Rabu, 14 November 2012

Bali dan Agama Tirta


Air, Agama Tirta dan Pariwisata Bali
Oleh Sugi Lanus*


Ada yang dilupakan oleh sebagian besar masyarakat Bali dalam menata pembangunan Bali, yaitu air. Air dalam sejarah peradaban Bali memiliki peran paling vital, baik secara spiritual maupun material. Teknologi irigasi tradisional, pola pengorganisasian pembagian air, ritual dan demokrasi dalam penjatahan air di daerah-daerah pertanian, telah mengkristal menjadi ”institut” subak. Ini menjadi kebanggaan kita semua orang Bali, sebagai sebuah hasil kearifan masyarakat Bali. Walaupun kalau kita jujur, sebagian dari kita tak banyak mengerti kearifan leluhur yang diwariskannya dalam tradisi subak, karena kaki dan tangan generasi kita kebanyakan tak pernah menyentuh lumpur sawah dan tegalan. Kita lebih akrab dengan jalan raya, pertokoan, pelataran hotel, sekolah pariwisata dan institusi-institusi modern.

Agama masyarakat Bali, sebelum kemerdekaan dan era keindonesiaan, oleh generasi 1920-an lebih condong disebut sebagai Agama Tirta. Bacalah kembali dialog-dialog dalam bentuk tulisan di majalah atau terbitan era itu, yaitu Surya Kanta, Jatayu, dan Bali Adnyana.

Dalam nama Agama Tirta ini, secara verbal sudah menyatakan bahwa air/tirta menduduki posisi paling hakiki, dan paling sakral. Hingga kini, kalau kita amati secara mendalam, adakah sebuah upakara/ritual di Bali yang bisa di-puput tanpa tirta? Tidak ada. Upacara selalu terkait dengan mata air, beji dan patirtan. Tak ada pewalian atau odalan tanpa rangkaian mendak tirta (menjemput tirta). Ini sebuah bentuk sublim penghargaan terhadap ibu. Ini bisa kita lihat dari roh suci yang menjaga sumber air dan sungai selalu feminin, bergelar Dewi, Ratu Ayu, atau Batari. Bukankah ini sebuah warisan “pelajaran gender” dan feminisme yang diturunkan dalam ritual?

Dalam tradisi tani, bila sebuah subak mengawali sebuah masan nandur (masa tanam), selalu dimulai dengan upacara magpag toya (menjemput air). Upacara ini dilakukan di Ulun Suwi atau Bedogol. Yang secara alit (sederhana) dilakukan dengan sarana upakara berupa pejati, nasi takilan, beserta daging belalang. Yang lebih besar lagi atau utama, disertai dengan sebuah tumpeng legit agung. Kalau kita melihat dengan kaca mata “modern” atau “semiotik”, bukankah ini sebuah metafor penyelamatan lingkungan? Tidakkah ini sebuah pesan untuk menyadari bahwa air sebagai urat nadi dan napas kehidupan kita?

Secara spiritual, kearifan ini dijabarkan lewat ritual. Dalam prosesi ritualnya, masyarakat dipertemukan untuk melakukan pembagian kerja dalam membuat atau mempersiapkan segala aci-aci atau sesajinya. Bukankah ini sebuah mekanisme tradisional untuk menguatkan sosial kapital kita dengan yang bertumpu pada rasa selulung segilik, selulung sebayantaka dan paras paros?

Dalam masyarakat tani, penghargaan atas air dan kehidupan, menjelma dalam rasa bakti di hadapan Ida Batari Danu. Dalam upacara ngalapin (syukuran sebelum panen) di hadapan Batari Sri atau Nini. Institusi subak, Agama Tirta, Ida Batari Danuh/Dewi Danu, Dewi Sri, bertitik temu menjadi “mata air” peradaban Bali. Dari sinilah kesenian-kesenian Bali lahir, sebagai persembahan dan rasa syukur terhadap Dewi Sri dan Batari Danu. Dari tanah pertanianlah tradisi ngayah muncul.

Walaupun secara filosofis kita kebanyakan menyadarinya bahwa budaya kita bermula dari budaya agraris, ritus tani dan kearifan/penghargaan terhadap air, namun di dalam tindakan: kita sudah terlalu jauh mengkhianatinya. Atau, kita sebatas menjadikannya propagada dalam istilah Tri Hita Karana. Kita terlalu banyak berselingkuh dengan kepentingan-kepentingan untuk “memotong kompas” karena kita tidak sesabar leluhur kita dalam kesederhanaan hidup. Di tengah “badai ketergiuran” kita terpancing untuk bergerak maju secepatnya. Namun, apakah kita tahu sedang menuju ke mana kita? Tidakkah kita telah kehilangan arah dan keseimbangan? Tidakkah kita cenderung telah menjadikannya ritual dan budaya tani, kesenian-kesenian kita sebagai bahan baku yang kita jual?

Saya jadi teringat dengan kisah seorang petugas pertanian yang bertugas di sekitar kawasan Air Terjun Gitgit di utara Bali. Ia bercerita bahwa masyarakat di sana pernah berseteru karena air. Suatu hari, di musim kemarau, petani-petani di atas aliran air terjun memakai sebagian besar air untuk mengairi sawah, sehingga air terjun Gigit debit airnya sangat kecil. Pedagang-pedang acung dan pelaku pariwisata setempat protes kepada subak dan petani. Mereka berkata bahwa petani-petani di atas aliran air terjun telah merugikan mereka. Wisatawan-wisatawan kecewa dan tak mau singgah, praktis para wisatawan tak berbelanja. Tiket masuk tak terjual. Pemasukan desa berkurang.

Kita sekarang nampaknya sedang dihadapkan pada situasi memilih posisi dalam kasus di atas. Melukai petani dengan mengalirkan air untuk kepentingan wisatawan atau memihak petani dengan mengalirkan air untuk kepentingan persawahan? Tidakkah krisis air yang terjadi di wilayah pertanian dan pariwisata sebagai akibat kita terlalu berpihak pada “putra mahkota” pariwisata? Kita dituntut bersikap arif agar keduanya dapat tempat.

Kalau kita percaya bahwa subak, Agama Tirta, Batari Danuh/Dewi Danu, Dewi Sri adalah titik berangkat peradaban Bali, di tengah situasi kita yang seperti ini, sudah seharusnya kita merunut kembali silsilah peradaban kita. Kita mesti eling dan jagra, kembali ke titik mana kita berangkat, mata air peradaban kita.

Kita seharusnya melirik dan mengelu-elukan pertanian bukan hanya karena pariwisata sedang keok. Tetapi, atas kesadaran bahwa peradaban kita beribu pada pertanian (Baca: agama kita adalah Agama Tirta). Yang terpenting, harus ada pemetaan secara jelas daerah-daerah mana saja yang dipertahankan sebagai daerah pertanian dan menjamin kesejahteraan petani-petaninya agar mereka tidak terpancing menjual tanah pertanian mereka untuk dijadikan hotel dan art shop.

Menyadari bahwa pertanian adalah sight seeing dari wisatawan, dengan menghancurkan pertanian dan persawahan, sesungguhnya pariwisata sedang membunuh dirinya sendiri. Dan, kalau kita memilih untuk semata-mata mengalirkan air untuk waterfall (baca: pariwisata), tanpa perhatian pada pertanian, sebaiknya istilah Agama Tirta ini kita tambahi di belakangnnya dengan kata ‘wisata’: Agama Tirta Wisata.

Sumber:
http://berbudaya.com/2012/04/16/air-agama-tirta-dan-pariwisata-bali/
*Penulis alumnus Jurusan Sastra Bali Unud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar