Raja Saudasa
putra Raja Bhagirata adalah raja yang adil dan bijaksana. Pada suatu hari dia
pergi berburu di hutan, bertemu dengan seorang raksasa dan membunuhnya. Pada
saat dia kembali ke istana dia tidak sadar bahwa ada saudara raksasa tersebut
ingin membalas dendam kepadanya dan kemudian masuk ke istana menyamar sebagai
seorang juru masak istana.
Pada suatu
ketika Wasistha. Guru Saudasa datang berkunjung dan sang raja menawari gurunya
untuk makan bersama. Sang raksasa yang menjadi juru masak istana, memasak
daging manusia untuk makanan yang disajikan kepada Resi Wasistha. Resi Wasistha
murka kala tahu bahwa dia disuguhi makanan dari daging manusia dan kemudian
mengutuk sang raja bahwa tidak sepantasnya seorang raja menyuguh gurunya daging
manusia, hanya seorang raksasa yang berbuat demikian. Kemudian Resi Wasistha
sadar bahwa mungkin saja sang raja tidak tahu bahwa yang disuguhkan adalah
daging manusia, mungkin saja hal tersebut adalah kesalahan juru masaknya. Oleh
karenanya Resi Wasistha mengubah kutukan sehingga sang raja akan menjadi
raksasa selama 12 tahun.
Raja Saudasa
merasa tersinggung karena tidak merasa bersalah, dan mengambil air dan siap
untuk ganti mengutuk Resi Wasistha. Adalah permaisuri raja, Madayanti yang
mengingatkan bahwa tak baik mengutuk seorang guru. Mungkin saja di kehidupan
dahulu sang raja pernah berbuat salah sehingga dalam kehidupan ini harus
menyelesaikan hutang karma. Dengan mengutuk maka sang raja akan membuat karma
baru lagi sehingga hutang karmanya tak pernah terselesaikan dan bahkan akan
mendapatkan anak keturunan yang kurang baik. Sang raja sadar bahwa peringatan
istrinya ada benarnya sehingga dia mengurungkan mengutuk gurunya dan airnya
dijatuhkan ke kakinya. Kakinya menjadi hitam, gelap sehingga sang raja mendapat
nama “Kalmasapada”, kaki malam.
Sang raja
kemudian menjalani kutukan sebagai raksasa di hutan dengan penuh kesadaran.
Pada suatu ketika ada seorang brahmana berduaan bersama istrinya di hutan
tersebut. Sebagaimana kebiasaan raksasa, maka dia berkeinginan untuk makan
daging brahmana tersebut. Istri sang brahmana mengingatkan bahwa diri sejatinya
adalah seorang raja manusia, agar dia bertindak sebagai seorang raja manusia
dan agar tidak membunuh suaminya. Sang raja dalam kehidupannya sebagai raksasa
tidak dapat mengendalikan sifat keraksasaannya, sehingga dia nekat membunuh
sang brahmana. Istri sang brahmana kemudian membakar sisa tulang suaminya dan
bunuh diri dalam api pembakaran, mengikuti sang suami. Sang istri brahmana
sempat mengutuk, bahwa karena sang raja karena membunuh brahmana dan istrinya,
maka dia tidak akan bisa berhubungan suami istri dengan sang permaisuri.
Setelah 12
tahun menjalani kehidupan sebagai seorang raksasa, sang raja kembali menjadi
manusia dan memerintah kerajaannya lagi. Sang raja menceritakan pengalamannya
kepada permaisuri bahwa dia telah membunuh suami-istri brahmana, dan mendapat
kutukan dari istri brahmana tersebut yang menyebabkan dia tak bisa lagi
berhubungan dengan istrinya. Sepasang suami istri tersebut menyadari bahwa
tidak mudah membayar karma dalam satu kehidupan akibat kesalahan yang telah
dibuatnya pada masa lalu. Selalu saja terjadi banyak kemungkinan seseorang akan
membuat karma baru dalam kehidupan kini. Setiap orang perlu menjaga agar dapat
hidup berkesadaran.
Mereka berdua
kemudian menyerahkan diri mereka kepada Wasistha, guru mereka agar mereka dapat
menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran. Dengan bantuan Wasistha akhirnya
mereka mempunyai putra bernama Asmaka, dan Saudasa beserta istrinya mencapai
kebebasan. Dalam garis keturunan Asmaka lahir raja bijak Khatwanga yang konon
dapat mencapai Narayana dalam waktu satu muhurta, 48 menit saja. Khatwanga
mempunyai putra Dirghabahu. Dirghabahu mempunyai putra Raghu. Raghu mempunyai
putra Aja. Aja mempunyai putra Dasaratha yang kemudian mempunyai putra Sri
Rama, Laksmana, Bharata dan Satrughna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar