Selasa, 04 Desember 2012

Kisah Asura Hiranyaksa dan Waraha Awatara


Setelah banjir besar dan bumi tenggelam dalam mahapralaya, semuanya berada dalam ketenangan yang sempurna. Ketiga guna: rajas-agresif, tamas-malas, dan satwik-tenang berada dalam keseimbangan,  seperti api yang ditarik ke dalam kayu. Tak ada gerakan. Setelah beberapa lama, ada waktunya keseimbangan terganggu. Munculah tangkai bunga teratai dari pusar Narayana. Brahma lahir dan merasa berada dalam bunga teratai yang tak terukur besarnya. Brahma mencari pangkal bunga dan tak bisa tercapai sehingga kembali pada tempatnya semula. Seakan ada suara yang menyuruh dia bertapa dan dia mendapat visi tentang Narayana yang sedang terbaring pada Adhisesha yang putih seperti tangkai teratai. Seakan Narayana berkata, “Aku memberi tugas menciptakan dunia dan makhluknya.” Dan Brahma menjawab, “Semoga demikian.”

Pencarian Brahma yang gagal untuk mencapai pangkal bunga teratai yang tidak tidak terukur besarnya, adalah seperti pencapaian manusia dalam mencari Tuhannya. Akhirnya Brahma mendengarkan suara nuraninya dan mendapat petunjuk untuk bertapa. Keluar dari Brahma wujud empat resi: Sanaka, Sananda, Sanatama dan Sanathkumara dan mereka menolak permintaan Brahma untuk mencipta lebih lanjut. Brahma sangat marah tetapi dapat mengendalikannya dan dari keningnya keluar bayi merah yang menangis yang dinamakan Rudra. Brahma berkata, “Tempat kamu adalah hati, indera, hidup , langit, dan semua unsur alam. Kamu dapat mencipta di tempat-tempat tersebut!” Brahma kemudian mencipta sepuluh putra, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Bhrigu, Daksa, Marici, Wasishta, Narada. Dharma dan Adharma pun adalah putra Brahma. Dari hati Brahma juga lahir keinginan. Bayang-bayang Brahma mengambil bentuk sebagai putra yang bernama Kardama. Dari pikiran dan badan Brahma diciptakalah seluruh dunia. Dari empat mukanya lahir empat Weda. Brahma kemudian membagi tubuhnya menjadi satu pria dan satu wanita yang disebut Swayambhu Manu dan Satarupa. Dari mereka lahir lima anak, tiga putri: Akuti, Prasuti Dan Dewahuti serta dua pria: Priyawrata dan Uttanapada. Akuti menikah dengan Ruchi, Dewahuti dengan Kardama dan Prasuti dengan Daksa. Dan anak-anak mereka mendiami dunia ini. Kisah-kisah dalam Srimad Bhagawatam adalah kisah-kisah dari semua anak keturunan Brahma.

Manusia yang hidup di dunia ini adalah anak keturunan Manu. Dan, ada kehendak dalam diri manusia untuk mengetahui hakikat kehidupan. Perjalanan anak manusia meniti kembali ke dalam diri adalah perjalanan menuju “sangkan paraning dumadi”, awal mula penciptaan. Sifat Rudra yang ada dalam diri harus kembali terkendalikan. Berbagai “Keinginan” yang merupakan anak-anak Brahma harus tertaklukkan. Sifat pria atau wanita yang ada dalam diri manusia harus terlampaui. Sebagai bayang-bayang, manusia harus menyatu dengan diri sejati. Dalam diri manusia ada sifat rajas, tamas dan satwik, akan tetapi dalam diri manusia juga ada potensi ketuhanan yang mengatasi tiga sifat tersebut, karena pada hakikatnya semuanya berasal dari Tuhan. Segala sesuatu adalah proyeksi Tuhan.

Swayambhu Manu datang kepada Brahma, “Aku patuh pada perintah Ayahanda untuk mencipta di bumi, akan tetapi bumi sedang tenggelam!” Brahma berpikir bagaimana mengeluarkan bumi dan dia teringat pada Narayana yang akan selalu membantunya, karena Dia lah yang menyuruhnya untuk mencipta. Tiba-tiba dari lubang hidung Brahma keluar celeng kecil sebesar kelingking yang kemudian berkembang menjadi Celeng yang tak terukur besarnya. Inilah Narayana yang mewujud sebagai Waraha Awatara yang akan mengangkat bumi dari bawah samudera.

Di masa awal penciptaan tersebut terjadilah suatu peristiwa yang perlu direnungkan secara seksama. Tiga belas putri Daksha diberikan kepada Resi Kasyapa putra Marici. Diti salah seorang putri Daksha tersebut memiliki sifat sebagaimana manusia di bumi ini. Pada saat itu matahari mulai terbenam, yang merupakan saat suci bagi Resi Kasyapa untuk memuja Mahadewa, proyeksi Tuhan yang diberi kuasa untuk mendaur ulang alam. Diti datang kepada suaminya dengan gelora birahi tak tertahankan dan mengajak suaminya berkasih mesra. Resi Kasyapa berkata pelan, “Tentu istriku, seorang istri mendapat tempat terhormat dalam hati suaminya. Bahagia sekali aku dapat menemanimu. Akan tetapi ini adalah waktu suci pemujaan, sabarlah sebentar istriku”. wajah Diti memerah karena malu, dan keangkuhan serta kemarahannya muncul. “Seberapa kuat sih pertahanan suamiku?” Dan Diti mengambil inisiatif sehingga sang suami takluk.

Penyesalan selalu datang kemudian dan Diti menyesal, mengapa sifat keserakahan, keangkuhan dan kemarahan memenuhi dirinya, sehingga nurani ketuhanannya terkesampingkan. Pikiran, ucapan dan tindakan adalah benih yang akan berkembang menjadi lembaga, pohon, bunga  dan buah pada saatnya nanti. Sesuatu yang telah terjadi tidak dapat ditarik kembali. Manusia dibekali pikiran jernih, sehingga tidak bertindak reaktif menuruti hawa nafsunya. Itulah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk yang lebih rendah tingkat kesadarannya. Banyaknya peristiwa mesum di tempat parkir sepi, di semak-semak belukar, menandakan tingkat kesadaran para pelakunya masih rendah. Bila hal demikian dilakukan dengan sengaja, bila peringatan nurani dikesampingkan, maka nurani ketuhanan pun tertutup oleh gejolak nafsu yang membara. Dalam diri manusia masih terdapat “animal instink”. Hewan hanya beda kelas sedikit dengan manusia. Hewan makan daging mentah, manusia diberi bumbu dan diolah. Hewan tidur di liang dan manusia di rumah. Hewan melakukan seks pada saat musimnya dengan siapa saja tanpa pandang waktu dan tempat, manusia melakukan berdasarkan etika masyarakat. Mereka yang melanggar etika dan menuruti nafsunya belum mencapai derajat kemanusiaan, dia masih bersifat Asura.

Diti menghela napas dan menyadari bahwa dirinya telah diperbudak nafsu. Dirinya lupa bandul lonceng itu semakin dekat pusat, pengaruhnya ke bawah semakin besar. Sedikit gerakan pemimpin di pusat akan memberikan goyangan besar di masyarakat. Dirinya berada dekat dengan pusat dunia. tindakannya akan berpengaruh besar terhadap dunia. Tanpa sadar, kama-nafsu, mada-keangkuhan dan krodha-kemarahan telah membakar dirinya kala berhubungan dengan suaminya.
“Suamiku, aku takut, aku sudah menghina Shiwa, Sang Mahadewa, yang dilambangkan sebagai lingga dan yoni. Segala sesuatu dimulai dengan bertemunya energi Feminin dan energi Maskulin, Yin dan Yang, sperma dan ovum. Saat pertemuan yang seharusnya suci itu telah dipengaruhi aura kemarahan, keangkuhan dan nafsu yang menggelora. Apakah aku akan melahirkan seorang Asura?”, Diti mohon maaf dengan penuh penyesalan dan mohon apabila sang putra lahir, agar dilenyapkan oleh Narayana sendiri. Adalah merupakan berkah, bahwa seseorang dibunuh langsung oleh Narayana.

Beberapa purnama kemudian, dalam mimpi, Diti melihat dua asura tinggi besar dan perkasa bersimpuh dihadapannya. “Ibu, sudah lama kami menunggu. Sifat bawaan dari ayah dan ibu serta aura saat benih menyatu sesuai dengan jiwa  kami untuk menyelesaikan perhitungan kami di dunia.” Diti kemudian merasa ada dua ruh raksasa kembar yang masuk ke dalam janin yang dikandungnya.

Resi Sanaka dan tiga saudaranya bermaksud menemui Wisnu dan ditolak oleh penjaga istana Waikunta Jaya dan Wijaya, karena Wisnu sedang bercengkerama dengan Laksmi, istrinya. Resi Sanaka tidak suka atas cara penolakan mereka. Ketika Resi Sanaka bilang bahwa dia sudah mempunyai perjanjian dengan Wisnu, mereka tetap melarangnya. Resi Sanaka mengutuk mereka, “Aku melihat adanya kemarahan, keangkuhan dan nafsu merasa benar sendiri, ketika melarangku. Kalian merasa begitu dekat dengan Wisnu, sudah seharusnya kalian menolakku secara baik-baik. Disebabkan tindakan kalian. Maka kalian akan lahir di dunia dengan kama-gairah nafsu, krodha-kemarahan, mada-keangkuhan untuk melawan Wisnu.”

Wisnu keluar dari istana dan kedua penjaga berlutut pada kaki Wisnu. Wisnu berbicara pelan, “Semuanya memang harus terjadi, Aku merestui tindakan Resi Sanaka mengutuk kalian. Kalian akan dilahirkan di dunia tiga kali. Kalian akan membenci aku dengan kebencian yang teramat besar. Itulah Jalan pintas  penyatuan, jalan pintas yoga dimana kalian berpikir lebih banyak tentang diriku daripada kalian menjadi bhaktaku. Prioritasmu adalah mengalahkanku, semua pikiran lain kau kesampingkan. Bahkan selain saat tidur lelap, dalam mimpi pun kalian hanya memikirkan diriku.” Dan kedua anak kembar Diti lahir diberi nama Hiranyaksa dan Hiranyakasipu yang merupakan titisan dari Jaya dan Wijaya.

Malam itu Hiranyaksa mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan dengan Wisnu.  Hiranyaksa merasa apabila dirinya berhasil mengalahkan Wisnu dirinya akan menjadi penguasa mutlak tiga dunia. Memang dalam dirinya hanya ada satu keinginan, keinginan menaklukkan Wisnu yang amat dibencinya. “Ayahku adalah Resi Kasyapa yang bijak. Ibuku adalah Diti, seorang perempuan energik yang bergelora semangatnya. Genetik mereka berada dalam diriku. Aku adalah Asura yang cerdas dan bersemangat. Tiga dunia praktis sudah kukuasai. Asura tunduk padaku dan pada Hiranyakasipu, saudaraku. Para Dewa miris terhadap aku dan saudaraku. Hanya Wisnu, satu-satunya penghalangku.”

Hiranyaksa berkeliling mencari Wisnu dan begitu angkuh saat bertemu Ular Raksasa Waruna, dia bermaksud mengajak bertarung. Tetapi Waruna berkata pelan, “Aku sudah tua dan sudah lama menghentikan perkelahian.  Berkelahilah dengan Wisnu, musuhmu yang sebanding. Temuilah Narada dan tanyakanlah di mana Wisnu berada.” Saat bertemu, Narada berkata, “Kamu ingin berkelahi dengan Wisnu? Dia sedang mengambil wujud Waraha, Celeng Raksasa. Dia sedang di Rasatala, sedang mengangkat bumi.”

Tatkala Waraha menaikkan bumi dari dasar samudera, Hiranyaksa mengejarnya. Hiranyaksa menantang Waraha berduel dan menghinanya. Sang Waraha, menggeram, “Aku sedang menjadi binatang buas maka aku mendengar ocehanmu. Kau mengatakan bahwa dirimu pembela para Asura dan ingin membersihkan jalan Asura dari duri yang melukainya. Aku kau anggap duri. Bukan, Aku bukan duri, Aku Maha Pembalas Kejahatan. Sudah banyak sekali korban kejahatanmu. Sudah berulang kali kau menggunakan kekerasan dalam memaksakan kehendak. Kau telah menakut-nakuti masyarakat dengan menebar ancaman. Aku tidak suka kekerasan, tetapi aku sedang mewujud menjadi binatang buas, mari bertarung! Saatnya kau mempertanggung-jawabkan kekerasan yang telah kau lakukan berkali-kali.” Pertarungan yang luar biasa, berdarah-darah. Dunia gemetar, bumi berguncang, laut menggelegak, gunung-gunung tak sanggup menahan dan mengeluarkan muntahan api, taufan badai mengamuk. Pada akhirnya Hiranyaksa terbunuh oleh tangan Wisnu yang sedang mewujud sebagai Waraha.

Parikesit menyimak semua kisah Resi Shuka dan merasa bersyukur bahwa di akhir masa hidupnya di dunia dia telah diberi anugerah untuk mendengarkan kisah-kisah dalam Bhagawata Purana. Narayana selalu mewujud kala adharma sedang merajalela. Narayana mewujud untuk menegakkan dharma dan untuk membantu manusia yang sedang berada dalam kesusahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar