Kekuatan Sang Kala (Waktu)
Manusia sering kali tidak sabaran
akan suatu hal, apalagi jika hal tersebut tidak menyenangkan bagi dirinya. Bahkan
jika dihiperbolakan kondisi ketika manusia itu dilanda kesusahan adalah rasanya
dunia ini runtuh. Tetapi jika kita lihat dan cermati lagi itu semua adalah
sebuah proses menuju pada kedewasaan diri, menuju pada sebuah pencarian diri
dari sang jiwa ini. Ada sebuah nasihat orang tua yang musti kita ingat yaitu: “suka,
duka, lara, pati ento sing dadi kelidin....”. Coba kita amati sepenggal kalimat
tersebut, disana ada 3 hal yang kadang kita sebut dengan kesedihan, yaitu:
duka, lara dan pati, hanya ada satu kebahagiaan, yaitu suka. Karena memang sejatinya
seperti itulah hidup di dunia ini, lebih banyak kesedihan, tetapi dari
kesedihan dan kesusahan itulah kita belajar tentang arti hidup.
Suka-duka, kesedihan dan
kegembiraan semua silih berganti. Tidaklah tepat bila seseorang berlarut-larut
dalam kesedihan ataupun berleha-leha ketika ia berbahagia, orang bijak tidak
terikat oleh keduanya. Akan hal ini ada sebuah nasihat dari kisah di dalam Santi
Parwa Mahabharata:
***Vaisampayana melanjutkan
ceritanya: “setelah menerima petunjuk dari Krsna Dwaipayana Wyasa dan melihat
Dhananjaya menunjukan gelagat agak marah, Yudisthira lalu menjawab sebagai
berikut:
“Sebenarnya kekuasaan dan kesenangan
di dunia tidak dapat memberikan kebahagian kepada diri hamba. Sebaliknya,
mengenangkan apa yang ada di dunia ini hamba sangat sedih dan kesedihan itu
semakin mendalam saja. Ratap tangis kaum wanita yang kehilangan putra-putra
atau suami membuat hati hamba tak akan pernah merasakan kedamaian”.
Waisampayana melanjutkan: “Wyasa
yang menguasai ilmu yoga, bijaksana dan memahami Weda lalu berkata kepada
Yudisthira:
“Tidak ada seorangpun yang
berhasil mendapatkan sesuatu hanya dengan mengandalkan kemampuan sendiri. Tidak
ada seorangpun dapat memberikan sesuatu kepada orang lain. Orang mendapatkan
itu semua dari Kala atau waktu. Prajapati, ketika melakukan penciptaan,
diciptakannya juga bersamaan dengan itu peredaran Waktu. Setelah mempelajari
kitab-kitab suci dan kemudian orang berusaha, maka ia tidak akan mendapatkan
apapun juga apabila Kala tidak membenarkan untuk mendapatkannya. Kadang-kadang
seorang bodoh yang pandir berhasil mendapatkan kekayaan ketika waktunya tiba
untuk itu. Kala atau waktu merupakan suatu faktor yang sangat menentukan di
dalam melaksanakan suatu perbuatan. Pada saat yang memang naas, maka ilmu
pengetahuan, mantra dan tapa, demikian juga obat-obatan, tidak akan membawa
hasil. Akan tetapi pada saatnya yang tepat, maka semuanya itu apabila
diterapkan akan membuahkan keberhasilan. Bersamaan dengan Waktu, angin bertiup
kencang; bersamaan dengan Waktu awan berkumpul dan jatuh menjadi hujan.
Bersamaan dengan Waktu telaga dan danau dihiasi kembang teratai. Bersamaan
dengan Waktu pohon-pohon di hutan berbunga. Bersamaan dengan Waktu malam
menjadi gelap; bersamaan dengan Waktu bulan bersinar penuh. Apabila Waktu itu
belum datang, maka arus sungai tidak mengganas lagi. Burung-burung dan ular,
kijang dan gajah dan binatang-binatang yang lain tidak akan pernah merasa
terangsang apabila saatnya itu belum tiba. Apabila saatnya belum tiba
binatang-binatang itu tidak akan menjadi hamil. Adalah bersamaan dengan Waktu
musim dingin itu datang, musim panas dan juga musim hujan. Apabila saatnya
telah tiba, maka orang itu akan lahir atau mati. Apabila Waktu itu belum tiba,
maka bayi yang lahir itu tidak akan menjadi remaja”.
“Adalah bersama Waktu bibit yang
disemaikan berkecambah. Apabila waktunya belum tiba, matahari tidak akan muncul
di ufuk timur, dan apabila waktunya tidak tiba, matahari itu pun tidak akan
bersembunyi di balik bukit Asta. Apabila waktunya belum tiba bulan tidak akan
mengalami terang dan gelap, demikianpun laut tidak akan mengalami pasang dan
surut. Sehubungan dengan ini terdapat sebuah ceritera kuna, yaitu tentang
kesedihan raja Senajita. Jalannya Waktu itu tidak bisa ditentang dan
dipengaruhi semua kehidupan yang tidak kekal ini. semua yang ada di dunia ini
diselubungi oleh Waktu dan semuanya tidak kekal. Sebagian orang membunuh yang lain,
si pembunuh kemudian dibunuh oleh orang lain lagi. Itulah bahasa dunia. Tetapi
di dalam kesejatiannya di balik pengaruh Waktu itu, tidak ada seorangpun yang
dibunuh dan membunuh. Sebagian orang mengira bahwa seorang telah dibunuh atau
membunuh orang lain, namun sebagian yang lain menyatakan bahwa manusia tidak
terbunuh. Kesejatiannya ialah bahwa kelahiran dan kematian makhluk-makhluk itu
telah ditetapkan untuk berlangsung sesuai dengan kodrat masing-masing. Karena
kehilangan harta atau mengalami kematian orang meratap : “Aduh, betapa sedih” !
Dan orang selamanya lalu diliputi oleh kesedihan. Mengapa harus sedih? Melihat
orang yang masih dipengaruhi oleh kesedihan? Perhatikan. Kesedihan itu akan
semakin memakan kita apabila kita menyerah kepadanya. Sebenarnya badan kita
inipun bukan kepunyaan kita! Tidak ada sesuatupun di dunia hal ini yang menjadi
kepunyaan sendiri. Segalanya yang ada di bumi ini merupakan milik orang lain,
sepertinya milik kita. Para bijaksana melihat kenyataan ini, karena itu ia
tidak merasa tertipu. Kalau masih dipengaruhi kesedihan, maka terdapat
beribu-ribu penyebab kegembiraan. Semua itu hanya mempengaruhi orang yang
kesadarannya dangkal, sama sekali tidak mempengaruhi orang bijaksana. Sesuai
dengan jalannya Waktu, semua itu lalu menjadi cengkeraman suka dan duka, terus
bergerak berputar-putar mempengaruhi kehidupan semua makhluk. Di dunia ini
hanya ada kedukaan, bukan kebahagiaan. Itulah sebabnya setiap saat kita
merasakan kesedihan melanda. Sebenarnya kesedihan itu merupakan akibat dari
keinginan, sedangkan kegembiraan itu berpangkal dari kesedihan, dan bahkan
kadang-kadang kegembiraan itu melanjut dari kesedihan itu sendiri. Karena itu
orang yang mendambakan kebahagiaan abadi, harus meninggalkan keduanya. Ketika
kesedihan muncul bersama hilangnya kegembiraan, atau kegembiraan datang setelah
kesedihan, maka ketika itu orang harus menjaga keseimbangan, jangan sampai
terpengaruh, dan bebaskan diri seperti ular yang membebaskan diri dari lapisan
kulitnya yang tua: senang atau susah, enak atau tidak enak harus diterima
dengan hati yang tenteram. Dan karena itu, walaupun paduka telah memutuskan
untuk tidak melakukan sesuatu lagi yang menyenangkan bagi keluarga paduka,
namun paduka harus memikirkan dan menyadari sedalam-dalamnya, mengapa? Orang
bodoh dan orang penghumbar nafsu akan menikmati kesenangan disini. Tetapi
sebagian terbesar orang tidak mampu mengejar kesenangan itu, karena itu orang
hanya merasakan penderitaan. Itulah O Yudisthira yang diutarakan oleh raja
Senajita yang bijaksana itu. Bahwa dia itulah orang yang sebenar-benarnya
memahami tentang apa yang baik dan buruk di dunia ini, yang menyangkut
kewajiban dan menyangkut kegembiraan dan kesedihan. Orang yang terbawa arus
kesedihan hanya karena akhir terhadap kesedihan itu, dan kesedihan terjadi
karena kegembiraan itu sendiri. Kegembiraan dan kesedihan, keuntungan dan
kerugian, hidup dan mati, berganti-ganti menimpa semua kehidupan. Karena itu
orang bijaksana yang berjiwa tenteram tidak akan pernah terlalu gembira dengan
kesenangan dan terlalu sedih ditimpa kemalangan.
Dikatakan bahwa perang merupakan
yajna bagi para raja; berlaku adil memberikan hukuman kepada yang salah
merupakan yoga baginya, sedangkan membagi-bagikan harta benda merupakan
tindakan kedermawanan yang menghasilkan punia (pahala baik sebagai kebalikan
dari papa), dan perbuatan itupun dipandang sebagai Daksina baginya. Semuanya
itu harus dipandang sebagai perbuatan yang menyucikan. Dengan mengindahkan
kerajaan dengan berbudi luhur dan politik, meniadakan kecongkakan, menyelenggarakan
Yajna, dan memandang segala-galanya penuh kasih sayang dan adil, maka raja yang
berbudi luhur itu setelah meninggal dunia akan hidup bersama para Dewa. Dengan
memenangkan peperangan, melindungi kerajaan, meminum cairan Soma, memajukan rakyat,
teguh menegakkan hukum keadilan dan kemudian tewas di dalam pertempuran, raja
itu akan mendapat kebahagian hidup di alam Surga. Setelah mempelajari semua Weda
dan Kitab suci yang lain, setelah melindungi kerajaan, dan setelah menata
tugas-tugas bagi catur warna, Raja itu menjadi suci dan akhirnya menjadi
penghias alam Surga. Ia akan menjadi raja terbaik, walaupun sudah tiada, ia
tetap akan dihormati oleh rakyat, para pemimpin dan sahabat-sahabat. ****
Seperti itulah hidup ini, bahwa
semuanya jika tanpa kehendak sang Kala (waktu) sebagai sebuah pantulan cermin
karma-karma yang pernah kita lakukan tidak akan ada sesuatu yang terjadi jika
sang Kala memang tidak berkehendak. Usaha tanpa doa dan restu akan menjadi
sebuah usaha biasa saja yang hasilnya tidak maksimal. Saat itulah peran restu
dan sang Kala sangat berpengaruh.
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar