Suatu hari seorang ayah dan anaknya sedang duduk berbincang-bincang di tepi sungai. Sang Ayah berkata kepada anaknya, Lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua akan mati.
Pada saat yang bersamaan, seekor ikan kecil mendengar percakapan itu dari bawah permukaan air, ikan kecil itu mendadak gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam kehidupan ini. Ikan kecil itu berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil bertanya kepada setiap ikan yang ditemuinya, Hai tahukah kamu dimana tempat air berada? Aku telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati.
Ternyata semua ikan yang telah ditanya tidak mengetahui dimana air itu, si ikan kecil itu semakin kebingungan, lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang sudah berpengalaman, kepada ikan sepuh itu ikan kecil ini menanyakan hal yang sama, Dimanakah air?
Ikan sepuh itu menjawab dengan bijak, "Tak usah gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga kamu bahkan tidak menyadari kehadirannya. Memang benar, tanpa air kita semua akan mati."
Apa arti cerita tersebut bagi kita. Manusia kadang-kadang mengalami situasi yang sama seperti ikan kecil, mencari kesana kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya, bahkan kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai ia sendiri tidak menyadarinya.
Rabu, 27 Februari 2013
Selasa, 26 Februari 2013
Kisah Seorang Mahatma Gandhi
Pasukan Inggris sebagai salah
satu tentara terkuat dan disegani dunia, kala itu harus ditarik mundur dari
India hanya karena kekuatan cinta seorang manusia kurus kering, berbaju sangat
sederhana, dan memakan apa yang dimakan sebagian besar rakyatnya. Beliau adalah
Mohandas Karamchand Gandhi, atau biasa dikenal dengan Mahatma Gandhi (Jiwa yang
agung).
Sebagai seorang pengacara
kenamaan, Gandhi seharusnya bisa menikmati kehidupan yang sangat nyaman di
Afrika Selatan. Namun perlakuan yang dialaminya sebagai warga kelas dua disana,
membuat ia selalu terbayang akan nasib bangsanya, yang masih hidup di bawah
penjajahan Inggris.
Ia pun meninggalkan semua kehidupan mewahnya di Afrika Selatan dan pulang kembali ke negerinya. Ketika turun dari atas kapal, Gandhi disambut hangat oleh rakyatnya. Ia diminta untuk naik ke atas panggung untuk berpidato. Namun, pidatonya begitu singkat : "”Terima kasih atas penyambutan Anda semua,”" kata Gandhi sambil memberikan salam khas bangsa India. Dengan rendah hati ia mengaku, bertahun-tahun meninggalkan negerinya, ia merasa tak tahu akan keadaan bangsanya, jadi tidak mungkin ia bisa berbicara banyak.
Senin, 25 Februari 2013
Sebuah Pelita
Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.” Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!” Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!” Si buta tertegun.. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.” Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.” Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!” Si buta tertegun.. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.” Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.” Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.
Jumat, 22 Februari 2013
Setitik Noda Pada Mutiara
Ada seorang tua yang sangat
beruntung. Dia menemukan sebutir mutiara
yang besar & sangat indah, namun kebahagiaannya segera berganti menjadi
kekecewaan begitu dia mengetahui ada sebuah titik noda hitam kecil di atas
mutiara tersebut.
Hatinya terus bergumam, kalo lah
tidak ada titik noda hitam, Mutiara ini akan menjadi yang tercantik &
paling sempurna di dunia!!
Semakin dia pikirkan semakin
kecewa hatinya. Akhirnya, dia memutuskan untuk menghilangkan titik noda dengan
menguliti lapisan permukaan mutiara.
Tetapi setelah dia menguliti
lapisan pertama, noda tersebut masih ada.
Dia pun segera menguliti lapisan
kedua dengan keyakinan titik noda itu akan hilang.
Tapi kenyataannya noda tersebut masih
tetap ada. Lalu dengan tidak sabar, dia mengkuliti selapis demi selapis, sampai
lapisan terakhir. Benar juga noda telah hilang, tapi mutiara tersebut ikut hilang!!
Begitulah dengan kehidupan nyata,
kita selalu suka mempermasalahkan hal yang kecil, yang tidak penting sehingga
akhirnya merusak nilai yang besar...
Persahabatan yang indah puluhan
tahun berubah menjadi permusuhan yang hebat hanya karena sepatah kata pedas
yang tidak disengaja .....
Keluarga yang rukun dan
harmonispun jadi hancur hanya karena perdebatan-perdebatan kecil yang tak penting ...
Yang remeh kerap dipermasalahkan..
Yang lebih penting dan berharga
lupa dan terabaikan...
Seribu kebaikan sering tak
berarti...
Tapi setitik kekurangan diingat
seumur hidup......
Mari belajar menerima kekurangan
apapun yang ada dalam kehidupan kita...
Bukankah tak ada yang sempurna di
dunia ini ...?
Kamis, 21 Februari 2013
Kekayaan, Kesuksesan Atau Cinta?
Suatu ketika, ada seorang wanita
yang kembali pulang ke rumah, dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang
duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua.
Wanita itu berkata, "Aku
tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti sedang lapar. Mari masuk
ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk mengganjal perut."
Pria berjanggut itu lalu balik
bertanya, "Apakah suamimu sudah pulang?"
Wanita itu menjawab, "Belum,
dia sedang keluar."
"Oh kalau begitu, kami tak
ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali," kata pria itu.
Di waktu senja, saat keluarga itu
berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami awalnya
bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, "Sampaikan
pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati
makan malam ini.
Wanita itu kemudian keluar dan
mengundang mereka untuk masuk ke dalam. "Maaf, kami semua tak bisa masuk
bersama-sama", kata pria itu hampir bersamaan. "Lho, kenapa?"
tanya wanita itu karena merasa heran. Salah seorang pria itu berkata,
"Nama dia Kekayaan," katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut
di sebelahnya, "Dan sedangkan yang ini bernama Kesuksesan, sambil memegang
bahu pria berjanggut lainnya. Sedangkan aku sendiri bernama Cinta. Sekarang,
coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk ke rumahmu."
2 Orang Negro di Dalam Lift
Baru-baru
ini di Atlantic City - AS, seorang wanita memenangkan sekeranjang koin dari
mesin judi. Kemudian ia bermaksud makan malam bersama suaminya. Namun, sebelum
itu ia hendak menurunkan sekeranjang koin tersebut di kamarnya. Maka ia pun
menuju lift.
Waktu
ia masuk lift sudah ada 2 orang hitam di dalamnya. Salah satunya sangat besar .
. . Besaaaarrrr sekali. Wanita itu terpana. Ia berpikir, "Dua orang ini
akan merampokku." Tapi pikirnya lagi, "Jangan menuduh, mereka
sepertinya baik dan ramah."
Tapi
rasa rasialnya lebih besar sehingga ketakutan mulai menjalarinya. Ia berdiri
sambil memelototi kedua orang tersebut. Dia sangat ketakutan dan malu. Ia
berharap keduanya tidak dapat membaca pikirannya, tapi Tuhan, mereka harus tahu
yang saya pikirkan!
Untuk
menghindari kontak mata, ia berbalik menghadap pintu lift yang mulai tertutup.
Sedetik . . . dua detik . . . dan seterusnya. Ketakutannya bertambah! Lift
tidak bergerak! Ia makin panik! Ya Tuhan, saya terperangkap dan mereka akan
merampok saya. Jantungnya berdebar, keringat dingin mulai bercucuran.
Rabu, 20 Februari 2013
Satu Senar Tetap Indah
Satu Senar
Niccolo Paganini, seorang pemain
biola yang terkenal di abad 19, memainkan konser untuk para pemujanya yang
memenuhi ruangan. Dia bermain biola dengan diiringi orkestra penuh.
Tiba tiba salah satu senar
biolanya putus. Keringat dingin mulai membasahi dahinya tapi dia meneruskan
memainkan lagunya. Kejadian yang sangat mengejutkan senar biolanya yang lain
pun putus satu persatu hanya meninggalkan satu senar, tetapi dia tetap main.
Ketika para penonton melihat dia hanya memiliki satu senar dan tetap bermain,
mereka berdiri dan berteriak, “Hebat, hebat.”
Setelah tepuk tangan riuh
memujanya, Paganini menyuruh mereka untuk duduk. Mereka menyadari tidak mungkin
dia dapat bermain dengan satu senar. Paganini memberi hormat pada para penonton
dan memberi isyarat pada dirigen orkestra untuk meneruskan bagian akhir dari
lagunya itu.
Selasa, 19 Februari 2013
Sebuah Kerang Mutiara
Mutiara
Pada suatu hari seekor anak
kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam
memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. “Anakku,” kata sang ibu sambil
bercucuran air mata, “Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah
tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu.”
Si ibu terdiam, sejenak, “Sakit
sekali, aku tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan
hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan
nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang
bisa kau perbuat”, kata ibunya dengan sendu dan lembut.
Anak kerang pun melakukan nasihat
bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di
tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan,
bertahun tahun lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai
terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin
berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa
lebih wajar.
Sebuah Pilihan
Hidup Adalah pilihan
Ada 2 buah bibit tanaman yang
terhampar di sebuah ladang yang subur.
Bibit yang pertama berkata, “Aku
ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku
dalam dalam di tanah ini, dan
menjulangkan tunas tunasku di atas kerasnya tanah ini.
Aku ingin membentangkan semua
tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi.
Aku ingin merasakan kehangatan
matahari, dan kelembutan embun pagi di pucuk pucuk daunku.”
Dan bibit itu tumbuh, makin
menjulang.
Bibit yang kedua bergumam. “Aku
takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan
kutemui di bawah sana.
Bukankah disana sangat gelap? Dan
jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan
tunas tunasku akan hilang?
Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka,
dan siput siput mencoba untuk
memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan
berusaha untuk
mencabutku dari tanah. Tidak,
akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman.”
Dan bibit itupun menunggu, dalam
kesendirian.
Beberapa pekan kemudian, seekor
ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang
kedua tadi, dan mencaploknya
segera.
Memang, selalu saja ada pilihan
dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani.
Namun, seringkali kita berada
dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan kebimbangan yang kita
ciptakan sendiri.
Kita kerap terbuai dengan alasan
alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup.
Karena hidup adalah pilihan,
maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup adalah pilihan, maka,
pilihlah dengan bijak.
Kamis, 14 Februari 2013
Berbahagia Dengan Memberi
Kebahagiaan Diperoleh dari Memberi
Kisah ini bercerita tentang seorang
wanita cantik kaya raya yang mengeluh kepada psikiaternya bahwa dia merasa
seluruh hidupnya hampa tak berarti.
Maka si psikiater memanggil
seorang wanita tua penyapu lantai dan berkata kepada si wanita kaya,” Saya akan
menyuruh Sukreni di sini untuk menceritakan kepada anda bagaimana dia menemukan
kebahagiaan. Saya ingin anda mendengarnya.”
Si wanita tua meletakkan gagang
sapunya dan duduk di kursi dan menceritakan kisahnya:”OK, suamiku meninggal
akibat malaria dan tiga bulan kemudian anak tunggalku tewas akibat kecelakaan. Aku
tidak punya siapa siapa. aku kehilangan segalanya. Aku tidak bisa tidur, tidak
bisa makan, aku tidak pernah tersenyum kepada siapapun, bahkan aku berpikir
untuk mengakhiri hidupku. Sampai suatu sore seekor anak kucing mengikutiku
pulang. Sejenak aku merasa kasihan melihatnya.
Rabu, 13 Februari 2013
Kesabaran Orang Tua
Ayah, Anak dan Burung Gagak
Satu kisah yang menarik untuk
dijadikan teladan. Pada suatu sore seorang ayah bersama anaknya yang baru saja
menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil
memperhatikan suasana di sekitar mereka.
Tiba tiba seekor burung gagak
hinggap di ranting pohon. Si ayah lalu menunjuk ke arah gagak sambil bertanya,
“Nak, apakah benda tersebut?” “Burung gagak”, jawab si anak. Si ayah mengangguk
angguk, namun beberapa saat kemudian mengulangi lagi pertanyaan yang sama. Si
anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi lalu menjawab dengan
sedikit keras, “Itu burung gagak ayah ”
Tetapi sejenak kemudian si ayah
bertanya lagi pertanyaan yang sama. Si anak merasa agak marah dengan pertanyaan
yang sama dan diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih keras, “BURUNG GAGAK ” Si
ayah terdiam seketika. Namun tidak lama kemudian sekali lagi mengajukan pertanyaan
yang sama sehingga membuatkan si anak kehilangan kesabaran dan menjawab dengan
nada yang ogah ogahan menjawab pertanyaan si ayah, “Gagak ayah…….”.
Perahu Harapan
Berlayar Menuju Pantai Harapan
Anda adalah perahu kokoh yang
sanggup menahan beban,
terbuat dari kayu terbaik, Dengan
layar gagah menentang angin.
Kesejatian anda adalah berlayar
mengarungi samudera,
menembus badai dan dan menemukan
pantai harapan.
Sehebat apapun perahu diciptakan,
tak ada gunanya bila hanya tertambat di dermaga.
Dermaga adalah masa lalu anda .
Tali penambat itu adalah
ketakutan dan penyesalan anda.
Jangan buang percuma seluruh daya
kekuatan yang dianugerahkan pada anda.
Jangan biarkan masa lalu menambat
anda di situ.
Lepaskan diri anda dari ketakutan
dan penyesalan.
Berlayarlah Bekerjalah
Selasa, 12 Februari 2013
Sebuah Keagungan Suku Kata “Om” dalam Siwa Purana
Om Namah Shivaya......
Rsi Suta berkata:
“Suku kata Om merupakan sebuah
perahu istimewa yang akan menyeberangkan kita dari samudra keduniawian.
(Pranava berasal dari kata Pra =
Prakriti atau keduniawian, dan Nava yang berarti perahu). Atau Pranava juga berarti ‘tidak ada dunia untukmu’ atau juga
berarti itu yang menuntunmu menuju pembebasan’. Pranava juga berarti ‘itu yang
menuntun pada pengetahuan yang baru’ Setelah menghancurkan semua kegiatan
perbuatan, maka orang yang mengucapkan Pranava dan melakukan puja akan mendapatkan, pengetahuan yang baru tentang jiwanya. Pranava ini
terdiri dari dua wujud yaitu wujud yang halus dan wujud yang kasar.
Wujud yang halus terdiri dari satu
suku kata dimana persatuan lima suku
kata pembentuknya tidak terbedakan lagi. Sedangkan wujud yang kasar terdiri
dari lima suku kata
dimana semua suku kata yang ada termanifestasikan di dalamnya. Wujud
yang halus diperuntukkan bagi para Jivanmukta (mereka yang telah mengalami
pembebasan). Perlunya perenungan terhadap suku kata ini adalah untuk
menghancurkan kesan badaniah atau keduniawian. Jika kesan ini telah musnah,
maka tidak diragukan lagi, roh itu akan bersatu dengan Shiva. Meskipun hanya
dengan pengucapan mantra ini, maka ia akan mencapai persatuan dengan Shiva
(samadhi).
Orang yang
mengucapkan mantra Pranava sebanyak 36 crore tidak diragukan lagi akan mencapai samadhi. Wujud halus Pranava ini juga terbagi menjadi
dua yaitu yang panjang dan yang pendek. Wujud yang panjang hanya ada di dalam hati seorang yogi dalam wujud terpisah, huruf A, U, M
Bindu dan Nada. Wujud ini dipenuhi dengan kekuatan suara sang waktu. Shiva,
Shakti dan persatuan keduanya ditandai dengan huruf ‘M’ yang lebur dalam tiga
huruf lainnya. Inilah yang disebut sebagai Pranava yang halus dalam bentuk
singkat atau pendek.
Pranava ini harus diucapkan oleh mereka yang ingin
menghapuskan dosa-dosanya. Lima
unsur yang terdapat di alam
ini yaitu ether, udara, api dan tanah dan lima unsur halusnya yaitu suara,
sentuhan, wujud, rasa dan bau, semua ini akan bersatu dalam rangka pencapaian
suatu keinginan yang disebut Pravritta. Pranava yang berwujud halus dalam
bentuk singkat ditujukan pada mereka yang menginginkan keberlanjutan kesadaran
duniawi dan mereka yang tidak menginginkan keduniawian.
Pranava hendaknya dipergunakan ada permulaan Vyahrti, mantra permulaan Veda,
dan dalam pelaksanaan doa pagi dan sore bersamaan dengan Bindu dan Nada. Jika
ia mengucapkan mantra ini sembilan crore maka ia pasti akan menjadi sebuah jiwa
yang murni”.
(Siwa Purana Widyeshwara Samhita XVII 4-18)
Sabtu, 09 Februari 2013
Kekuatan Sang Kala (Waktu)
Kekuatan Sang Kala (Waktu)
Manusia sering kali tidak sabaran
akan suatu hal, apalagi jika hal tersebut tidak menyenangkan bagi dirinya. Bahkan
jika dihiperbolakan kondisi ketika manusia itu dilanda kesusahan adalah rasanya
dunia ini runtuh. Tetapi jika kita lihat dan cermati lagi itu semua adalah
sebuah proses menuju pada kedewasaan diri, menuju pada sebuah pencarian diri
dari sang jiwa ini. Ada sebuah nasihat orang tua yang musti kita ingat yaitu: “suka,
duka, lara, pati ento sing dadi kelidin....”. Coba kita amati sepenggal kalimat
tersebut, disana ada 3 hal yang kadang kita sebut dengan kesedihan, yaitu:
duka, lara dan pati, hanya ada satu kebahagiaan, yaitu suka. Karena memang sejatinya
seperti itulah hidup di dunia ini, lebih banyak kesedihan, tetapi dari
kesedihan dan kesusahan itulah kita belajar tentang arti hidup.
Suka-duka, kesedihan dan
kegembiraan semua silih berganti. Tidaklah tepat bila seseorang berlarut-larut
dalam kesedihan ataupun berleha-leha ketika ia berbahagia, orang bijak tidak
terikat oleh keduanya. Akan hal ini ada sebuah nasihat dari kisah di dalam Santi
Parwa Mahabharata:
Jumat, 08 Februari 2013
Rendah Hati Bukanlah Rendah Diri
Belajar Dari Padi Dan Laut
Orang yang angkuh dengan kata
katanya hanya menunjukkan kesempitan pengetahuan dan wawasannya. Dia hanya
sedikit mengenal dunia, sehingga bicara seolah olah menguasainya. Sedang orang
yang cerdas dan berwawasan luas pastilah rendah hati, karena dia mengerti
betapa kecilnya ia, betapa sedikit ilmunya dibanding luasnya samudra ilmu dan
cakrawala dunia
Ia adalah orang yang belajar dari
ilmu padi, makin berisi makin merunduk..
Ia adalah orang yang belajar dari
ilmu laut,..
bahwa ....
“..alasan mengapa laut selalu dipuji oleh ratusan aliran air dari pegunungan adalah karena ia selalu merendah di bawah mereka…”
“..alasan mengapa laut selalu dipuji oleh ratusan aliran air dari pegunungan adalah karena ia selalu merendah di bawah mereka…”
Kamis, 07 Februari 2013
Secarik Cerita Tentang Upacara Mecaru
MECARU
Oleh: Ida Bhawati
Putu Setia
Nabe Waktra saya, Ida Pandita Mpu
Nabe Jaya Prateka Tenaya dari Griya Padangsari, Desa Padangan, Tabanan, dikenal
sebagai Sulinggih yang tidak banyak bicara. Orangnya sangat kalem dan cenderung
pendiam. Namun beliau, sangat terbuka dan menyediakan waktunya berjam-jam untuk
memberi pencerahan.
Suatu kali beliau guyonan dengan
saya, dan katanya hal ini jarang dilakukan. Tema guyonan adalah soal mecaru,
tentu di antara guyonan itu banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik. Ceritanya,
suatu kali ada sekelompok orang yang datang ke griya Pandita Mpu. Mereka ingin
melaksanakan pecaruan di merajannya. Namun, karena mereka mengikuti kelompok
spiritual tertentu, mereka ingin mecaru yang mereka sebut "secara
moderen". Jenis pecaruan itu sendiri adalah Panca Sanak, artinya memakai
lima ayam dan satu itik. Tentu tergolong besarlah. Namun, karena ini mecaru
"secara moderen", mereka tak ingin memotong ayam dan itik. Pokoknya
tidak ada binatang yang dibunuh dan tak ada tetesan darah hewan apa pun yang
ada. Itu himsa karma, tak sesuai dengan Weda, begitulah mereka menyebutkanya.
Belajar Bersyukur Dari Sebongkah Batu
Batu Dan Mutiara
Pada suatu ketika, hiduplah
seorang pedagang batu-batuan. Setiap hari dia berjalan dari kota ke kota untuk
memperdagangkan barang barangnya itu. Ketika dia sedang berjalan menuju ke
suatu kota, ada suatu batu kecil di pinggir jalan yang menarik hatinya. Batu
itu tidak bagus, kasar, dan tidak mungkin untuk dijual. Namun pedagang itu
memungutnya dan menyimpannya dalam sebuah kantong, dan kemudian pedagang itu
meneruskan perjalanannya.
Setelah lama berjalan, lelahlah
pedagang itu, kemudian dia beristirahat sejenak. Selama dia beristirahat, dia
membuka kembali bungkusan yang berisi batu itu. Diperhatikannya batu itu dengan
seksama, kemudian batu itu digosoknya dengan hati hati batu itu. Karena
kesabaran pedagang itu, batu yang semula buruk itu, sekarang terlihat indah dan
mengkilap. Puaslah hati pedagang itu, kemudian dia meneruskan perjalanannya.
Rabu, 06 Februari 2013
Kehidupan Adalah Pantulan Tindakan
Cerita Dari Gunung
Seorang bocah mengisi waktu luang
dengan kegiatan mendaki gunung bersama ayahnya. Entah mengapa, tiba tiba si
bocah tersandung akar pohon dan jatuh. “Aduhh ” jeritannya memecah keheningan
suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut, ketika ia mendengar suara di
kejauhan menirukan teriakannya persis sama, “Aduhh “. Dasar anak anak, ia
berteriak lagi, “Hei Siapa kau?” Jawaban yang terdengar, “Hei Siapa kau?”
Lantaran kesal mengetahui suaranya selalu ditirukan, si anak berseru, “Pengecut
kamu ” Lagi lagi ia terkejut ketika suara dari sana membalasnya dengan umpatan
serupa. Ia bertanya kepada sang ayah, “Apa yang terjadi?” Dengan penuh kearifan
sang ayah tersenyum, “Anakku, coba perhatikan.” Lelaki itu berkata keras, “Saya
kagum padamu ” Suara di kejauhan menjawab, Saya kagum padamu ” Sekali lagi sang
ayah berteriak “Kamu sang juara ” Suara itu menjawab, “Kamu sang juara ” Sang
bocah sangat keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti. Lalu sang ayah
menjelaskan, “Suara itu adalah gema, tapi sesungguhnya itulah kehidupan.”
Gunung dan Hutan Itu Mendamaikan
Mendaki Gunung Dan Menjelajah Hutan
Kadang kadang aku bertanya pada
saat kami berkemah dan berada disekitar api unggun.
Apa yang kami cari jauh begini
mendaki gunung?
Apa gunanya?
Apa kurang kerjaan atau perlu ke
dokter jiwa atau bagaimana?
Dalam hening malam sepi terkadang
kita mendengar jawabannya.
Ditengah hutan dipuncak yang
jauh, tinggi dan sepi, seakan ada jawabannya.
Kalau kita jauh dari kota, jauh
dari orang banyak, tanpa radio, tv, dvd atau telephone, kita bisa lebih tenang.
Mata kita lebih melihat.
Pendengaran lebih mendengar.
Perasaan lebih merasa.
Penglihatan lebih melihat.
Melompat Lebih Tinggi
Kisah Seekor Belalang
Seekor belalang telah lama
terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang
mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia melompat lompat menikmati
kebebasannya. Di perjalanan dia bertemu dengan seekor belalang lain. Namun dia
keheranan mengapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh
darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri
belalang itu, dan bertanya, “Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih
jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh ?”.
Belalang itu pun menjawabnya
dengan pertanyaan, “Di manakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang
yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan”.
Selasa, 05 Februari 2013
Sebuah Telaga Hati
Telaga Hati
Suatu ketika, hiduplah seorang
tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang
dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Pemuda
itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Pemuda itu menceritakan
semua masalahnya. Pak Tua yang bijak mendengarkan dengan seksama. Beliau lalu
mengambil segenggam garam dan segelas air. Dimasukkannya garam itu ke dalam
gelas, lalu diaduk perlahan.
“Coba, minum ini, dan katakan
bagaimana rasanya,” ujar Pak tua itu.
“Asin. Asin sekali,” jawab sang
tamu, sambil meludah kesamping.
Pak Tua tersenyum kecil mendengar
jawaban itu. Beliau lalu mengajak sang pemuda ke tepi telaga di dekat tempat
tinggal Beliau. Sesampai di tepi telaga, Pak Tua menaburkan segenggam garam ke
dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga itu.
Gunung Yang Tinggi dan Jurang Yang Dalam
Dalam Gelap Bintang Bersinar Terang
Oleh: Gede Prama
Sebuah pepatah Zen yang
inspiratif berpetuah apik, “bila gunung tinggi maka jurangnya dalam.” Ini sudah
menjadi hukum alam sejak dulu. Tidak ada satupun gunung tinggi yang tidak
disertai oleh jurang yang dalam.
Kita semua menerima hukum alam
ini secara ikhlas tanpa penolakan yang teramat berarti. Akan tetapi, begitu
berhadapan dengan diri sendiri maupun pemimpin, ada semacam ketidakrelaan
massal dalam hal ini.
Sebut saja diri ini yang tidak
semuanya terjelaskan. Ketika sampai di salah satu puncak gunung yang tinggi
(baca: jabatan dan penghargaan yang tinggi), jarang sekali ada orang yang tidak
rela menerimanya. Namun, begitu jurang ada di depan mata ( pensiun, turun
jabatan dan sejenisnya) tidak sedikit orang yang amat tidak rela. Bahkan,
banyak orang yang membiarkan dirinya tersiksa atau jatuh sakit oleh jurang
jurang sejenis.
Senin, 04 Februari 2013
Menebar Kebaikan
Jangan Berhenti Menebar Benih
Kebaikan
Oleh: Prabu Darmayasa
Tersebutlah seorang suci yang
tinggal di India Tengah, bernama Ekanath. Beliau sangat maju didalam yoga
samadhi-nya dan hidupnya sangat sederhana. Para penduduk mengenalnya sebagai
seorang pendeta yang tidak pernah marah. Tidak ada yang mampu memancing
amarahnya dan karena itulah para penduduk ingin sekali melihat apa yang akan
terjadi jika beliau marah? Mereka ingin biar dapat melihat Ekanath marah sekali
saja. Berbagai usaha sudah pernah dicoba namun selalu gagal.
Hal itu menambah “gregetan” hati
para penduduk setempat. Keinginan mereka untuk melihat Ekanath marah semakin
menjadi-jadi. Hingga suatu ketika, mereka membujuk seseorang untuk memancing
keluar kemarahan Ekanath. Orang itu dibayar mahal, hanya demi para penduduk
dapat melihat kemarahan Ekanath sekali saja.
Sabtu, 02 Februari 2013
Sekilas Sasana Kepemangkuan
SASANA: ETIKA DAN TUGAS PEMANGKU
A. Pendahuluan
Bila kita perhatikan kegiatan
keagamaan di Bali tidak lepas di dalamnya terkandung suatu ajaran mengenai
etika, susila, upakara dan tampaknya aktivitas upakara dan upacara yang sangat
mendominasi aktivitas kegiatan sehari-hari oleh umat Hindu di Bali. Dalam kegiatan
tersebut diperlukan seorang yang diyakini mampu untuk memimpin upacara tersebut
sesuai dengan tingkat upacara, untuk kegiatan tingkat upacara kecil dan
menengah diperlukan seorang pemangku untuk mengantar pelaksanaan suatu upacara.
Dibalik hal tersebut di atas
sebenarnya pemangku juga sangat berperan penting di dalam menuntun umat dalam
memahami ajaran agama Hindu, dimana di jaman global dan informasi, seorang
pemangku dituntut untuk bisa mampu membina umat terutama kepada generasi muda
yang merupakan generasi penerus dalam pengemban ajaran agama Hindu, sehingga
para generasi muda betul-betul memahami agamanya sendiri dan tidak terjerumus
terhadap hal-hal yang negatif. Seorang pemangku diharapkan dapat meningkatkan
kualitas penghayatan serta pengamalan ajaran agama sehingga diperlukan
pembekalan yang cukup bari para pemangku maupun calon pemangku.
Melalui tulisan ini tanpa
bermaksud untuk menggurui, diharapkan dapat membuka cakrawala dan menambah
wawasan seorang pemangku maupun calon pemangku sehingga dapat mengetahui peran,
tugas dan tanggung jawab sebagai pemangku dalam arti seorang pemangku tidak
semata-mata bertugas menghaturkan upakara saja (dari satu sisi saja) tetapi
yang utama adalah menuntun umat agar memahami hakikat ajaran agama Hindu.
Langganan:
Postingan (Atom)