Rasa cinta itu anugrah, ia tak memandang siapa pun yang terkena panahnya akan dibuat mabuk kepayang. Ketika Dewa Kama sudah melepaskan panahnya, maka orang pun jadi lupa diri dan lupa daratan, segalanya yang ada hanyalah yang dicintainya. Berikut ini beberapa cerita tentang betapa saktinya panah asmara Dewa Kama yang bersumber dari beberapa cerita-cerita dalam sastra Hindu.
Sati adalah putri dari Daksa
Prajapati dan pendamping pertama Siwa. Ia bersedih hati dan akhirnya meninggal
karena ayahnya selalu menghina suami ilahinya. Diceritakan bahwa Sati yang
telah meninggal, terlahir kembali sebagai Parwati, yaitu putri Himalaya yang
cantik jelita. Pada suatu saat, Siwa pergi ke gunung Himalaya untuk melakukan
meditasi. Sementara itu seorang raksasa (danawa) yang bernama Taraka sedang
menyerang para dewa di kahyangan dan rupanya tidak ada satupun dewa yang mampu
mengalahkan kekuatan Taraka. Telah diramalkan sebelumnya bahwa yang akan
sanggup mengalahkan Taraka itu hanyalah putra dari Dewa Siwa sendiri.
Melihat Dewa Siwa sangat khusuk
dalam meditasinya maka para dewa kebingungan karena putra Siwa yang diharapkan
akan mampu mengalahkan Taraka tak kunjung lahir. Dewa Indra mengutus Parwati
agar mau menikahi Siwa kembali, yang sesungguhnya Parwati tidak ingin menikah
dengan suami lainnya. Kemudian Parwati mendatangi Siwa dengan membawa persembahan,
tetapi Siwa tidak tertarik dan bergeming dari samadhi-nya. Melihat itu semua
maka Dewa Indra mengutus Dewa Kama untuk menggoda Siwa agara jatuh cinta dan
muncul birahinya kepada Parwati. Mendengar perintah itu, segera Dewa Kama
melepaskan panah asmaranya kepada Siwa, walaupun ini pekerjaan yang sangat
beresiko. Dikisahkan bahwa panah asmara Dewa Kama terbuat dari bunga, sedangkan
busurnya terbuat dari gula tebu dengan tali busur barisan lebah-lebah. Rupanya,
kekuatan cinta dari Dewa Kama tidak dapat ditahan oleh siapapun, termasuk juga
oleh Dewa Siwa.
Sang Maha Yogi (Siwa) merasa
terganggu dengan tindakan Dewa Kama ini dan dengan penuh kemarahan Siwa
membakar Dewa Kama dengan api yang keluar dari mata ketiganya. Melihat Siwa
telah terbangun dari meditasinya maka Parwati segera mendekatinya. Siwa
akhirnya memperhatikan Parwati dan jatuh cinta kepadanya. Pada suatu perkawinan
agung maka Siwa dan Parwati menikah dan akhirnya melahirkan Dewa Skanda, dewa
perang. Sesuai dengan ramalan maka Skanda-lah yang berhasil membunuh Taraka.
Di samping itu, dalam Matsya
Purana diceritakan tentang gairah Dewa Brahma kepada Sawitri, putrinya.
Alkisah, suatu ketika Manu bertanya kepada Wisnu yang saat itu ber-awatar
sebagai ikan raksasa (Matsya Awatara) tentang mengapa Dewa Brahma menjadi
berkepala empat (catur mukha). Wisnu menjawab bahwa setelah Brahma menciptakan
Weda, kemudian ia menciptakan 10 orang bijak hanya dari kehendak dan pikirannya
saja. kemudian, ia menciptakan Dharma dari dadanya, Kama dari hatinya, kemarahan
dari keningnya, ketamakan dari bibirnya, khayalan dari kecerdasannya,
keangkuhan dari sifat angkuhnya, kegembiraan dari tenggorokannya, kematian dari
matanya dan Rsi Bharata dari tangannya. Rupanya Brahma masih belum puas dengan
semua ciptaannya itu, Ia bekehendak untuk menciptakan seseorang yang nantinya
akan menggantikan tugasnya dalam mencipta. Ia mulai memanggil Dewi Gayatri,
Sawitri, Saraswati, Brahmani dan nama-nama lainnya. Sang dewi yang tampil dalam
wujud seorang gadis dari sisi kewanitaannya badan Brahma akan dijadikan
putrinya. Kecantikan yang muncul dari ciptaannya itu sangat mengagumkan, dan
Sang Pencipta (Dewa Brahma) yang dilanda asmara tak berkedip menatapnya sambil
terus bergumam “sungguh merupakan perwujudan kecantikan yang sempurna”. Melihat
itu semua, anak-anak Brahma yang diasuh oleh Bhagawan Wasistha marah dan muak
terhadap sikap ayahnya kepada anak perempuannya. Akan tetapi Brahma yang telah
demikian jauh jatuh cinta terus saja menatap Sawitri. Mulailah Sawitri berjalan
mengelilingi Brahma dan Brahma terus menatapnya. Karena malu untuk memalingkan
muka maka Brahma menciptakan tiga lagi kepala sehingga dia sekarang berkepala
empat agar kemanapun Sawitri pergi dia dapat melihatnya. Sawitri kemudian pergi
ke surga dan Brahma segera menciptakan kepala kelima, yaitu di atas namun itu
tertutup oleh gelung rambutnya. Oleh sebab itulah Brahma kehilangan semua
kesaktian dan kekuatan yang diperolehnya melalui pertapaan dan meminta kepada
putra-putranya untuk mengembalikannya. Sebaliknya, Brahma sendiri mengikuti
Sawitri dan menikahinya dan tinggal bersama di dalam Bunga Teratai selama
seratus tahun.
Brahma yang dipenuhi rasa malu
kepada putra-putranya merasa marah kepada Dewa Kama yang telah melepaskan panah
asmaranya. Kemudian Brahma mengeluarkan kutukan bahwa Dewa Kama akan dibakar
menjadi abu oleh Siwa jika melakukan hal yang sama kepada Siwa. Akan tetapi
Dewa Kama menolak kutukan itu karena Dia sendiri diciptakan oleh Brahma dan
diberi tugas oleh Brahma untuk melepaskan panas cinta kepada siapapun tanpa
kecuali, termasuk juga Brahma. Akhirnya, Brahma mengabulkan permohonan Dewa
Kama dan mengatakan bahwa suatu saat jika Dewa Kama terbakar menjadi abu oleh
Siwa maka ia akan lahir kembali di keluarga Yadawa sebagai putra Krishna yang
bernama Pradyumna.
Kisah tentang Dewa Kama rupanya
juga melanda sang penguasa moralitas, Dewa Waruna. Karena pengaruh Dewa Kama
inilah Waruna berbuat adharma. Konon, putri dari Soma yang bernama Bhadra, tak
tertandingi kecantikannya dan Rsi Utathya telah dipilih sebagai suaminya.
Setelah upacara perkawinan selesai dilaksanakan, Waruna pergi ke hutan, tempat
tinggal Utathya untuk menculik Bhadra dan membawanya ke istananya yang megah,
yang dikelilingi 600.000 danau nan indah dan obyek-obyek kenikmatan lainnya. Di
istana tersebut Waruna bercinta dengan Bhadra. Ketika Rsi Utathya mengetahui
keberadaan istrinya dari Rsi Narada bahwa istrinya telah diculik oleh Waruna,
maka ia memberitahu Narada dengan marah untuk meminta istrinya kembali. Narada
berangkat ke istana Waruna sesuai dengan perintah Utathya, namun Waruna menolak
mengembalikan Bhadra, bahkan Narada dilemparkan keluar rumahnya dengan keras.
Mendengar ini semua, kemarahan Utathya tak terbendung lagi dan melalui
kekuatannya ia membuat semua air menjadi kering. Seluruh danau yang berada di
istana Waruna menjadi dataran tandus. Sungai Saraswati menjadi kering dan
daerah di sekitarnya tidak lagi menjadi tempat suci. Sampai akhirnya, tempat
tinggal Waruna sendiripun menjadi kering. Akhirnya, Waruna mengembalikan Bhadra
kepada Utathya, dan sang Rsi sakti ini mengembalikan lagi keadaan dunia seperti
semula. Waruna sadar atas kesalahannya dan terbebaslah dia dari segala
kesedihannya.
Dalam kitab Mahabharata,
khususnya Wanaparwa, bagian 45-46, juga diceritakan tentang Erotisme dan
Seksualitas sebagai berikut.
Suatu saat Arjuna mendapatkan
kehormatan dari Dewa Indra untuk berkunjung ke kahyangan Indra yang maha indah.
Arjuna tinggal di sana selama lima tahun dan selama itu dia banyak mendapatkan
ilmu berperang dari Dewa Indra, juga beberapa senjata sakti dari para dewa.
Dewa Indra mengetahui bahwa Arjuna sering memandang para bidadari cantik
(apsari) yang ada di kahyangan dan hal ini membuat Dewa Indra senang karena
saat Arjuna belajar bagaimana cara bertingkah laku dalam pergaulan dengan para
wanita. Oleh karena itu Dewa Indra mengutus seorang apsari yang bernama Urwasi
untuk menggoda sang Arjuna. Atas perintah Dewa Indra maka Dewa Kama melepaskan
panah asmaranya kepada Urwasi sehingga Urwasi merasakan jatuh cinta yang dalam
kepada Arjuna. Kemudian diceritakan tentang apa yang dilakukan Urwasi ketika
akan mengunjungi tempat tinggal Arjuna.
Dan setelah mandi ia mempercantik
dirinya dengan perhiasan-perhiasan indah dan rangkaian bunga surgawi yang harum
semerbak. Dan dikobarkan oleh dewa cinta dan hatinya yang tertusuk dalam oleh
anak panah yang diluncurkan oleh Dewa Kama. Dengan membayangkan ketampanan
Arjuna, secara mental ia membayangkan bercinta dengannya di tempat tidur yang
lebar dan indah, yang dihiasi dengan sprei surgawi. Dan ketika senja telah
berganti malam dan sang rembulan telah muncul, apsari yang berpinggul besar ini
keluar untuk mencari tempat tinggal Arjuna. Dan dalam situasi seperti ini
dengan rambut panjang berombak, yang di sana terajut banyak bunga Melati, ia
benar-benar tampak cantik sekali. Dengan kecantikan dan keanggunan serta daya
tarik gerakan alis matanya dan dari suaranya yang lembut serta wajahnya
bersinar bagaikan bulan, dia tampaknya menantang bulan sendiri, karena bulan
telah meluncur dari keanggunannya. Dan ketika berjalan, payudara yang berputing
hitam meruncing dengan indahnya yang dihias dengan kalung emas serta dilumuri
pasta harum kayu cendana, berguncang ke atas dan ke bawah. Dan akibat dari
berat payudaranya maka pada setiap langkah dia berusaha sedikit menunduk, yang
membuat tiga lipatan pembungkus pada pinggangnya yang ramping tampak indah. Dan
pahanya yang berbentuk sempurna, tempat kuil dewa cinta yang mengembang
bagaikan sebuah bukit, yang dilengkapi dengan pinggul bulat, pangkal paha
tinggi dan ramping, yang dihias dengan renda-renda keemasan, dibungkus oleh
pakaian tipis namun mampu menggoyahkan kesucian para Rsi, yang tampak sangat
anggung sekali. Pergelangan kakinya yang dihiasi dengan tumpukan barisan
genta-genta kecil, memiliki jari-jari panjang berwarna tembaga melengkung
bagaikan punggung kura-kura. Dan disegarkan oleh sedikit minuman keras yang
diteguknya dan digairahkan oleh keinginan dan oleh berbagai tipu daya lembut
dan yang menampilkan sensasi kesenangan, dia tampak lebih cantik dari
sebelumnya. Dan walaupun surga dipenuhi dengan keajaiban-keajaiban, namun bila
Urwasi pergi dengan cara seperti itu maka para Siddha, Carana, dan Gandharwa menganggapnya
sebagai keajaiban yang terindah yang pernah mereka saksikan. Dengan bagian atas badannya yang diututupi pakaian bercorak
indah yang berkilauan dengan warna-warna awan, dia tampak bagaikan bulan sabit
di langit yang meluncur diselimuti awan. Dan dengan kecepatan bagaikan angin
atau pikiran demikianlah dia yang tersenyum ramah dan cerah itu mendatangi
putra Pandu, Arjuna. Dan setelah mendapat izin maka ia memasuki istana yang
indah dan menyenangkan itu. Dengan pikiran yang dipenuhi keragu-raguan yang
mencemaskan hatinya, Arjuna menemuinya pada malam itu. Dan segera setelah sang
Partha memandang Urwasi, ia menurunkan tatapan matanya atas dasar kesopanan kemudian memberikan salam, Ia menunjukkan pada
para apsari penghormatannya yang dipersembahkan pada orang yang berkedudukan
lebih tinggi. Arjuna berkata, “Wahai, engkau apsari yang utama, aku menundukkan
kepalaku dihadapanmu untuk memberikan salam penghormatan. Aku menunggumu
sebagai pelayanmu”.
Dengan kata-kata ini, Urwasi
sepenuhnya terperanjat dan memberitahu Arjuna bahwa selain karena perintah Dewa
Indra, dia datang juga karena dilanda panah asmara yang tak terbendung untuk
berkasih-kasihan dengan sang Arjuna. Mendengar itu semua Arjuna tetap
menolaknya seraya berkata “Jika aku menatap engkau, aku merasakan menatap
seorang ibu, ibu yang agung”. Urwasi membalasnya bahwa seorang apsari bebas
mencintai siapapun dan bebas bercinta dengan siapapun karena apapun yang mereka
lakukan telah terbebas dari semua pahala. Sementara itu, Arjuna tetap berkeras
hati bahwa seorang apsari adalah orang tua, leluhur yang patut dihormati dan
menjadi tujuan penghormatan dari wangsanya. Urwasi menjadi frustasi dan dengan
marah mengeluarkan kutukan kepada Arjuna. “Hai, Partha karena engkau telah
menolak wanita yang telah datang kepadamu atas kehendak orang tuamu dan atas
kehendaknya sendiri karena wanita ini telah tertembus panah Dewa Kama, maka
engkau akan melewatkan waktumu dalam perkumpulan dengan para wanita, sifat
laki-lakimu akan berkurang dan terhina sebagai seorang waria”. Kutukan inilah
yang nantinya terjadi pada Arjuna dalam pengasingannya di negeri Wirata di mana
dia menjadi seorang waria dan berkumpul dengan banyak wanita (dikutip dari
Maswinara, 1997: 26-34).
Banyak cerita-cerita lain tentang
kisah cinta di antara para dewa dan manusia yang ditulis dalam Itihasa dan
Purana. Cerita-cerita dalam kesusasteraan India seperti, Raja Samwarna dan
Tapati, Nala dan Damayanti, Sakuntala, Krishna dan Radha, hanyalah sebagian
kecil saja dari sekian banyak cerita-cerita sejenis (Maswinara, 1997: 35).
Lebih lanjut dikatakan bahwa cerita-cerita tentang Kama di India, khususnya
dalam Itihasa dan Purana tidak hanya melukiskan sebuah erotisme dan
seksualitas, tetapi juga diceritakan bahwa Kama adalah sumber kesedihan
misalnya, dalam cerita Rama dan Sita. Diceritakan bahwa Walmiki menceritakan
kesedihan sang Rama sepeninggal Sita dengan melukiskan kenangan-kenangan indah
Sri Rama saat bekasih-kasihan dengan Sita. Dalam hal ini, Walmiki ingin
menggugah sentimen karuna (kesedihan) dalam karya sastranya. Emosi sedih (soka)
yang membangkitkan rasa karuna (kesedihan) dipadukan dengan apik oleh para
Pujangga India dengan suasana rati (cinta) dan rasa srenggara
(birahi/erotik/kecintaan) sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan (Sudharta,
2006; Yasa, 2006). Hal ini menggambarkan bahwa kama menurut susastra Hindu
mempunyai dua pengaruh bagi manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Kama dapat
membawa manusia pada rasa indah, penuh cinta kasih, sekaligus mampu membawa
manusia pada kesedihan. Kama yang membawa kebahagiaan adalah kama yang didasari
dengan dharma, sebaliknya kama yang membawa kesedihan adalah kama yang
melenceng dari ajaran-ajaran dharma.
dari dulu begitulah cinta
BalasHapusderitanya tiada akhir
jiaahh... patkay nengok,.,,, hehehe
Hapushaahaa...
Hapussakit hati ulian Cinta :-(
kalo di analisa, cinta/kama lah yng menyebabkan kehidupan di dunia ini berkembang. Erotisme/sexualitas adalah bagian tak terpisahkan dari cinta. Lengkaplah dunia dgn adanya cinta.
BalasHapusAgen Slot Terpercaya
BalasHapusAgen Situs Terpercaya
Buruan Gabung Bersama Kami di 88CSN
Dapatkan:
BONUS SETIAP HARI 5%
BONUS NEW MEMBER 180%
BONUS MEMBER POKER 20%
BONUS HAPPY HOUR 25%
dan banyak lagi bonus lain nya.
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
WA : 081358840484
BBM : 88CSNMANTAP
Facebook : 88CSN
www.wes88.com
Tiap kitab. Ko bisa beda isinya. Bingung aku
BalasHapus