Svadhyaayam sravayet pitrye.
Dharmasastrani caiva hi.
Akhyaananitihasamsca
Puranani khilanica
(Manawadharmasastra III.232).
Artinya: Pada waktu upacara yadnya
terutama saat pemujaan leluhur, ia harus menperdengarkan kepada tamu-tamunya
ajaran Weda, ketentuan-ketentuan hukum suci, cerita kepahlawanan dan cerita
dalam kitab-kitab Purana dan Khila.
Dalam tradisi Hindu di Indonesia
pada umumnya dan di Bali khususnya, kita akan menyaksikan pembacaan
ajaran-ajaran agama lewat sastra weda. Pembacaan sastra weda itu umunya dalam
bentuk kekawin atau prosa yang diambil dari Itihasa dan Purana.
Pembacaan sastra weda bukanlah
dilaksanakan berdasarkan adat istiadat belaka, walaupaun hal itu dilakukan
sudah mentradisi. Pemahaman yang demikian itu akan menyeret Agama Hindu disebut
agama adat. Pembacaan itu sastra weda tidak saja diperdengarkan pada umat
penyelenggara upacara yadnya. Namun juga kepada tamu atau sang athiti yadnya.
Karena dilakukan secara turun temurun dan tidak pernah dijelaskan sumber
ajarannya, akhirnya banyak kegiatan hidup beragama disebut kegiatan adat saja.
Pembacaan sloka atau syair-syair
susastra Weda saat ada upacara yadnya secara berulang-ulang, sebenarnya
ditegaskan oleh Swami Radhakrishnan dalam komentar terjemahan kitab Chandogya
Upanisad III.4.1-2. Dasar penyelenggaraan upacara yadnya itu sebenaranya
diambil dari Itihasa dan Purana. Dibacakan cerita-cerita dan ajaran-ajaran yang
terkandung dalam Itihasa dan Purana diharapkan nilai-nilai Weda dapat menyusup
ke dalam lubuk hati nurani umat yang ikut dalam upacara yadnya tersebut.
Dalam hal ini, sangat patut kita
ingatkan bahwa pembacaan sastra weda itu janganlah dianggap hal yang bersifat
formal ritual belaka. Yang aktif dalam pembacaan sastra weda itu hanyalah
mereka yang membaca dan yang menterjemahkan saja. Sedangkan umat yang ikut
dalam yadnya tersebut acuh tak acuh saja. Bahkan, salah satu kabupaten di Bali
ada yang menilai membaca sastra Weda hanyalah sebagai pelengkap formal ritual
belaka. Pemaknaan pementasan dan pembacaan sastra Hindu pun hampir
ditinggalkan. Bayangkan saja, pementasan wayang kulit, topeng, arja, pembacaan
kekawin dipentaskan dalam satu arena. Pada hal semuanya itu menceritakan isi
dari sastra Weda seperti Itihasa dan Purana. Akibatnya, peserta upacara sama
sekali tidak dapat mengikuti apa isi kekawin dan thema ceritra pementasan
tersebut. Ada yang berkomentar bahwa hal itu semuanya untuk dipersembahkan
kepada yang di niskala saja.
Inti ajaran yang terkandung dalam
sastra Weda yang diperdengarkan lewat pembacaan atau pementasan, semestinya
diperhatikan umat, mengingat media upacara yadnya itu bukanlah sebagai media
agama dalam artian ritual formal belaka. Upacara yadnya memiliki dimensi yang
sangat luas sebagai media menanamkan ajaran Agama Hindu secara integral. Inilah
hal yang perlu mendapatkan perhatian umat Hindu. Pementasan dan pembacaan
sastra Weda itu perlu ditata lebih baik agar tidak sampai kehilangan makna mendasarnya.
Sebenarnya, pementasan dan pembacaan itu tidak semata untuk para seniman yang
pentas. Namun, lantunan sastra Weda itu harus dimaknai secara benar sesuai
dengan petunjuk kitab suci.
Pembacaan sastra Weda itu juga
ditekankan dalam kitab Adi Parwa terutama pada upacara Pitra Yadnya saat
Narpana Pitra. Dalam kitab Adi Parwa dinyatakan bahwa, pembacaan Mahabharata
sampai selesai akan membuat yadnya berjalan sempurna, Sang Pitra suka dan
lenyaplah dosa-dosa yang mendengarkannya.
Demikianlah keutamaan makna
pembacaan dan penterjemahan sastra Weda baik dalam bentuk kidung maupun
kekawin. Pementasan kesenian yang mengangkat ajaran dan cerita sastra Weda
tersebut jangan dibiarkan kehilangan makna spiritualnya. Janganlah diganti
dengan pementasan yang sekadar membuat ketawa, lebih-lebih lawakan yang berbau
porno. Hal itu akan membuat semakin hilangnya nilai pementasan, pembacaan dan
penerjemahan satra Weda.
Sumber: Balipost 3 Oktober 2001
mendengar nama Weda, terbesit di pikiran saya kitab suci agama hindu.
BalasHapustetapi kenapa kita dari sekolah dasar (SD) tidak pernah di kenalkan kitab tersebut.
bagaimana bentuknya, seberapa tebalnya, dimana sekarang disimpang dan banyak pertanyaan2 yg muncul..
tidak seperti agama lain, yg dari kecil di ajarkan cara membaca & memahami kitab suci nya.
Konsep pendakian kesempurnaan Weda melalui sistem pewartaan Itihasa dan Purana dinyatakan dalam kitab Vayu Purana I.201 yang berbahasa Sansekerta: "Hendaknya Veda diwartakan melalui Itihasa dan Purana. Weda takut kalau orang bodoh membacanya. Weda berpikir bahwa orang bodoh itu akan memukulnya". Sejalan dengan sloka Vayu Purana itu adalah Sarasamuscaya 39 dalam penjelasan bahasa Jawa Kunonya persis seperti isi Vayu Purana tersebut. Ini artinya masyarakat yang tidak memiliki kemampuan atau kesempatan mendalami mantram-mantram Weda Sruti dan sloka-sloka Weda Smrti dengan memahami isi Itihasa dan Purana sudah berarti mendalami isi Weda. jadi kesimpulannya, untuk mempelajari Weda itu ada tahapan2 nya agar weda itu tidak sampai membuat orang tersesat dan mungkin membuat orang malah salah arah. Agama Hindu sangat mengedepankan pendidikan ketimuran, mana yg untuk anak kecil, mana yg dewasa, semua ada tahapannya, bukan kebablasan, memang semua pengetahuan bagus untuk diketahui, hanya saja sesuaikan dengan umur dan kemampuan.. sesuatu yang instan belum tentu bagus, bahkan lebih byk efek negatifnya, mungkin seperti itu yg bisa saya berikan penjelasan bli, mari sama2 belajar untuk selalu mengisi diri dengan pengetahuan... hehehe :)
Hapus(pelih koment, kenehe balas komen bli ne.. hehehe)
Konsep pendakian kesempurnaan Weda melalui sistem pewartaan Itihasa dan Purana dinyatakan dalam kitab Vayu Purana I.201 yang berbahasa Sansekerta: "Hendaknya Veda diwartakan melalui Itihasa dan Purana. Weda takut kalau orang bodoh membacanya. Weda berpikir bahwa orang bodoh itu akan memukulnya". Sejalan dengan sloka Vayu Purana itu adalah Sarasamuscaya 39 dalam penjelasan bahasa Jawa Kunonya persis seperti isi Vayu Purana tersebut. Ini artinya masyarakat yang tidak memiliki kemampuan atau kesempatan mendalami mantram-mantram Weda Sruti dan sloka-sloka Weda Smrti dengan memahami isi Itihasa dan Purana sudah berarti mendalami isi Weda. jadi kesimpulannya, untuk mempelajari Weda itu ada tahapan2 nya agar weda itu tidak sampai membuat orang tersesat dan mungkin membuat orang malah salah arah. Agama Hindu sangat mengedepankan pendidikan ketimuran, mana yg untuk anak kecil, mana yg dewasa, semua ada tahapannya, bukan kebablasan, memang semua pengetahuan bagus untuk diketahui, hanya saja sesuaikan dengan umur dan kemampuan.. sesuatu yang instan belum tentu bagus, bahkan lebih byk efek negatifnya, mungkin seperti itu yg bisa saya berikan penjelasan bli, mari sama2 belajar untuk selalu mengisi diri dengan pengetahuan... hehehe :)
BalasHapustetapi jaman sekarang semua sudah serba instan.
BalasHapusKalau tidak di imbangi, maka akan ketinggalan jauh.
seperti iklannya komeng, yang lain makin jauuuh ketinggalan.
dari beberapa stasiun TV di indonesia, banyak sekali film2 yg berbau agama.
sangat miris saya liat, anak tetangga malah hapal meniru gaya mereka. seperti salam dan doa2 mereka
hikz...
Kapan ya ada lagi film yg berpatokan pada Veda,