Di Bali ada berbagai jenis
upacara keagamaan. Di antaranya bhuta yadnya, setingkat macaru dan tawur.
Lantas, apa ada batasan jangka waktu setiap tingkatan dan jenis upacara macaru
dan tawur? Pada saat seperti apa mesti digelar upacara bhuta yadnya yang
dinamakan caru dan bilamana lantas menggunakan tawur? Mohon penjelasannya.
Ni Wayan Sukasih
Buahan, Payangan, Gianyar
Jawab:
Terlebih dulu perlu kiranya
dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur. Dalam
lontar Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang
berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih,
kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata
(kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur
putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga
menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan, sehingga memiliki fungsi
sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki
kekuatan sampai datang piodalan berikutnya. Sedangkan panca sanak sampai dengan
panca kelud dalam lontar ini disebutkan sebagai caru yang berfungsi sebagai
pengharmonis atau penetral bhuwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa
dikaitkan dengan proses pamlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan
menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.
Adapun yang digolongkan tawur
dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan
yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih—digolongkan sebagai upacara besar
(utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi
sebagai pengharmonis bhuwana agung (alam semesta). Adapun tawur ini memiliki
kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk ekadasa rudra), dan 1000 tahun
untuk marebu bumi. Caru lazim digelar bilamana terjadi proses upacara
pamlaspasan dan ngenteg linggih pada tingkatan madya atau menengah. Begitu juga
manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan
caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Adapun tawur dilaksanakan pada
tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin
yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau lontar pada berbagai pura besar
di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan
kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
Sumber: Hindu Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar