Minggu, 11 Maret 2012

Tahun Baru Saka Dalam Keheningan Nyepi

Setiap tahunnya pada akhir bulan Maret atau awal bilan April, umat Hindu di Indonesia merayakan sebuah pergantian tahun seperti halnya umat-umat agama lain di Indonesia yang juga memiliki pergantian tahun yang mereka pergunakan. Umat Hindu Indonesia menggunakan tahun Saka sebagai acuan kalender mereka, seperti halnya di India dengan berbagai modifikasi penyesuaian budaya  perhitungan waktu yang sudah dimiliki oleh masing-masing daerah di Indonesia (seperti kalender Jawa dan kalender Bali). Di Indonesia, pergantian tahun Saka dikenal dengan nama hari raya Nyepi. Hari raya Nyepi adalah perayaan hari tahun baru saka yang jatuh pada penanggal apisan sasih Kadasa (eka sukla paksa Waisak), sehari setelah tilem Kesanga (panca dasi Krsna Paksa Caitra)


1.       Sejarah Tahun Saka

Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/ Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindrakan langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaweda, Wedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin).
Salah satu unsur dari kelompok kitab Wedangga adalah Jyotisha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistematis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.
Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas.
Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Ada 2 versi yang menyebutkan tentang awal mula sejarah tahun Saka di India. Versi pertama menyebutkan, bahwa tersebutlah tahun 125 SM ada seorang raja di India yang bernama Kaniska I. Dia adalah penguasa dari dinasti Kushana. Tapi, wilayah kerajaannya selalu terganggu oleh konflik antara Kusana dan Saka. Dinasti Saka tidak pernah berhenti melakukan pemberontakan-pemberontakan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kaniska. Si raja pun berpikir, apa gunanya kekuasaan kalau tidak ada perdamaian. Maka, Kaniska I berusaha menghentikan pertikaian dengan sebuah jalan diplomasi budaya. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).
Pada hari Minggu, 21 Maret 78 Masehi, Kaniska I menetapkan sebagai hari pertama kalender dengan sistem Saka yang berlaku tidak hanya untuk Dinasti Saka, tapi untuk seluruh wilayah kerajaan. Dinasti Saka sangat menghargai pengakuan Kaniska I atas sistem penanggalan Saka yang berlaku untuk seluruh wilayah kerajaan. Maka di hari itu, kedua dinasti sepakat tidak ada lagi pertikaian atau perang. Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yueh Chi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.
Sedangkan versi kedua menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 70-an Masehi itu, India ndak pernah lepas dari konflik dan perang antara Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya. Perang tidak ada habisnya, sampai akhirnya Suku Saka memenangkan pertikaian di bawah kepemimpinan raja Kaniskha I. Sejak itu, diberlakukan sistem penanggalan Saka sebagai penanggalan resmi yang berlaku di wilayah itu, yaitu tanggal 1 (sehari setelah bulan mati kesembilan) bulan 1 (Caitramasa) tahun Saka. Sistem ini diterima oleh semua suku yang dulu bertikai. Menurut versi ini, hari pertama tahun Saka adalah hari perdamaian, kerukunan, kebersamaan, juga kebangkitan dan pembaharuan. Disebut hari perdamaian karena pada hari itu, semua suku menghentikan pertikaian. Sementara disebut sebagai hari kebangkitan dan pembaharuan, karena sejak hari itu semua aspek kehidupan beragama dan bermasyarakat di India ditata ulang supaya tidak ada lagi konflik antar kepercayaan dan keyakinan.
Dari sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda. Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampal ke Dwipantara (Indonesia). Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia, sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi. Dinyatakan Sang Aji Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, jüga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan/ pengiring atau caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia, sama-sama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.
Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpul seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta  dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.
Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem Kesanga. Keesokan harinya, pada penanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Gni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi.

2.       Kalender Saka
       Kalender Saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiah-komariah (candra-surya) atau kalender luni-solar. Era Saka dimulai pada tahun 78 Masehi. Sebuah tahun Saka dibagi menjadi dua belas bulan. Berikut nama bulan-bulan dalam penanggalan Kalender Saka tersebut:


 a.       Pengertian Kalender Bali  
Kalender adalah susunan hari dan tanggal yang digunakan sebagai pedoman manusia melakukan aktivitas
kehidupan secara periodik. Kelompok susunan hari terdiri dari :
Hari, sebagai kelompok susunan jam; 
Minggu, sebagai kelompok susunan hari;  
Bulan, sebagai kelompok susunan minggu; 
Tahun, sebagai kelompok susunan bulan. Kelompok susunan tanggal berkaitan dengan perhitungan bulan.

Sistem kalender Hindu di Bali menggunakan aturan yang disebut sebagai "Kalender Saka-Bali" Dalam sistem ini digunakan pedoman-pedoman sebagai berikut : 
Satu hari adalah dua puluh empat jam dimana pergantian hari terjadi pada saat matahari terbit. 
Satu minggu terdiri dari tujuh hari dimana pergantian minggu dimulai pada Redite (Minggu) dengan nama-             nama hari : Redite, Coma, Anggara, Buda, Wraspati, Sukra, Saniscara. 
Satu bulan terdiri dari lima minggu dimana pergantian bulan dimulai setelah "tilem" (bulan gelap) yang disebut "penanggal ping pisan". Nama-nama minggu mengambil sistem "Wuku" yaitu : Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Toulu, Gumbreg, Wariga, Warigadean, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Paang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Kulawu, Dukut, Watugunung. 
Satu tahun terdiri dari dua belas bulan dimana pergantian tahun adalah pada tahun baru Saka yaitu tanggal satu Waisakha atau penanggal ping pisan sasih kadasa. Nama-nama bulan adalah : Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kaulu, Kasanga, Kadasa, Jyesta, Sada.

Perhitungan hari dalam setahun oleh "masyarakat dunia" ada dua jenis yaitu perhitungan hari menurut peredaran bumi mengelilingi matahari disebut "Solar system", dan perhitungan hari menurut peredaran bulan mengelilingi bumi disebut "Lunar system".

Dalam solar system umur tahun adalah 365 hari, 48 menit, 46 detik atau dibulatkan : 365 hari. Dalam lunar system umur tahun adalah 354 hari, 48 menit, 36 detik atau dibulatkan 355 hari. Ditinjau dari sistem ini, kalender Hindu di Bali menggunakan kombinasi keduanya, yang disebut sebagai "Luni-Solar system". Sebabnya :
  • Sistem kalender Hindu di Bali berpedoman pada terbitnya matahari sebagai pergantian hari selama 24 jam (Solar system).
  • Sistem kalender Hindu di Bali berpedoman pula pada tibanya "tilem" sebagai pergantian "sasih" atau bulan (Lunar system).


Disamping itu di Bali dikenal adanya sistem "Wuku" yaitu sistem kalender berdasarkan iklim dan "ala-ayu dewasa". Seperti diuraikan di atas, jumlah hari dalam satu wuku adalah tujuh, dan jumlah wuku adalah 30, maka jumlah hari dalam satu peredaran wuku dari Sinta sampai Watugunung adalah 30 x 7 = 210 hari. Jumlah hari pada sistem wuku tidak sesuai dengan jumlah hari pada Solar system maupun Lunar system. Oleh karena itu maka dalam satu tahun solar dan lunar system ditemukan dua kali peredaran wuku, namun nama wuku tertentu tidak selalu jatuh pada nama sasih tertentu. Misalnya untuk tahun saka 1926, wuku Sinta jatuh pada sasih Sada (30 Mei 2004), dan sasih Kanem (26 Desember 2004), sedangkan pada tahun saka 1925, wuku Sinta jatuh pada sasih Kadasa (6 April 2003), dan sasih Kalima (2 Nopember 2003). Hal ini disebabkan karena jumlah hari dalam satu tahun saka adalah 365, sedangkan jumlah hari dalam satu sasih adalah 29/30 atau dalam setahun (12 sasih) = 348/360. Oleh karena masyarakat Hindu di Bali mengaitkan aktivitas kehidupannya pada peredaran : matahari, bulan dan musim, maka sistem kalender Hindu di Bali dinamakan : LUNI-SOLAR-WUKU SYSTEM, atau di Bali, sistem ini disebut : "Surya-Candra Premana".

b.    Pengalantaka


Pengalantaka adalah sistem penyesuaian tibanya tilem dan purnama menurut perhitungan matematis dengan kenyataan posisi bulan terhadap matahari dan bumi. Sistem pengalantaka menyebabkan umur bulan tidak selamanya 30 hari, tetapi bisa 29 hari. Pengurangaan itu bisa saja terjadi pada hari-hari dari tilem ke purnama yang disebut "penanggal" atau pada hari-hari dari purnama ke tilem yang disebut "panglong". Jadi jumlah hari-hari penanggal dan panglong tidak selamanya 15, tetapi bisa juga 14. Jika tidak diadakan penyesuaian yang disebut pengalantaka maka suatu saat akan terjadi tanda di kalender tilem, padahal kenyataannya posisi bulan belum sepenuhnya tilem karena masih nampak bulan sabit di langit. Menurut perhitungan para leluhur di Bali, pengalantaka dilaksanakan pada setiap 9 wuku (63 hari) yaitu pada wuku-wuku : Sungsang, Tambir, Kulawu, Wariga, Paang, Bala.

c.    Nampih Sasih  


              Nampih sasih adalah sistem penyesuaian ketiga sistem yaitu : solar, lunar dan wuku agar tahun baru saka    tepat tiba pada penanggal ping pisan sasih kadasa. Alasan-alasan nampih sasih adalah :  
     Adanya selisih hari dalam setahun antara solar dan lunar system yaitu 365 - 355 = 10 hari. Jumlah selisih itu dalam 3 tahun mencapai 30 hari atau satu bulan. 
     Umat Hindu di Bali menggunakan perhitungan tahun Saka yang bersumber di India. Tahun baru saka di India jatuh pada tanggal 1 Waisakha. 
     Umat Hindu di Bali percaya pada "ala-ayuning dewasa" antara lain kepercayaan bahwa angka tertinggi adalah sembilan (sanga). Oleh karena itu maka "sasih kesanga" adalah bulan terakhir/tertinggi; maka tahun baru harus tiba pada sasih yang ke-nol atau (kadasa). Dasa = 10 dimana angka yang desimal itu terdiri dari angka 1 (satu) dan 0 (nol), jadi tetap saja angka sembilan-lah yang tertinggi sebagai puncak dan akhir. Oleh karena itu maka susunan nama-nama bulan menurut tahun Saka di India kemudian disesuaikan dengan nama-nama sasih di Bali mulai bulan pertama sebagai berikut : Waisakha = Kadasa, Jyesta = Jyesta, Ashadha = Sada, Srwana = Kasa, Badrapada = Karo, Aswina = Katiga, Kartika = Kapat, Margasira = Kalima, Pausha = Kanem, Magha = Kapitu, Phalguna = Kaulu dan bulan ke dua belas adalah Chaitra = Kasanga.

Tahun baru saka di Bali dirayakan dengan rangkaian upacara Nyepi, dimana "Tawur atau Caru" tiba pada akhir bulan Chaitra atau Sasih Kasanga, dan keesokan harinya "Sipeng" tiba pada awal bulan Waisakha atau Sasih Kadasa. Sistem kalender Saka di India menggunakan solar system. Maka untuk penyesuaian di Bali, diadakanlah "bulan ke-tiga belas" namun tidak dengan memberikan nama baru bagi bulan ke tiga belas itu. Nama bulan ketiga belas itu adalah "Nampih sasih ..........."

d.      Cara Nampih Sasih


Ada berbagai cara nampih sasih, namun yang diulas pada kesempatan ini adalah cara yang disebut "Nampih Sasih Berkeseimbangan" suatu cara nampih sasih yang diakui keakuratannya oleh sebagian besar penyusun kalender Hindu di Bali dan yang disahkan oleh PHDI dalam Keputusan Mahasabha ke-VI tahun 1991. Rumus nampih sasih berkeseimbangan adalah :
Tahun Saka dibagi 19 secara manual (tidak menggunakan kalkulator). Perhatikan angka sisa setelah pembagian. Jika bersisa 2 nampih sasih pada Jyesta, bersisa 4 nampih sasih pada Katiga, bersisa 7 nampih sasih pada Kasa, bersisa 10 nampih sasih pada Jyesta, bersisa 13 nampih sasih pada Kadasa, bersisa 15 nampih sasih pada Karo, dan bersisa 18 nampih sasih pada Sada. Keputusan Mahasabha PHDI ke - VI tahun 1991 mengikat seluruh pembuat kalender Hindu di Bali, termasuk organisasi yang bernama Ikatan Penyusun Kalender Bali untuk dilaksanakan dalam membuat kalender.

4.       Rangkaian Pelaksanaan Tahun Baru Saka di Indonesia

Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :

1)  Melasti/ Mekiyis/ Melis


Upacara melasti, mekiyis dan melis. Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan). “Ngamet sarining amerta ring telenging segara”. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan “Apam napatam paritasthur apah” (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan). Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."
Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.
Pesan moral yang disampaikan oleh upacara ini adalah hendaknya setiap orang dapat menata diri membangun kesadaran untuk tidak ikut memberi kontribusi timbulnya penyakit masyarakat, mengotori dan merusak lingkungan, termasuk laut. Sebab, laut merupakan sumber kehidupan sebagian umat manusia, kalau laut tercemar bukan saja dapat mengurangi bahkan melenyapkan semua potensinya.
Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya

2)    Persembahyangan

Menghaturkan bhakti/pemujaan di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.

3)      Tawur Agung Kesanga


Tawur Agung/mecaru di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit). Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilakukan upacara Tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.
Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di masing-masing rumah umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.
Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.
Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

            4)      Nyepi


       Nyepi (Sipeng) dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan). Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:
- Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
- Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
- Amati lelungan (tidak bepergian).
- Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.
Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.
Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sansekerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.

             5)      Ngembak Gni

         Ngembak Gni. Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.

Yadnya dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : “Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate”.
Artinya : Melalui pengabdian/ yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran.

Sesungguhnya seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru saka itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifestasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam sekitar para bhuta demi keseimbangan bhuana agung bhuana alit.

Pelaksanaan catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara diri sejati (Sang Atma) seseorang umat dengan sang pencipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam diri manusia ada sang diri /atma (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa).

Simakrama atau dharma Santi adalah dialog antar sesama tentang apa dan bagaimana yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan berpijak pada pengalaman selama ini. Maka dengan peringatan pergantian tahun baru saka (Nyepi) umat telah melakukan dialog spiritual kepada semua pihak dengan Tuhan yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama. Namun patut juga diakui bahwa setiap hari suci keagamaan seperti Nyepi tahun ini, ada saja godaannya. Baik karena sisa-sisa bhuta kalanya, sisa mabuknya, dijadikan kesempatan memunculkan dendam lama atau tindakan yang lain. Dunia nyata ini memang dikuasai oleh hukum Rwa Bhineda. Baik-buruk, menang-kalah, kaya-miskin, sengsara-bahagia, dst. Manusia berada di antara itu dan manusia diuji untuk mengendalikan diri di antara dua hal yang saling berbeda bahkan saling berlawanan.

Dharma Santi

Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa. Dengan Dharma Santi kita dapat saling memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan yang pernah terjadi setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Di samping itu juga untuk berbincang-bincang perihal kehidupan bersama kita ke depan karena kondisi yang dihadapi akan semakin sulit dan semakin komplek, serba multi; multi etnis, multi dimensi, multi kepentingan, multi karakter dan multi kultural. Oleh karena itu dharma Santi dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja setelah Nyepi asal tidak lewat dari waktu kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat baik kalau setiap habis hari raya keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja) diikuti dengan dharma Santi atau simakrama, atau secara spiritual sering juga dilakukan jika ada upacara piodalan di Pura dengan “meprani”. Mesimakrama, meprani atau dharma Santi merupakan ajang berdialog antar sesama tentang berbagai aspek kehidupan. Karena Weda menyatakan “Wasudewa kutumbakan” (seluruh dunia adalah bersaudana). Atau sarwa asa mama mitram bhawantu (Jadikanlah seluruh penjuru dunia sebagai sahabat kami).

Untuk lingkup Bali, hal ini analog dengan konsep menyama braya yang perlu dimantapkan melalui dharma Santi. Jadi pergantian Tahun Saka adalah peringatan dari kebangkitan dan pembaharuan. Nyepi adalah renungan kesadaran untuk pengendalian diri. Dharma santi adalah dialog sesama demi keseimbangan hidup lahir bathin. Sedangan rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

5.       Tujuan Pelaksanaan Tahun Baru Saka di Indonesia

Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksa merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sanghyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."
Artinya:
Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."
Artinya:
Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bhujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.
Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.
Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penyepian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melaksanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha. Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi keseimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern sekarang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

6.       Tahun Baru Saka Di India

Bagaimana Tahun Baru Saka di tempat asalnya, India? Menurut pemuka agama Hindu I Made Titib, Tahun Baru Saka di India selalu ditetapkan atau jatuh pada tanggal 20, 21, atau 22 Maret. Tahun Saka di India, yang dikembangkan sejak pemerintahan Raja Kaniska I pada tahun 79 Masehi, memang menggunakan perhitungan matahari. Di Indonesia, agama Hindu mulai berkembang pada abad keempat Masehi. Sistem penanggalan Saka pun dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.
Namun dalam perkembangannya, Tahun Saka di Nusantara mengalami perkawinan dengan budaya lokal. Dan penetapan Tahun Baru Saka tidak hanya menggunakan tarikh matahari sebagaimana di India, tapi juga perhitungan bulan. Selanjutnya Tahun Baru Saka dikaitkan pula dengan Hari Raya Nyepi, yang memang menggunakan perhitungan bulan. Dan umat Hindu di India tidak merayakan Tahun Baru Saka secara keagamaan.
Pemerintah India memang telah menetapkan Tahun Baru Saka sebagai hari nasional sejak 1958. Made Titib menduga hal ini sebagai akibat di India tidak hanya menggunakan Tahun Saka, umat di sana juga mengenal Tahun Vikramaditya atau Vikrama Samvat, Tahun Harsa, Malalayam dan lain-lain. Selain itu, kata Titib, di bulan Maret umat Hindu di India merayakan upacara Holi, yang merupakan peringatan terhadap terbunuhnya raksasi Holika. Upacara ini mirip dengan upacara tawur agung di Bali. Pada bulan April umat Hindu di India mandi suci di Sungai Gangga atau sungai lain di dekat asrama para sadhu atau yogi (orang suci). Ini mirip dengan upacara melis atau melasti di Indonesia. Namun demikian, perbedaan "kemasan" atau budaya tadi tidak membedakan makna yang terkandung dalam tahun baru: suatu momentum untuk mawas diri, meningkatkan dhrama bakti di tahun mendatang sehingga terwujud masyarakat harmonis, damai dan sejahtera.

7.       Ogoh-Ogoh Di India

Dalam rangkaian perayaan Nyepi di Bali, ada namanya upacara pengerupukan yang bertujuan menetralisir kekuatan Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar dimana biasanya ada pawai ogoh-ogoh yang diarak keliling lingkungan dan akhirnya dibakar. Di India juga ada ogoh-ogoh, tapi tidak diarak saat perayaan tahun baru saka, melainkan pada Festival Dussehra. Dussehra dirayakan untuk menghormati Prabu Rama yang telah menang melawan Rahwana saat merebut kembali Dewi Sinta. Dimana saat itu Sinta diculik oleh Rahwana.
Perayaan ini dimulai ketika memasuki bulan Aswin, salah satu bulan dalam kalender India dalam tahun Saka. Biasanya bulan Aswin ini jatuh pada bulan September atau Oktober di tahun masehi. Dan hari inilah tepatnya perayaan itu. Pada hari pertama bulan Aswin mereka berpuasa hingga hari ke-9. Puasanya berbeda dengan puasa umat Islam. Puasa disini mereka tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari biji-bijian. Tetapi boleh mengkonsumsi sayur-sayuran dan tentu saja diperbolehkan untuk minum, tetapi bukan minuman keras atau yang beralkohol. Pada hari kesepuluhlah mereka merayakan Dussehra.
Pada perayaan ini mereka membuat patung-patung. Ada patung Dewi Durga, Prabu Rama dan Rahwana. Mereka juga memakai kostum seperti Prabu Rama dan Dewi Shinta. Kenapa ada patung Dewi Durga? Karena dari Dewi Durga-lah Prabu Rama mendapatkan rahasia bagaimana caranya mengalahkan Rahwana. Patung-patung itu diarak, dan patung Dewi Durga dilarung ke laut ataupun sungai, sedangkan patung Rahwana dibakar. Pada hari itu juga, pabrik-pabrik menghias kendaraan dan mesin-mesin pabrik yang ada untuk ikut merayakannya. Hari itu juga diperingati sebagai Hari Buruh Nasional di India. Rangkaian peringatan ini juga termasuk Diwali. Mungkin jika anda penggemar film-film Bollywood sedikit banyak mengetahuinya.
Perayaan Diwali ini mengikuti perayaan Dussehra ini, diadakan setelah 19-20 hari setelah perayaan Dussehra. Perayaan ini dilakukan dalam rangka memperingati kembalinya Rama dan Shinta ke Ayodya. Mulai hari ini hingga perayaan Diwali, masyarakat biasa membunyikan petasan, memasang lampu-lampu. Pada puncak Diwali, lampu-lampu akan menyala menerangi seluruh pelosok India. Diwali biasanya dirayakan pada hari yang berbeda. Di Chennai biasa dilaksanakan 1 hari sebelum daerah di India lainnya.
Ternyata festival Dussehra ini hampir sama dengan yang ada di Bali. Intinya sama, bahwa si Baik akan mengalahkan si Jahat. Tetapi waktunya yang berbeda. Jika di Bali kita mengenalnya dengan arakan ogoh-ogoh. Dimana diselenggarakan menjelang Hari Raya Nyepi.

2 komentar:

  1. terima kasih atas informasinya. Sekedar informasi juga, bahwa di Bali masih Banyak orang Bali menggunakan pergantian harinya mengacu kepada kelender Masehi. Kira2 kelirunya di mana ya ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. om swastyastu, itu tidaklah keliru, masalah perayaan itu sah-sah saja karena kalender masehi itu sudah disepakati penggunaannya di seluruh dunia, sedangkan kalender caka itu dipergunakan oleh sebagian manusia, seprti di india dan umat hindu di indonesia (bali dan beberapa tempat lainnya), baik itu pergantian masehi ataupun caka yang esensinya adalah bagaimana kita merayakan sebuah pergantian tahun itu melalui sebuah perenungan tentang hal-hal yg sudah kita lakukan selama setahun yg sudah berlalu dan kalau masih byk kekeliruan yg kita lakukan hal itulah yg kita perbaiki dan tingkatkan di tahun ke depannya, ada yg sering bilang resolusi tahun baru,, hehehe demikian kiranya mudah2n bermanfaat, swaha... om santih, santih, santih om

      Hapus