Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai dan memaknai tiap detik sejarah yang terjadi dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik itu sejarah kelam maupun jaman keemasannya. Dalam perkembangan kehidupan tentunya tak lepas dari perkembangan budaya, yang salah satu unsurnya adalah karya sastra. Perkembangan karya sastra bangsa Indonesia seirama dengan perkembangan sejarahnya. Banyak sekali hasil karya sastra bangsa Indonesia masa lalu mempunyai nilai amat tinggi, bahkan menguraikan filsafat, dijadikan pedoman kehidupan masyarakat. Sedang karya sastra yang isinya berupa cerita kebanyakan menjadi cerita rakyat dituturkan turun tumurun. Sebagai contoh adalah kitab Tantu Panggelaran.
Menurut isinya kitab Tantu Panggelaran merupakan kumpulan cerita pendek dan banyak yang menjadi cerita rakyat, didongengkan orang tua sebelum anaknya tidur. Misalnya asal-usul Gunung Semeru, terjadinya gerhana bulan dan sebagainya. Kitab Tantu Panggelaran ditulis dengan huruf Jawa dan Bahasa Jawa Tengahan, yaitu bahasa Jawa antara bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa sekarang dan berkembang mulai masa kejayaan Kerajaan Majapahit sampai Kerajaan Demak, Salah satu salinannya berupa naskah kuno disimpan di Perpustakaan Nasional, Bagian Naskah. Penulisannya berbentuk prosa. Berikut ini ringkasan beberapa terjemahan cerita yang terdapat dalam Tantu Panggelaran:
Asal-usul Gunung Semeru
Pada waktu itu Pulau Jawa belum dihuni oleh manusia, bagaikan daun padi yang terapung dan terombang-ambing di tengah samudera. Kedudukannya tidak tetap dan selalu berubah arah. Batara Guru menciptakan manusia sejodoh di Pulau Jawa yang lalu beranak pinak. Sayang mereka masih telanjang, tidak dapat berbicara dan belum menetap dalam suatu rumah. Batara Guru memerintah kepada para dewa agar turun ke Pulau Jawa, mendidik manusia Jawa agar dapat membuat pakaian, rumah dan perabotannya dan cara hidup menetap seperti orang sekarang.
Waktu itu penduduk belum merasa tenteram karena Pulau Jawa selalu berubah arah. Batara Guru menyuruh agar Pulau Jawa dipaku memakai gunung. Atas perintah itu, maka salah seorang dewa mencabut puncak gunung Mahameru dari tanah Hindustan di India. Puncak Mahameru dibawa terbang ke Pulau Jawa melewati Pulau Sumatera. Dalam perjalanan pemindahan gunung tersebut bagian Mahameru berguguran menjadi gunung-gunung yang berjajar sepanjang pulau Jawa antara lain Gunung Katong atau Lawu, Wilis, Kampud atau Kelud, Kawi, Arjuna (Arjuno) dan gunung Kemukus (Welirang). Tubuh Mahameru diletakkan agak miring dan menyandar pada Gunung Brahma (Bromo) dan menjadi Gunung Semeru. Puncak Mahameru sendiri adalah Gunung Penanggungan atau Pawitra.
Sampai di bagian barat Pulau Jawa, Puncak Mahameru ditancapkan sebagai paku. Ternyata Pulau Jawa berat sebelah, bagian barat tenggara dan bagian timur mencuat ke atas. Maka bagian puncak Mahameru tadi dipasang dan diterbangkan ke bagian timur. Sepanjang penerbangan gunung tersebut rontok. Puncak-puncak rontokan itu antara lain Gunung Ciremai, Gunung Slamet, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Kelud, Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Anjasmara dan lain-lain. Kemudian puncak yang tersisa ditancapkan berupa Gunung Semeru, dari kata Mahameru. Mulai saat itu Pulau Jawa menjadi tenang kedudukannya seperti sekarang ini.
Asal Mula Gerhana Bulan
Maha Dewa mengetahui agar para dewa tidak dapat mati meskipun kena sakit, harus minum air penghidupan atau amrtha. Amrtha itu adanya di dasar lautan susu dalam suatu wadah. Seluruh dewa termasuk Maha Dewa tidak mampu mengambil amrtha di dasar lautan susu. Sidang para dewa memutuskan menunjuk raksasa maha besar untuk mengambilnya. Apabila raksasa itu berhasil, maka akan diberi kedudukan sama dengan dewa. Salah satu dewa menyampaikan tugas itu kepada raksasa. Sang raksasa menyanggupinya, kemudian mencabut puncak gunung untuk mengaduk (mengebur) lautan susu. Adukan (keburan) itu menimbulkan arus putar vertikal air lautan susu. Arus air lautan susu semakin lama semakin kencang dan kuat. Dengan kekuatan arus maha dahsyat, maka semua benda di dasar lautan hanyut terbawa putaran arus. Pada saat wadah amrtha tampak di permukaan lautan susu, dengan secepat kilat disambar oleh sang raksasa. Kemudian wadah amrtha dipersembahkan kepada para dewa.
Setelah itu timbullah niat raksasa ingin tahu tentang amrtha. Sang raksasa bertanya kepada salah satu dewa dan mendapat penjelasan bahwa amrtha adalah air penghidupan. Barang siapa minum air penghidupan, maka ia akan hidup selama-lamanya meskipun tertimpa sakit. Mendengar penjelasan itu raksasa terkejut dan menyesal mengapa diserahkan kepada dewa. Timbul keinginan untuk memilikinya atau minimal ikut minum. Sang raksasa berusaha dapat mencuri amrtha. Saat itu pula ia bermaksud minum amrtha. Bersamaan dengan saat raksasa menenggak amrtha, diketahui oleh Dewa Wisnu. Tanpa membuang waktu Wisnu melepaskan panah cakra tepat mengenai leher raksasa dan putus. Kepala Raksasa yang telah minum amrtha tetap hidup dan terbang ke angkasa. Badan mulai dari leher yang belum terkena amrtha, mati roboh ke bumi manjadi kayu. Oleh penduduk, kayu itu dijadikan bahan membuat “lesung” (tempat menumbuk padi).
Kepala raksasa tanpa badan terus terbang mengelilingi bumi ingin membalas dendam. Ia bermaksud “nguntal” (menelan tanpa dikunyah) bidadari. Sebab bidadari adalah isteri para dewa. Salah satu bidadari adalah bulan. Maka kepala raksasa itu terus mengejar bulan. Pada saat tertentu bulan dapat terkejar dan “diuntal”. Saat itu terjadi gerhana. Karena raksasa tadi tidak punya badan (perut), maka bulan keluar lagi. Pada saat terjadi gerhana bulan seluruh penduduk kampung memukuli lesung (badan raksasa). Penduduk yakin, dengan memukul badan raksasa, maka karena merasa kesakitan raksasa mengurungkan memakan bulan. Sampai sekarang, apabila terjadi gerhana bulan tentu di perkampungan terdengar suara ramai orang memukul lesung atau titir kentongan.
Menghentikan Jalannya Matahari
Cerita semacam itu termasuk cerita klise, yaitu alur cerita sama yang terdapat di berbagai belahan dunia, misalnya di Persia, Arab, Tibet, Indonesia dan lain-lain. Ringkasan ceritera yang terdapat dalam Tantu Panggelaran sebagai berikut:
Seorang empu (pendeta) dari Kampung Tapawangkeng di wilayah Kerajaan Daha bernama Sameget Baganjing mempunyai pinjaman berupa makanan. Ia berjanji akan membayar hutangnya setelah matahari terbenam. Empu Sameget Baganjing tidak mempunyai uang membayar hutangnya setelah matahari terbenam. Agar tidak ditagih membayar hutang, maka matahari ditahan perjalanannya, sehingga matahari bersinar terus dan malam (sandyakala) tertunda datangnya. Padahal waktu itu Sang Raja sedang melakukan tapa brata tidak makan dan akan mengakhiri tapa brata puasanya setelah matahari terbenam. Sang Raja sudah merasa lapar sekali, tetapi matahari tidak bergerak menuju peraduannya. Setelah diselidiki ternyata matahari ditahan perjalanannya oleh Empu Sameget Baganjing yang tidak dapat bayar hutang. Akhirnya matahari terbenam dan Sang Raja dapat mengakhiri tapa brata puasanya.
Banyak karya sastra lama semacam kitab Tantu Panggelaran itu tidak dituliskan nama pengarangnya. Pada umumnya isinya berhubungan dengan keagamaan, yaitu Hindu. Nilai sastranya sangat tinggi, gaya bahasanya indah. Naskah kuno semacam itu banyak disimpan, dirawat dan dilestarikan di museum seluruh Indonesia.
Penjelasan WF Stutterheim itu juga berdasar pada kitab Tantu Panggelaran. Dalam kitab Tantu Panggelaran disebutkan bahwa Bhatara Guru menugaskaan Brahma dan Wisnu untuk mengisi pulau Jawa dengan manusia. Karena pulau itu selalu di landa goncangan, maka para dewa memindahkan gunung Mahameru dari India ke Jawa. Dalam perjalanan pemindahan gunung tersebut bagian Mahameru berguguran menjadi gunung-gunung yang berjajar sepanjang pulau Jawa antara lain Gunung Katong atau Lawu, Wilis, Kampud atau Kelud, Kawi, Arjuna (Arjuno) dan gunung Kemukus (Welirang). Tubuh Mahameru diletakkan agak miring dan menyandar pada gunung Brahma (Bromo) dan menjadi Gunung Semeru. Puncak Mahameru sendiri adalah Gunung Penanggungan atau Pawitra.
VR Van Romondt adalah juga arkeolog dan insinyur yang pernah melakukan penelitian di situs Penanggungan pada tahun 1936, 1937, dan 1940. Menurutnya bangunan punden berundak dan benda purbakala lainnya itu berfungsi sebagai tempat pemujaan nenek moyang pada akhir zaman Hindu. Pada tahun 1951 HG Quaritc Wales menyatakan bahwa memudarnya pengaruh kebudayaan Hindu Budha menyebabkan kebudayaan megalitik asli yang ritusnya adalah pemujaan arwah nenek moyang di puncak-puncak gunung tumbuh kembali. Hal itu ditandai dengan pembuatan bangunan pemujaan di lereng Gunung Penanggungan dan Candi Sukuh serta Candi Ceta di lereng Gunung Lawu.
Pawitra sebagai gunung suci tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan sudah berkembang sejak abad ke 10-11 M pada masa kerajaan Mataram Kuno. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Pu Sendok pada tanggal 18 September 929 M. Prasasti tersebut berisi tentang dijadikannya Desa Cunggrang sebagai daerah yang bebas pajak (sima) dan penghasilan desa itu akan digunakan untuk pemeliharaan bangunan suci Sanghyang Dharmasasra ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung. Kemudian aktivitas keagamaan di sana mulai marak pada abad 15 M, masa kejayaan Majapahit hingga kemunduran pengaruh agama Hindu dan Budha di Jawa. Dalam babad Sangkala, bala tentara Demak pada tahun 1525-1527 berhasil merebut kota Majapahit dan Pawitra diduduki pada tahun 1543. Dengan pendudukan itu, berbagai macam kegiatan keagamaan yang telah berlangsung selama kurun waktu 500 tahun di Penanggungan akhirnya berakhir.
Sejarah mencatat sejak zaman Majapahit, Blitar menjadi tempat ziarah penguasa di pusat. Ziarah ke tempat-tempat naga untuk tujuan keagamaan dan politik. Di bagian selatan Blitar, terdapat sisa-sisa bangunan candi yang dianggap penting oleh purbakalawan karena dikaitkan dengan tokoh pendiri dinasti Majapahit: Raden Wijaya alias Krtarajasa Jayawarddhana yang memerintah tahun 1293-1309 M. Sisa-sisa bangunan itu berada di sebuah tempat yang bernama Simping. Dulu di tempat ini terdapat sebuah arca setinggi 2 meter, yang sekarang berada di Museum Nasional Jakarta.
Menurut Bernet Kempers (1959), ahli arkeologi dari Belanda, arca itu merupakan arca perwujudan Krtarajasa sebagai Dewa Siwa. Dalam kakawin Nagarakretagama disebutkan, Krtarajasa meninggal pada tahun Saka 1231 (1309 M) didharmakan di Simping dengan sifat Siwaitis dan di Antapura dengan sifat Budhistis.
Sisa-sisa bangunan suci yang masih tampak di Simping adalah struktur bagian bawah bangunan. Dulu bangunan suci ini juga rusak, saat Raja Hayam Wuruk (1350-1389) mengunjungi makam leluhurnya itu pada tahun Saka 1283 (1361 M). Dalam Nagarakertagama disebutkan, menara candi itu miring sehingga sang baginda memerintahkan untuk menegakkannya kembali. Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Simping pada tahun Saka 1285 (1363 M) untuk memindahkan candi makam Kertarajasa.
Di tengah struktur candi terdapat sebuah batu segi empat. Bagian atas batu terukir lukisan yang menggambarkan seekor kura-kura sedang membawa gunung di tengah punggungnya. Ular-ular naga membelit gunung tersebut. Lukisan itu melambangkan kisah Amertamanthana dari kitab Mahabharata (India). Amertamanthana menceritakan tentang terjadinya dunia ini melalui pengadukan laut susu untuk mendapatkan amerta, air kehidupan para dewa.
Selain kisah Amertamanthana, di Jawa juga dikenal kisah serupa dengan versi lain. Dalam kitab Tantu Panggelaran, ada cerita pemindahan Gunung Mahameru (Meru) dari India ke Jawa atas perintah Batara Guru dengan menggunakan kura-kura sebagai alas dan ular sebagai tali. Gunung Mandara dalam kisah Amertamanthana disamakan dengan Gunung Mahameru, gunung suci bersemayamnya para dewa, juga sebagai lambang dunia ini. Pada masa itu Pulau Jawa goncang karena terapung di lautan. Para dewa berhasil mengangkat puncak Mahameru, sedangkan Dewa Wisnu menjelma menjadi ular besar untuk membelit Gunung Mahameru dan ditaruh di atas punggung kura-kura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar