Selasa, 04 Desember 2012

Kisah Parikesit dan Dewi Kunti: Pencarian dan Keyakinan Seorang Bhakta


Dewi Drupadi histeris, lima putra dan semua saudaranya terbunuh pada malam hari selagi tidur seusai perang Bharatayuda. Aswatama telah membunuh seluruh keturunan Pandawa yang masih hidup, sebagai balas dendam atas kematian Drona, ayahandanya, yang menurutnya dilakukan Pandawa dengan penuh tipu muslihat. Arjuna bersama Sri Krishna mengejar Aswatama yang bersembunyi di pertapaan Abyasa, kakek para Pandawa dan Hastina. Saat Arjuna menemukan Aswatama, mereka berperang tanding. Akhirnya, Bramastra, senjata Brahma, senjata sangat canggih dari Aswatama dilepaskan. Arjuna merasakan bulu kuduknya meremang, dan diingatkan Sri Krishna untuk segera melepaskan senjata yang sama.

Saat kedua senjata mengudara, Abyasa berteriak menggelegar, “Batalkan segera arah senjata-senjata itu, apabila sempat bertemu dunia akan musnah dan kalian berdua harus menanggung akibatnya! “Arjuna dapat mengendalikan dan menarik kembali senjatanya. Akan tetapi tidak demikian dengan Aswatama, dia belum mahir mengendalikan senjata tersebut dan agar tidak kembali dan membunuh dirinya maka senjata itu diarahkannya ke calon cucu Pandawa yang masih berada dalam kandungan, agar habis anak keturunan Pandawa.

Dewi Utari merasa ada sebuah gumpalan energi gelap mengejar dan mengancam kehidupan kandungannya dan dia memanggil nama Sri Krishna. Dewi Utari merasakan bahwa Sri Krishna memintanya duduk diam, menutup mata dan berdoa. Dewi Utari merasakan kedamaian, dan dalam bayangannya Sri Krishna telah masuk ke dalam kandungannya menunggu bramastra datang, kemudian menangkap dan membawa senjata itu keluar dari tubuhnya. Ada rasa kelegaan setelah bahaya yang mengancam bayi dalam kandungannya hilang. Bayinya telah diselamatkan Sri Krishna.

Aswatama kalah berperang tanding dengan Arjuna dan akhirnya diikat dengan tali dan digelandang secara memalukan. Sudah sepantasnya, karena dia telah membunuh putra-putra Pandawa di malam hari tanpa memperhatikan etika. Ternyata Drupadi minta Aswatama dilepaskan, dia ingat bahwa  ibu Aswatama akan merana bila dia dibunuh. Rupanya Drupadi telah dapat merasakan kesedihan seorang ibu yang putranya terbunuh. Arjuna berada dalam dilema, Drupadi, Yudistira dan kedua adiknya nampak mengharapkan agar Aswatama dilepaskan, sedangkan Bhima yang marah nampak mengharapkan dia untuk membunuh Aswatama. Arjuna memandang Sri Krishna yang tersenyum, seakan menunggu kebijakan apa yang akan dilakukan oleh dirinya. Arjuna paham maksud Sri Krishna, dan Arjuna memotong rambut kebrahmanaan Aswatama, mengambil permata di dahinya, dan mengusir Aswatama.  Sebuah solusi yang tepat. Nampak kelegaan pada wajah Bhima maupun yang lainnya. Akan tetapi bagi Aswatama itu adalah sebuah penghinaan yang amat keji. Menurut dia lebih baik dibunuh daripada diperlakukan sedemikian tidak hormat. Dia pergi dan dalam hati bertekad, “Ada suatu masa dimana anak keturunanku di Arwa Sthan menaklukkan negara anak cucu kalian!”

Kala Dewi Utari melahirkan, bayi putra almarhum Abimanyu tersebut diberi nama Wisnurata, karena dia telah dilindungi “Sang Wisnu” dan merupakan hadiah bagi kelangsungan dinasti Bharata. Akan tetapi Sri Krishna memanggilnya sebagai Parikesit, karena sejak masih dalam gendongan ia selalu memeriksa setiap orang yang ditemuinya, apakah orang yang ditemuinya adalah Sri Krishna yang menyelamatkannya ketika masih berada dalam kandungan ibunya atau bukan.

Parikesit begitu berbahagia kala melihat Sri Krishna, dan tanpa ragu tubuhnya bergerak-gerak dan menangis, minta dipangku Kakek Krishna. Suasana begitu hening, ada keharuan tak terkatakan saat Sri Krishna menggendong Parikesit. Semua orang di tempat kejadian tersebut menahan napas, dan air mata mereka meleleh tanpa henti menyaksikan luapan kasih antara seorang bayi dengan Sri Krishna. Bulu kuduk mereka meremang menyaksikan pertemuan antara dua jiwa suci. Isak tangis tertahan-tahan sahut-menyahut membangkitkan suasana haru. Mata bayi Parikesit dan Sri Krishna berkaca-kaca.

Beberapa hari setelah kelahiran Parikesit, Sri Krishna mohon pamit untuk kembali ke Dwaraka negara yang telah beberapa lama ditinggalkannya. Malam hari sebelum keberangkatan dirinya, Sri Krishna ditemui Dewi Kunti, adik dari ayahanda Sri Krishna. Adalah Dewi Kunti, ibu dari Pandawa yang menemuinya secara khusus. Dewi Kunti, adalah seorang wanita lansia yang telah menjadi nenek buyut dengan kelahiran Parikesit. Putra sulung Dewi Kunti, Yudistira pun sudah  tua. Akan tetapi gurat kecantikan dan ketabahan dalam menghadapi berbagai  penderitaan masih nampak yang membuat wajah Dewi Kunti nampak tegar dan dipenuhi sinar kasih.

Nampaknya sudah begitu lama, tumpukan kegelisahan yang ingin disampaikan kepada Sri Krishna tertahan oleh perasaan sungkan, dan kini ada kesempatan untuk mengungkapkannya. “Sri Krishna, aku adalah seorang yang bodoh, aku belum belajar Weda dan Brahmawidya, akan tetapi aku mengetahui kebenaran bahwa Engkau adalah Iswara, Tuhan yang mewujud. Engkau telah menyelamatkan putra-putraku berkali-kali. Engkau tahu bahwa Karna, putraku adalah seorang kesatria sejati yang pilih tanding, akan tetapi belum selaras dengan kebiasaan Pandawa yang sederhana. Engkau biarkan dia mati untuk menjunjung derajat kekesatriaanya, dan dikalahkan oleh putra tersakti sejagad, Arjuna. Putra-putra kami mendapatkan kerajaan kembali karena Engkau. Kala putra-putraku dalam kesusahan Engkau selalu datang membantu. Bahkan aku tahu, kala Drupadi dipermalukan oleh para Korawa, dan dia tidak dapat meminta tolong pada Pandawa maupun  Bhisma Putra Gangga, maka dia berteriak memanggil nama-Mu dan keajaiban terjadi, kainnya yang dilepaskan oleh Dursasana tak bisa habis karena kekuatan-Mu. Dia selamat karena dilindungi oleh-Mu”.

“Krishna ijinkan aku minta satu anugerah dari-Mu, semoga kesulitan demi kesulitan datang padaku agar aku selalu mengingat diri-Mu. Orang-orang bangsawan yang dilahirkan kaya dengan derajat yang tinggi mudah melupakan-Mu. Mereka cerdas mengetahui Weda akan tetapi diri mereka penuh ego dan angkuh karena kelebihan mereka. Aku percaya bahwa kau dilahirkan ke dunia untuk memenuhi janji-Mu bagi Sutapa dan Prisni. Engkau lahir untuk meringankan bunda bumi yang merasa terlalu berat dibebani adharma yang merajalela. Sri Krishna, tolong berilah aku pikiran untuk selalu terarahkan kepada-Mu. Seperti Sungai Gangga  mengalir dengan tulus ikhlas ke samudera dan tidak tertambat dengan berbagai keindahan di perjalanannya.” Dan perempuan sepuh tersebut berlutut dan menyembah kaki keponakannya.

Dewi Kunti terpanggil swadharmanya untuk mendampingi Pandawa di kala mereka mendapat kesusahan hidup. Setelah mereka menang perang Dewi Kunti tak ingin menikmati kesenangan duniawi. Selama masih menginginkan kesenangan duniawi, berarti dia belum sepenuhnya pasrah kepada Tuhan. Adanya keinginan duniawi menghambat keberadaan Tuhan di dalam diri. Dengan pasrah pada Tuhan, kehidupannya di dunia pun akan menjadi tanggungan-Nya. Sri Krishna segera mengangkat tubuh bibinya, dan berkata pelan, “Semoga demikian Bibi Kunti”. Dan butiran-butiran air mata jatuh dari kelopak mata Dewi Kunti dan Sri Krishna. Butiran air mata seorang  Awatara yang membasahi bunda bumi, dan menghidupkan semangat bunda bumi. Seakan-akan Sri Krishna memberkati bahwa setelah kepulangannya ke Dwaraka, Dewi Kunti akan meninggalkan istana, hidup sebagai Sanyasi di hutan, mendekatkan diri pada Tuhan sampai maut menjemputnya. Tubuh Dewi Kunti boleh tua dan memang harus mengalami ketuaan, tetapi semangatnya untuk mengabdi kepada Tuhan selalu muda. Karena Dewi Kunti, begitu yakin dengan kebijakan Sri Krishna, Dia yang bersemayam dalam hati nurani umat manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar