Senin, 13 Agustus 2012

Panah Asmara Dewa Kama


Rasa cinta itu anugrah, ia tak memandang siapa pun yang terkena panahnya akan dibuat mabuk kepayang. Ketika Dewa Kama sudah melepaskan panahnya, maka orang pun jadi lupa diri dan lupa daratan, segalanya yang ada hanyalah yang dicintainya. Berikut ini beberapa cerita tentang betapa saktinya panah asmara Dewa Kama yang bersumber dari beberapa cerita-cerita dalam sastra Hindu.

Sati adalah putri dari Daksa Prajapati dan pendamping pertama Siwa. Ia bersedih hati dan akhirnya meninggal karena ayahnya selalu menghina suami ilahinya. Diceritakan bahwa Sati yang telah meninggal, terlahir kembali sebagai Parwati, yaitu putri Himalaya yang cantik jelita. Pada suatu saat, Siwa pergi ke gunung Himalaya untuk melakukan meditasi. Sementara itu seorang raksasa (danawa) yang bernama Taraka sedang menyerang para dewa di kahyangan dan rupanya tidak ada satupun dewa yang mampu mengalahkan kekuatan Taraka. Telah diramalkan sebelumnya bahwa yang akan sanggup mengalahkan Taraka itu hanyalah putra dari Dewa Siwa sendiri.

Melihat Dewa Siwa sangat khusuk dalam meditasinya maka para dewa kebingungan karena putra Siwa yang diharapkan akan mampu mengalahkan Taraka tak kunjung lahir. Dewa Indra mengutus Parwati agar mau menikahi Siwa kembali, yang sesungguhnya Parwati tidak ingin menikah dengan suami lainnya. Kemudian Parwati mendatangi Siwa dengan membawa persembahan, tetapi Siwa tidak tertarik dan bergeming dari samadhi-nya. Melihat itu semua maka Dewa Indra mengutus Dewa Kama untuk menggoda Siwa agara jatuh cinta dan muncul birahinya kepada Parwati. Mendengar perintah itu, segera Dewa Kama melepaskan panah asmaranya kepada Siwa, walaupun ini pekerjaan yang sangat beresiko. Dikisahkan bahwa panah asmara Dewa Kama terbuat dari bunga, sedangkan busurnya terbuat dari gula tebu dengan tali busur barisan lebah-lebah. Rupanya, kekuatan cinta dari Dewa Kama tidak dapat ditahan oleh siapapun, termasuk juga oleh Dewa Siwa.

Sang Maha Yogi (Siwa) merasa terganggu dengan tindakan Dewa Kama ini dan dengan penuh kemarahan Siwa membakar Dewa Kama dengan api yang keluar dari mata ketiganya. Melihat Siwa telah terbangun dari meditasinya maka Parwati segera mendekatinya. Siwa akhirnya memperhatikan Parwati dan jatuh cinta kepadanya. Pada suatu perkawinan agung maka Siwa dan Parwati menikah dan akhirnya melahirkan Dewa Skanda, dewa perang. Sesuai dengan ramalan maka Skanda-lah yang berhasil membunuh Taraka.

Di samping itu, dalam Matsya Purana diceritakan tentang gairah Dewa Brahma kepada Sawitri, putrinya. Alkisah, suatu ketika Manu bertanya kepada Wisnu yang saat itu ber­-awatar sebagai ikan raksasa (Matsya Awatara) tentang mengapa Dewa Brahma menjadi berkepala empat (catur mukha). Wisnu menjawab bahwa setelah Brahma menciptakan Weda, kemudian ia menciptakan 10 orang bijak hanya dari kehendak dan pikirannya saja. kemudian, ia menciptakan Dharma dari dadanya, Kama dari hatinya, kemarahan dari keningnya, ketamakan dari bibirnya, khayalan dari kecerdasannya, keangkuhan dari sifat angkuhnya, kegembiraan dari tenggorokannya, kematian dari matanya dan Rsi Bharata dari tangannya. Rupanya Brahma masih belum puas dengan semua ciptaannya itu, Ia bekehendak untuk menciptakan seseorang yang nantinya akan menggantikan tugasnya dalam mencipta. Ia mulai memanggil Dewi Gayatri, Sawitri, Saraswati, Brahmani dan nama-nama lainnya. Sang dewi yang tampil dalam wujud seorang gadis dari sisi kewanitaannya badan Brahma akan dijadikan putrinya. Kecantikan yang muncul dari ciptaannya itu sangat mengagumkan, dan Sang Pencipta (Dewa Brahma) yang dilanda asmara tak berkedip menatapnya sambil terus bergumam “sungguh merupakan perwujudan kecantikan yang sempurna”. Melihat itu semua, anak-anak Brahma yang diasuh oleh Bhagawan Wasistha marah dan muak terhadap sikap ayahnya kepada anak perempuannya. Akan tetapi Brahma yang telah demikian jauh jatuh cinta terus saja menatap Sawitri. Mulailah Sawitri berjalan mengelilingi Brahma dan Brahma terus menatapnya. Karena malu untuk memalingkan muka maka Brahma menciptakan tiga lagi kepala sehingga dia sekarang berkepala empat agar kemanapun Sawitri pergi dia dapat melihatnya. Sawitri kemudian pergi ke surga dan Brahma segera menciptakan kepala kelima, yaitu di atas namun itu tertutup oleh gelung rambutnya. Oleh sebab itulah Brahma kehilangan semua kesaktian dan kekuatan yang diperolehnya melalui pertapaan dan meminta kepada putra-putranya untuk mengembalikannya. Sebaliknya, Brahma sendiri mengikuti Sawitri dan menikahinya dan tinggal bersama di dalam Bunga Teratai selama seratus tahun.

Brahma yang dipenuhi rasa malu kepada putra-putranya merasa marah kepada Dewa Kama yang telah melepaskan panah asmaranya. Kemudian Brahma mengeluarkan kutukan bahwa Dewa Kama akan dibakar menjadi abu oleh Siwa jika melakukan hal yang sama kepada Siwa. Akan tetapi Dewa Kama menolak kutukan itu karena Dia sendiri diciptakan oleh Brahma dan diberi tugas oleh Brahma untuk melepaskan panas cinta kepada siapapun tanpa kecuali, termasuk juga Brahma. Akhirnya, Brahma mengabulkan permohonan Dewa Kama dan mengatakan bahwa suatu saat jika Dewa Kama terbakar menjadi abu oleh Siwa maka ia akan lahir kembali di keluarga Yadawa sebagai putra Krishna yang bernama Pradyumna.

Kisah tentang Dewa Kama rupanya juga melanda sang penguasa moralitas, Dewa Waruna. Karena pengaruh Dewa Kama inilah Waruna berbuat adharma. Konon, putri dari Soma yang bernama Bhadra, tak tertandingi kecantikannya dan Rsi Utathya telah dipilih sebagai suaminya. Setelah upacara perkawinan selesai dilaksanakan, Waruna pergi ke hutan, tempat tinggal Utathya untuk menculik Bhadra dan membawanya ke istananya yang megah, yang dikelilingi 600.000 danau nan indah dan obyek-obyek kenikmatan lainnya. Di istana tersebut Waruna bercinta dengan Bhadra. Ketika Rsi Utathya mengetahui keberadaan istrinya dari Rsi Narada bahwa istrinya telah diculik oleh Waruna, maka ia memberitahu Narada dengan marah untuk meminta istrinya kembali. Narada berangkat ke istana Waruna sesuai dengan perintah Utathya, namun Waruna menolak mengembalikan Bhadra, bahkan Narada dilemparkan keluar rumahnya dengan keras. Mendengar ini semua, kemarahan Utathya tak terbendung lagi dan melalui kekuatannya ia membuat semua air menjadi kering. Seluruh danau yang berada di istana Waruna menjadi dataran tandus. Sungai Saraswati menjadi kering dan daerah di sekitarnya tidak lagi menjadi tempat suci. Sampai akhirnya, tempat tinggal Waruna sendiripun menjadi kering. Akhirnya, Waruna mengembalikan Bhadra kepada Utathya, dan sang Rsi sakti ini mengembalikan lagi keadaan dunia seperti semula. Waruna sadar atas kesalahannya dan terbebaslah dia dari segala kesedihannya.

Dalam kitab Mahabharata, khususnya Wanaparwa, bagian 45-46, juga diceritakan tentang Erotisme dan Seksualitas sebagai berikut.

Suatu saat Arjuna mendapatkan kehormatan dari Dewa Indra untuk berkunjung ke kahyangan Indra yang maha indah. Arjuna tinggal di sana selama lima tahun dan selama itu dia banyak mendapatkan ilmu berperang dari Dewa Indra, juga beberapa senjata sakti dari para dewa. Dewa Indra mengetahui bahwa Arjuna sering memandang para bidadari cantik (apsari) yang ada di kahyangan dan hal ini membuat Dewa Indra senang karena saat Arjuna belajar bagaimana cara bertingkah laku dalam pergaulan dengan para wanita. Oleh karena itu Dewa Indra mengutus seorang apsari yang bernama Urwasi untuk menggoda sang Arjuna. Atas perintah Dewa Indra maka Dewa Kama melepaskan panah asmaranya kepada Urwasi sehingga Urwasi merasakan jatuh cinta yang dalam kepada Arjuna. Kemudian diceritakan tentang apa yang dilakukan Urwasi ketika akan mengunjungi tempat tinggal Arjuna.

Dan setelah mandi ia mempercantik dirinya dengan perhiasan-perhiasan indah dan rangkaian bunga surgawi yang harum semerbak. Dan dikobarkan oleh dewa cinta dan hatinya yang tertusuk dalam oleh anak panah yang diluncurkan oleh Dewa Kama. Dengan membayangkan ketampanan Arjuna, secara mental ia membayangkan bercinta dengannya di tempat tidur yang lebar dan indah, yang dihiasi dengan sprei surgawi. Dan ketika senja telah berganti malam dan sang rembulan telah muncul, apsari yang berpinggul besar ini keluar untuk mencari tempat tinggal Arjuna. Dan dalam situasi seperti ini dengan rambut panjang berombak, yang di sana terajut banyak bunga Melati, ia benar-benar tampak cantik sekali. Dengan kecantikan dan keanggunan serta daya tarik gerakan alis matanya dan dari suaranya yang lembut serta wajahnya bersinar bagaikan bulan, dia tampaknya menantang bulan sendiri, karena bulan telah meluncur dari keanggunannya. Dan ketika berjalan, payudara yang berputing hitam meruncing dengan indahnya yang dihias dengan kalung emas serta dilumuri pasta harum kayu cendana, berguncang ke atas dan ke bawah. Dan akibat dari berat payudaranya maka pada setiap langkah dia berusaha sedikit menunduk, yang membuat tiga lipatan pembungkus pada pinggangnya yang ramping tampak indah. Dan pahanya yang berbentuk sempurna, tempat kuil dewa cinta yang mengembang bagaikan sebuah bukit, yang dilengkapi dengan pinggul bulat, pangkal paha tinggi dan ramping, yang dihias dengan renda-renda keemasan, dibungkus oleh pakaian tipis namun mampu menggoyahkan kesucian para Rsi, yang tampak sangat anggung sekali. Pergelangan kakinya yang dihiasi dengan tumpukan barisan genta-genta kecil, memiliki jari-jari panjang berwarna tembaga melengkung bagaikan punggung kura-kura. Dan disegarkan oleh sedikit minuman keras yang diteguknya dan digairahkan oleh keinginan dan oleh berbagai tipu daya lembut dan yang menampilkan sensasi kesenangan, dia tampak lebih cantik dari sebelumnya. Dan walaupun surga dipenuhi dengan keajaiban-keajaiban, namun bila Urwasi pergi dengan cara seperti itu maka para Siddha, Carana, dan Gandharwa menganggapnya sebagai keajaiban yang terindah yang pernah mereka saksikan. Dengan bagian  atas badannya yang diututupi pakaian bercorak indah yang berkilauan dengan warna-warna awan, dia tampak bagaikan bulan sabit di langit yang meluncur diselimuti awan. Dan dengan kecepatan bagaikan angin atau pikiran demikianlah dia yang tersenyum ramah dan cerah itu mendatangi putra Pandu, Arjuna. Dan setelah mendapat izin maka ia memasuki istana yang indah dan menyenangkan itu. Dengan pikiran yang dipenuhi keragu-raguan yang mencemaskan hatinya, Arjuna menemuinya pada malam itu. Dan segera setelah sang Partha memandang Urwasi, ia menurunkan tatapan matanya atas dasar kesopanan  kemudian memberikan salam, Ia menunjukkan pada para apsari penghormatannya yang dipersembahkan pada orang yang berkedudukan lebih tinggi. Arjuna berkata, “Wahai, engkau apsari yang utama, aku menundukkan kepalaku dihadapanmu untuk memberikan salam penghormatan. Aku menunggumu sebagai pelayanmu”.

Dengan kata-kata ini, Urwasi sepenuhnya terperanjat dan memberitahu Arjuna bahwa selain karena perintah Dewa Indra, dia datang juga karena dilanda panah asmara yang tak terbendung untuk berkasih-kasihan dengan sang Arjuna. Mendengar itu semua Arjuna tetap menolaknya seraya berkata “Jika aku menatap engkau, aku merasakan menatap seorang ibu, ibu yang agung”. Urwasi membalasnya bahwa seorang apsari bebas mencintai siapapun dan bebas bercinta dengan siapapun karena apapun yang mereka lakukan telah terbebas dari semua pahala. Sementara itu, Arjuna tetap berkeras hati bahwa seorang apsari adalah orang tua, leluhur yang patut dihormati dan menjadi tujuan penghormatan dari wangsanya. Urwasi menjadi frustasi dan dengan marah mengeluarkan kutukan kepada Arjuna. “Hai, Partha karena engkau telah menolak wanita yang telah datang kepadamu atas kehendak orang tuamu dan atas kehendaknya sendiri karena wanita ini telah tertembus panah Dewa Kama, maka engkau akan melewatkan waktumu dalam perkumpulan dengan para wanita, sifat laki-lakimu akan berkurang dan terhina sebagai seorang waria”. Kutukan inilah yang nantinya terjadi pada Arjuna dalam pengasingannya di negeri Wirata di mana dia menjadi seorang waria dan berkumpul dengan banyak wanita (dikutip dari Maswinara, 1997: 26-34).

Banyak cerita-cerita lain tentang kisah cinta di antara para dewa dan manusia yang ditulis dalam Itihasa dan Purana. Cerita-cerita dalam kesusasteraan India seperti, Raja Samwarna dan Tapati, Nala dan Damayanti, Sakuntala, Krishna dan Radha, hanyalah sebagian kecil saja dari sekian banyak cerita-cerita sejenis (Maswinara, 1997: 35). Lebih lanjut dikatakan bahwa cerita-cerita tentang Kama di India, khususnya dalam Itihasa dan Purana tidak hanya melukiskan sebuah erotisme dan seksualitas, tetapi juga diceritakan bahwa Kama adalah sumber kesedihan misalnya, dalam cerita Rama dan Sita. Diceritakan bahwa Walmiki menceritakan kesedihan sang Rama sepeninggal Sita dengan melukiskan kenangan-kenangan indah Sri Rama saat bekasih-kasihan dengan Sita. Dalam hal ini, Walmiki ingin menggugah sentimen karuna (kesedihan) dalam karya sastranya. Emosi sedih (soka) yang membangkitkan rasa karuna (kesedihan) dipadukan dengan apik oleh para Pujangga India dengan suasana rati (cinta) dan rasa srenggara (birahi/erotik/kecintaan) sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan (Sudharta, 2006; Yasa, 2006). Hal ini menggambarkan bahwa kama menurut susastra Hindu mempunyai dua pengaruh bagi manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Kama dapat membawa manusia pada rasa indah, penuh cinta kasih, sekaligus mampu membawa manusia pada kesedihan. Kama yang membawa kebahagiaan adalah kama yang didasari dengan dharma, sebaliknya kama yang membawa kesedihan adalah kama yang melenceng dari ajaran-ajaran dharma.

6 komentar:

  1. dari dulu begitulah cinta
    deritanya tiada akhir

    BalasHapus
  2. kalo di analisa, cinta/kama lah yng menyebabkan kehidupan di dunia ini berkembang. Erotisme/sexualitas adalah bagian tak terpisahkan dari cinta. Lengkaplah dunia dgn adanya cinta.

    BalasHapus
  3. Agen Slot Terpercaya
    Agen Situs Terpercaya


    Buruan Gabung Bersama Kami di 88CSN

    Dapatkan:
    BONUS SETIAP HARI 5%
    BONUS NEW MEMBER 180%
    BONUS MEMBER POKER 20%
    BONUS HAPPY HOUR 25%
    dan banyak lagi bonus lain nya.
    Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
    WA : 081358840484
    BBM : 88CSNMANTAP
    Facebook : 88CSN
    www.wes88.com

    BalasHapus
  4. Tiap kitab. Ko bisa beda isinya. Bingung aku

    BalasHapus