Dalam Gelap Bintang Bersinar Terang
Oleh: Gede Prama
Sebuah pepatah Zen yang
inspiratif berpetuah apik, “bila gunung tinggi maka jurangnya dalam.” Ini sudah
menjadi hukum alam sejak dulu. Tidak ada satupun gunung tinggi yang tidak
disertai oleh jurang yang dalam.
Kita semua menerima hukum alam
ini secara ikhlas tanpa penolakan yang teramat berarti. Akan tetapi, begitu
berhadapan dengan diri sendiri maupun pemimpin, ada semacam ketidakrelaan
massal dalam hal ini.
Sebut saja diri ini yang tidak
semuanya terjelaskan. Ketika sampai di salah satu puncak gunung yang tinggi
(baca: jabatan dan penghargaan yang tinggi), jarang sekali ada orang yang tidak
rela menerimanya. Namun, begitu jurang ada di depan mata ( pensiun, turun
jabatan dan sejenisnya) tidak sedikit orang yang amat tidak rela. Bahkan,
banyak orang yang membiarkan dirinya tersiksa atau jatuh sakit oleh jurang
jurang sejenis.
Penyakit post power syndrome,
depresi yang dialami tidak sedikit orang ketika jabatan atau rezeki hilang, orang
stres karena sempat dipuja kemudian dihina, adalah sebagian saja bukti dari
ketidakrelaan orang akan hukum alam “gunung tinggi jurang dalam.”
Padahal, dengan ataupun tanpa
kejernihan, tidak ada satupun manusia yang bisa melawan maupun merubah hukum alam
terakhir. Anda maupun saya sama saja dalam hal ini. Menyadari prinsip terakhir,
saya sedang dan terus menerus belajar untuk semaksimal mungkin tampil sama di
puncak gunung, maupun di dasar jurang. Dan modalnya hanya satu: sikap. Sebab,
makna dari setiap kejadian, tidak terletak pada kejadian itu sendiri. Melainkan,
dalam sikap kita menyiasati kejadian. Di puncak gunung, kita memang bisa
melihat lebih banyak hal ketimbang di dasar jurang. Kita juga bisa menghirup
lebih banyak udara segar di sana. Kita juga bisa dilihat banyak orang di tempat
yang tinggi ini.
Tetapi jangan lupa, kebahagiaan
ala puncak gunung jauh lebih nikmat, kalau kita pernah sengsara di dasar
jurang. Rasa syukur akan indahnya puncak gunung, amat berbeda antara mereka
yang pernah dan belum pernah disiksa oleh dasar jurang. Dalam logika orang
kebanyakan, puncak gunung memang indah, dan dasar jurang menakutkan. Namun,
meminjam argumen seorang rekan, bahwa kemalangan memperkenalkan seseorang pada
dirinya, maka dasar jurang bisa juga menghadirkan sesuatu selain kesedihan.
Bahkan, ia bisa memperkenalkan
kita pada lorong gelap yang teramat berarti: sang aku. Saya mulai mengenal
batas daya dukung fisik ini ketika masuk rumah sakit karena kebanyakan belajar.
Belajar presentasi tidak henti henti setelah dibuat insomnia oleh sejumlah
penghina. Bangkit dari hidup setelah menikah di umur masih remaja, dan
diramalkan banyak orang akan cerai sekian bulan kemudian. Memaksa diri untuk
sekolah, bahkan ketika anak berjumlah dua orang, setelah dibuat minder oleh
sepasukan orang sombong.
Dirangkum menjadi satu, puncak
gunung yang teramat indah sebenarnya dimulai dari dasar jurang yang menakutkan.
Ini juga berlaku pada dunia pemimpin dan kepemimpinan. Tidak ada satupun
pemimpin hebat tanpa cacat.
Mahatma Gandhi yang beragama
Hindu ditembak oleh seorang panganut Hindu. John Lennon dengan lirik lirik
lagunya yang menyejukkan juga bernasib serupa. John F. Kennedy yang amat
legendaris juga mati tertembak. Ini semua menegaskan kembali ketidakkuasaan
manusia hebat manapun akan hukum alam “gunung tinggi jurang dalam.” Sayangnya,
sama dengan ketidakmampuan kita dalam melihat sang aku secara lebih utuh, kita
juga dihinggapi kekurangan untuk hanya menerima kehebatan pemimpin, dan menolak
jurang dalam yang inheren dalam pemimpin manapun.
Saya masih menemukan sejumlah
purnawirawan TNI yang kecewa berat pada pak Harto. Sebab, di tahun tahun awal
beliau berkuasa semuanya diselesaikan secara amat arif dan bijaksana. Sekarang,
tidak sedikit orang yang dulu memilih dan menempatkan Gus Dur sebagai pahlawan,
menempatkannya dalam posisi terhujat. Mirip dengan mereka yang kecewa pada pak Harto,
kumpulan barisan sakit gigi ini juga hanya mau menerima puncak gunung, dan
menolak jurang dalam.
Keadaan yang sama juga terjadi di
perusahaan. Demonstrasi, mogok dan ancaman sabotase sejenis juga berawal pada
usaha penolakan hukum alam terakhir. Sebagai pimpinan perusahaan, saya pernah
dimaki oleh orang paling bawah, dibandingkan dengan pimpinan terdahulu,
dicurigai memiliki niat niat buruk. Namun, begitu diselami dan dipelajari,
hampir semuanya berakar pada kekecewaan pada jurang dalam, dan hanya mau
menerima keindahan puncak gunung.
Entah sampai kapan kita akan
terus mengisi hidup dengan kekecewaan akan dalamnya jurang. Dan dibuai mimpi
akan keindahan puncak gunung. Padahal, jangankan manusia biasa seperti Anda dan
saya, Gandhi dan Kennedy saja tidak berhasil mempertahankan hidupnya terus
menerus di puncak gunung.
Belajar dari sini, mungkin ada
manfaatnya untuk belajar dari Charles A. Beard yang pernah menulis: “Bila malam
cukup gelap, Anda baru bisa melihat indah dan terangnya bintang bintang.” Satu
spirit dengan pepatah Zen di awal, di manapun dan sampai kapanpun, kita akan
senantiasa dihadapkan pada jurang dalam dan puncak gunung yang tinggi. Sudah
menjadi hakekat alamiah, kalau keduanya saling mengisi dan melengkapi.
Kalau kita menerima puncak gunung
dan jurang dengan ikhlas, bisakah kita menerima diri kita dan juga pemimpin
kita dengan keikhlasan yang sama?
Sumber: Sarikata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar