Senin, 28 Mei 2012

Kakawin Sebagai Puisi Jawa Kuna


Pengertian Puisi Jawa Kuna

             Istilah Puisi Jawa Kuna merupakan istilah modern untuk menyebut dan memberi nama kepada salah satu genre sastra Nusantara. Istilah puisi berasal dari sastra Barat, yakni ragam sastra yang menggunakan bahasa diikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Panuti Sudjiman, 1984:61).
            Istilah Jawa Kuna digunakan untuk menyebut dan memberi nama kepada suatu bahasa (termasuk sastranya) yang pernah tumbuh dan berkembang di Jawa sekitar abad ke-9 sampai abad ke-15 (Zoetmulder, 1985). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Puisi Jawa Kuna adalah ragam sastra berbahasa Jawa Kuna yang diikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Dalam bahasa Jawa Kuna sendiri, ragam sastra yang disebut puisi Jawa Kuna tersebut dinamakan kakawin.

Istilah kakawin berasal dari kata Sanskerta, yakni kata kawi. Pada mulanya, dalam bahasa Sanskerta, kata kawi berarti “seseorang yang mempunyai pengertian luar biasa, seseorang yang dapat melihat hari depan, orang bijak”. Akan tetapi, dalam sastra Sanskerta klasik, istilah kawi mempunyai arti khas, yakni “penyair”. Kata kawi yang berarti “penyair” ini kemudian diserap ke dalam bahasa Jawa Kuna. Kata kawi itu mengalami afiksasi, yaitu mendapat tambahan prefiks ka- dan sufiks -ěn. Selanjutnya, vokal ě pada sufiks -ěn luluh karena mengalami persandian dengan vokal i pada kata kawi sehingga terbentuk kata kakawin, yang berarti “karya seorang penyair, syairnya” (Zoetmulder, 1985: 119). Luluhnya vokal ě ketika mengalami persandian dengan vokal lain dalam bahasa Jawa Kuna dapat dilihat pula dalam afiksasi kata-kata giri-girin ‘takut’, prihatin ‘prihatin’; rěngön ‘didengar, terdengar’; wawan ‘dibawa’; wělin ‘dibeli’; tujun ‘dituju’ (bdk. Zoetmulder, 1992: 3).
            Puisi Jawa Kuna atau kakawin dipengaruhi oleh tradisi kāvya di India. Akan tetapi, kakawin dalam banyak segi berbeda dengan kāvya. Kakawin mengembangkan satu bentuk dengan ciri-cirinya sendiri. Menurut Zoetmulder (1985: 130), hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data bahwa lebih daripada separuh metrum yang dimuat dalam kakawin-kakawin sama sekali tidak terdapat dalam buku-buku pedoman metrum di India. Kecuali itu, praktik penggunaan metrum panjang dalam kakawin lebih dominan daripada penggunaan metrum pendek, sebagaimana tampak dalam praktik puisi di India.
            Ada kemungkinan prosodi tertentu diikuti dalam perkembangan praktik kakawin, baik di Jawa maupun di Bali. Zoetmulder (1985: 133) menyebutkan bahwa Kakawin Wåttāyana, Bhomāntaka, dan Narakawijaya, di samping Kakawin Rāmāyana, diperkirakan menjadi pedoman dalam penggubahan kakawin Jawa Kuna. Sementara itu, Kakawin Wåttasañcaya dikatakan bukan sebuah kodifikasi kaidah-kaidah yang dipakai dalam praktik kakawin Jawa Kuna karena tradisi persajakan dalam kakawin yang telah berkembang sejak pemerintahan Airlangga (awal abad XI) sampai akhir Majapahit (akhir abad XV) tidak tercermin di dalamnya. Di Bali, di samping kakawin-kakawin tersebut, masih ada lagi naskah lain yang boleh jadi merupakan pedoman dalam penggubahan kakawin. Naskah dimaksud adalah Canda prosa dan Kakawin Guru-laghu.
            Naskah Canda prosa disimpan di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Uni-versitas Udayana. Naskah Canda ini memuat istilah-istilah dan aturan-aturan yang berlaku dalam penggubahan kakawin, seperti istilah guru, laghu, gaóa, nama kelompok metrum, dan nama-nama metrum kakawin. Naskah Canda pernah diangkat sebagai objek penelitian untuk skripsi oleh Medera (1978) dan juga dibahas oleh Rubinstein (1988). Sementara itu, naskah lontar Kakawin Guru-laghu tersimpan di Perpustakaan Gedong Kirtya Singaraja. Kakawin Guru-laghu memuat hal yang hampir sama dengan Canda prosa. Boleh jadi, kakawin ini merupakan karya transformasi dari Canda prosa. Dugaan ini dapat dibuktikan berdasarkan larik-larik pada bagian awal kakawin tersebut. Pada larik pertama dan larik kedua bait pertama pupuh I disebutkan bahwa: “sakwéh sang sujanâtiharûa i rikang canda nihan kawruhi, yan mahyun wruha rupa ning laghu lawan têkang sinangguh guru”, artinya “Semua orang bijak sangat gemar akan Canda. Itulah harus diketahui, jika ingin mengetahui bentuk laghu dan yang disebut guru itu”. Ada kemungkinan “canda” yang dimaksud itu adalah Canda prosa. Berdasarkan data istilah wrěta yang diartikan sama dengan arti istilah wrěta dalam Kakawin Wåttasañcaya, yakni “tempat dan penyusunan suku kata panjang dan suku kata pendek” (Zoetmulder, 1985: 124), tampaknya Kakawin Guru-laghu juga mengacu kepada Kakawin Wåttasañcaya. Akan tetapi, Kakawin Guru-laghu tidak menggunakan kisah dalam menyampaikan istilah-istilah yang berlaku dalam kakawin, sebagaimana halnya Kakawin Wåttasañcaya. Ditinjau dari cara menyampaikan nama-nama metrum yang tidak disusun secara sistematis berdasarkan urutan jumlah suku kata, seperti dalam Kakawin Wåttasañcaya, Kakawin Guru-laghu mirip dengan Kakawin Wåttāyana. Namun demikian, ada beberapa metrum dengan  jumlah suku kata maupun komposisi guru-laghu sama dengan metrum yang tercantum dalam Kakawin Wåttasañcaya, tetapi namanya berbeda dalam Kakawin Guru-laghu, seperti metrum Badrahuti sama dengan metrum Nārī, metrum Bhikûu sama dengan metrum Ratoddhata, dan metrum Madugulâmåta sama dengan metrum Wåtta dalam Kakawin Wåttasañcaya. Oleh karena itu, di satu pihak, Kakawin Guru-laghu menunjukkan kemiripan dengan Kakawin Wåttasañcaya maupun Kakawin Wåttāyana, tetapi di lain pihak, kakawin tersebut menunjukkan perbedaan-perbedaan.

Ciri-ciri Puisi Jawa Kuna (Kakawin)
            Sebagai sebuah genre sastra, Puisi Jawa Kuna (kakawin) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
  1.  Kakawin terdiri atas beberapa bait yang berturut-turut memakai metrum yang sama dalam satu pupuh.    Tidak ada ketentuan mengenai jumlah bait yang terkumpul dalam satu pupuh.
  2. Satu bait kakawin umumnya terdiri atas empat baris. Akan tetapi, ada pula bait kakawin terdiri atas tiga baris yang lazim dinamakan Rahitiga. Masing-masing baris memiliki nama dan fungsi masing-masing, yaitu baris pertama dinamakan pangawit berfungsi sebagai awal bait dan menjadi patokan dasar nada dalam penembangan bait tersebut. Baris kedua dinamakan pangentěr atau mingsalah berfungsi sebagai penghubung baris pertama dengan baris ketiga dan sebagai penyelaras nada bagi baris-baris berikutnya. Baris pangentěr atau mingsalah inilah tidak ada dalam bait-bait kakawin yang terdiri atas tiga baris (Rahitiga). Baris ketiga dinamakan pangumbang, berfungsi sebagai baris penyeimbang pertautan nada dengan tinggi rendah nada dalam keadaan seimbang serta berfungsi menandai bait akan berakhir. Baris keempat dinamakan pamada berfungsi mengakhiri bait.
  3. Masing-masing baris disusun menurut perhitungan jumlah suku kata. Adapun jumlah suku kata dalam masing-masing baris adakalanya sama tetapi juga bisa berbeda-beda. 
  4. Masing-masing baris disusun menurut pola metris, yakni kuantitas setiap suku kata panjang atau suku kata pendek ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya. Pola metris masing-masing baris umumnya sama tetapi adakalnya juga berbeda-beda. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang ataupun pendek (anceps).
  5. Umumnya kakawin merupakan buah hasil puisi kraton, sebuah syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang coraknya agak dibuat-buat (artifisial).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar