Selasa, 04 Desember 2012

Kisah Parikesit: 7 Hari Menjelang Kematian


Kala itu Maharaja Parikesit sedang berburu di hutan, hari sangat panas dan dia merasa sangat kehausan. Sang Raja masuk pertapaan seorang pertapa dan minta air penghapus dahaga. Sang pertapa sedang khusyuk bermeditasi, matanya tertutup dan tidak ada perhatian dengan kedatangan sang maharaja. Parikesit berkata, “Apakah Resi benar-benar bermeditasi sehingga pikiran dan indera terabaikan, ataukah hanya mencoba menghindari saya karena keangkuhan dari seorang resi? Apabila seorang maharaja yang belum mencapai kesadaran sempurna datang, apakah seorang resi tidak perlu membuka mata?” Dalam keadaan tak nyaman karena sangat kehausan, pikiran jernih sang raja sedikit terkesampingkan. Keangkuhan seorang maharaja bangkit, dirinya mengambil bangkai ular dan meletakkannya di leher sang resi. Dan sang maharaja pun pergi meninggalkan pondok tersebut.

Di dalam salah satu kamar, Sringi, putra sang resi mendengar gerutuan seorang ksatria yang tidak sopan dan kemudian melihat ada ular yang dilingkarkan di leher ayahnya yang sedang bermeditasi. Putra sang resi menjadi marah, “Bagaimana etikanya seorang kesatria dapat melakukan hal demikian terhadap seorang brahmana? Tugas kesatria adalah melindungi orang-orang suci. Hal ini dapat terjadi karena Sri Krishna sudah tidak ada tak ada di atas permukaan bumi lagi. Wahai kesatria kukutuk dirimu agar digigit ular beracun dalam waktu seminggu!”

Saumika, sang resi terganggu oleh kemarahan sang putra dan membuka mata, “Wahai putraku, kau telah berdosa terhadap seorang maharaja. Akibat kesalahan kecil, kau mengutuk terlalu berat. Apabila sang maharaja mati, para penjahat akan berkembang biak, peran agama menurun dan terjadi kebingungan di masyarakat. Dan, semua kejahatan yang akan terjadi ini berasal dari ketergesa-gesaanmu dan akan membunuh kita semua. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengampuni  pemahamanmu yang belum matang ini.”

Sang resi berkata dengan penuh kewibawaan, “Akibat kemarahan, kau telah melupakan swadharma seorang brahmana. Kewajiban brahmana adalah untuk memaafkan. Kau tidak dapat menarik kutukanmu. Setelah berpulang, sang maharaja akan dikenang sepanjang zaman, sedangkan kau, apakah ada yang masih mengingatmu setelah kau mati nanti?” Sang putra menangis penuh penyesalan, “Baik ayahanda, kami mohon ampun atas kesalahan kami, kami akan segera pergi ke istana dan mohon sang baginda mengetahui kutukan kami dan agar beliau dapat mempersiapkan diri.”

Sesampai di istana Raja Parikesit merasa menyesal, mengapa melakukan tindakan yang tidak perlu. Dirinya telah menganggap sang resi yang sedang bermeditasi angkuh, padahal dirinyalah yang angkuh. Orang menjadi tidak adil karena keangkuhannya. Rasa angkuh membuat orang menjadi keras kepala, merasa benar sendiri. Raja Parikesit sadar, bila keadaan ini dibiarkan makin lama ia menjadi makin keras dan akan bertindak tidak adil untuk mempertahankan pendapatnya.

Tidak beberapa lama, Sringi, putra resi yang yang dilecehkan sang maharaja datang dan menangis di hadapan sang maharaja dan mengatakan kesalahannya karena telah terlanjur mengutuk sang maharaja. Entah kekuatan apa yang membuat maharaja Parikesit memeluk Sringi, “Wahai putra resi, adalah keberuntunganku aku kau kutuk, sehingga aku tidak harus menanggung kesalahanku di kehidupanku mendatang karena telah berbuat tidak sopan dengan orang suci. Kau adalah utusan Tuhan, untuk menyampaikan berita yang tidak mungkin disampaikan oleh manusia biasa. Kelahiranku, kehidupanku, semua sudah ditentukan sebelumnya, tetapi bagaimana kuhadapi ketentuan itu sepenuhnya tergantung pada diriku.”

Seandainya manusia tahu bahwa satu minggu lagi dia akan mati, dan dia boleh melakukan apa saja, maka tindakan apa yang perlu diambil? Sebuah pertanyaan yang menantang pikiran. Tetapi pikiran tetap tak dapat memutuskan yang terbaik, karena pikiran selalu diliputi keraguan. Sebuah jawaban akan disangkal yang lain. Manusia perlu belajar bagaimana maharaja Parikesit memutuskan mengambil tindakan apa saja sebelum kematiannya.

Sang maharaja segera menobatkan putranya sebagai raja pengganti. Dan, selanjutnya, dirinya pergi ke tepi Sungai Gangga. Para brahmana menghormati sang raja, karena meniru Pandawa, para kakeknya yang meninggalkan istana untuk mempersiapkan kematian. Akan tetapi mereka tidak dapat memberikan solusi yang tepat apa yang harus dilakukan Parikesit yang akan mengalami kematian dalam tujuh hari ke depan. Kejujuran dan ketidakpahaman tentang apa yang harus dilakukan menjelang kematian serta kepasrahan kepada Tuhan, Yang Maha Kuasa menggerakkan Resi Shuka, Putra Bhagawan Abiyasa mendatangi Parikesit. Resi Shuka dengan pancaran ketuhanannya menemui Parikesit di tepi Sungai Gangga.

Bhagawan Abyasa mempunyai tiga putra, tokoh-tokoh Dinasti Bharata, yaitu Drestarastra, Pandu Dewanata dan Widura. Pandu Dewanata adalah kakek buyut Parikesit. Akan tetapi Bhagawan Abyasa juga mempunyai seorang putra yang berasal dari permohonannya kepada Hyang Maha Kuasa, yang diberi nama Shuka. Shuka yang masih muda bisa dikatakan adalah kakek buyut Parikesit. Banyak yang percaya bahwa Bhagawan Abyasa adalah seorang “chiranjiwin”, seorang yang dikaruniai umur panjang. Dan, hal tersebut adalah wajar karena dia menyusun Weda, kisah Mahabharata dan Srimad Baghawatam yang masih menjadi panduan bagi umat manusia. Selama buah pikirannya masih dipakai maka pikiran Sang Bhagawan masih menyertainya. Setelah kematian ketiga putranya, Drestarastra, Pandu Dewanata dan Widura yang merupakan para kakek buyut Parikesit, Bhagawan Abyasa mohon kepada Hyang Maha Kuasa untuk memberinya putra dengan kualitas yang sempurna. Pada suatu saat, kala Bhagawan Abyasa sedang menggesekkan kedua kayu arani untuk membuat api suci dalam ritual persembahan “agni homa”, dia sekelebat melihat hapsari cantik Ghritaci. Sang Bhagawan tahu bahwa terpikat pada seorang Hapsari dapat membuat banyak permasalahan seperti yang pernah dialami nenek moyang dinasti Bharata. Maka Sang Bhagawan terus melanjutkan ritualnya. Sang Hapsari juga takut dikutuk sang resi dan mengubah wujudnya sebagai burung Shuka, sejenis burung beo. Dari api suci itulah lahir Shuka. Kita masih ingat bahwa Bhagawan Abyasa menguasai Weda, sehingga dia pun pernah mengubah segumpal daging menjadi seratus Korawa, sebuah pengetahuan tentang kloning yang dikuasai dengan sempurna. Sang Bhagawan juga membuat Sanjaya, putra Widura dapat melihat perang Bharatayudha dan melaporkan pandangan mata langsung secara detail kepada Drestarastra. Kita juga masih ingat bahwa Dewi Kunti mempunyai mantra pemberian Resi Durwasa untuk melahirkan Yudistira, Bhima, Arjuna dan Karna dari elemen alami. Ilmu pengetahuan sudah sangat maju pada zaman itu.

Putra adalah keturunan. Buah pikiran kita juga merupakan anak hasil pikiran dan kesadaran kita. Shuka adalah putra dari hasil pikiran dan kesadaran Sang Bhagawan. Shuka putra dan murid dari Bhagawan Abyasa ini mempunyai ingatan yang sempurna yang mampu memahami Srimad Bhagawatham secara utuh. Julukan Shuka, sebenarnya dapat merujuk kepada memori sempurna. Shuka adalah jiwa yang diwujudkan dengan kelahiran.

Shuka bahkan lebih sempurna dari Bhagawan Abhiyasa, karena Shuka adalah putra ideal dari pikiran Sang Bhagawan.  Konon ketika Shuka melewati beberapa gadis yang sedang mandi telanjang, para gadis tidak mempedulikan Shuka, sang perjaka tampan. Akan tetapi ketika Bhagawan Abyasa menyusul Shuka di belakangnya, para gadis cepat-cepat menutupi diri mereka dengan pakaian, meskipun ia sudah tua dan seorang resi. Abyasa bertanya, mengapa dia tidak mempedulikan Shuka yang muda tetapi malu dengan dia yang sudah tua, mereka menjelaskan bahwa Shuka adalah “Samadrik”, orang yang melihat tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, tetapi Abyasa belum mencapai tahap itu. 

Tuhan Hyang Maha Kuasa campur tangan dalam urusan Parikesit yang pasrah terhadap-Nya tentang bagaimana cara yang tepat yang harus dilakukan menjelang kematiannya dalam tujuh hari ke depan. Resi Shuka berkata pada Parikesit tentang cara terbaik menghadapi kematiannya. Parikesit sangat berbahagia dengan dukungan moril Resi Shuka. Seorang resi tidak asal berbicara, semua yang diucapkan adalah sabda ilahi. Resi Shuka berkata, “Hormatku pada ayahandaku yang telah menyusun Bhagawata Purana, tujuh hari ke depan akan menjadi tujuh hari teragung dalam hidupmu. Khatwanga saja bisa mencapai kaki Narayana dalam waktu 1 muhurta (48 menit). Umat manusia ke depan akan menerima manfaat dari kisah yang kuceritakan kepadamu. Potong tali ikatan keluarga dan duniawi, mandi dan duduk meditasi, persiapkan dirimu menghadapi kematian!” Manusia suka menunda, itulah sifat utama pikiran, manas, pikiran manusia, bila merasa saat ini kematian belum menjemput, lebih baik nanti saja melakukan persiapan untuk kematian. Demikian dilakukan sampai ajal menjemput dan manusia masih belum siap juga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar