Kamis, 29 November 2012

Kisah Puranjana: 7 Jalan Pemujaan


Prithu adalah salah seorang raja dunia yang berhasil mengadakan upacara seratus aswamedha menyamai upacara yang dilakukan oleh Dewa Indra. Dalam upacara seratus aswamedha Prithu tersebut Indra mencoba menggagalkan upacara dengan mencuri sebuah kuda dengan berpura-pura menjadi sebagai seorang sadhu. Peristiwa ini dianggap sebagai mulainya tindakan munafik di dunia, yaitu seseorang yang berniat jahat yang berpura-pura berpenampilan sebagai orang baik. Tindakan Indra ini digagalkan oleh Resi Atri yang menyuruh putra Prithu untuk mengejar pencuri kuda dan diminta tidak perlu ragu melihat wujud pencuri sebagai seorang sadhu. Putra Prithu berhasil mengembalikan kuda ke seratus dari aswamedha ini sehingga dikenal sebagai Wijitashwa.

Setelah ribuan tahun memerintah sebagai raja, Prithu merasa usianya sudah tua dan sudah merasa waktunya untuk meninggalkan tubuh fisiknya. Prithu mengangkat Wijitashwa sebagai pengganti, kemudian dia melakukan yoga pelepasan dirinya yang diikuti oleh Archis, istri setianya. Putra Wijitashwa bernama Hawirdhana tidak ingin menjadi raja, maka sebagai raja pengganti Wijitashwa ditunjuk Barhishat, putra sulung dari Hawirdhana. Raja Barhishat terkenal dengan sebutan Prachinabarhis, prachina berarti arah ke timur dan barhis berarti rumput Kusa untuk persembahan. Raja Prachinabarhis terobsesi oleh upacara ritual yajna. Begitu selesai suatu upacara dia melanjutkan lagi dengan upacara ritual berikutnya. Demikian ritual demi ritual dilakukannya sepanjang waktu. Resi Narada paham bahwa niat dari raja Prachinabarhis adalah baik, maka sang dewaresi mendatangi sang raja dan bertanya mengapa dia mempunyai obsesi untuk melakukan ritual tanpa henti. Sang raja menjawab bahwa kebanyakan manusia terperangkap dalam jaring perasaan sehingga terikat dengan istri, anak-anak, rumah, kekayaan dan kerajaan. Kebanyakan manusia tidak mengetahui bagaimana mencapai dunia yang lain, oleh karena itu sang raja melakukan ritual terus-menerus agar tidak sempat berpikir terhadap jaring perasaan tersebut.

Kedatangan Narada membuat sang raja sadar bahwa mungkin sekali tindakannya tersebut tidak tepat maka segera dia memohon sang dewaresi untuk memberi petunjuk. Resi Narada berkata, “Wahai raja, engkau mempunyai niat untuk melepaskan diri dari keterikatan, dan niat itu benar. Engkau berupaya melepaskan diri dari keterikatan terhadap istri, anak, kekayaan dan kekuasaan. Akan tetapi engkau justru terikat dengan upacara ritual, sebuah keterikatan yang lain.” Dengan kekuatan yoganya, kemudian Resi Narada menunjukkan ribuan sapi yang telah dibunuh untuk keperluan ritual. “Wahai raja, ribuan sapi sedang menantikan kematianmu untuk membalas dendam kepadamu.” Sang raja kaget dan menjadi sadar bahwa dia telah berbuat kesalahan. Kemudian Resi Narada menyampaikan kisah Raja Puranjana kepada sang raja.

Pada suatu waktu, ada seorang raja terkenal bernama Puranjana. Dia mempunyai sahabat bernama Awijnata, ‘yang tak diketahui’. Mereka selalu tak terpisahkan, sampai suatu kali Puranjana berkeinginan untuk mencari tempat tinggal yang sesuai dengan seleranya. Akhirnya Puranjana menemukan sebuah kota bernama Bhogawati, ‘kota kesenangan’. Kota tersebut mempunyai sembilan gerbang untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota. Kota tersebut juga dijaga oleh lima pasang penjaga dan seekor ular raksasa berkepala lima. Kota tersebut dihuni seorang putri yang amat menawan bernama Puranjani. Tak sabar Puranjana bertanya tentang asal-usul sang putri yang dijawab bahwa dia tidak tahu orang tuanya siapa. Dia hanya tahu bahwa dia telah berada di kota tersebut. Mereka yang berada di sekeliling dirinya adalah sahabat-sahabatnya, mereka menjaga dirinya di kala dia sedang tidur. Sang putri mengucapkan selamat datang ke kotanya dan berkata bahwa tamunya akan mendapat banyak harta dan kenikmatan di dalam kota. Akhirnya sang raja tinggal di kota tersebut dan putri tersebut diambilnya sebagai isteri. Puranjana lupa akan waktu dan larut dalam keasyikan hidup di kota Bhogawati bersama isterinya.

Puranjana mempunyai kesukaan untuk berburu, sampai suatu kali isterinya berkata, mengapa sang raja hanya mencari kesenangan diri dan melupakan dia. Sang raja patuh terhadap isterinya dan kemudian mereka selalu berdua siang dan malam. Mereka lupa waktu sehingga dikaruniai seratus sepuluh putri dan seribu seratus putra. Putri dan putra mereka, semuanya kawin dan menurunkan keturunan. Sang raja terlibat dalam upacara ritual pengorbanan hewan tak berdosa saat kelahiran dan saat perkawinan putra-putrinya. Raja Puranjana asyik dengan kenikmatan dunia yang didapatkan di kota Bhogawati dan lalai bahwa ada pemimpin perampok bernama Chandawega yang selalu menunggu kesempatan menghancurkan kotanya. Chandawega mempunyai tiga ratus enam puluh pasang pengawal yang kuat yang terdiri dari 360 pria berkulit putih dan 360 pasangannya yang berkulit hitam. Keamanan kotanya memang dijaga ular perkasa berkepala lima, tetapi dengan berjalannya sang waktu, sang ular penjaga pun semakin tua dan lemah. Puranjana sadar, pada suatu hari akan tiba saatnya kotanya jatuh dan dikuasai Chandawega. Sang raja bingung, karena tidak pernah berpikir bahwa suatu saat kotanya akan hancur juga. Dia mulai muak terhadap kenikmatan duniawi dalam kotanya. Isteri dan anak keturunannya pun tidak peduli tentang ancaman nyata yang akan tiba. Rasa jenuh menghantui dirinya.

Ada juga musuh dari Kota Bhogawati, yaitu Sang Kala, waktu yang mempunyai putri bernama Jara, Usia Tua. Jara ingin mempunyai suami, akan tetapi tak ada seorang pun yang berminat dengannya. Jara kemudian jatuh cinta pada Narada dan ditolak sehingga mengutuk bahwa Narada akan selalu mengembara tanpa sesuatu tempat yang disebut miliknya. Akhirnya Jara mendatangi Kematian yang menasihatinya bahwa tidak ada seorang pun yang mencintainya, dan jalan satu-satunya adalah Jara perlu mengendap-endap mendatangi semua orang. Kematian berkata bahwa dia punya saudara bernama Prajwara, Kecemasan. Dan Jara diminta kawin dengan Prajwara dan mendatangi semua manusia dengan sembunyi-sembunyi. Bila Jara dan Prajwara sudah menguasai seseorang, maka kematian akan mendatangi orang tersebut.

Raja Puranjana sadar, ada dua musuh utamanya, Chandawega yang menghancurkan kotanya dari luar dan Jara beserta Prajwara yang langsung menyelinap ke dalam kamarnya. Dirinya diliputi kecemasan yang nyata. Ada ketidakrelaan dalam dirinya untuk meninggalkan kota penuh kenikmatan. Pada saat dirinya disergap dan takluk kepada Jara dan Prajwara, dia melihat kotanya dihancurkan oleh Chandawega. Kesedihan menyelimutinya kala dirinya dibawa Kematian keluar dari kota dan melihat Prajwara membakar kotanya.

Karena Raja Puranjana tetap ingat akan istri dan kotanya, maka dia dilahirkan lagi sebagai putri raja Widharba dan dinamakan Widharbi. Widharbi kawin dengan Pandya, seorang raja yang bijaksana dan mempunyai satu putri dan tujuh putra. Suaminya adalah seorang pemuja Narayana dan kesadarannya meningkat. Kala suaminya meninggal dan dirinya sedang menyiapkan ritual pembakaran dirinya, seorang brahmana datang dan berkata, “Kamu ingat saya?” Puranjana yang sudah lahir sebagai Widharbi mulai ingat siapa brahmana yang menyapa dirinya. Brahmana tersebut berkata, “Saya adalah sahabatmu yang paling dekat, Awijnata. Pada waktu itu kau tertarik masuk Kota Bhogawati, kamu melupakan alam ketuhanan. Beruntung, kamu lahir lagi, mempunyai suami yang taat kepada Tuhan yang dapat mempengaruhi dirimu sehingga kesadaranmu meningkat dan bisa bertemu kembali denganku. Sejatinya kau bukan Puranjana, bukan pula Widharbi, kau adalah proyeksi dari-Ku. Pikiranmu membuat kau semakin menjauh dari-Ku”. Raja Prachinabarhis larut dalam kisah Narada dan Narada melanjutkan.

Puranjana adalah pembuat “pura”, pembuat kota, pembuat raga yang disebut Jiwa. Jiwa telah melupakan sahabat sejatinya Awijnata. Awijnata tidak lain dari adalah Tuhan, disebut demikian karena ia tidak sepenuhnya dipahami Jiwa. Bhogawati, kota tempat kesenangan adalah raga manusia . Puranjani yang dijadikan istrinya adalah pikiran manusia. Kota atau raga tersebut memiliki dua tangan, dua kaki dan sembilan lubang. Lima pasang sahabat yang menghuni kota adalah panca indera dan fungsi dari panca indera tersebut, mata dan indera penglihat, kulit dan indera peraba, telinga dan indera pendengar, hidung dan indera pembau serta lidah dengan indera perasa. Sang jiwa merasa dapat menikmati lewat indera-inderanya. Sembilan gerbang kota adalah dua mata, dua lubang hidung, dua lubang mata, dua alat ekskresi dan satu lubang mulut. Lewat lubang-lubang ini sang jiwa memuaskan diri. Ruangan dalam tempat bercengkerama dengan sang istri adalah hati. Sang jiwa meskipun merasa bebas dan tak terganggu, merasa dapat bertindak, akan tetapi sang jiwa selain menikmati juga mengalami penderitaan. Sang Ular pengawal kota berkepala lima adalah 5 “Prana” yang mengawal kehidupan manusia. Ketika Jiwa bersatu dengan pikiran dan melupakan Tuhan, maka ia ingin menikmati benda-benda, ia berpikir tubuh manusia dikaruniai dengan dua tangan, dua kaki dan sembilan lubang untuk menjadi yang terbaik di antara semua. Chandawega adalah lama waktu satu tahun. Ke 360 pengawal pria berkulit putih dan 360 wanita berkulit hitam adalah siang hari dan malam hari. Walau sang jiwa sudah dibawa Kematian dari raga yang telah hancur, dia masih teringat akan kenikmatan ragawi, sehingga dia dilahirkan kembali. Beruntunglah sang jiwa setelah lahir kembali menjadi putri raja Widharba, dia mendapatkan suami yang baik, sehingga kesadaran datang dan akhirnya dapat bertemu kembali dengan sang Awijnata, yang sebetulnya selalu bersamanya, tetapi terabaikan karena keasyikan bermain dengan panca indera dan sang raga. Keterikatan pada dunia membuat Puranjana, Jiwa melupakan Awijnata, Tuhan sehingga mengalami kesenangan dan penderitaan silih berganti dan bahkan membuat Puranjana lahir kembali.

Resi Narada menguraikan ilmu Brahmawidya kepada raja Prachinabarhis bahwa satu-satunya cara yang telah membantu manusia untuk belajar tentang Kebenaran adalah bhakti kepada Narayana. Narayana adalah segalanya, Ia adalah tempat perlindungan dari semua penderitaan. Bhakti kepada Narayana membuat pikiran terlepas dari obyek duniawi sehingga dapat menyadari jati diri. Atman, jiwa  sejatinya tidak berbeda dengan Paramatman, Jiwa Yang Agung.

Resi Narada bercerita tentang Brahmana Awijnata yang berkata kepada Widharbi, “Aku adalah Awijnata, sahabatmu yang paling dekat. Pada waktu kau tertarik masuk Kota Bhogawati, kamu melupakanku, melupakan alam ketuhanan. Beruntung, kamu lahir lagi, mempunyai suami yang taat kepada Tuhan yang dapat mempengaruhi dirimu sehingga kesadaranmu meningkat dan bisa bertemu kembali dengan-Ku. Sejatinya kau bukan Puranjana, bukan pula Widharbi, kau adalah proyeksi dari-Ku. Pikiranmu membuat kau semakin menjauh dari-Ku”.

Resi Narada melanjutkan, “Dengarkan cerita tentang Tuhan dan berpikir tentang Dia siang dan malam, keduanya pasti melenyapkan kesengsaraan  yang disebut siklus kelahiran dan kematian. Widharbi yang kawin dengan raja Pandya mempunyai satu putri dan tujuh putra. Putri itu adalah Asa, harapan untuk mendengarkan kisah Tuhan. Ketujuh putra adalah Srawana, Kirtana, Smarana, Padasewana, Archana, Wandana, dan Dasya. Berkumpul dengan seorang pemuja Narayana (Asa) akan membuat kamu akan mengambil tujuh jalan memuja Dia (7 saudara Asa).”

Dimulai dengan Shrawana (mendengarkan cerita tentang Tuhan), Kirtana (mengucapkan syair berulang-ulang), Smarana (mengingat-Nya berulang-ulang dalam pikiran), Padasewana (berserah diri pada kaki-Nya), Archana (memuja-Nya sebagai persembahan), Wandana (hormat kepada-Nya) dan Dasya (melayani-Nya). Apabila orang melakukan hal tersebut maka pikirannya akan terarahkan kepada Tuhan. Dan, Atman, Jiwa akan menyadari Paramatman, Tuhan. Sehingga Puranjana menjadi satu dengan Awijnata.

Srawana, mendengarkan cerita tentang Tuhan berarti mendengar dengan penuh perhatian terhadap kisah-kisah Ketuhanan. Dengan Srawana pikiran akan terfokus pada Tuhan. Srimad Bhagawatam menyatakan, “Telinga yang belum mendengarkan nama dan kemuliaan Tuhan lebih buruk dari anjing, babi, unta atau keledai”.

Kirtana, mengucapkan syair berulang-ulang berarti menyanyikan merdu dan mengagungkan lagu-lagu Ketuhanan. Nyanyian penuh rasa terus menerus ini akan mengisi pikiran dengan Tuhan. Srimad Bhagawatam  menyatakan, bahwa “lidah yang tidak menyanyikan Lila (permainan) Tuhan adalah sebagai seperti lidah katak bernyanyi”.

Smarana, mengingat-Nya berulang-ulang dalam pikiran berarti melakukan pengucapan nama-nama suci Tuhan yang menyenangkan dan lila Tuhan tanpa penyimpangan dalam pikiran-Nya. Pikiran benar-benar ditarik dari objek duniawi, dan pikiran selain Tuhan itu diusir keluar dari pikiran. Bhagawad Gita menyatakan, “Wahai Partha, dia yang terus-menerus mengingat Aku”.

Padasewana, berserah diri pada kaki-Nya berarti melayani dan menyembah kaki Tuhan. Tentang kaki Tuhan, Chhandogya Upanishad mengatakan, “semua makhluk adalah kakinya. Jadi melayani semua makhluk dapat dianggap sebagai melayani dari kaki Tuhan”.

Archana, memuja-Nya sebagai persembahan berarti melakukan persembahan bagi Tuhan. Ibadah ini juga dapat dilakukan dengan memusatkan pikiran pada setiap wujud Tuhan. Dalam Bhagawad Gita dinyatakan, “Barangsiapa mempersembahkan Tuhan dengan penuh pengabdian yang tulus ikhlas, daun, bunga, buah atau air, Dia akan menerima itu semua”.

Wandana, hormat kepada-Nya berarti penghormatan pada Tuhan dan kepada setiap wujud Tuhan. Dikatakan dalam Srimad Bhagawatam bahwa “ruang, udara, api, air, bumi, bintang, pohon, sungai, lautan dan semua makhluk merupakan wujud Tuhan, maka seorang pemuja akan bersujud menerima mereka sebagai Tuhan”. Dengan mengetahui bahwa Tuhan bersemayam dalam segala sesuatu, seseorang harus menunjukkan hormat dengan penuh keyakinan, kasih dan pengabdian.

Dasya, melayani-Nya berarti penyerahan diri sebagai hamba-Nya. Seseorang yang menerima dirinya sebagai hamba Tuhan akan melayani-Nya dan mematuhi petunjuk-Nya. Dalam semua tindakan ia merasa bahwa ia melayani Tuhan dan melaksanakan perintah-Nya dengan keyakinan penuh serta pengabdian dalam dirinya. Dia juga melayani semua makhluk sebagai wujud dari Tuhan. Bila tujuh cara sudah dilakukan manusia akan sampai pada Sakhya, suka dan tidak suka sesuai kehendak-Nya dan Niwedana, menganggap dirinya sebagai persembahan.

Raja Prachinabarhis berkata, “Wahai Resi Narada, mohon dijelaskan perihal jiwa yang tidak menyadari ancaman yang sedang menyergapnya, karena kelengahannya dalam menikmati dunia.” Resi Narada tersenyum dan merasa berbahagia, “Baik, akan kuambil contoh yang berbeda. Ada seekor rusa beserta pasangannya asyik merumput di taman rumput luas nan subur. Kembang yang berbau harum di padang tersebut membuat dia merasa sangat bahagia. Ia berpikir tak ada suatu hal yang akan merusak kebahagiaannya. Tetapi sang rusa tak sadar akan bahaya adanya serigala yang berada tak jauh di depannya yang siap menerkamnya sewaktu-waktu. Sang rusa juga tak pernah sadar bahwa di belakangnya juga ada seorang pemburu yang sudah membidikkan anak panahnya kepada dirinya. Kesenangan dunia adalah seperti wangi kembang dalam taman tersebut. Pria dan wanita  menjelajah dalam taman tersebut mencari kesenangan. Sementara sang kala, waktu dalam wujud serigala siap menerkamnya dari depan. Sedangkan di belakang dia ada berbagai penyakit  dalam wujud anak panah dari si pemburu yang sudah dibidikkan ke arahnya. Aku menceritakan kisah Raja Puranjana, agar kamu menyadari bahwa berbuat baik saja belum mengarahkan kamu kepada Kebenaran mutlak. Kamu tidak perlu mengejar perbuatan baik saja. Kamu perlu mengejar Tuhan, dan kenyamanan dunia akan diberikan kepadamu sebagai hasil hukum sebab-akibat dari tindakanmu. Berkumpul dengan para sadhu akan membuat kamu mempunyai rasa cinta terhadap kisah Ketuhanan. Manakala kamu menempuh tujuh jalan kamu akan mencapai langkah terakhir yaitu penyerahan diri.

Raja Prachinabarhis langsung bersujud mencium kaki Resi Narada dan membasahi kaki sang resi dengan air matanya, “Terima kasih wahai resi Narada, kisah tersebut telah membuka hati nurani hamba.”  Narada berkata, “Wahai Raja, kisah ini adalah Brahmawidya, pengetahuan tentang ketuhanan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar