Kamis, 19 Juli 2012

Sejarah Banten di Bali dan Aspek Upacara Hindu


Sejarah Banten di Bali 

Membaca sejarah/babad/prasasti-prasasti/pelelutuk yang ada di Bali (antara lain: Markandeya Tattwa, Tutur Kuturan, Sanghyang Aji Swamandala, Gong Besi, Dwijendra Tattwa), maka: Upakara yang juga dinamakan: banten, bali, hanya bagi umat Hindu yang di Bali, atau bagi umat Hindu Bali yang merantau keluar Bali.
Sebabnya, Maharsi Markandeya yang datang ke Bali pada abad ke-8 mendapat wahyu bahwa umat Hindu di Bali perlu:
1. Melengkapi upakara dengan bentuk sesajen, yang kemudian bernama bali. Jadi nama bali berasal dari artinya yaitu : sajen/banten/upakara. Orang yang memuja Tuhan dengan sarana banten/bali dinamakan orang Bali. Tempat mereka tinggal dinamakan tanah/pulau Bali.
2. Pada awal kedatangan Maharsi Markandeya, beliau tidak tahu bahwa tata-cara di Bali harus menggunakan banten/upakara. Maka pengikutnya yang berjumlah 400 orang terkena bencana dan meninggal dunia.
Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung, bersamadhi, di situlah beliau mendapat 'petunjuk' dari Yang Maha Kuasa, bahwa Bali jangan disamakan dengan pulau lain. Maka beliau kembali ke Bali, melakukan ritual sesuai dengan 'petunjuk' menggunakan banten dan 'mendem panca datu' di Besakih. Selamatlah beliau beserta pengikutnya, dan berkembanglah banten di Bali.
Umat Hindu dari etnis lain di luar Bali, silahkan menggunakan tradisi mereka masing-masing, jangan dipaksakan menggunakan banten, karena sejak dahulu kala, Hindu di Jawa/Majapahit menggunakan sesajen yang berbeda dengan banten di Bali.

ASPEK UPACARA HINDU

Upacara dalam Bahasa Sanskrit berasal dari kata Upa yang artinya "dekat" dan Cara yang artinya "kegiatan". Jadi Upacara arti sempitnya adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka berbakti atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Arti sempit ini kemudian berkembang sehingga dalam bahasa sehari-hari, upacara tidak saja berarti kegiatan dalam lingkup keagamaan, tetapi juga kegiatan seremonial di bidang lain.
Tiga aspek yang menjadi kerangka Agama Hindu adalah : Tattwa, Susila, dan Upacara.
Tattwa membentuk pola pikir manusia tentang pemahaman filsafat Veda
Susila menggerakkan dan mengendalikan perilaku berdasar Tattwa
Upacara ritual yang menguatkan keyakinan Tattwa

Ketiga aspek itu menyatu dan saling berkaitan sehingga bila salah satu aspek lemah atau tidak ada maka kehidupan beragama tidak berjalan sempurna. Penonjolan salah satu aspek dari tiga kerangka Agama Hindu mencerminkan dua hal pokok yaitu kemampuan inteligensi dan "marga" yang digunakan dalam mencapai kesehatan spiritual.
Catur Marga adalah empat "jalan" menuju Tuhan yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga. Aspek Upacara bisa sangat menonjol pada Bhakti Marga sedangkan pada Marga-marga lainnya masalah ritual tidak terlalu diperhatikan. Walaupun demikian, dengan berbagai Marga manusia Hindu dapat mencapai Tuhan karena Veda telah menyediakan alternatif yang paling sesuai di mana pada hakekatnya ke-empat Marga dapat digunakan secara serentak dengan perimbangan bobot menurut kemampuan masing-masing.
Inilah salah satu ciri kebesaran Agama Hindu sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita IV.11 : "Ye yatha mam prapadyante, tams tathai va bhajamy aham, mama vartma nuvartante, manusyah partha savasah" : Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti-Ku, O Partha.
Aspek Upacara sangat berkaitan dengan Panca Yadnya, yaitu Deva Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Manusia Yadnya. Dalam Manava Dharmasastra III.73 disebut sebagai : Ahuta, Huta, Prahuta, Brahmahuta, dan Prasita. Yadnya adalah bhakti dalam bentuk pengorbanan suci yang tulus ikhlas.
Yadnya diadakan karena hidup manusia berawal dari adanya Rna atau "hutang" kepada tiga pihak yaitu :
1. Deva Rna, hutang kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan pada Atman untuk bereinkarnasi dalam kehidupan.
2. Pitra Rna, hutang kepada orang tua yang telah melahirkan dan memelihara.
3. Rsi Rna, hutang kepada para Maha Rsi yang telah memberikan pengetahuan Veda.

Upacara Panca Yadnya menggunakan Upakara, dari Bahasa Sanskrit di mana Upa artinya "dekat" dan Kara artinya "tangan" yaitu sesuatu yang dikerjakan dengan tangan dalam mewujudkan Bhakti. Bentuk upakara adalah sesajen dan sarana pendukungnya.
Unsur-unsur Upakara adalah : bunga, air, api, biji-bijian/buah-buahan dan harum-haruman. Kelima unsur ini disebut Panca Upakara, sebagai pengembangan dari sloka Bhagawadgita IX.26 : “Pattram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhaktyupahrtam, asnami prayatatmanah”. : Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima. Penggunaan api disebutkan dalam Manava Dharmasastra III.76 : “Agnau prastahutih samyag adityam upatistate, adityajjayate vrstir vristerannam tatah prajah” : Persembahan yang dijatuhkan ke dalam api akan mencapai matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan timbullah makanan, dari mana mahluk mendapatkan hidupnya.
Upakara berupa sesajen dan sarana pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak karena berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi. Dari bentuk dasar berupa Panca Upakara menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan tatanan, selanjutnya menyatu dalam tradisi yang membudaya.
Dari sini berkembanglah berbagai jenis sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan penggunaan warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Dewa-Dewa di arah mata angin, yaitu : Iswara di timur berwarna putih, Brahma di selatan berwarna merah, Mahadewa di barat berwarna kuning, dan Wisnu di utara berwarna hitam. Selanjutnya Dewa dan warna-warna sela : Mahesora di tenggara berwarna merah muda, Rudra di barat daya berwarna oranye, Sangkara di barat laut berwarna hijau, Sambhu di timur laut berwarna abu-abu dan Siwa di tengah-tengah berwarna campuran.
Upakara sebagai simbol atau Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai :
1. Kekuatan Tuhan,
2. Wujud bhakti,
3. Prasadam/ Lungsuran/ Surudan,
4. Sarana pensucian roh,
5. Mantra.

Sebagai kekuatan atau Sakti Tuhan misalnya niyasa yang disebut sebagai Daksina, banyak digunakan di India dan Nusantara; sebagai wujud bhakti, antara lain berbagai jenis sesajen persembahan; sebagai Prasadam adalah makanan-minuman yang telah diberkati; Sarana pensucian roh banyak digunakan pada upacara Sraddha baik berupa bunga, air dan api; kemudian Mantra-Mantra dapat pula diwujudkan dalam bentuk ornamen dan sesajen tertentu, atau kain dengan warna tertentu bertuliskan aksara-aksara suci misalnya OM, Ang, Ung, Mang, dll. Selain itu Niyasa dalam bentuk bangunan misalnya Pura/Mandir, dan patung/arca.
Pedoman dasar upacara Agama Hindu disebut dalam Weda sebagai Brahmana (Karma Kanda), dan Aranyaka/ Upanisad (Jnana Kanda). Kitab-kitab yang tergolong Karma Kanda dari Rg Weda adalah Aiteraya dan Kausitaki, dari Sama Weda adalah Pancavimsa dan Sadvimsa, dari Yayur Weda adalah Satapatha dan Taittiriya, dari Atharwa Weda adalah Gopatha. Kitab-kitab yang tergolong Jnana Kanda dari masing-masing Samhita jumlahnya puluhan buah.
Upacara-upacara yang berkaitan dengan Rg Weda Samhita meliputi arti kedudukan yang penting dari Div (sinar suci), dan prosedur pemujaan yakni urutan pengucapan mantra. Yang berkaitan dengan Yayur Weda Samhita, baik Sukla Yayur Weda maupun Krsna Yayur Weda adalah upacara korban dan penjelasan mistisnya. Yang berkaitan dengan Sama Weda Samhita adalah cara atau irama suara di kala mengucapkan mantra, dan yang berkaitan dengan Atharwa Weda Samhita menyangkut cara memanfaatkan pengetahuan untuk kehidupan dan kesehatan.
Upakara yang di Bali disebut Banten. Banten mula-mula dikenalkan oleh Maharsi Markandeya sekitar abad ke-8 kepada penduduk di sekitar pertapaan beliau di Desa Puakan, Taro (sekarang Kecamatan Tegallalang, Gianyar). Jenis simbol/niyasa ini adalah pengganti Mantra, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Yajnya Prakerti dan Mpu Lutuk. Jadi banten dikembangkan kepada umat Hindu yang tidak menguasai mantra-mantra dalam kegiatan bhaktinya. Banten itu dahulu dinamakan Bali, sehingga orang-orang yang melakukan upacara persembahyangan menggunakan Banten disebut orang Bali. Lama kelamaan ajaran Maharsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau maka jadilah nama pulau kecil ini : PULAU BALI

Sumber: disadur dari wacana Bhagawan Dwija


Tidak ada komentar:

Posting Komentar