Selasa, 13 November 2012

Kisah Kasih Rantidewa


Dalam Dinasti Bharata ada seorang pangeran bernama Rantidewa. Ia mempunyai kekayaan yang tak terkira, tetapi ia selalu membaginya kepada orang yang membutuhkannya. Di balik materi yang dimiliki Pangeran Rantidewa, terdapat rasa kasih yang begitu besar. Semua harta benda yang diberikan kepadanya, dibagikan kepada mereka yang membutuhkannnya. Pangeran Rantidewa sudah tidak mempunyai rasa ‘aku’ dan ‘milikku’. Pangeran Rantidewa sudah mengalahkan egonya, jiwanya sudah tidak sakit. Gusti Hyang Maha Kuasa juga menganugerahkan kepadanya istri dan anak-anak yang memahami jiwa sang pangeran.

Dikisahkan ada suatu saat Pangeran Rantidewa pernah sudah tidak mempunyai apa pun juga. Pada saat itu tubuh pangeran Rantidewa sangat lemah. Sudah empat puluh delapan hari sang pangeran tanpa memiliki suatu apa pun. Bahkan tidak ada makanan yang tersedia di depan Pangeran Rantidewa beserta isteri dan anak-anaknya. Yang tersisa pada sang pangeran hanya rasa kepuasan diri setelah membantu mereka yang membutuhkan bantuan.

Pada hari keempat puluh sembilan, dikisahkan sang pangeran memperoleh makanan. Setelah selesai berdoa dan bersiap untuk  makan, seorang brahmana datang meminta makanan. Rantidewa berkata kepada dirinya sendiri, “Hyang Widhi ada di mana-mana dan sekarang Ia telah datang kepadaku meminta makanan. Merupakan kebahagiaan bagi diriku untuk dapat melayani Hyang Widhi di balik wujud sang brahmana.” Dan, sebagian makanan diserahkan kepada tamunya. Kemudian,  isteri dan anaknya mendapatkan sebagian.

Dan, ketika Pangeran Rantidewa mulai makan sebagian dari bagiannya, seorang sudra datang minta makanan. Pangeran Rantidewa menyadari bahwa pada dasarnya semua orang adalah Brahman. Manusia dan dunia ini adalah proyeksi dari Brahman. Sejatinya yang ada hanyalah Brahman. Tidak ada yang lain kecuali Brahman. Dan dia memberi bagian makanan miliknya kepada orang sudra tersebut.

Setelah sebagian nasi diberikan kepada orang sudra tersebut, dan Pangeran Rantidewa belum sempat makan sisanya, datang pengemis bersama empat anjingnya minta diberi makanan. Rantidewa memberikan semua sisa makanan yang ia punyai dan ia senang karena telah mengurangi rasa lapar dari tamu dan binatang piaraannya.

Manakala Pangeran Rantidewa akan minum dari air yang tersisa padanya, seorang chandala datang minta air. Jantung Rantidewa dikoyak rasa kasih pada chandala, “Aku tidak menginginkan kekayaan. Aku tidak ingin minta tempat di surga. Yang aku lakukan adalah mengambil penderitaan orang lain dan membebaskan dirinya dari penderitaan.” Dan, air yang tersisa padanya pun diberikan pada chandala tersebut.

Pangeran Rantidewa ikhlas, bukan hanya harta kepemilikannnya yang dipersembahkan kepada Hyang Maha Kuasa yang mewujud dalam berbagai bentuk. Nasi, air dan bahkan dirinya pun dipersembahkannya. Kemudian sang pangeran menutup matanya, mengatur napasnya dan mulai masuk dalam keheningan.

Selagi Pangeran Rantidewa masuk dalam keheningan, tiba-tiba para tamunya berkumpul dan mereka mewujud menjadi diri mereka yang sebenarnya, Brahma, Wisnu, Shiwa dan para dewa lainnya. Mereka disenangkan oleh tindakan Pangeran Rantidewa. Pangeran Rantidewa menghormati mereka dan sama sekali tidak minta anugerah apa pun. Pangeran Rantidewa sadar dibalik wujud para dewa, kuasa Ilahi, adalah Dia yang tak berwujud. Di balik wujud selalu ada yang tak berwujud. Yang penting bukan menyembah tetapi melayani-Nya. Pikirannya ditujukan kepada-Nya.  Ketika sedang merenungkan Hyang Maha Pengasih, awarana yang disebut maya yang terdiri dari tiga guna meninggalkannnya. Pangeran Rantidewa terjaga dan menyatu dengan Yang Maha Agung, Paramatma, Param Brahman, menurut lidah para leluhur kita.

Resi Shukabrahma berkata kepada Parikesit, “Demikianlah wahai raja, Pangeran Rantidewa memerintah kerajaannya selama beberapa puluh tahun kemudian. Memerintah dengan dilandasi kesadaran. Dinasti Bharata patut berbangga mempunyai leluhur yang amat bijaksana.”

Mata Parikesit menitik mendengar kisah yang disampaikan Resi Shukabrahma dan berkata pelan, “Wahai Guru, sejatinya hanya karena rahmat Ilahi kami menjadi salah satu keturunan Pangeran Rantidewa.

Ada perbedaan yang jelas sekali antara Kasih dan Kasihan. Kasih adalah sesuatu yang timbul tanpa alasan. Tidak ada logika, tidak ada matematika, tidak ada kalkulasi. Kasih juga bukan filsafat. Kasih berada di atas segalanya. Dalam Rasa Kasihan, ego kita, keangkuhan kita masih tetap ada. Kita memberikan sedekah kepada fakir miskin. Ini bukan Kasih – kita hanya tergerak karena rasa kasihan. Sewaktu memberikan sedekah pun keangkuhan kita tetap ada: Aku yang memberikan sedekah itu, aku yang membantu pembangunan tempat ibadah itu, aku yang melayani mereka yang susah. Di mana-mana Anda akan menemukan ‘aku’ atau keangkuhan, Kasih tidak akan pernah ada. Kasih belum bisa muncul. Kasih adalah pelepasan keangkuhan. Begitu ‘aku’ terlepaskan, Kasih pun muncul. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar