dalam bahasa Jawa Kuna. Kata kawi itu mengalami afiksasi, yaitu mendapat tambahan prefiks ka-
dan sufiks -ěn. Selanjutnya, vokal ě
pada sufiks -ěn luluh karena mengalami persandian dengan vokal i pada kata kawi sehingga terbentuk kata kakawin, yang berarti “karya seorang
penyair, syairnya” (Zoetmulder, 1985: 119). Luluhnya vokal ě ketika mengalami persandian dengan vokal lain dalam bahasa Jawa
Kuna dapat dilihat pula dalam afiksasi kata-kata giri-girin ‘takut’, prihatin
‘prihatin’; rěngön ‘didengar,
terdengar’; wawan ‘dibawa’; wělin
‘dibeli’; tujun ‘dituju’ (bdk. Zoetmulder, 1992: 3).
Puisi Jawa Kuna atau kakawin
dipengaruhi oleh tradisi kāvya di
India. Akan tetapi, kakawin dalam banyak segi berbeda dengan kāvya. Kakawin mengembangkan satu bentuk
dengan ciri-cirinya sendiri. Menurut Zoetmulder (1985: 130), hal itu dapat
dibuktikan berdasarkan data bahwa lebih daripada separuh metrum yang dimuat
dalam kakawin-kakawin sama sekali tidak terdapat dalam buku-buku pedoman metrum
di India. Kecuali itu, praktik penggunaan metrum panjang dalam kakawin lebih
dominan daripada penggunaan metrum pendek, sebagaimana tampak dalam praktik
puisi di India.
Ada kemungkinan prosodi
tertentu diikuti dalam perkembangan praktik kakawin, baik di Jawa maupun di
Bali. Zoetmulder (1985: 133) menyebutkan bahwa Kakawin Wåttāyana, Bhomāntaka,
dan Narakawijaya, di samping Kakawin Rāmāyana, diperkirakan menjadi
pedoman dalam penggubahan kakawin Jawa Kuna. Sementara itu, Kakawin Wåttasañcaya dikatakan bukan sebuah
kodifikasi kaidah-kaidah yang dipakai dalam praktik kakawin Jawa Kuna karena
tradisi persajakan dalam kakawin yang telah berkembang sejak pemerintahan
Airlangga (awal abad XI) sampai akhir Majapahit (akhir abad XV) tidak tercermin
di dalamnya. Di Bali, di samping kakawin-kakawin tersebut, masih ada lagi
naskah lain yang boleh jadi merupakan pedoman dalam penggubahan kakawin. Naskah
dimaksud adalah Canda prosa dan Kakawin Guru-laghu.
Naskah Canda prosa disimpan di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Uni-versitas
Udayana. Naskah Canda ini memuat
istilah-istilah dan aturan-aturan yang berlaku dalam penggubahan kakawin,
seperti istilah guru, laghu, gaóa, nama kelompok metrum, dan
nama-nama metrum kakawin. Naskah Canda
pernah diangkat sebagai objek penelitian untuk skripsi oleh Medera (1978) dan
juga dibahas oleh Rubinstein (1988). Sementara itu, naskah lontar Kakawin Guru-laghu tersimpan di
Perpustakaan Gedong Kirtya Singaraja. Kakawin
Guru-laghu memuat hal yang hampir sama dengan Canda prosa. Boleh jadi, kakawin ini merupakan karya transformasi
dari Canda prosa. Dugaan ini dapat
dibuktikan berdasarkan larik-larik pada bagian awal kakawin tersebut. Pada
larik pertama dan larik kedua bait pertama pupuh I disebutkan bahwa: “sakwéh sang sujanâtiharûa i rikang canda nihan kawruhi, yan mahyun wruha rupa ning
laghu lawan têkang sinangguh guru”,
artinya “Semua orang bijak sangat gemar akan Canda. Itulah harus diketahui, jika ingin mengetahui bentuk laghu dan yang disebut guru itu”. Ada kemungkinan “canda” yang
dimaksud itu adalah Canda prosa. Berdasarkan data istilah wrěta yang diartikan sama dengan arti
istilah wrěta dalam Kakawin Wåttasañcaya, yakni “tempat dan penyusunan
suku kata panjang dan suku kata pendek” (Zoetmulder, 1985: 124), tampaknya Kakawin Guru-laghu juga mengacu kepada Kakawin Wåttasañcaya. Akan tetapi, Kakawin Guru-laghu tidak menggunakan
kisah dalam menyampaikan istilah-istilah yang berlaku dalam kakawin,
sebagaimana halnya Kakawin Wåttasañcaya. Ditinjau
dari cara menyampaikan nama-nama metrum yang tidak disusun secara sistematis
berdasarkan urutan jumlah suku kata, seperti dalam Kakawin Wåttasañcaya, Kakawin
Guru-laghu mirip dengan Kakawin Wåttāyana. Namun
demikian, ada beberapa metrum dengan
jumlah suku kata maupun komposisi guru-laghu
sama dengan metrum yang tercantum dalam Kakawin
Wåttasañcaya, tetapi namanya berbeda dalam Kakawin Guru-laghu, seperti metrum Badrahuti sama dengan metrum Nārī,
metrum Bhikûu sama dengan
metrum Ratoddhata, dan metrum Madugulâmåta sama dengan metrum Wåtta dalam Kakawin Wåttasañcaya. Oleh karena
itu, di satu pihak, Kakawin Guru-laghu
menunjukkan kemiripan dengan Kakawin Wåttasañcaya maupun Kakawin Wåttāyana, tetapi di lain pihak, kakawin
tersebut menunjukkan perbedaan-perbedaan.
Ciri-ciri Puisi Jawa Kuna
(Kakawin)
Sebagai sebuah genre sastra, Puisi Jawa Kuna (kakawin) mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut.
- Kakawin terdiri atas beberapa bait yang berturut-turut memakai metrum yang sama dalam satu pupuh. Tidak ada ketentuan mengenai jumlah bait yang terkumpul dalam satu pupuh.
- Satu bait kakawin umumnya terdiri atas empat baris. Akan tetapi, ada pula bait kakawin terdiri atas tiga baris yang lazim dinamakan Rahitiga. Masing-masing baris memiliki nama dan fungsi masing-masing, yaitu baris pertama dinamakan pangawit berfungsi sebagai awal bait dan menjadi patokan dasar nada dalam penembangan bait tersebut. Baris kedua dinamakan pangentěr atau mingsalah berfungsi sebagai penghubung baris pertama dengan baris ketiga dan sebagai penyelaras nada bagi baris-baris berikutnya. Baris pangentěr atau mingsalah inilah tidak ada dalam bait-bait kakawin yang terdiri atas tiga baris (Rahitiga). Baris ketiga dinamakan pangumbang, berfungsi sebagai baris penyeimbang pertautan nada dengan tinggi rendah nada dalam keadaan seimbang serta berfungsi menandai bait akan berakhir. Baris keempat dinamakan pamada berfungsi mengakhiri bait.
- Masing-masing baris disusun menurut perhitungan jumlah suku kata. Adapun jumlah suku kata dalam masing-masing baris adakalanya sama tetapi juga bisa berbeda-beda.
- Masing-masing baris disusun menurut pola metris, yakni kuantitas setiap suku kata panjang atau suku kata pendek ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya. Pola metris masing-masing baris umumnya sama tetapi adakalnya juga berbeda-beda. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang ataupun pendek (anceps).
- Umumnya kakawin merupakan buah hasil puisi kraton, sebuah syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang coraknya agak dibuat-buat (artifisial).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar