Jangan Berhenti Menebar Benih
Kebaikan
Oleh: Prabu Darmayasa
Tersebutlah seorang suci yang
tinggal di India Tengah, bernama Ekanath. Beliau sangat maju didalam yoga
samadhi-nya dan hidupnya sangat sederhana. Para penduduk mengenalnya sebagai
seorang pendeta yang tidak pernah marah. Tidak ada yang mampu memancing
amarahnya dan karena itulah para penduduk ingin sekali melihat apa yang akan
terjadi jika beliau marah? Mereka ingin biar dapat melihat Ekanath marah sekali
saja. Berbagai usaha sudah pernah dicoba namun selalu gagal.
Hal itu menambah “gregetan” hati
para penduduk setempat. Keinginan mereka untuk melihat Ekanath marah semakin
menjadi-jadi. Hingga suatu ketika, mereka membujuk seseorang untuk memancing
keluar kemarahan Ekanath. Orang itu dibayar mahal, hanya demi para penduduk
dapat melihat kemarahan Ekanath sekali saja.
Pada suatu hari, sebagaimana
biasanya dalam kesehariannya, Ekanath pergi ke sungai untuk mandi. Ekanath
langsung melakukan pemujaan sederhana dan masuk ke dalam sungai. Sedangkan di
bagian pinggir sungai yang lain, di bawah pohon, lelaki bayaran itu duduk
dengan tenang sambil makan kacang kulit, menunggu Ekanath selesai mandi.
Setelah selesai mandi Ekanath naik ke daratan, berjalan mengarah ke ashramanya
untuk melakukan persembahyangannya.
Tiba-tiba, Ekanath dihadang oleh
lelaki itu. Setelah dekat, lelaki itu meludahi wajah Ekanath, setelah itu ia
pergi dan kembali duduk di bawah pohon tadi.
Sesuai aturan “kependetaan”,
dalam keadaan kotor seperti itu beliau tidak boleh melakukan persembahyangan.
Akhirnya Ekanath turun lagi ke sungai dan kembali mandi. Selesai mandi Ekanath
naik ke daratan untuk pulang ke Ashramnya. Di tempat yang tadi, kembali lelaki
itu menghadang Ekanath dan meludahinya. Ekanath tersenyum, kemudian kembali ke
sungai dan mandi lagi. Sedangkan lelaki itu masih tetap duduk-duduk menunggu di
bawah pohon sambil makan kacang.
Lelaki itu juga tersenyum.
Tetapi, senyumnya berbeda dengan senyum Ekanath. Senyum Ekanath adalah senyuman
yang penuh kasih, sedangkan senyum lelaki itu adalah senyum ejekan. Lelaki itu
tetap melakukan penghinaannya, sedangkan Ekanath juga tetap melakukan tugas
mandinya.
Kejadian tersebut berlanjut terus
sampai ratusan kali. (ada yang menyebutkan bahwa Ekanath diludahi sampai 108
kali).
Melihat Ekanath tidak terganggu
sama sekali oleh ratusan penghinaannya, maka lelaki itu mulai berpikir, “Ini
manusia atau Dewa?!” Ia tidak yakin ada orang sesabar itu yang meskipun dihina
dan diludahi tetapi tetap saja tersenyum penuh kasih.
Lelaki itu berpikir lebih lanjut,
“Kalau orang luar biasa ini mengutukku…. aku pasti akan mengalami kematian yang
mengerikan…” Lelaki itu segera mendekat dan menjatuhkan diri di kaki Ekanath
serta meminta ampun. Dia lalu menceritakan bahwa sesungguhnya ia adalah lelaki
bayaran yang ditugaskan untuk mengganggu Ekanath. Beliau mengampuni lelaki itu
dan melanjutkan perjalanan pulang ke ashramanya.
Demikianlah cerita Ekanath
diperdengarkan ke anak cucu turun menurun untuk memberikan “samskara” atau
bentukan karakter indah kepada anak-anak.
Sumber: Hindu Dharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar