Rabu, 17 Oktober 2012

Kedewasaan dan Ketuaan


Menjadi tua itu pasti, namun menjadi dewasa itu adalah sebuah pilihan. Lahir, tua dan mati itu sebuah kepastian yang akan kita hadapi. Semua orang pasti akan mengalaminya, tergantung sejauh mana kedewasaan kita memaknai dan mengisi hidup ini. Kita boleh saja berandai-andai dan berkeinginan untuk memiliki segala sesuatu di dunia ini, namun tetap ketuaan dan kelangsungan umur kehidupan ini ada batasnya. Semua kepemilikan material yang kita miliki dan angan-angankan sekarang ini nantinya tidak akan bisa kita bawa sampai mati. Berikut ini adalah sebuah penggalan cerita dari epos wiracarita Mahabharata tentang kepastian hari tua dan kedewasaan kita dalam menyikapi dan memaknai hidup.

Raja Yayati mengalami ketuaan karena kutukan Resi Sukra yang tersinggung karena sang raja yang sudah menjadi menantunya mengabaikan nasihat sang resi untuk tidak menikahi Sarmishta. Resi Sukra menyatakan bahwa penyakitnya bisa sembuh bila ada salah seorang putranya yang sanggup menukar kemudaannya dengan ketuaan sang raja. Raja Yayati kemudian mendatangi para putranya. Pertama Yayati mendatangi Yadu putra sulung hasil perkawinannya dengan Dewayani. Yadu berkata, “Ayahanda, aku ingin melaksanakan tugas sehari-hari dengan baik. Apa yang akan terjadi saat rambutku memutih dan tenagaku lemah? Umur tua tidak menyenangkan Ayahanda dan aku tidak mau bertukar usia dengan Ayahanda!” Kemudian Yayati mendatangi Turwasu, putra keduanya. Turvasu berkata, “Tidak Ayahanda, aku tidak ingin umur tua menghilangkan kekuatanku dan ketampananku!” Yayati kemudian mendatangi Druhyu dan Anu, putra sulung dan putra kedua dari perkawinannya dengan Sarmistha. Akan tetapi keduanya juga menolak menukar usia mudanya dengan usia tua ayahandanya. Ketika Yayati mendatangi putra bungsu dari perkawinannya dengan Sarmistha, dia sudah siap menerima penolakannya dan berupaya akan menerima usia tuanya dengan sebaik-baiknya.

Raja Yayati menemui Puru, putra bungsunya. Sang raja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sejak pertemuannya dengan Dewayani dan Sarmishta, sampai dirinya dikutuk oleh Resi Sukra menderita penyakit tua dan hanya akan kembali muda bila ada seorang putranya yang sanggup menukar usia mudanya dengan ketuaan dirinya. “Putraku aku telah menjelaskan semuanya kepadamu, agar kamu dapat menarik hikmah dari kejadian yang telah kualami.” Tidak ada yang perlu disesali, semuanya sudah terjadi, yang penting tidak diulangi. Keinginan-keinginan duniawiku membuat siklus hidupku semakin panjang. Aku tidak begitu berhasrat lagi untuk memintamu menggantikan diriku menerima kutukan Resi Sukra. Aku akan menerimanya dan sisa waktuku yang lebih sedikit akan kugunakan untuk bertapa.”

Puru berkata, “Ayahanda, keempat kakakku menolak menukar usia mudanya dengan ketuaan Ayahanda dan mereka juga telah kau tolak sebagai putra mahkota. Diriku pun masih terlalu muda untuk menjadi penggantimu bila ayahanda pergi bertapa. Demi ibunda, demi ayahanda, demi kerajaan ini aku merelakan usiaku menjadi tua, kuterima tugas menggantikan diri Ayahanda untuk menjalani kutukan. Semoga ayah dapat memperoleh seorang putra lagi untuk menjadi putra mahkota. Semoga ayah menyelesaikan tugas-tugas yang masih tertunda……” Jawaban Puru membuat Raja Yayati kaget, terharu dan butir-butir air matanya bercucuran.

Puru masih remaja dan belum banyak mengenal sastra, buku-buku suci. Akan tetapi Puru dengan tulus mengikuti suara hatinya. Tak ada rasa takut, tak ada penyesalan di dalam hatinya. Puru bahagia melihat ayahandanya bahagia, kemudian ibundanya akan berbahagia dan seluruh rakyat pasti akan berbahagia pula, karena masih mempunyai raja yang kuat. Tanpa disadari dalam diri Puru sudah bangkit “Rasa Kasih”.

Raja Yayati menjadi muda kembali dan memerintah kerajaan dengan adil dan bijaksana. Kemarahan Dewayani sudah berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Bahkan kini Dewayani telah dikaruniai seorang Putri bernama Madawi. Dewayani bahkan memberikan penghormatan kepada Puru atas pengorbanannya. Sarmishta sedih melihat putranya yang kelihatan tua, tetapi sekaligus bangga mempunyai putra yang berjiwa agung.

Kesadaran Raja Yayati dan kedua istrinya meningkat. Raja Yayati sadar, “Wahai Gusti Hyang Maha Kuasa, kami menyadari bahwa apa pun yang kami alami, sebetulnya adalah akibat dari tindakan kami sendiri di masa lalu. Bagaimana cara menghadapi masalah yang berada di depan mata, itulah pilihan yang ada pada saat ini, yang akan menentukan akibat ke depan.” Kemudian Raja Yayati bersyukur, “Terima kasih Gusti yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan tugas yang harus kami selesaikan dalam kehidupan ini. Wahai Gusti, kami juga bersyukur bahwa Gusti telah menganugerahi kami dengan putra yang berjiwa luhur.”

Dan, akhirnya pada suatu hari Raja Yayati memanggil Puru untuk mengembalikan kemudaannya. Puru setelah menjadi muda kembali, kemudian dinobatkan sebagai raja pengganti Yayati. Yayati berkata, “Putraku aku dulu salah dalam mengidentitaskan diriku. Pikiranku ku anggap sebagai diriku sehingga aku terombang-ambing antara mengejar kesenangan dan ketakutan mengalami penderitaan. Kini aku sadar. Kelahiranku, kehidupanku, semua sudah ditentukan sebelumnya, tetapi bagaimana cara menghadapi ketentuan itu sepenuhnya tergantung pada diriku sendiri. Dan kini aku memutuskan menyerahkan kemudaan dan kekuasaan kerajaan kepadamu.”

Raja Yayati juga sudah memaafkan para putra yang lain, Yadu diminta menjadi raja di Daerah Selatan, Druhyu menjadi raja di Barat Daya, Turwasu dan Anu di daerah Utara. Yayati kemudian mengembara di hutan memusatkan perhatian kepada Tuhan sampai akhir hayatnya.

Resi Shukabrahma putra Bhagawan Byasa mengakhiri kisah tentang Puru kepada Parikesit dengan berkata, “Dari Yadu putra Dewayani lahirlah kaum Yadawa yang termasuk para raja Surasena, Kunti dan Chedi. Sri Krishna berasal dari Dinasti Yadawa. Sedangkan Pandawa, nenek moyangmu berasal dari keturunan Puru. Dari Turwasu lahir para raja di Utara. Dari Druhyu lahir para Raja Gandhara, Dari Anu lahir para raja Angga, Pundra, Kalingga, Wangga dan Suhma.”

1 komentar: