Kamis, 29 November 2012

Kisah Bharata: Keterikatan Menjelang Kematian


Bharata adalah putra Rsaba. Ia memerintah kerajaan dengan benar dan baik dan dicintai oleh rakyatnya. Bahkan kerajaannya dikenal sebagai Bharatawarsa. Bharatawarsa mengalami zaman keemasan dibawah kepemimpinan Raja Bharata. Bharata adalah seorang bhakta Narayana. Di dalam hatinya hanya ada Narayana dan tak ada yang lain selain Narayana. Setelah beberapa lama memerintah, dia menobatkan putranya sebagai raja penggantinya dan dia pergi ke Haridwara ke pertapaan Pulaha. Bharata hidup sendiri di sana dalam kedamaian dan tidak punya rasa keterikatan terhadap duniawi. Hari-hari dilewati hanya berpikir tentang Narayana.

Pada suatu hari, manakala Bharata sedang duduk akan melakukan meditasi pagi di tepi sungai Mahanadi, dia melihat seekor rusa betina yang tengah hamil sedang membungkukkan kepalanya untuk minum air sungai. Tiba-tiba terdengar raungan seekor singa yang sangat keras yang mengagetkannya. Karena ketakutan yang amat sangat sang rusa melompat dengan sekuat tenaga menuju seberang. Akhirnya sampai juga sang rusa betina di seberang. Dalam keadaan lunglai bercampur cemas, anaknya lahir prematur dan kemudian sang rusa betina meninggal. Bharata segera menghampiri anak rusa yang kemudian digendongnya ke pertapaan dan diberinya susu dengan penuh kasih seperti halnya seorang ibu yang mengasihi putranya. Hari-hari lewat dan Bharata menjadi semakin tua, akan tetapi rasa kasihnya terhadap anak rusa semakin bertambah. Ia menjadi sangat terikat dengan sang anak rusa. Ia berpikir, “Anakku tanpa ayah dan tanpa ibu, kecuali diriku. Aku adalah satu-satunya tempat perlindungannya.” Kasih sayang terhadap rusa tersebut membuat Bharata lupa terhadap terhadap kegiatan rutinnya untuk selalu berdoa, meditasi dan melakukan persembahan kepada Narayana.  Hari demi hari berlalu dan akhirnya Bharata mengalami kematian. Sebelum meninggal pikirannya terpusat kepada sang rusa. Akhirnya Bharata dilahirkan sebagai rusa.

Beruntung tumpukan kebaikan telah dilakukan Bharata dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya, sehingga dia dapat menyadari mengapa dia terlahir sebagai rusa. “Aku telah meninggalkan keterikatan terhadap keluarga dan istana dan hidupku semata-mata kupersembahkan kepada Narayana. Kemudian aku merasa kasihan kepada anak rusa yang lahir menderita, sehingga hidupku terfokus padanya. Aku telah salah jalan, melepaskan keterikatan yang satu dan mengikatkan diri pada keterikatan yang lain, sehingga aku tidak menjadi seorang Brahmi melainkan menjadi seekor rusa. Aku harus menyelesaikan kehidupanku sebagai seekor rusa ini dengan mendekati para resi yang sedang mendekatkan diri kepada Narayana.” Sang rusa memilih hidup di sekitar para resi. Setiap malam mendengarkan mereka menyanyikan kirtanam, lagu-lagu pujian. Dia juga memperhatikan mereka yang sedang berdoa di waktu pagi dan menjelang senja. Hidupnya hanya terfokus pada Narayana. Atas rahmat Tuhan, akhirnya sang rusa meninggal dan ia lahir lagi sebagai putra seorang Brahmana, Resi Angirasa. Resi Angirasa mempunyai 9 orang putra dari istri pertamanya dan dari istri keduanya mempunyai seorang putri dan seorang putra yaitu Bharata.

Bharata adalah putra Rsaba, perwujudan dari Narayana sendiri untuk mengajar Atmawidya, pengetahuan keilahian. Bharata hampir mencapai Narayana, akan tetapi dia harus menuntaskan karma yang telah dilakukan pada kehidupan sebelumnya, sehingga dia harus melewat kelahiran sebagai seekor rusa. Kini, untuk menyelesaikan obsesi yang belum diselesaikannya, dia dilahirkan kembali sebagai putra seorang Brahmana.

Bharata tidak ingin mempunyai keterikatan dengan siapa pun, karena sudah pernah mengalami kehidupan sebagai seekor rusa akibat dari keterikatannya. Dia bertekad untuk menyelesaikan kebebasan dari keterikatannya pada kehidupan ini. Akan tetapi ia justru dikenal sebagai orang bodoh yang tidak selaras dengan lingkungan kehidupannya. Ayahnya ingin menjadikan dia seorang Brahmana yang baik, akan tetapi merasa kewalahan karena tak dapat memahami putranya yang tidak mau terikat dengan apa pun. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Bharata dipekerjakan oleh saudara-saudara tirinya sebagai pembantu yang mengerjakan apa pun yang diperintahkan oleh mereka. Bharata melayani mereka dengan sebaik-baiknya dan selalu bekerja dengan rajin sejak pagi hingga matahari terbenam dan menerima dengan baik apa pun yang diberikan kepadanya.

Adalah seorang kepala perampok yang belum mempunyai putra dan diberitahu oleh orang kepercayaannya, bahwa dia perlu mengorbankan seorang manusia kepada Dewi Kali agar dia dikaruniai seorang putra. Para anak buahnya kemudian mencari orang yang cocok sebagai persembahan dan mereka menemukan Bharata cocok sebagai persembahan. Para perampok heran manakala Bharata tidak melawan kala diikat dan dibawa menuju kuil tempat pengorbanan. Ia diminta mandi dan diberi pakaian yang bersih dan diminta duduk menutup mata. Seorang yang mirip dengan pendeta membaca mantra dan mengangkat pedangnya untuk membunuh Bharata. Dewi Kali datang dan melihat seorang brahmana yang bersinar terang di tempat pengorbanan. Dia melihat ada sebuah rencana jahat manakala ada seorang brahmana yang rela dikorbankan untuk kepentingan para perampok. Sang Dewi tahu bahwa kejahatan itu akan diserahkan kepadanya. Sang Dewi kemudian membunuh semua perampok dan memberkati Bharata dan kemudian lenyap.

Pada suatu ketika seorang raja bernama Rahugana sedang bepergian di sepanjang tepi sungai Iksumati. Ia adalah seorang raja negara Sindhu dan Sauwara. Ia sedang ditandu dan merasa perlu menambah tenaga seorang lagi untuk mengangkat tandunya. Sang raja melihat Bharata yang bertubuh tegap sedang duduk menjaga ladang dan ditawarinya untuk menjadi pengangkat tandunya.  Bharata walau seorang brahmana, tetapi mau melakukan pekerjaan apa saja, sehingga menyanggupinya. Akan tetapi setelah berjalan beberapa lama, sang raja merasa ada yang aneh dengan langkah dari para pemanggul tandunya. Ternyata Bharata selalu memperhatikan tanah yang akan diinjaknya, apakah ada cacing atau serangga atau benih apa pun. Setelah merasa aman dia baru melangkahkan kakinya. Para pembantu berkata pada sang raja bahwa itu bukanlah kesalahan mereka, langkah sang pendatang baru tidak selaras dengan langkah mereka.

Sang raja marah, ia berpikir bahwa ia dalah manusia agung yang harus dituruti perintahnya dan menganggap orang lain lebih rendah derajatnya dan mestinya mereka menurut, karena akan dibayar mahal olehnya. Sang raja berkata kepada Bharata, “Kamu bertindak seperti mayat berjalan, kamu tidak mengindahkan perintahku. Aku harus memberi pelajaran kepadamu. Aku akan menghukum keangkuhanmu!” Bharata tersenyum kepada sang raja dan berkata, “Aku kau anggap tidak melakukan pekerjaan yang diberikan kepadaku dengan baik.  Dan, kamu menganggap dengan kemarahanmu aku akan takut atau hatiku akan tersakiti. Haruskah aku bercerita kepadamu, bahwa kau menganggap badanku ini nyata dan beban yang kupanggul adalah nyata? Aku sejati berada dalam diriku dan tak ada hubungan dengan badanku. Menghina dan menyakiti diriku tidak mempengaruhi Aku sejati. Kau menganggap tubuhku, pikiran dan perasaanku sebagai diriku. Tapi aku tahu bahwa kau salah. Aku sejati tidak terpengaruh oleh ucapanmu.

Bharata melanjutkan, “Kau mengatakan aku seperti mayat yang berjalan. Wahai raja, proses kelahiran dan kematian tidak membatasi Aku. Perbedaan antara seorang raja dan seorang pembantu muncul karena perasaan dualitas.” Raja Rahugana termenung lama dan dapat memahami kebenaran yang diucapkan oleh Bharata, dia jatuh terduduk dan bersujud pada Bharata dengan berlinang air mata, “Keangkuhanku telah kau binasakan. Aku adalah raja dari Sindhu dan Sauwira akan mencari Resi Kapila untuk belajar Brahmawidya, akan tetapi kau adalah Kapila sendiri yang datang menyelamatkan aku!” Bharata kemudian menjelaskan Brahmawidya dengan penuh kasih sayang, “Adalah pikiran manusia yang menyebabkan dia terperosok ke dalam rawa samsara atau yang menyebabkan dia menemukan kebebasan. Pikiran manakala diarahkan ke arah Tuhan, maka tidak ada ketakutan lagi. Kebijaksanan yang diperoleh ini tidak dapat diganti dengan tapa penebusan dosa. Bukan pula diganti dengan menyelenggarakan upacara ritual tanpa cacat.  Tidak dapat ditukar dengan memberi makan 1.000 orang. Tidak juga dengan derma yang dilakukan oleh para Grihastha. Menyanyikan weda berkelanjutan dan pemujaan kepada para dewa pun tak dapat memperoleh kebijaksanaan tersebut. Hanya dengan jatuh di kaki seorang suci,  menyerahkan diri kepada seorang Guru yang tak terpengaruh lagi terhadap kelahiran dan kematian, seorang manusia dapat mencapai keselamatan.” Bharata kemudian memberkati Raja Rahugana dan melanjutkan pengembaraannya di atas permukaan bumi sampai tugas sucinya di atas dunia selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar