Kamis, 08 November 2012

Kelahiran Rahwana dan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu


Prabu Dasarata penuh hasrat mendapatkan seorang putra, sehingga mengawini tiga orang wanita yang ternyata tiga-tiganya belum dapat memberikan putra juga. Akhirnya dengan suatu upacara ritual ketiga istrinya melahirkan empat putra. Keempat putranya saling mengasihi.
Kemudian karena sang prabu kalah janji dengan istri ketiganya yaitu Dewi Kekayi, maka putra terkasihnya Sri Rama harus meninggalkan istana yang menyebabkan kesedihan sang prabu yang membawanya keujung kematian.
Resi Gotama bertapa seratus tahun dengan harapan mendapatkan anugerah isteri seorang bidadari. Dewi Windradi adalah seorang bidadari yang bersedia menjadi istrinya, akan tetapi dia memiliki cupu manik Astagina yang pada setiap saat konon dapat berhubungan dengan Bathara Surya lewat cupu tersebut.

Pasangan suami istri tersebut melahirkan tiga anak, Guwarsa yang akhirnya menjadi Subali, Guwarsi yang menjadi Sugriwa dan Retno Anjani yang melahirkan Hanuman.  Dua bersaudara Subali dan Sugriwa berseteru hingga akhirnya Subali mati dipanah Sri Rama. Sedangkan Hanuman melakukan pengabdian yang sungguh-sungguh pada Sri Rama, sang awatara.
Dewi Sukesi, putri raja Alengka Prabu Sumali, seorang wanita yang sangat percaya diri dan bersemangat. Sang putri menerima saran sang ayahanda bahwa pemilihan pasangan hidup melalui pertarungan antar ksatria tidak perlu diperpanjang lagi. Dewi Sukesi kemudian memilih pasangan hidup siapa pun yang dapat menjabarkan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Resi Wisrawa adalah seorang raja yang meninggalkan kenyamanan istana demi peningkatan kesadaran. Akan tetapi sang resi masih punya keterikatan dengan sang putra yang menggantikannya sebagai raja Lokapala. Sang putra mabuk kepayang ingin mempersunting Dewi Sukesi, akan tetapi ketakutan karena semua ksatria yang datang meminang sang putri dibunuh oleh Patih Harya Jambumangli adik Prabu Sumali yang diam-diam jatuh cinta kepada sang keponakan.
Resi Wisrawa berangkat ke Alengka  untuk mendapatkan jodoh bagi sang putra. Akan tetapi sewaktu menguraikan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi, mereka berdua terlena dan melakukan hubungan suami istri. Dari mereka lahirlah Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna dan Wibisana. Sarpakenaka yang hiperseks sakit hati dengan Dewi Sinta dan minta sang kakak menculiknya. Kumbakarna tidak menyetujui keserakahan Rahwana memilih makan dan tidur serta tidak mau melihat kesewenang-wenangan kakaknya. Wibisana tidak cocok dengan tindakan kakaknya dan ketika kakaknya menculik istri Sri Rama, ksatria awatara idolanya, maka dia menyeberang ke pihak Sri Rama.
Kisah Ramayana yang berkembang di Nusantara, penuh dengan berbagai karakter pelaku, dengan berbagai hubungan kekerabatan yang bagaimana pun sampai saat ini masih relevan untuk dipetik hikmahnya. Berbagai karakter dan persoalan rumah tangga tersebut terasa dekat dengan kearifan lokal bangsa Indonesia. Setting panggung dan zaman sudah berubah, akan tetapi karakter para pelaku dan pelbagai permasalahan kekerabatan pada hakikatnya tidak jauh berbeda. Bahkan sampai saat ini masih banyak orang tua yang menamakan anaknya, Rama, Bharata, Laksmana, Sinta, Sita dan lainnya.
Walaupun Epos Ramayana berawal dari India, tetapi begitu sampai Nusantara, nuansanya disesuaikan. Bahkan di India tidak ada satu pun candi dengan relief  batu tentang Ramayana. Hal tersebut menunjukkan betapa tingginya peradaban kita saat itu. Akan tetapi, pada saat ini justru beberapa produk budaya kita, yang secara jujur pernah “kurang mendapat perhatian”, telah dirawat oleh bangsa lain. Semoga putra-putri Indonesia menyadari jati diri budaya bangsa, melestarikannya dan bangkit dari keterpurukannya.

Latar belakang Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi

Prabu Sumali, Raja Alengka sadar bahwa sayembara memperebutkan Dewi Sukesi, sang putri dengan cara perang tanding antar ksatriya telah menimbulkan pertumpahan darah yang tidak seharusnya terjadi. Telah banyak ksatria mati di tangan Harya Jambumangli adik, sekaligus patih kerajaan Alengka. Akan tetapi permintaan sang putri untuk bersedia menjadi isteri dari orang yang sanggup mengupas Sastrajendra Pangruwating Diyu membuatnya sangat gundah. Bagaimana pun sang putri adalah seorang gadis yang tegas dan dia terlanjur memanjakan dan menuruti apa pun kemauan sang putri. Dewi Sukesi memang berbeda dari Dewi Sinta yang pasrah kepada ayahandanya, Sang Prabu Janaka yang bijaksana untuk mencarikan jodoh baginya.
Resi Wisrawa sedang mengupas ilmu Sastrajendra Pangruwating Diyu di taman keputren bersama Dewi Sukesi. ‘Sastrajendra’, Tulisan Agung tersebut tak jauh dari pemahaman tentang manusia itu sendiri, tentang ‘gumelaring jagad’, asal-usul jagad, ‘sejatining urip’, makna hidup, ‘sejatining panembah’, pengabdian kepada Gusti dan ‘sampurnaning pati’, kesempurnaan kematian.
Resi Wisrawa dalam mengupas Sastrajendra masih menuruti ego pribadi untuk mendapatkan jodoh bagi sang putra. Dewi Sukesi dalam menerima pengetahuan juga masih mempunyai keterikatan terhadap ego pribadi untuk mencari suami. Mereka menuruti hasrat ego-nya, bukan  Sang Keberadaan, belum mencerminkan hubungan antara Guru dan murid.

Terpelesetnya Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi dalam pengupasan Sastrajendra

Beberapa penjelasan Resi Wisrawa, “Pada waktu kita sudah lepas dari keterikatan, kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki diri sendiri, kita masuk dalam “kematian”. Di balik “kematian” itulah justru ada “kehidupan” sejati. Kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang bebas dari belenggu keterikatan.”
 “Kita berada dalam keindahan cinta. Alam semesta ini adalah perwujudan cinta Sang Keberadaan. Manusia, hewan, tanaman tak mungkin ada tanpa cinta. Cinta dan keindahan terdapat dalam naluri, integensia setiap manusia.”
“Ibarat sungai diam yang mengalirkan air yang selalu baru. Bukan jatidiri yang berjalan, tetapi waktulah yang berjalan. Cinta melampaui waktu. Tubuh fisik boleh berubah sesuai usia, akan tetapi cinta itu sendiri abadi. Masa lalu tidak ada, masa depan belum tiba dan yang ada hanya saat ini dan hal ini perlu dirayakan.”
“Dalam cinta itu ada kerinduan, bukan kerinduan terhadap hal-hal duniawi yang bersifat sementara, tetapi kerinduan kepada hal yang tidak dimengerti. Kebahagian dalam kerinduan tersebut bukan karena kepemilikan, tetapi karena ridho Sang Keberadaan. Pasrah total terhadap Keberadaan.”
 “Sifat keraksasaan dalam diri harus diruwat, dikembalikan ke keadaan asalnya. Dan untuk mensucikan jiwa, kita harus menggunakan raga. Anakku Sukesi, mari kita kembali ke bumi untuk menyelesaikan tugas kita mengendalikan keraksasaan, mengendalikan “Diyu” dalam diri!” Dewi Sukesi merasa belum terpuaskan keingintahuannya dan belum mau menyudahi penguraian tentang Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Begitu larutnya mereka dalam penjabaran Sastrajendra, sampai mereka lupa bahwa “Diyu”, sang raksasa dalam diri mereka yang lama terpendam bangkit dan menutup kesadaran mereka. Keduanya bahkan gagal memaknai Sastrajendra, Sang Tulisan Agung. Mereka melakukan hubungan suami istri. Mereka tidak dinikahkan oleh orang tua atau dinikahkan oleh pelaksana ritual pernikahan, tetapi mereka dinikahkan oleh syahwat mereka.

Kelahiran putra-putri Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi

Dewi Sukesi mengandung akibat buah cinta terlarangnya dengan Resi Wisrawa. Dan, kemudian dari rahimnya terlahir segumpal darah, bercampur sebuah wujud telinga dan kuku. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia. Sedangkan telinga menjadi raksasa sebesar gunung yang bernama Kumbakarna, yang meski pun berwujud raksasa tetapi hatinya bijak, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka. Kelak Wisrawa dan Sukesi melahirkan seorang putera bernama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berupa manusia sempurna yang baik dan bijaksana, karena terlahir dari cinta sejati, jauh dari hawa nafsu kedua orang tuannya.
Wibisana lahir normal, disusui sang ibu dengan penuh kasih dan menjadi lebih lembut. Kejadian di awal kelahiran mempunyai pengaruh besar terhadap seorang anak. Seorang anak yang lahir dari operasi cesar, dia lahir begitu mudah tanpa perjuangan, sehingga jangan sampai masa kanak-kanaknya dimanja, agar dia memiliki daya juang. Bayi yang lahir juga perlu diletakkan agak jauh dari buah dada ibunya, agar dia berjuang mendapatkan air susu pertama. Daya juang tersebut diperlukan dalam kehidupan selanjutnya.

Sifat-sifat Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna dan Wibisana

Dalam diri manusia, ada tujuh chakra, akan tetapi putra-putri Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi nampak lebih menonjol pada chakra-chakra tertentu.
Chakra ketiga, kenyamanan, apabila tak terkendalikan menyebabkan manusia mengikuti ahamkara, ego, ingin menang sendiri. Rahwana yang juga disebut Dasamuka bisa dimaknai mempunyai sepuluh kepala, sepuluh otak, sangat cerdas dan mempunyai keserakahan yang luar biasa. Rahwana merupakan perwujudan dari sifat rajas yang agresif dan dominasi unsur alami api yang beraura kemerahan.
Chakra kedua berkaitan dengan kreatifitas dan hubungan dengan seks. Sarpakenaka sangat kreatif, sehingga dapat mengubah wujud dirinya menjadi wanita cantik penggoda Sri Rama dan Laksmana. Seandainya saja Sarpakenaka bisa mentransformasikan energi seks menjadi energi yang kreatif, dirinya  akan sangat berguna bagi dunia. Sayangnya dia malah menjadi hiperseks, sudah mempunyai dua suami masih mempunyai PIL (Pria Idaman Lain) Kala Maricha, komandan prajurit andalan Rahwana. Sarpakenaka melambangkan sifat keagresifan dan dominasi unsur api yang beraura kuning.
Chakra pertama berkaitan dengan hal-hal mendasar, misalnya makan dan minum. Kumbakarna selain menuruti hasrat makan minum dan tidur, sebetulnya sudah muncul kesadaran tentang kebenaran. Dia tidak setuju dengan keserakahan Rahwana, tetapi dia tidak berani melawan dan malah melarikan diri dengan cara makan dan tidur. Kumbakarna didominasi unsur tanah beraura hitam yang tamas, malas.
Energi Wibisana, sudah tidak berupa cairan yang mengalir ke bawah perut, tetapi berwujud uap yang mengarah ke atas, mengaktifkan chakra keempat, bersifat satwika, tenang dengan aura putih, dengan dominasi unsur ruang. Wibisana sudah siap menjadi murid Sri Rama yang telah melampaui unsur-unsur alami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar