Senin, 04 Februari 2013

Menebar Kebaikan


Jangan Berhenti Menebar Benih Kebaikan
Oleh: Prabu Darmayasa

Tersebutlah seorang suci yang tinggal di India Tengah, bernama Ekanath. Beliau sangat maju didalam yoga samadhi-nya dan hidupnya sangat sederhana. Para penduduk mengenalnya sebagai seorang pendeta yang tidak pernah marah. Tidak ada yang mampu memancing amarahnya dan karena itulah para penduduk ingin sekali melihat apa yang akan terjadi jika beliau marah? Mereka ingin biar dapat melihat Ekanath marah sekali saja. Berbagai usaha sudah pernah dicoba namun selalu gagal.

Hal itu menambah “gregetan” hati para penduduk setempat. Keinginan mereka untuk melihat Ekanath marah semakin menjadi-jadi. Hingga suatu ketika, mereka membujuk seseorang untuk memancing keluar kemarahan Ekanath. Orang itu dibayar mahal, hanya demi para penduduk dapat melihat kemarahan Ekanath sekali saja.

Pada suatu hari, sebagaimana biasanya dalam kesehariannya, Ekanath pergi ke sungai untuk mandi. Ekanath langsung melakukan pemujaan sederhana dan masuk ke dalam sungai. Sedangkan di bagian pinggir sungai yang lain, di bawah pohon, lelaki bayaran itu duduk dengan tenang sambil makan kacang kulit, menunggu Ekanath selesai mandi. Setelah selesai mandi Ekanath naik ke daratan, berjalan mengarah ke ashramanya untuk melakukan persembahyangannya.

Tiba-tiba, Ekanath dihadang oleh lelaki itu. Setelah dekat, lelaki itu meludahi wajah Ekanath, setelah itu ia pergi dan kembali duduk di bawah pohon tadi.

Sesuai aturan “kependetaan”, dalam keadaan kotor seperti itu beliau tidak boleh melakukan persembahyangan. Akhirnya Ekanath turun lagi ke sungai dan kembali mandi. Selesai mandi Ekanath naik ke daratan untuk pulang ke Ashramnya. Di tempat yang tadi, kembali lelaki itu menghadang Ekanath dan meludahinya. Ekanath tersenyum, kemudian kembali ke sungai dan mandi lagi. Sedangkan lelaki itu masih tetap duduk-duduk menunggu di bawah pohon sambil makan kacang.

Lelaki itu juga tersenyum. Tetapi, senyumnya berbeda dengan senyum Ekanath. Senyum Ekanath adalah senyuman yang penuh kasih, sedangkan senyum lelaki itu adalah senyum ejekan. Lelaki itu tetap melakukan penghinaannya, sedangkan Ekanath juga tetap melakukan tugas mandinya.

Kejadian tersebut berlanjut terus sampai ratusan kali. (ada yang menyebutkan bahwa Ekanath diludahi sampai 108 kali).

Melihat Ekanath tidak terganggu sama sekali oleh ratusan penghinaannya, maka lelaki itu mulai berpikir, “Ini manusia atau Dewa?!” Ia tidak yakin ada orang sesabar itu yang meskipun dihina dan diludahi tetapi tetap saja tersenyum penuh kasih.

Lelaki itu berpikir lebih lanjut, “Kalau orang luar biasa ini mengutukku…. aku pasti akan mengalami kematian yang mengerikan…” Lelaki itu segera mendekat dan menjatuhkan diri di kaki Ekanath serta meminta ampun. Dia lalu menceritakan bahwa sesungguhnya ia adalah lelaki bayaran yang ditugaskan untuk mengganggu Ekanath. Beliau mengampuni lelaki itu dan melanjutkan perjalanan pulang ke ashramanya.

Demikianlah cerita Ekanath diperdengarkan ke anak cucu turun menurun untuk memberikan “samskara” atau bentukan karakter indah kepada anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar