Sabtu, 09 Februari 2013

Kekuatan Sang Kala (Waktu)


Kekuatan Sang Kala (Waktu)

Manusia sering kali tidak sabaran akan suatu hal, apalagi jika hal tersebut tidak menyenangkan bagi dirinya. Bahkan jika dihiperbolakan kondisi ketika manusia itu dilanda kesusahan adalah rasanya dunia ini runtuh. Tetapi jika kita lihat dan cermati lagi itu semua adalah sebuah proses menuju pada kedewasaan diri, menuju pada sebuah pencarian diri dari sang jiwa ini. Ada sebuah nasihat orang tua yang musti kita ingat yaitu: “suka, duka, lara, pati ento sing dadi kelidin....”. Coba kita amati sepenggal kalimat tersebut, disana ada 3 hal yang kadang kita sebut dengan kesedihan, yaitu: duka, lara dan pati, hanya ada satu kebahagiaan, yaitu suka. Karena memang sejatinya seperti itulah hidup di dunia ini, lebih banyak kesedihan, tetapi dari kesedihan dan kesusahan itulah kita belajar tentang arti hidup.

Suka-duka, kesedihan dan kegembiraan semua silih berganti. Tidaklah tepat bila seseorang berlarut-larut dalam kesedihan ataupun berleha-leha ketika ia berbahagia, orang bijak tidak terikat oleh keduanya. Akan hal ini ada sebuah nasihat dari kisah di dalam Santi Parwa Mahabharata:

***Vaisampayana melanjutkan ceritanya: “setelah menerima petunjuk dari Krsna Dwaipayana Wyasa dan melihat Dhananjaya menunjukan gelagat agak marah, Yudisthira lalu menjawab sebagai berikut:

“Sebenarnya kekuasaan dan kesenangan di dunia tidak dapat memberikan kebahagian kepada diri hamba. Sebaliknya, mengenangkan apa yang ada di dunia ini hamba sangat sedih dan kesedihan itu semakin mendalam saja. Ratap tangis kaum wanita yang kehilangan putra-putra atau suami membuat hati hamba tak akan pernah merasakan kedamaian”.

Waisampayana melanjutkan: “Wyasa yang menguasai ilmu yoga, bijaksana dan memahami Weda lalu berkata kepada Yudisthira:

“Tidak ada seorangpun yang berhasil mendapatkan sesuatu hanya dengan mengandalkan kemampuan sendiri. Tidak ada seorangpun dapat memberikan sesuatu kepada orang lain. Orang mendapatkan itu semua dari Kala atau waktu. Prajapati, ketika melakukan penciptaan, diciptakannya juga bersamaan dengan itu peredaran Waktu. Setelah mempelajari kitab-kitab suci dan kemudian orang berusaha, maka ia tidak akan mendapatkan apapun juga apabila Kala tidak membenarkan untuk mendapatkannya. Kadang-kadang seorang bodoh yang pandir berhasil mendapatkan kekayaan ketika waktunya tiba untuk itu. Kala atau waktu merupakan suatu faktor yang sangat menentukan di dalam melaksanakan suatu perbuatan. Pada saat yang memang naas, maka ilmu pengetahuan, mantra dan tapa, demikian juga obat-obatan, tidak akan membawa hasil. Akan tetapi pada saatnya yang tepat, maka semuanya itu apabila diterapkan akan membuahkan keberhasilan. Bersamaan dengan Waktu, angin bertiup kencang; bersamaan dengan Waktu awan berkumpul dan jatuh menjadi hujan. Bersamaan dengan Waktu telaga dan danau dihiasi kembang teratai. Bersamaan dengan Waktu pohon-pohon di hutan berbunga. Bersamaan dengan Waktu malam menjadi gelap; bersamaan dengan Waktu bulan bersinar penuh. Apabila Waktu itu belum datang, maka arus sungai tidak mengganas lagi. Burung-burung dan ular, kijang dan gajah dan binatang-binatang yang lain tidak akan pernah merasa terangsang apabila saatnya itu belum tiba. Apabila saatnya belum tiba binatang-binatang itu tidak akan menjadi hamil. Adalah bersamaan dengan Waktu musim dingin itu datang, musim panas dan juga musim hujan. Apabila saatnya telah tiba, maka orang itu akan lahir atau mati. Apabila Waktu itu belum tiba, maka bayi yang lahir itu tidak akan menjadi remaja”.
“Adalah bersama Waktu bibit yang disemaikan berkecambah. Apabila waktunya belum tiba, matahari tidak akan muncul di ufuk timur, dan apabila waktunya tidak tiba, matahari itu pun tidak akan bersembunyi di balik bukit Asta. Apabila waktunya belum tiba bulan tidak akan mengalami terang dan gelap, demikianpun laut tidak akan mengalami pasang dan surut. Sehubungan dengan ini terdapat sebuah ceritera kuna, yaitu tentang kesedihan raja Senajita. Jalannya Waktu itu tidak bisa ditentang dan dipengaruhi semua kehidupan yang tidak kekal ini. semua yang ada di dunia ini diselubungi oleh Waktu dan semuanya tidak kekal. Sebagian orang membunuh yang lain, si pembunuh kemudian dibunuh oleh orang lain lagi. Itulah bahasa dunia. Tetapi di dalam kesejatiannya di balik pengaruh Waktu itu, tidak ada seorangpun yang dibunuh dan membunuh. Sebagian orang mengira bahwa seorang telah dibunuh atau membunuh orang lain, namun sebagian yang lain menyatakan bahwa manusia tidak terbunuh. Kesejatiannya ialah bahwa kelahiran dan kematian makhluk-makhluk itu telah ditetapkan untuk berlangsung sesuai dengan kodrat masing-masing. Karena kehilangan harta atau mengalami kematian orang meratap : “Aduh, betapa sedih” ! Dan orang selamanya lalu diliputi oleh kesedihan. Mengapa harus sedih? Melihat orang yang masih dipengaruhi oleh kesedihan? Perhatikan. Kesedihan itu akan semakin memakan kita apabila kita menyerah kepadanya. Sebenarnya badan kita inipun bukan kepunyaan kita! Tidak ada sesuatupun di dunia hal ini yang menjadi kepunyaan sendiri. Segalanya yang ada di bumi ini merupakan milik orang lain, sepertinya milik kita. Para bijaksana melihat kenyataan ini, karena itu ia tidak merasa tertipu. Kalau masih dipengaruhi kesedihan, maka terdapat beribu-ribu penyebab kegembiraan. Semua itu hanya mempengaruhi orang yang kesadarannya dangkal, sama sekali tidak mempengaruhi orang bijaksana. Sesuai dengan jalannya Waktu, semua itu lalu menjadi cengkeraman suka dan duka, terus bergerak berputar-putar mempengaruhi kehidupan semua makhluk. Di dunia ini hanya ada kedukaan, bukan kebahagiaan. Itulah sebabnya setiap saat kita merasakan kesedihan melanda. Sebenarnya kesedihan itu merupakan akibat dari keinginan, sedangkan kegembiraan itu berpangkal dari kesedihan, dan bahkan kadang-kadang kegembiraan itu melanjut dari kesedihan itu sendiri. Karena itu orang yang mendambakan kebahagiaan abadi, harus meninggalkan keduanya. Ketika kesedihan muncul bersama hilangnya kegembiraan, atau kegembiraan datang setelah kesedihan, maka ketika itu orang harus menjaga keseimbangan, jangan sampai terpengaruh, dan bebaskan diri seperti ular yang membebaskan diri dari lapisan kulitnya yang tua: senang atau susah, enak atau tidak enak harus diterima dengan hati yang tenteram. Dan karena itu, walaupun paduka telah memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu lagi yang menyenangkan bagi keluarga paduka, namun paduka harus memikirkan dan menyadari sedalam-dalamnya, mengapa? Orang bodoh dan orang penghumbar nafsu akan menikmati kesenangan disini. Tetapi sebagian terbesar orang tidak mampu mengejar kesenangan itu, karena itu orang hanya merasakan penderitaan. Itulah O Yudisthira yang diutarakan oleh raja Senajita yang bijaksana itu. Bahwa dia itulah orang yang sebenar-benarnya memahami tentang apa yang baik dan buruk di dunia ini, yang menyangkut kewajiban dan menyangkut kegembiraan dan kesedihan. Orang yang terbawa arus kesedihan hanya karena akhir terhadap kesedihan itu, dan kesedihan terjadi karena kegembiraan itu sendiri. Kegembiraan dan kesedihan, keuntungan dan kerugian, hidup dan mati, berganti-ganti menimpa semua kehidupan. Karena itu orang bijaksana yang berjiwa tenteram tidak akan pernah terlalu gembira dengan kesenangan dan terlalu sedih ditimpa kemalangan.

Dikatakan bahwa perang merupakan yajna bagi para raja; berlaku adil memberikan hukuman kepada yang salah merupakan yoga baginya, sedangkan membagi-bagikan harta benda merupakan tindakan kedermawanan yang menghasilkan punia (pahala baik sebagai kebalikan dari papa), dan perbuatan itupun dipandang sebagai Daksina baginya. Semuanya itu harus dipandang sebagai perbuatan yang menyucikan. Dengan mengindahkan kerajaan dengan berbudi luhur dan politik, meniadakan kecongkakan, menyelenggarakan Yajna, dan memandang segala-galanya penuh kasih sayang dan adil, maka raja yang berbudi luhur itu setelah meninggal dunia akan hidup bersama para Dewa. Dengan memenangkan peperangan, melindungi kerajaan, meminum cairan Soma, memajukan rakyat, teguh menegakkan hukum keadilan dan kemudian tewas di dalam pertempuran, raja itu akan mendapat kebahagian hidup di alam Surga. Setelah mempelajari semua Weda dan Kitab suci yang lain, setelah melindungi kerajaan, dan setelah menata tugas-tugas bagi catur warna, Raja itu menjadi suci dan akhirnya menjadi penghias alam Surga. Ia akan menjadi raja terbaik, walaupun sudah tiada, ia tetap akan dihormati oleh rakyat, para pemimpin dan sahabat-sahabat. ****

Seperti itulah hidup ini, bahwa semuanya jika tanpa kehendak sang Kala (waktu) sebagai sebuah pantulan cermin karma-karma yang pernah kita lakukan tidak akan ada sesuatu yang terjadi jika sang Kala memang tidak berkehendak. Usaha tanpa doa dan restu akan menjadi sebuah usaha biasa saja yang hasilnya tidak maksimal. Saat itulah peran restu dan sang Kala sangat berpengaruh. 

Sumber: Kompas 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar