Jumat, 07 Desember 2012

Banten Bukan Penebus Dosa


Banten vs Dosa

Warga Hindu (Bali) tiap kali menggelar upacara keagamaan bersaranakan banten. Termasuk saat melakukan upacara menyucikan diri secara niskala, banten juga menjadi sarana utama. Ida Pandita Dukuh, sesungguhnya seberapa besar banten bisa menyucikan dosa? Apakah banten bisa menggantikan dosa? Kalau banten memang bisa menebus dosa, atau setidaknya mengurangi berat-ringan dosa, tidakkah orang-orang kaya akan berlomba-lomba menebus dosa dengan banten, lalu tinggallah si miskin yang sakit-sakitan saja terus berkubang sepanjang hayat pada dosa? Kalau cuma miskin, orang pun bisa saja meminjam dulu uang, yang penting dosa akhirnya bisa dihapuskan.

Bagaimana ini mesti dipahami, diterangkan, biar pihak non-Bali Hindu juga bisa memahami praktek keagamaan kita di Bali yang sampai kini sedikit-sedikit menggunakan banten sebagai sarana rasa bakti, meskipun tidak lagi dengan membuat langsung, melainkan cukup dengan membeli, layaknya membeli komoditas lain di pasar swalayan? Terus terang saya belum menemukan jawaban tepat, karena itulah saya bertanya kepada Ida Pandita Dukuh. Mohon dapat diterangkan sejelas-jelasnya. Matur suksma.
                                                                                              
Made Yudyastana
Tampaksiring, Gianyar


Jawab:
Yadnya adalah persembahan dan korban suci yang dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Karena bersentuhan dengan ketulusikhlasan, maka yadnya yang kita persembahkan semestinya tanpa menimbulkan beban bagi yang melaksanakan. Ikhlas memiliki makna melakukan yadnya yang disesuaikan dengan batas kemampuan. Tanpa pamrih artinya dalam melakukan yadnya kita tidak mengharapkan suatu pembalasan atau penghormatan apa pun, melainkan semata-mata karena rasa bakti kita kepada leluhur, para dewa, dan pada akhirnya kepada Tuhan—yang kerap dirumuskan dengan kalimat “rame ing gawe sepi ing pamrih”.

Pada hakikatnya yadnya itu timbul dari rna atau utang. Adapun manusia memiliki tiga utang atau kewajiban utama yang disebut tri rna, yakni pitra-rna, dewa-rna, rsi-rna. Dari sinilah kemudian muncul panca yadnya: utang kelahiran (pitra-rna) akan melahirkan manusa yadnya dan pitra yadnya; utang hidup dan kehidupan (dewa-rna) memunculkan dewa yadnya dan bhuta yadnya; serta utang pengetahuan tentang hidup (rsi-rna) melahirkan rsi yadnya. Dalam Bhagawata Purana, yadnya itu dibagi menjadi lima hal pokok yang disebut panca maha yadnya, terdiri dari:
1. Drawya yadnya, yaitu beryadnya dengan harta benda, seperti banten dan sejenisnya;
2. Tapa yadnya, yakni beryadnya dengan pengendilan diri;
3. Jnana yadnya, yaitu beryadnya dengan mempelajari hidup dan kehidupan (pengetahuan rohani);
4. Yoga yadnya, yakni beryadnya lewat melatih diri dengan pengaturan napas kehidupan;
5. Swadyaya yadnya, yakni dengan mempersembahkan tenaga sebagai persembahan.

Jadi, berpijak pada panca maha yadnya ini, sesungguhnya, upacara dengan banten hanya seperlima bagian dari pelaksanaan yadnya. Begitu juga jika bersuluh pada tri kerangka agama Hindu—yang mencakup tatwa (filosofi), susila (etika), dan upacara, maka beryadnya tidak cukup hanya dengan sesaji atau banten.

Sayangnya, selama ini masih terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan beragama Hindu. Kebanyakan kita hanya mengutamakan upacara sebagai bentuk bakti kepada Tuhan dan terkadang mengabaikan etika serta tatwa yadnya itu sendiri. Akibatnya, memunculkan suatu bentuk upacara yang penuh sarat dengan sarana, sebaliknya sangat minim pengetahuan kita tentang tatwa upacara tersebut.

Jadi, yadnya, khususnya upakara (dari kata upa = dekat; kara = tangan) bukan bertujuan sebagai sarana penghapusan dosa, melainkan menjadi satu di antara bentuk bakti kepada alam, leluhur, para dewa serta Tuhan. Dengan demikian tidak perlu ada kekhawatiran bagi kita yang kurang mampu untuk melaksanakan upacara dengan banten besar atau megah. Masih ada banyak jalan yang bisa ditempuh sebagai bentuk pelayanan bakti kepada Tuhan, sehingga pencapaian jagadhita dan moksartham akan terwujud seperti disuratkan dalam Upanisad Manawa Sewa, “Layanilah manusia sebagaimana engkau melayani Tuhanmu.”

Sumber: Hindu Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar