Kamis, 05 Juli 2012

Mencapai Kebebasan di Jaman Kaliyuga


Guru Maharsi Wyasa tenggelam dalam meditasinya dan merenung  dalam tapasyanya. Suatu hari Sanata Kumara datang. Wedawyasa menghaturkan sebuah penyambutan selamat datang dan menghaturkan upacara (sebuah ritual) sesuai dengan adat yang ada. Sanata Kumara sangat berkenan dan mengajarkan Maharsi Wyasa cerita tentang Siwaisme.
Wahai Putra Satyawati!
Kebenaran yang mutlak dan satu-satunya adalah obyek dari perenungan atau tapasya. Kemudian tidak ada kebenaran yang tertinggi selain Siwa. Inilah yang sebenarnya, seseorang sepertimu harus mampu melihat-Nya. Ia meminta sang Rsi untuk melakukan apa yang ia minta.
Rsi Wedawyasa menjawab:
Aku mencatat berbagai jalan dimana manusia bisa mencapai keempat tujuan yang disebut dengan Purusha artha – Dharma, Artha, Kama dan Moksa. (Berpegang teguh pada hukum suci, menghasilkan uang, memenuhi keinginan dan akhirnya mencapai kebebasan- mukti.). Bahkan setelah melakukan hal ini semua, aku masih tidak mampu mendapatkan jnana itu yang adalah alat untuk mencapai kebebasan. Dengan pikiran seperti itulah aku bertapa.
Sanata Kumara tersenyum dan berkata:
Mengapa mengkhawatirkan hal itu? Dulu akupun menderita kebimbangan yang sama dan melakukan tapasya. Dengan berkah Siwa, aku berlari ke Nandikeshwara yang meyakinkanku. Ia memberkahiku hanya dengan Shrawana, Chintana, Manana dan Kirtana seseorang bisa mencapai-Nya.
Wahai putra Parasara! Kaupun harus melakukan ketiga hal ini. Lupakan keinginanmu yang lain. Tenanglah dan berpegang-teguhlah.
Kejarlah cita-citamu dengan ketetapan hati.
Setelah mengatakan hal ini, Sanata Kumara pergi dengan sahabat-sahabatnya ke Brahmaloka.
Karena itulah, kata Rsi Suta bahwa Shravana, chintana, manana dan kirtana akan menjadi jalan untuk menyadari-Nya.
Kata Rsi Shaunaka dan yang lainnya:
Apa yang kau katakan memang benar. Tetapi ketiga hal ini yang disebut dengan sadhana trikam sangat lama dicapai. Bahkan tidak mungkin pada jaman Krita dan juga Treta yuga. Dengan sedikit usaha akan bisa dicapai pada masa Dwapara. Tetapi pada jaman Kaliyuga manusia memiliki umur yang pendek. Dalam hidup yang pendek, adakah cara yang lebih mudah?
Maharshi Suta kemudian menjawab:
Tidak hanya dalam Kaliyuga. Pada jaman apapun adalah mudah untuk mencapai kebebasan. Yaitu dengan memuja (berdoa) Siwa dengan menggunakan lingga. Seseorang itu bisa memiliki lingga pada telapak tangannya, atau pada tempat pemujaan, pada ruang yang khusus atau kuil/ pura. Bisa juga pada tempat suci peziarahan. Ia yang memuja Siwa pasti akan mencapai pembebasan. Perenungan/meditasi (dhyana), memanggil dewa, menghaturkan tempat duduk, lampu, buah dan air, menghidupkan wewangian adalah proses pemujaan yang disebutkan dalam sastra dan menghaturkan semua keenam belas upacara—ritual – dengan ketulusan akan menghasilkan hasil yang baik. Ia yang tidak bisa melakukan widhi atau tugasnya menghaturkan pemujaan, bisa memuja lingga dengan memakai sebuah patung. Hanya Siwa dengan kesempurnaannya dan keagungannya dipuja sebagai ‘personalitas’. Dewa yang lain memiliki personalitas (murtimanta) tetapi tidak mencapai keadaan nirakarata – ketidakberwujudan dengan menjadi Paratatwa. Ini adalah alasan menyebut Siwa dengan Sarweswara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar